"Butuh berapa potong agar kamu berhenti beregenerasi?" tanya Xavie sinis, pandangannya mengarah sebentar ke arah Winda sebelum kembali ke monster itu.
Ejekan-ejekan yang diberikan Xavie kelihatannya berhasil menyebabkan monster itu marah. Sekarang monster itu telah terfokus kepada Xavie, melupakan Winda yang sudah mendapatkan kendali tubuhnya.
Setelah melewati sedikit keheningan, monster itu menerjang ke arah Xavie yang diam menantangnya. Di sisi lain, Winda langsung melangkahkan kakinya terbirit-birit meninggalkan Xavie bersama dengan monster itu. Bagi Winda saat ini, nyawanya adalah yang paling utama. Setelah keluar dan berlari cukup jauh dari gudang itu, ia bisa melaporkan kejadian itu kepada atasannya. Itulah yang Winda rencanakan pada waktu itu.
Kembali kepada Xavie. Baik tatapan mata atau pun raut wajahnya, tidak ada yang berubah ketika melihat Winda meninggalkannya. Ia fokus memindai seluruh tubuh monster yang dengan cepatnya bergerak menuju ke arahnya. Ketika monster itu sudah berada lima meter di depan tubuhnya, Xavie akhirnya bergerak maju ke depan.
Melihat Xavie berlari ke hadapannya, monster itu segera membuka mulutnya lalu menyiapkan tangan kanannya untuk mencakar Xavie. Tangan besar itu lekas melayang, pantulan bayangan dari serangan itu tercermin sempurna di bola mata ungu milik Xavie.
Tanpa monster itu tahu, Xavie lenyap dari hadapan matanya. Di detik-detik terakhir ketika serangan monster itu hampir mengenai Xavie, ia melompat ke samping tubuh monster itu sembari memutar tombaknya. Mata tombaknya yang seperti bilah pedang itu, berputar dan menebas kedua tangan monster itu sebelum monster itu menyadarinya.
Kedua tangan monster itu mendadak terlepas dari pergelangan tangannya. Monster itu meraung lalu menoleh ke belakang, Xavie telah melompat sembari memutar tombaknya tepat ke arah leher monster itu. Dengan menggunakan mata tombaknya yang seperti bilah pedang itu, rhongomyniad berhasil memenggal kepala monster itu.
Bagai air mancur, darah mengucur keluar melalui leher monster yang telah terputus itu. Segera, tubuh besarnya ambruk, membuat debu di lantai beterbangan. Xavie dengan waspada berjalan memutari tubuh monster itu. Dua detik kemudian, kepala monster itu tumbuh diikuti kedua tangannya sedangkan kepala serta kedua tangannya yang telah terpisah dari tubuhnya dibiarkan teronggok di lantai retak.
Xavie mundur lalu menghela napas, mengurus monster seperti ini pasti menghabiskan banyak waktu dan tenaganya. Melihat Xavie mundur, monster itu mendesis sembari menatap Xavie dengan kedelapan mata menyeramkan miliknya. Tak lama, Monster itu kembali menyerang Xavie dan Xavie balas menyerangnya dengan tubuh gesitnya.
Lima menit berlalu, entah sudah berapa banyak bagian tubuh monster itu yang telah terpotong. Monster itu sekarang telah kembali tumbang untuk yang kesekian kalinya, Xavie tidak ingin repot menghitungnya. Debu tidak lagi beterbangan di area robohnya monster itu, darah hampir menodai setiap senti lantai yang ada di gudang tua tersebut.
Berbagai bentuk daging dan tulang teronggok berantakan di lantai. Suara napas terengah-engah terdengar setelah keheningan menyelimuti gudang tersebut dengan cepat. Keringat telah membanjiri tubuhnya, Xavie menelan ludah untuk sedikit menyejukkan tenggorokannya yang kering. Kakinya perlahan berjalan memutari tubuh monster itu seraya waspada, monster itu bisa saja bangkit kembali.
"Night creature ini hanya night creature biasa tanpa kekuatan regenerasinya. Tipe seperti ini hanya berguna sebagai tameng di medan perang," komentar Anaemia, satu menit telah berlalu semenjak monster itu tumbang dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk bangkit kembali.
