Langit semakin menggelap, tirai malam sebentar lagi akan terbuka. Di tengah ramainya pepohonan pinus, Winda Jiao berlari melewati berbagai rintangan alam demi mengejar Xavie yang berada jauh di depannya.
Sebelum memasuki hutan, Winda selalu bertanya-tanya mengenai alasan dibalik pria itu, Xavie, berlari menuju kedalaman hutan kecil ini. Winda memikirkannya sambil melangkahkan kakinya kencang tetapi sebelum ia mendapatkan jawabannya, hutan telah memberikan jawaban : gemerisik dedaunan, deru sungai kecil yang deras, derik serangga malam, dan kukuk burung hantu di kejauhan.
Suara-suara itu menggema dari segala arah, menciptakan suasana yang sangat mencekam. Sang surya tenggelam, Winda Jiao akhirnya bergidik. Ia dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Jika harus jujur, Winda Jiao merasa malu. Di usianya sekarang, ia masih bisa merasa ketakutan di tempat seperti ini.
Walau begitu, kakinya tetap tidak berhenti. Winda masih melangkah maju, berusaha mengikuti pria itu karena saat ini ia sudah benar-benar dibuat penasaran oleh tujuan pria itu berlari. Jika dipikir-pikir, seharusnya saat ini ia mengejar seseorang yang berada di dalam mobil Audi A5 karena telah ikut berpartisipasi dalam balap liar.
Winda segera mengenyahkan pikiran itu dari dalam kepalanya. Tak lama kemudian, ia melihat Xavie berdiri di depan sebuah gudang besar. Bulan di tutupi awan namun cahayanya sudah lebih dari cukup untuk menerangi penglihatan Winda.
Gudang besar itu terlihat tua. Sebagian besar kayu yang menjadi bagian dari gudang itu telah rapuh termakan waktu. Lubang-lubang dan serangga-serangga telah menjadi bagian dari bangunan itu. Kelihatannya, bangunan itu sudah lama sekali tidak dihuni.
Xavie berdiri di depan pintu besar dari gudang tua itu. Di sini, Xavie dapat merasakan sisa-sisa aura sihir yang sangat gelap sedangkan di balik pintu itu, Xavie sudah dapat menebak hal buruk apa yang ada di dalam sana. Tanpa membuang banyak waktu, Xavie menendang pintu gudang itu cukup keras.
Brak!
Pintu terbuka, cahaya bulan dan bintang menerangi bagian dalam gudang itu. Xavie dengan santainya memasukinya, walau matanya tetap waspada memindai sekitarnya. Dia berhenti setelah lima langkah memasuki bagian dalam gudang itu, matanya menyipit melihat makhluk menjijikkan yang berada tidak jauh dihadapannya.
Ssss....
Makhluk itu berhenti memakan mayat manusia setelah ia merasakan kehadiran Xavie. Dari mulutnya yang lebar dan dipenuhi darah, diisi gigi-gigi tajam yang besarnya tidak beraturan. Sebuah lidah yang tampaknya mirip dengan lidah ular keluar dari mulut itu tepat ketika makhluk itu menoleh ke arah Xavie. Sepertinya, makhluk itu terganggu dengan kehadiran Xavie.
Kedelapan mata merah makhluk itu menatap sosok Xavie lekat-lekat. Keheningan gudang itu terasa menyesakkan, Baik Xavie maupun Makhluk itu belum mengambil satu pun gerakan. Mereka berdua masih mencoba untuk mengukur kekuatan masing-masing musuh yang berada dihadapannya menggunakan insting mereka.
Di belakang Xavie, tepat diarea pintu, Winda Jiao muncul secara tiba-tiba. Napasnya yang terengah-engah menjadi bukti bahwa dirinya telah mengalami kelelahan. Beberapa detik kemudian, pandangannya yang menunduk kini melotot melihat pemandangan di hadapannya.
Awalnya Winda berpikir bahwa ada yang salah dengan mata atau kepalanya begitu melihat makhluk yang berhadapan dengan Xavie. Namun setelah Winda menyadari bahwa makhluk itu bukan khayalan ditambah ia sadar bahwa saat ini ia bukan sedang bermimpi, tanpa Winda sadari, matanya sudah terpaku menatap wujud monster itu sedangkan kakinya terpaku ditanah, tidak bisa bergerak.
"Aaaaaaaahh!" Suara Winda keluar dari dalam mulutnya begitu saja, tanpa perintah atau persetujuannya.
Bola mata berwarna ungu pucat milik Xavie menyipit ke arah belakang. Di sisi lain, monster itu sepertinya mengambil keuntungan dalam situasi mendadak ini. Monster berkulit biru pucat dengan tinggi sekitar dua setengah meter itu berwujud humanoid. Sebuah sayap kelelawar besar terpasang di punggungnya. Sembari membuka mulut dan mengeluarkan lidah ularnya, Monster itu berlari menggunakan kedua tangan dan kakinya yang berotot menuju Xavie.
"Rhongomyniad!" seru Xavie dalam hati.
Titik-titik cahaya bermunculan lalu memadat menjadi sebuah tombak sepanjang dua meter. Tombak itu didominasi warna emas dan sedikit warna merah, satu mata tombaknya memiliki ujung yang runcing berbentuk lingkaran yang awalannya sedikit lebih besar dari batang tombaknya sedangkan mata tombak satunya lagi memiliki bentuk seperti pedang yang kedua sisinya dingin dan tajam.
Kedua tangan Xavie lekas memegang tombak itu, matanya menoleh ke arah monster yang berlari kencang kepadanya. Ketika monster itu sudah berada sangat dekat dengan dirinya, Xavie memutar tubuhnya ke samping untuk menghindari terkaman monster itu sedangkan kedua tangannya memutar rhongomyniad.
Ujung rhongomyniad mengenai lengan monster itu, di tambah dengan seberapa cepatnya monster itu berlari, menyebabkan ujung rhongomyniad berhasil menyayat salah satu lengan monster itu hingga terbelah dua. Monster itu mendesis kemudian membalik badannya. Lengannya yang terbelah dua dengan cepat kembali menyatu dan beregenerasi seakan lengannya tidak pernah terluka. Xavie terlihat tidak terkejut, dirinya tetap tenang dan tidak terganggu.
Sebelum monster itu kembali menyerang, Xavie melangkahkan kaki kirinya ke depan. Posisi tubuh Xavie saat ini mirip posisi seorang atlit lempar lembing, bedanya hanyalah lembingnya telah diganti oleh sebuah tombak. Monster itu kembali menerjang dengan lebih agresif dari pada sebelumnya. Sayap di punggungnya mengepak, menyebabkan kecepatannya meningkat.
Mulut monster itu terbuka lebar, Xavie mengambil napas. Tangan kanannya segera bergerak, melayangkan rhongomyniad ke arah kepala monster itu yang dipenuhi oleh delapan mata berwarna merah. Kegelapan mengakibatkan mata monster itu bersinar redup, menyeramkan.
Krak!
Rhongomyniad melesat dengan cepat menghantam kepala monster itu, menembus tulang tengkoraknya hingga kepalanya berlubang depan belakang. Akibatnya, monster itu terjatuh serta terseret-seret sampai ke hadapan Xavie, tidak lagi dalam kondisi bernyawa.
Darah keluar dari kepala monster yang berlubang. Xavie melirik monster itu sebentar untuk memastikan apakah monster itu masih hidup. Keenam mata monster yang tidak terluka masih bersinar redup tapi telah kehilangan kilatannya. Xavie menoleh ke arah Winda yang masih mematung lalu meninggalkan monster itu.
"Apa kamu akan menghilangkan ingatan gadis itu?" tanya Anaemia, mencoba memastikan.
"Tentu," jawab Xavie sembari berjalan menuju Winda.