"Tapi daripada tipe lainnya, tipe seperti inilah yang sangat tidak cocok dengan kondisimu saat ini," lanjut Anaemia dalam hati.
"Sudah berakhir!" Xavie membatin seraya menghela napas panjang. Saat ini, Xavie sudah sepenuhnya yakin bahwa monster itu sudah mati dan tak akan menumbuhkan kepala seperti sebelumnya.
Jika saja saat ini monster itu masih bisa hidup setelah Xavie memenggal kepalanya, entah yang kesekian kalinya kala itu. Xavie tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan dalam kondisinya sekarang. Tenaganya benar-benar sudah terkuras habis sedangkan tubuhnya dipenuhi dengan luka memar. Jujur saja, Xavie menyesal menghiraukan firasat roh busuk itu.
Ketika Xavie melihat tubuhnya yang terbasuh oleh darah, ditambah lagi dengan pakaiannya yang robek dan tak layak pakai. Pikirannya tanpa sadar mengingat istri kontraknya yang menyebalkan itu. Awalnya, ia hanya ingin membeli bahan makanan tetapi berbagai musibah satu demi satu datang menghampirinya. Apa alasan yang harus dibuat oleh Xavie ketika Anna melihat dirinya dalam kondisi seperti ini? Xavie merasa dirinya sangat menyedihkan.
Dua menit telah berlalu dan monster itu belum bergerak sama sekali, Xavie akhirnya yakin bahwa monster itu sudah sepenuhnya mati. Rhongomyniad di tangan kanannya telah berubah menjadi butiran cahaya keemasan lalu menghilang seakan tidak pernah ada. Xavie berjalan membelakangi monster itu. Tapi tiba-tiba, setengah kepala monster itu beregenerasi kembali.
Langkah kaki Xavie berhenti lalu menoleh ke belakang, tatapan matanya terlihat menyeramkan. Monster itu tidak lagi beregenasi, ia sekarang mengaung atau mungkin mendesis, Xavie tidak yakin. Itu adalah suara yang terbuat dari angin yang keluar begitu saja dari tenggorokan serak monster itu. Xavie tahu, raungan yang keluar dari tenggorokan monster itu menggunakan seluruh energinya yang tersisa. Setelah beberapa detik, monster itu ambruk dan kembali menjadi diam layaknya sebuah mayat.
Hal itu menyebabkan Xavie waspada, ia tahu apa artinya raungan terakhir monster itu. Kakinya berjalan keluar dari gudang itu lalu berhenti setelah berada sepuluh meter jauhnya dari gudang itu. Xavie mendongak, langit tampak gelap. Sesuatu mendadak menerjang turun dengan cepat, menyebabkan Xavie melompat mundur. Matanya menyipit makhluk itu, makhluk yang sama dengan makhluk yang barusan ia bunuh.
"Sial!" Xavie mengelus tulang-tulang yang ada di bagian kiri dadanya, kelihatannya beberapa tulangnya telah patah.
Monster yang berada di hadapannya saat ini lebih terlihat seperti manusia daripada monster sebelumnya. Tubuhnya kurus dan berkulit biru, kedua tangannya masing-masing dilengkapi dengan kelima kuku tajam yang panjang serta kuat, kepalanya berbentuk manusia tetapi dengan mulut lebar yang dipenuhi gigi-gigi tajam dan besar. Sebuah sayap yang sangat besar terpasang di punggungnya.
Dalam sekali lihat, Xavie tahu tipe monster ini jauh lebih kuat daripada monster yang barusan ia bunuh. Meski begitu, Xavie sedikit merasa lega. Jika monster ini berfokus pada serangan berarti kekuatan regenerasinya jauh lebih lemah monster sebelumnya.
"Rhongomyniad!"
Tombak berwarna keemasan muncul dan tergenggam di tangan Xavie. Monster itu meraung, sangat serak dan nyaring. Xavie memajukan kaki kirinya lalu melempar tombaknya. Tombak itu melaju sangat cepat ke arah kepala monster itu tetapi dengan refleksnya, monster itu menunduk, menghindari tembakan tombak Xavie.