Suara langkah kaki Xavie memenuhi gudang tersebut. Meski begitu, pandangan Winda tetap tertuju pada monster mengerikan yang telah terkapar di lantai penuh debu. Matanya melihat seluruh tubuh monster itu, berharap monster itu tidak bangkit. Ketika ia melihat jari-jari monster itu bergerak pelan. Winda ingin berteriak memperingatkan Xavie, namun terlambat. Monster itu bangun lalu langsung melompat ke depan, tepat ke belakang Xavie.
Xavie terkejut, ia tidak menyangka monster itu masih hidup setelah kepalanya hancur. Tanpa sempat membuat pertahanan, lengan berotot milik monster itu menampar bagian samping tubuh Xavie. Tenaga yang dikerahkan monster itu cukup besar, cukup untuk mencampakkan Xavie hingga melubangi dinding kayu gudang tersebut.
Monster itu mendesis cukup keras, seakan ia sedang memproklamirkan kemenangannya. Mendengar itu, Winda refleks melangkahkan satu kakinya ke belakang. Gerakan Winda yang tanpa di sadarinya itu menghasilkan suara pelan, memancing monster itu untuk melihat ke arahnya. Lubang di kepala monster itu sudah kembali tertutup seperti sedia kala. Kedelapan mata merahnya menatap sosok Winda yang ketakutan.
Winda menelan ludahnya lalu sadar bahwa di situasi berbahaya seperti ini, ia harus berlari untuk menyelamatkan nyawanya. Walau mengetahui hal itu kaki ataupun tubuhnya tetap membatu, tidak mematuhi pikirannya yang memerintahkannya untuk segera melarikan diri.
Lantai di bawah kaki dan tangan monster itu retak. Winda masih belum bisa menggerakkan tubuhnya ketika monster itu menerjang bagai singa ke hadapannya. Keringat dingin di samping dahinya segera meluncur melewati pipinya kemudian terjun bebas ke bawah.
Gerakan monster itu masih belum berhenti tetapi Winda dapat merasakan bahwa dunia di sekitarnya melambat. Apakah ini yang dirasakan oleh seseorang di medan tempur sebelum nyawanya melayang? Winda bertanya-tanya dalam hatinya yang sudah pasrah menerima kematiannya.
Satu tetesan keringat Winda akhirnya menyentuh lantai. Di saat yang bersamaan, sebuah tombak berwarna emas tiba-tiba menusuk lengan monster itu hingga tertembus. Mengakibatkan monster itu berhenti lalu mendesis ke arah dinding gudang yang berlubang akibat ia mencampakkan Xavie.
"Kamu rupanya bukan night creature biasa." Dari dinding gudang yang berlubang itu, sebuah siluet pria muncul. Sedikit demi sedikit siluet itu tampak semakin jelas dan jelas.
Melihat itu, Winda berharap dan berdoa dalam hati. Semoga orang itu bisa menyelamatkan dirinya dari situasi supranatural yang terjadi padanya saat ini. Akhirnya, bayangan pria itu menunjukkan sosok Xavie yang berantakan serta acak-acakan. Meski begitu, ada sedikit kelegaan pada perasaannya.
Pakaian yang di kenakan Xavie robek dan kotor. Sesetes darah berhasil melewati ujung bibirnya sedangkan di kedua lubang hidungnya, darah telah mengalir deras. Debu-debu di sekitarnya terlihat seperti asap yang membuat sosok pria itu semakin misterius.
"Monster yang merepotkan!"
Monster itu membalas ucapan Xavie dengan menarik rhongomyniad dari tangannya yang terluka lalu membantingnya. Xavie mengulurkan tangan kanannya, tombak emas yang telah dibanting monster itu melayang cepat ke arahnya. Tangan kanannya sigap mengambil rhongomyniad kemudian dengan tombak itu, Xavie menunjuk monster itu, seolah menantangnya.
"Butuh berapa potong agar kamu berhenti beregenerasi?" tanya Xavie sinis, pandangannya mengarah sebentar ke arah Winda sebelum kembali ke monster itu.
Ejekan-ejekan yang diberikan Xavie kelihatannya berhasil menyebabkan monster itu marah. Sekarang monster itu telah terfokus kepada Xavie, melupakan Winda yang sudah mendapatkan kendali tubuhnya.
Setelah melewati sedikit keheningan, monster itu menerjang ke arah Xavie yang diam menantangnya.
"Butuh berapa potong agar kamu berhenti beregenerasi?" tanya Xavie sinis, pandangannya mengarah sebentar ke arah Winda sebelum kembali ke monster itu. Ejekan-ejekan yang diberikan Xavie kelihatannya berhasil menyebabkan monster itu marah. Sekarang monster itu telah terfokus kepada Xavie, melupakan Winda yang sudah mendapatkan kendali tubuhnya. Setelah melewati sedikit keheningan, monster itu menerjang ke arah Xavie yang diam menantangnya. Di sisi lain, Winda langsung melangkahkan kakinya terbirit-birit meninggalkan Xavie bersama dengan monster itu. Bagi Winda saat ini, nyawanya adalah yang paling utama. Setelah keluar dan berlari cukup jauh dari gudang itu, ia bisa melaporkan kejadian itu kepada atasannya. Itulah yang Winda rencanakan pada waktu itu. Kembali kepada Xavie. Baik tatapan mata atau pun raut wajahnya, tidak ada yang berubah ketika melihat Winda meninggalkannya. Ia fokus memindai seluruh tubuh monster yang dengan cepatnya bergerak
Sosok penyihir yang menggunakan sapu terbang itu lekas turun begitu mengetahui Xavie telah menyadari keberadaannya. Di sisi lain, Xavie mewaspadai sosok penyihir yang dengan kencangnya terbang dan menghampirinya."Akar sihir tipe angin," pikir Xavie."Pakai! Orang aneh." Penyihir itu melemparkan jubahnya, Xavie dengan santainya menutupi tubuh telanjangnya. Kewaspadaannya telah hilang begitu melihat hal yang dilakukan dan mendengar suara penyihir itu.Penyihir itu adalah seorang wanita, ia langsung melirik Xavie yang telah selesai menutupi tubuhnya dengan jubah miliknya. Rhongomyniad di tangan Xavie sudah menghilang sebelum penyihir itu melihat dirinya. Kurang lebih, Xavie paham dengan situasinya sekarang."Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, apakah kamu penyihir dari luar kota?" tanya penyihir itu."Ya," jawab Xavie singkat.Ketika Xavie dan penyihir itu saling berbicara, monster itu mengambil kesempatan deng
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam dan sekarang ketiga penyihir itu sudah selesai menyelidiki area pertempuran di dalam maupun di luar gudang tua itu. Tidak banyak informasi yang mereka peroleh namun ketiga penyihir itu tetap harus melaporkannya ke markas Asosiasi Penyihir Ivasaar. Markas Asosiasi Penyihir Ivasaar berada di kawasan sepi layaknya sebuah hutan namun dengan beberapa bangunan perumahan yang masih cukup berjarak. Pada umumnya orang yang tinggal di kawasan itu adalah penyihir sama seperti mereka bertiga. Butuh waktu sebanyak dua puluh menit untuk sampai bila menggunakan mobil dengan kecepatan rata-rata dan itulah yang mereka kendarai hingga sampai di sebuah bangunan perkantoran. Bangunan perkantoran itu terlihat sederhana, tidak mencurigakan. Seseorang tidak akan pernah menyangka bahwa tempat seperti itu adalah sebuah markas dari para penyihir yang ada di kota ini. Suasana hening saat memasuki bangunan itu sudah biasa mereka rasakan t
Ruangan itu lenggang, suara jarum jam dinding menyesak diantara mereka. Dengan meja kecil sebagai pembatas, Xavie dan Anna duduk di sebuah sofa saling berhadapan. Wajah Anna yang datar menatap Xavie dengan tajam, tampak sedang memperhitungkan sesuatu. "Jadi, kamu merusak mobilku hanya dalam sehari?" sindir Anna, tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ketika ia pulang ke apartemennya, ia mendapati satu mobilnya sudah hancur. Kini Anna mulai menimbang kembali, apakah menikah dengan Xavie adalah sebuah kesalahan? "Ya." Xavie tersenyum canggung. Ia sudah menjelaskan persoalan remaja yang menabrak mobilnya tapi kelihatannya alasan itu tidak dapat diterima Anna. Wajah dan tatapan Anna semakin merendahkan dan semakin tajam menatap Xavie yang sedang menjelaskan. Seharusnya Xavie membuat alasan yang lebih bagus lagi. "Lupakan!" Anna mendesah. "Masalah mobil itu, nanti akan kita bahas. Sebentar lagi temanku akan datang berkunjung untuk melihatmu."