Segera sayap besar milik monster itu menguncup ke punggungnya. Sembari merendahkan tubuhnya, ia berlari kencang menuju Xavie. Hanya dalam sekejap monster itu sudah berada tepat di depan Xavie lalu melompat menyerangnya menggunakan kesepuluh cakar miliknya. Di sisi lain, rhongomyniad telah kembali ke tangan kanan Xavie dan terjadilah bentrokan antara masing-masing senjata milik mereka.
Monster itu dengan gesit dan lincang menyerang Xavie, membuat Xavie terpaksa bertahan seraya menunggu kesempatan untuk menyerang balik. Monster itu semakin agresif, menyebabkan kecepatan geraknya meningkat. Xavie terus-terusan mundur, menggunakan tombaknya untuk menghalau segala serangan monster itu.
Ketika Xavie melihat pertahanan monster itu terbuka. Xavie akhirnya menyerang, menebas dada monster itu cukup dalam. Monster itu mundur sebentar lalu kembali menerjang dengan sangat kencang, seolah luka di dadanya tidak berdampak baginya. Kedua tangannya menyakar dada Xavie namun sebelum mengenainya sangat dalam, Xavie melompat ke belakang lalu mundur cukup jauh. Xavie menggertak giginya, dadanya berhasil tercakar. Darah mengalir keluar lewat luka-luka itu.
Bertepatan dengan mundurnya Xavie, monster itu membuka mulut. Sebuah semburan api yang sangat besar dan panjang keluar dari mulutnya. Xavie tidak menduga monster itu bisa melakukan itu. Karena hal itu, Xavie pasrah menerima semburan api sekalian mempercepat langkah mundurnya.
Semburan api monster itu berhenti setelah Xavie keluar dari area semburannya. Dengan napas tersenggal-senggal, Xavie melirik monster itu sembari memikirkan sebuah rencana untuk membunuhnya. Rasa perih di tangannya akibat menahan semburan api monster itu Xavie abaikan. Bahkan ia tidak peduli pada seluruh pakaiannya yang sudah terbakar habis, tanpa menyisakan seutas benang pun untuk menutupi tubuhnya.
Angin malam berembus, menerpa tubuh Xavie yang telanjang. Xavie mendongak, bola matanya menatap hal yang janggal di atas sana. Sebuah sapu terbang beserta seseorang yang menaikinya terlihat sedang menonton pertarungan antara Xavie dan monster itu.
Sosok penyihir yang menggunakan sapu terbang itu lekas turun begitu mengetahui Xavie telah menyadari keberadaannya. Di sisi lain, Xavie mewaspadai sosok penyihir yang dengan kencangnya terbang dan menghampirinya."Akar sihir tipe angin," pikir Xavie."Pakai! Orang aneh." Penyihir itu melemparkan jubahnya, Xavie dengan santainya menutupi tubuh telanjangnya. Kewaspadaannya telah hilang begitu melihat hal yang dilakukan dan mendengar suara penyihir itu.Penyihir itu adalah seorang wanita, ia langsung melirik Xavie yang telah selesai menutupi tubuhnya dengan jubah miliknya. Rhongomyniad di tangan Xavie sudah menghilang sebelum penyihir itu melihat dirinya. Kurang lebih, Xavie paham dengan situasinya sekarang."Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, apakah kamu penyihir dari luar kota?" tanya penyihir itu."Ya," jawab Xavie singkat.Ketika Xavie dan penyihir itu saling berbicara, monster itu mengambil kesempatan deng
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam dan sekarang ketiga penyihir itu sudah selesai menyelidiki area pertempuran di dalam maupun di luar gudang tua itu. Tidak banyak informasi yang mereka peroleh namun ketiga penyihir itu tetap harus melaporkannya ke markas Asosiasi Penyihir Ivasaar. Markas Asosiasi Penyihir Ivasaar berada di kawasan sepi layaknya sebuah hutan namun dengan beberapa bangunan perumahan yang masih cukup berjarak. Pada umumnya orang yang tinggal di kawasan itu adalah penyihir sama seperti mereka bertiga. Butuh waktu sebanyak dua puluh menit untuk sampai bila menggunakan mobil dengan kecepatan rata-rata dan itulah yang mereka kendarai hingga sampai di sebuah bangunan perkantoran. Bangunan perkantoran itu terlihat sederhana, tidak mencurigakan. Seseorang tidak akan pernah menyangka bahwa tempat seperti itu adalah sebuah markas dari para penyihir yang ada di kota ini. Suasana hening saat memasuki bangunan itu sudah biasa mereka rasakan t
Ruangan itu lenggang, suara jarum jam dinding menyesak diantara mereka. Dengan meja kecil sebagai pembatas, Xavie dan Anna duduk di sebuah sofa saling berhadapan. Wajah Anna yang datar menatap Xavie dengan tajam, tampak sedang memperhitungkan sesuatu. "Jadi, kamu merusak mobilku hanya dalam sehari?" sindir Anna, tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ketika ia pulang ke apartemennya, ia mendapati satu mobilnya sudah hancur. Kini Anna mulai menimbang kembali, apakah menikah dengan Xavie adalah sebuah kesalahan? "Ya." Xavie tersenyum canggung. Ia sudah menjelaskan persoalan remaja yang menabrak mobilnya tapi kelihatannya alasan itu tidak dapat diterima Anna. Wajah dan tatapan Anna semakin merendahkan dan semakin tajam menatap Xavie yang sedang menjelaskan. Seharusnya Xavie membuat alasan yang lebih bagus lagi. "Lupakan!" Anna mendesah. "Masalah mobil itu, nanti akan kita bahas. Sebentar lagi temanku akan datang berkunjung untuk melihatmu."
Anna segera menyambut kedatangan Amara dan anaknya, Sean. Seorang remaja berumur lima belas tahun yang selalu mencari masalah dengan orang disekitarnya. Tak lama, mereka bertiga memasuki ruang tamu dan duduk di sofa saling berhadapan. Amara dan Sean duduk bersebelahan sedangkan Anna duduk berhadapan dengan mereka berdua. Sembari berbincang ringan dengan Amara, Anna sesekali melirik Sean yang diam sejak mengucapkan selamat kepada Anna atas pernikahannya. Di wajah remaja itu terdapat sebuah kekesalan dan kebosanan. Anna tebak, Sean pasti dipaksa oleh ibunya untuk mampir ke apartemennya. "Jadi, dimana suamimu? Kamu tidak menyembunyikannya, kan." Amara sudah tak lagi dapat menahan rasa penasarannya. Jawaban atas pertanyaannya barusanlah yang menjadi alasan kenapa Amara mendatangi kediaman Anna walau sudah larut malam. Anna tersenyum sebagai jawaban, kepala Amara menoleh ke arah suara langkah kaki. Sean mengikuti ibunya, mungkin ia juga penasaran dengan iden
Pintu depan mobil camaro itu terbuka, siluet pria keluar dari dalam mobil itu di saat yang bersamaan ketika Xavie menutup pintu, menghalangi penglihatan Anna yang terfokus melihat seseorang yang baru saja keluar dari dalam mobil. Baru saja Xavie berbalik tetapi suara Anna yang terdengar sangat memerintah sekejap memasuki pendengarannya. "Buka pintunya!" Xavie melirik Anna sejenak, merasakan perubahan pada suara begitu juga raut wajah istrinya. Suara langkah kaki dari balik pintu tiba-tiba tertangkap oleh telingannya, Xavie segera menyadari bahwa perubahan Anna berasal dari seseorang yang ada di seberang pintu ini. Pintu kembali terbuka, Andre Blanchet sudah berdiri tepat di depan pintu, bersiap menekan bel namun terhenti setelah melihat pintu terbuka dan Xavie yang sekarang berada di depan dirinya. Kedua pria itu saling tatap sebelum akhirnya tersenyum ramah, mencairkan udara dingin menusuk yang menerpa daerah tersebut.