Anna segera menyambut kedatangan Amara dan anaknya, Sean. Seorang remaja berumur lima belas tahun yang selalu mencari masalah dengan orang disekitarnya. Tak lama, mereka bertiga memasuki ruang tamu dan duduk di sofa saling berhadapan. Amara dan Sean duduk bersebelahan sedangkan Anna duduk berhadapan dengan mereka berdua. Sembari berbincang ringan dengan Amara, Anna sesekali melirik Sean yang diam sejak mengucapkan selamat kepada Anna atas pernikahannya. Di wajah remaja itu terdapat sebuah kekesalan dan kebosanan. Anna tebak, Sean pasti dipaksa oleh ibunya untuk mampir ke apartemennya. "Jadi, dimana suamimu? Kamu tidak menyembunyikannya, kan." Amara sudah tak lagi dapat menahan rasa penasarannya. Jawaban atas pertanyaannya barusanlah yang menjadi alasan kenapa Amara mendatangi kediaman Anna walau sudah larut malam. Anna tersenyum sebagai jawaban, kepala Amara menoleh ke arah suara langkah kaki. Sean mengikuti ibunya, mungkin ia juga penasaran dengan iden
Pintu depan mobil camaro itu terbuka, siluet pria keluar dari dalam mobil itu di saat yang bersamaan ketika Xavie menutup pintu, menghalangi penglihatan Anna yang terfokus melihat seseorang yang baru saja keluar dari dalam mobil. Baru saja Xavie berbalik tetapi suara Anna yang terdengar sangat memerintah sekejap memasuki pendengarannya. "Buka pintunya!" Xavie melirik Anna sejenak, merasakan perubahan pada suara begitu juga raut wajah istrinya. Suara langkah kaki dari balik pintu tiba-tiba tertangkap oleh telingannya, Xavie segera menyadari bahwa perubahan Anna berasal dari seseorang yang ada di seberang pintu ini. Pintu kembali terbuka, Andre Blanchet sudah berdiri tepat di depan pintu, bersiap menekan bel namun terhenti setelah melihat pintu terbuka dan Xavie yang sekarang berada di depan dirinya. Kedua pria itu saling tatap sebelum akhirnya tersenyum ramah, mencairkan udara dingin menusuk yang menerpa daerah tersebut.
Malam itu sedikit berawan dengan beberapa bintang bersinar menghias tirai angkasa. Sebuah mobil camaro berwarna hitam melesat menuju jalan utama yang ada diperkotaan Kota Ivasaar. Gedung-gedung tinggi bercahaya dan tiang-tiang lampu yang terpasang di jalanan membuat suasana malam kota itu tampak tak ada bedanya dengan siang hati.Saat ini jalanan di perkotaan masih terbilang cukup ramai dengan kendaraan roda empat yang sibuk berlalu lalang, mencoba melewati kendaraan lain yang berada di hadapannya.Di tengah itu semua Andre Blanchet mengemudikan mobil camaro-nya dengan santai dan tenang. Di saat ada mobil memotong jalannya, dia tetap santai. Di saat mobil melewatinya, dia tetap santai. Di saat orang-orang di belakangnya mengomel kepada dirinya karena mobilnya melaju terlalu santai, dia tetap santai.Tidak ada yang bisa mengganggu suasana hatinya saat ini. Senyum tipis sedari tadi tidak pernah menghilang dari wajahnya.Saat rambu la
Mimpi buruk Anna selalu diawali dengan keberadaannya disebuah ruangan gelap gulita. Seberkah cahaya remang-remang menyoroti dirinya layaknya seseorang di pentas pertunjukan. Gadis kecil itu merasa takut, tapi tidak tahu takut kepada apa atau siapa. Ketakutan itu membuatnya meringkuk, menangis, dan memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan. Anna ingin sekali berteriak minta tolong, tapi tidak bisa. Dia tidak dapat menggerakkan mulutnya untuk bersuara. Dia juga tidak bisa berdiri dan berlari keluar dari lingkaran cahaya. Ada sesuatu yang membuatnya terpaku di tempat dan tidak bisa kemana-mana. Seraya menutup mata dan menyembunyikan wajah. Kehangatan tiba-tiba datang menghampiri dirinya. Ketika Anna sadar, seorang perempuan yang sangat mirip dengan dirinya tengah memeluknya erat. Pelukan itu terasa sangat nyaman. Anna lekas memeluk perempuan itu, tetapi ketika kedua tangan Anna berhasil melingkari pinggang perempuan itu, Anna merasakan cairan hangat membas
Pukul empat sore, Anna terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Sudah lama sekali Anna tidak merasakan perasaan seperti itu, perasaan bahwa tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan santai seolah-olah beban yang selama ini di tanggungnya telah menghilang. Bahkan sekarang, Anna dapat mendengar Jiwanya mengatakan kepada tubuhnya untuk tetap berbaring dan bersantai terus seperti itu. Waktu Anna menutup kembali bola matanya, ingatan-ingatan mengenai apa yang telah ia lakukan sebelum akhirnya tertidur seketika tergambar dalam jelas di dalam kepalanya, bagai menonton siaran ulang televisi. Mengingat itu membuat Anna mendadak langsung membuka matanya, raut wajahnya mengatakan ketidakpercayaan dan kemaluan yang luar biasa hebat. Hanya mengingat kembali kejadian memalukan itu sudah membuat muka Anna memerah layaknya tomat. Bagaimana mungkin Anna bisa menangis di pelukan pria itu? Anna sangat yakin sekarang bahwa wajahnya yang dingin dan cuek sudah menghila
Anna menundukkan kepalanya, melihat wastafel yang berada persis di depan mukanya. Di dalam kamar mandi yang sunyi, Anna mencoba menenangkan dadanya yang kembang kempis, bersamaan dengan mentalnya yang hampir hancur akibat ingatan mengenai insiden waktu itu kembali ke dalam kepalanya. Bagaimana Anna bisa berpikir bahwa dirinya baik-baik saja? Setelah apa yang telah ia lakukan. Anna melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan Anna dapat melihat bahwa bibir bayangannya mengatakan "Matilah" kepada dirinya. Tidak kuat melihat bayangannya sendiri, Anna menundukkan kepalanya kemudian melihat wastafel berdesain sederhana itu kembali. Foto yang tadi ditunjukkan Xavie kepadanya adalah foto kedua orang tuanya di saat kedua orang tuanya masih bahagia. Benar! Kebahagiaan mereka hancur di tangan Anna sendiri, anak mereka sendiri. Memikirkan semua itu saat ini hampir membuat Anna gila. Rasa-rasanya semua perasaan positif yang terkumpul di dalam dirinya selalu tiga ha