Malam itu sedikit berawan dengan beberapa bintang bersinar menghias tirai angkasa. Sebuah mobil camaro berwarna hitam melesat menuju jalan utama yang ada diperkotaan Kota Ivasaar. Gedung-gedung tinggi bercahaya dan tiang-tiang lampu yang terpasang di jalanan membuat suasana malam kota itu tampak tak ada bedanya dengan siang hati.Saat ini jalanan di perkotaan masih terbilang cukup ramai dengan kendaraan roda empat yang sibuk berlalu lalang, mencoba melewati kendaraan lain yang berada di hadapannya.Di tengah itu semua Andre Blanchet mengemudikan mobil camaro-nya dengan santai dan tenang. Di saat ada mobil memotong jalannya, dia tetap santai. Di saat mobil melewatinya, dia tetap santai. Di saat orang-orang di belakangnya mengomel kepada dirinya karena mobilnya melaju terlalu santai, dia tetap santai.Tidak ada yang bisa mengganggu suasana hatinya saat ini. Senyum tipis sedari tadi tidak pernah menghilang dari wajahnya.Saat rambu la
Mimpi buruk Anna selalu diawali dengan keberadaannya disebuah ruangan gelap gulita. Seberkah cahaya remang-remang menyoroti dirinya layaknya seseorang di pentas pertunjukan. Gadis kecil itu merasa takut, tapi tidak tahu takut kepada apa atau siapa. Ketakutan itu membuatnya meringkuk, menangis, dan memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan. Anna ingin sekali berteriak minta tolong, tapi tidak bisa. Dia tidak dapat menggerakkan mulutnya untuk bersuara. Dia juga tidak bisa berdiri dan berlari keluar dari lingkaran cahaya. Ada sesuatu yang membuatnya terpaku di tempat dan tidak bisa kemana-mana. Seraya menutup mata dan menyembunyikan wajah. Kehangatan tiba-tiba datang menghampiri dirinya. Ketika Anna sadar, seorang perempuan yang sangat mirip dengan dirinya tengah memeluknya erat. Pelukan itu terasa sangat nyaman. Anna lekas memeluk perempuan itu, tetapi ketika kedua tangan Anna berhasil melingkari pinggang perempuan itu, Anna merasakan cairan hangat membas
"Pada siang ini saya akan meminta para manager divisi khususnya manager pemasaran saudari Izza, dan selebihnya kepada manager produksi maupun keuangan. Kepada manager pemasaran saudari Izza, bagaimana pemasaran produk kita selama 1 bulan terakhir?" tanya Anna kepada manajer pemasaran. "Baiklah, saya akan melaporkan kegiatan pemasaran selama satu bulan terakhir ini, permintaan pasar turun sebanyak 30% dari bulan lalu, kami sudah usaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan omset pasar tetapi permintaan produk kita hari...." Kedua telinga Anna sayup-sayup mendengar penjelasan Izza, pandangan Anna juga semakin lama semakin mengabur. Di tempat duduknya, Anna memijat-mijat kedua pelipisnya untuk sedikit meredakan rasa sakit di kepalanya. Sejak tadi pagi, Anna sudah mengetahui bahwa kondisi tubuhnya sudah kurang baik hari ini, tetapi ia memilih untuk tetap mengabaikannya. Ia tidak ingin pekerjaannya sampai menumpuk hanya karena kondisinya tersebut.
Pukul empat sore, Anna terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Sudah lama sekali Anna tidak merasakan perasaan seperti itu, perasaan bahwa tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan santai seolah-olah beban yang selama ini di tanggungnya telah menghilang. Bahkan sekarang, Anna dapat mendengar Jiwanya mengatakan kepada tubuhnya untuk tetap berbaring dan bersantai terus seperti itu. Waktu Anna menutup kembali bola matanya, ingatan-ingatan mengenai apa yang telah ia lakukan sebelum akhirnya tertidur seketika tergambar dalam jelas di dalam kepalanya, bagai menonton siaran ulang televisi. Mengingat itu membuat Anna mendadak langsung membuka matanya, raut wajahnya mengatakan ketidakpercayaan dan kemaluan yang luar biasa hebat. Hanya mengingat kembali kejadian memalukan itu sudah membuat muka Anna memerah layaknya tomat. Bagaimana mungkin Anna bisa menangis di pelukan pria itu? Anna sangat yakin sekarang bahwa wajahnya yang dingin dan cuek sudah menghila