Keesokan harinya Anna memutuskan untuk tidak bekerja selama tiga sampai empat hari. Setelah memikirkan baik-baik semua yang di ucapkan Xavie kepada dirinya, Anna mengetahui itu memang benar adanya. Jika Anna bekerja terlalu keras bahkan ketika ia sakit, mungkin ia akan masuk rumah sakit dan itu akan sangat merugikan perusahaannya. Untuk kali ini saja, Anna akan menuruti permintaan suaminya, Xavie. Pagi itu Anna tidak memimpikan mimpi mengerikan itu, jadinya ia bisa beraktivitas seperti biasa. Karena ia sudah memutuskan untuk bekerja dengan santai saat ia istirahat, Anna menelepon Yuli untuk datang ke apartemennya, menyuruhnya membawa dokumen dan berkas-berkas perusahaan yang tidak sempat ia lihat dan tanda tangani. Suara bel apartemennya terdengar, Anna tebak itu pasti Yuli yang sudah sampai ke rumahnya. Segera Anna berjalan menuju pintu masuk apartemennya kemudian membukanya. Tebakannya benar, Yuli dengan dandanannya yang sederhana tengah b
Ekor mata Anna bergetar, kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit bercat putih membosankan memasuki bidang penglihatan, Anna benar-benar sudah muak melihat langit-langit itu. Setiap bangun dari tidurnya, langit-langit itu selalu mengingatkannya akan mimpi buruknya. Walau mimpi buruknya kala itu tidak memasuki alam mimpinya, tetap saja buruk rasanya mengingat hal menakutkan itu. Kali ini Anna merasakan hal yang nostalgia. Benar, ini sudah kedua kalinya ia pingsan setelah berdebat panjang dengan suaminya mengenai masalah pekerjaannya. Anna tetap keras kepala mengabaikan tubuhnya yang sakit hanya untuk bekerja, tentu saja suaminya mencoba melarangnya tetapi itu saja tak dapat menghentikan Anna. Begitulah kedua kalinya Anna pingsan dan ia tanpa sadar merepotkan orang yang telah mengingatkannya. Itu hampir seperti menjilat ludahnya sendiri dan kelakuannya itu sudah terjadi sebanyak dua kali. Sungguh memalukan rasanya memikirkan hal tersebu
"Malaikat? Tidak! Aku adalah seorang iblis," jawab Xavie, datar. "Tidak mungkin!" Mila kelihatan tidak percaya. "Seingatku, aku adalah orang yang baik. Aku selalu membantu orang-orang tua, ikut gotong royong membersihkan lingkungan, bahkan aku menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Apa kamu tidak salah?" "Salah?" Xavie tampak kebingungan dengan apa yang dikatakan Mila. "Benar, coba periksa kembali catatan kehidupanku! Kamu punya, kan? Pasti ada sebuah kesalahan. Tidak mungkin orang sepertiku masuk neraka," harap Mila kepada Xavie. "Apa kamu pikir aku adalah iblis yang akan menuntunmu masuk ke dalam neraka?" Xavie menghela napas, tidak habis pikir ada orang yang berpendapat sedemikian rupa. "Kamu bilang tadi aku boleh menyebutkan tempat ini adalah surga, bukan? Aku juga ingat bahwa aku sebelumnya terluka parah. Kamu juga mengatakan bahwa kamu adalah iblis. Bukankah semua itu dapat menjelaskan apa yang terjadi padaku sekar