Anna menundukkan kepalanya, melihat wastafel yang berada persis di depan mukanya. Di dalam kamar mandi yang sunyi, Anna mencoba menenangkan dadanya yang kembang kempis, bersamaan dengan mentalnya yang hampir hancur akibat ingatan mengenai insiden waktu itu kembali ke dalam kepalanya. Bagaimana Anna bisa berpikir bahwa dirinya baik-baik saja? Setelah apa yang telah ia lakukan. Anna melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan Anna dapat melihat bahwa bibir bayangannya mengatakan "Matilah" kepada dirinya. Tidak kuat melihat bayangannya sendiri, Anna menundukkan kepalanya kemudian melihat wastafel berdesain sederhana itu kembali. Foto yang tadi ditunjukkan Xavie kepadanya adalah foto kedua orang tuanya di saat kedua orang tuanya masih bahagia. Benar! Kebahagiaan mereka hancur di tangan Anna sendiri, anak mereka sendiri. Memikirkan semua itu saat ini hampir membuat Anna gila. Rasa-rasanya semua perasaan positif yang terkumpul di dalam dirinya selalu tiga ha
Keesokan harinya Anna memutuskan untuk tidak bekerja selama tiga sampai empat hari. Setelah memikirkan baik-baik semua yang di ucapkan Xavie kepada dirinya, Anna mengetahui itu memang benar adanya. Jika Anna bekerja terlalu keras bahkan ketika ia sakit, mungkin ia akan masuk rumah sakit dan itu akan sangat merugikan perusahaannya. Untuk kali ini saja, Anna akan menuruti permintaan suaminya, Xavie. Pagi itu Anna tidak memimpikan mimpi mengerikan itu, jadinya ia bisa beraktivitas seperti biasa. Karena ia sudah memutuskan untuk bekerja dengan santai saat ia istirahat, Anna menelepon Yuli untuk datang ke apartemennya, menyuruhnya membawa dokumen dan berkas-berkas perusahaan yang tidak sempat ia lihat dan tanda tangani. Suara bel apartemennya terdengar, Anna tebak itu pasti Yuli yang sudah sampai ke rumahnya. Segera Anna berjalan menuju pintu masuk apartemennya kemudian membukanya. Tebakannya benar, Yuli dengan dandanannya yang sederhana tengah b
Ekor mata Anna bergetar, kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit bercat putih membosankan memasuki bidang penglihatan, Anna benar-benar sudah muak melihat langit-langit itu. Setiap bangun dari tidurnya, langit-langit itu selalu mengingatkannya akan mimpi buruknya. Walau mimpi buruknya kala itu tidak memasuki alam mimpinya, tetap saja buruk rasanya mengingat hal menakutkan itu. Kali ini Anna merasakan hal yang nostalgia. Benar, ini sudah kedua kalinya ia pingsan setelah berdebat panjang dengan suaminya mengenai masalah pekerjaannya. Anna tetap keras kepala mengabaikan tubuhnya yang sakit hanya untuk bekerja, tentu saja suaminya mencoba melarangnya tetapi itu saja tak dapat menghentikan Anna. Begitulah kedua kalinya Anna pingsan dan ia tanpa sadar merepotkan orang yang telah mengingatkannya. Itu hampir seperti menjilat ludahnya sendiri dan kelakuannya itu sudah terjadi sebanyak dua kali. Sungguh memalukan rasanya memikirkan hal tersebu
"Malaikat? Tidak! Aku adalah seorang iblis," jawab Xavie, datar. "Tidak mungkin!" Mila kelihatan tidak percaya. "Seingatku, aku adalah orang yang baik. Aku selalu membantu orang-orang tua, ikut gotong royong membersihkan lingkungan, bahkan aku menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Apa kamu tidak salah?" "Salah?" Xavie tampak kebingungan dengan apa yang dikatakan Mila. "Benar, coba periksa kembali catatan kehidupanku! Kamu punya, kan? Pasti ada sebuah kesalahan. Tidak mungkin orang sepertiku masuk neraka," harap Mila kepada Xavie. "Apa kamu pikir aku adalah iblis yang akan menuntunmu masuk ke dalam neraka?" Xavie menghela napas, tidak habis pikir ada orang yang berpendapat sedemikian rupa. "Kamu bilang tadi aku boleh menyebutkan tempat ini adalah surga, bukan? Aku juga ingat bahwa aku sebelumnya terluka parah. Kamu juga mengatakan bahwa kamu adalah iblis. Bukankah semua itu dapat menjelaskan apa yang terjadi padaku sekar