Di taman rumah sakit jiwa, cahaya matahari pagi menerpa kulit Glen Gracias yang saat itu tengah duduk di bangku panjang seorang diri. Angin sepoi-sepoi berembus membuat udara semakin segar. "Hey, apa kalian sudah mendengar berita?" tanya seorang perawat kepada perawat lainnya. "Berita apa?" perawat lain balas bertanya dengan penasaran. "Anna Gracias, CEO Gracias Company telah menikah!" jawab perawat itu. "Memangnya apa yang salah dengan hal itu?" tanya perawat lainnya sedikit aneh. "Kamu lihat pria di sana?" perawat itu menunjuk Glen Gracias yang duduk tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Dia adalah ayah Anna Gracias," ungkap perawat itu kepada perawat lainnya. Tepat di belakang Glen Gracias, kira-kira sepuluh meter jauhnya. Terdapat tiga orang perawat yang sedang berbincang-bincang mengenai pasien di depan mereka. Glen Gracias, pasien yang para perawat itu bicarakan, kelihatannya sam
Anna kembali ke panggung mimpi buruknya, cahaya lingkaran dari lampu sorot menyinari sosoknya yang menyedihkan. Perasaan takut yang familiar menyelimuti dirinya, menyiksa jiwanya yang duduk terpatung tanpa bisa menggerakkan satu pun jarinya. Seolah-olah, kegelapan yang mengitarinya merasa sangat terhibur dengan ketidakberdayaan dan kesengsaraannya. Ketakutan itu membuat Anna menangis tersedu-sedu hingga ingin menjerit namun tak peduli sebanyak apa Anna berusaha, suaranya tak pernah berhasil keluar lewat mulutnya. Ketika Anna meringkuk, menyembunyikan wajah dan pandangannya dari para penonton yang mengitarinya, perasaan hangat mendadak merasuk masuk ke sela-sela kulitnya sampai ke dalam jiwanya. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar sebab rasa dingin dengan segera merayap masuk ke dalam jiwanya, menggantikan perasaan yang hangat. Seorang wanita muncul dari kegelapan lalu menggantungkan dirinya sendiri. Sesaat setelah wanita itu tidak bergerak, mul
Waktu Anna bertanya mengenai apa yang terjadi setelah dirinya pingsan, Yuli memberitahukan informasi yang sangat mengejutkan. Anna sedikit tidak percaya ketika Yuli mengatakan bahwa Xavie datang menjemputnya tepat sesudah dirinya pingsan."Benarkah?" tanya Anna kepada Yuli lumayan keras."Tentu," jawab Yuli sedikit heran dari seberang telepon. "Aku juga sangat terkejut ketika melihat Suami Nona yang sudah menunggu dibalik pintu ruang rapat. Orang seganteng itu belum pernah sekali pun kulihat didepan mataku. Di tambah lagi Suami Nona sangat bersahabat dan perhatian, aku jadi bahagia memikirkan pernikahan Nona."Penjelasan Yuli berhasil membuat Anna tertekan. Bahagia? Sejak bertemu pria itu dihari ulang tahunnya, berbagai masalah berduyun-duyun datang menghampirinya. Penjelasan Yuli juga berhasil membuat pikiran Anna bertanya-tanya tentang bagaimana Xavie bisa masuk ke dalam perusahaannya. Setelah merenung dan tidak berhasil menemukan jawaban, Anna menghembu
Siluet Anna dengan cepat menghilang sebelum Xavie menunjukkan semua kekhawatirannya. Dirinya kembali memandang keluar jendela dengan mimik wajah yang berangsur-angsur pulih ke kondisi semula. Kemunculan Anna yang tiba-tiba sama sekali tidak membuat Xavie mengambil pusing, layaknya sebuah angin lalu. Tidak ada hubungannya dengan dirinya. "Semalam aku mendapatkan mimpi mengenai kehancuran kota ini di masa depan!" Tiba-tiba Xavie angkat bicara di dalam kepalanya. "Mimpi?" tanya Anaemia tidak percaya. "Hmm." "Apa kamu memiliki kemampuan melihat masa depan?" "Tidak!" "Kalau begitu, kenapa kamu terdengar seakan mimpimu akan menjadi kenyataan?" Anaemia tidak habis pikir. "Karena setahun yang lalu aku pernah mendapatkan mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Apa kamu dapat menebaknya?" tantang Xavie dengan nada sedikit kesal. "Saat kita melakukan kontrak," jawab Anaemia percaya diri.