Di taman rumah sakit jiwa, cahaya matahari pagi menerpa kulit Glen Gracias yang saat itu tengah duduk di bangku panjang seorang diri. Angin sepoi-sepoi berembus membuat udara semakin segar. "Hey, apa kalian sudah mendengar berita?" tanya seorang perawat kepada perawat lainnya. "Berita apa?" perawat lain balas bertanya dengan penasaran. "Anna Gracias, CEO Gracias Company telah menikah!" jawab perawat itu. "Memangnya apa yang salah dengan hal itu?" tanya perawat lainnya sedikit aneh. "Kamu lihat pria di sana?" perawat itu menunjuk Glen Gracias yang duduk tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Dia adalah ayah Anna Gracias," ungkap perawat itu kepada perawat lainnya. Tepat di belakang Glen Gracias, kira-kira sepuluh meter jauhnya. Terdapat tiga orang perawat yang sedang berbincang-bincang mengenai pasien di depan mereka. Glen Gracias, pasien yang para perawat itu bicarakan, kelihatannya sam
Anna kembali ke panggung mimpi buruknya, cahaya lingkaran dari lampu sorot menyinari sosoknya yang menyedihkan. Perasaan takut yang familiar menyelimuti dirinya, menyiksa jiwanya yang duduk terpatung tanpa bisa menggerakkan satu pun jarinya. Seolah-olah, kegelapan yang mengitarinya merasa sangat terhibur dengan ketidakberdayaan dan kesengsaraannya. Ketakutan itu membuat Anna menangis tersedu-sedu hingga ingin menjerit namun tak peduli sebanyak apa Anna berusaha, suaranya tak pernah berhasil keluar lewat mulutnya. Ketika Anna meringkuk, menyembunyikan wajah dan pandangannya dari para penonton yang mengitarinya, perasaan hangat mendadak merasuk masuk ke sela-sela kulitnya sampai ke dalam jiwanya. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar sebab rasa dingin dengan segera merayap masuk ke dalam jiwanya, menggantikan perasaan yang hangat. Seorang wanita muncul dari kegelapan lalu menggantungkan dirinya sendiri. Sesaat setelah wanita itu tidak bergerak, mul
Waktu Anna bertanya mengenai apa yang terjadi setelah dirinya pingsan, Yuli memberitahukan informasi yang sangat mengejutkan. Anna sedikit tidak percaya ketika Yuli mengatakan bahwa Xavie datang menjemputnya tepat sesudah dirinya pingsan."Benarkah?" tanya Anna kepada Yuli lumayan keras."Tentu," jawab Yuli sedikit heran dari seberang telepon. "Aku juga sangat terkejut ketika melihat Suami Nona yang sudah menunggu dibalik pintu ruang rapat. Orang seganteng itu belum pernah sekali pun kulihat didepan mataku. Di tambah lagi Suami Nona sangat bersahabat dan perhatian, aku jadi bahagia memikirkan pernikahan Nona."Penjelasan Yuli berhasil membuat Anna tertekan. Bahagia? Sejak bertemu pria itu dihari ulang tahunnya, berbagai masalah berduyun-duyun datang menghampirinya. Penjelasan Yuli juga berhasil membuat pikiran Anna bertanya-tanya tentang bagaimana Xavie bisa masuk ke dalam perusahaannya. Setelah merenung dan tidak berhasil menemukan jawaban, Anna menghembu
Siluet Anna dengan cepat menghilang sebelum Xavie menunjukkan semua kekhawatirannya. Dirinya kembali memandang keluar jendela dengan mimik wajah yang berangsur-angsur pulih ke kondisi semula. Kemunculan Anna yang tiba-tiba sama sekali tidak membuat Xavie mengambil pusing, layaknya sebuah angin lalu. Tidak ada hubungannya dengan dirinya. "Semalam aku mendapatkan mimpi mengenai kehancuran kota ini di masa depan!" Tiba-tiba Xavie angkat bicara di dalam kepalanya. "Mimpi?" tanya Anaemia tidak percaya. "Hmm." "Apa kamu memiliki kemampuan melihat masa depan?" "Tidak!" "Kalau begitu, kenapa kamu terdengar seakan mimpimu akan menjadi kenyataan?" Anaemia tidak habis pikir. "Karena setahun yang lalu aku pernah mendapatkan mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Apa kamu dapat menebaknya?" tantang Xavie dengan nada sedikit kesal. "Saat kita melakukan kontrak," jawab Anaemia percaya diri.