5 menit kemudian. Aku sudah berada di ruang direktur. Dengan tangan sedikit gemetar, aku menaruh kopi itu di atas meja kerja direktur.
"Kopinya, Pak," ucapku sambil menarik tanganku dari meja kerja itu. Sempat bingung harus kembali ke meja kerjaku apa menunggu laki-laki itu bicara sama aku. Dalam kebingungan seperti itu. Tiba-tiba,
"Bisa kamu jelaskan, kenapa kamu bisa main peluk-pelukan dengan Dattan di ruang pantry?" suaranya membuat aku susah menelan ludah.
"I-itu, hanya -,
"Jawab yang benar, Move!" teriaknya membuatku terkejut bukan main. Sebegitu berpengaruhkah kejadian tadi sampai membuat dia semarah itu? aku memberanikan diri menatap matanya. Ada kemarahan yang luar biasa di sana. Kemarahan yang lebih berkesan cemburu. Apa iya dia cemburu?
"Apa yang kamu lihat, cepat jelaskan!" sekali lagi aku terkejut. Kutarik mukaku kebelakang.
"Saya sama Dattan,
"Sebegitu dekatnya kamu sama dia, sampai kamu terbiasa memanggilnya tanpa sebutan formal! Ingat, dia adalah manager HRD!" Lagi-lagi aku menelan ludahku dengan susah payah mendengar ucapannya menyambar kata-kataku.
"Saya sama Pak Dattan, tidak terjadi apa-apa, Pak. Dia hanya bersimpati atas kejadian yang menimpa saya." aku menjelaskan dengan susah payah.
"Mau tebar pesona terus kamu sama laki-laki?" Mataku membulat mendengar kalimat terakhirnya.
*******
Dengan lunglai aku menaiki tangga tempat kostku. Capek ... banget rasanya.Pikiranku terus berputar-putar tiada henti. Rasa cemas dan takut mengelilingi otakku.
"Kalau sampai tidak bisa membuktikan bahwa aku tidak bersalah, aku pasti dipecat dan mengganti rugi uang perusahaan." gumamku dalam hati. Kepalaku berdenyut-denyut sakit.Belum ketemu solusi dan jalan keluarnya.Sambil melepas sepatu kutaruh tas kerjaku, rasanya pengen cepat tidur saja. Biar penat di kepalaku hilang.
Tanpa beranjak dari sofa aku membaringkan badanku. Aku terlelap beberapa saat. Terhenyak kaget ketika tiba-tiba kudengar pintu kamar kostku diketuk.
"Tok, tok, tok." suaranya lembut.Masih belum tersadar juga, sesaat mataku mengerjap.
"Tok ..." terdengar kembali ketukan itu. "Aku datang," jawabku tergesa menghampiri pintu dan membukanya.
Aku tertegun melihat sosok di depanku. Seolah tidak percaya dengan penglihatanku. Keterdiamanku membuat sosok itu bereaksi.
"Saya boleh masuk, tidak? Kok dari tadi tidak dipersilahkan masuk?" ucapnya membuyarkan semua keterdiamanku. Kembali aku menatapnya. Banyak sekali saat ini yang ada dipikiranku.
"Oh maaf, silahkan masuk," ucapku sambari memberi jalan masuk pada sosok yang sudah tak asing itu. "Bapak mau minum apa?" tanyaku dengan perasaan tak karuan. Entah setan apa yang bisa membuat manusia arogant ini sampe di tempat kostku. Apa mau membahas kasus yang sedang terjadi di perusahaan tadi? "Sial!" hatiku merutuk kesal.
Dia adalah Ray Dinata, direktur perusahaan yang angkuhnya minta ampun. Sampai detik inipun aku juga tidak mengerti angin apa yang membawanya datang ketempat kostku. Aku memperhatikan sosok yang duduk di di sofa tempatku berbaring tadi. Dengan perasaan yang masih penasaran aku tuang air putih ke dalam gelas.
"Airnya sudah penuh!" ucapnya dari belakang badanku. Aku kaget sekaligus gugup ketika kusadari sosok itu sudah berdiri begitu dekat di belakangku.
"Eh, i- iya, Pak!" ucapku gugup dan mencoba menetralisir keadaan. Tapi tiba-tiba dia membalikkan badanku dan menekanku kemeja.
"Maaf, Pak-k! Apa yang Bapak lakukan?" Sumpah aku gemetaran, gugup tidak bisa mengontrol jantungku. Tidak mungkin aku secepat ini punya perasaan sama dia ( orang yang begitu arogant), apalagi dia bosku sendiri, yang galaknya minta ampun. Tapi ada hal yang baru aku sadari, ternyata aku begitu nyaman diperlakukan seperti ini, seolah-olah ini sudah sering aku rasakan setiap hari. Aku merasa begitu dekat dan begitu mengenalnya.
"Kenapa, kamu gugup?" tanyanya sambil tersenyum puas dan menatapku dalam. Aku membuang muka, menghindari tatapannya yang tajam menghujam. Seolah-olah ingin menembus ke relung hatiku.
"Ti-tidak, Pak!" jawabku berusaha melepaskan diri tapi tiba-tiba dia mencengkram pundakku. Aku meringis menahan sakit. Terlihat jelas dia meradang. Ada amarah yang hebat jelas terlihat dari air mukanya. Hatiku menciut. Menelan ludah perlahan.
"Apa yang mau dia lakukan?" gumamku lirih. Keringat dingin mulai mengembun di keningku. Telapak tanganku mulai basah. Tapi laki-laki itu tetap tenang dengan sikapnya. Semakin mendekatkan mukanyakea arah wajahku bahkan meraih mukaku dan menatapku begitu dekat. "
"Sebenarnya, Bapak ada perlu apa datang ke tempat, Saya?" Dengan mulut gemetar aku bertanya. Kuberanikan menatap matanya. Mata itu tajam tapi berwibawa. Sangat tenang tapi tegas. Wajahnya mempesona dan memikat. Membuat jantungku berdetak bebas dan netral.
Aku mati kutu , sudah tidak bisa menghindar lagi ketika tiba-tiba bibir itu mengecup bibirku dan melumatnya lembut dengan mata terpejam. Terkejut tapi tak bisa berbuat apa-apa. Semakin dalam aku rasakan lumatan bibirnya dan akhirnya aku mulai terbawa dengan suasana itu. Aku membalas lumatan bibir itu dengan mata terpejam. Sungguh tak menyangka reaksi manusia arogant ini, menyadari ciumannya terbalas, dia semakin menjadi. Menekan kepalaku agar bibirku tidak bisa lepas dari lumatannya.
Kurasakan lidahnya yang panas semakin dalam mempermainkan lidahku. Nafas kamisemakinm memburu. Aku lupa siapa diriku. Kunikmati cumbuan itu. Semakin dalam semakin menjadi, seolah-olah setiap sentuhannya adalah sentuhan Farhan, laki-laki yang 6 tahun menjadi kekasih virtualku.
"Ahhh," aku meringis merasakan pedihdib bibirku. Dia menyeka bibirku. Di sudut bibir kananku, kurasakan pedih. Ada darah yang keluar karena gigitannya. Dia kembali mengecup bibirku dan menghisapnya. Aku melenguh sambil memejamkan mata.
"Lagi ...?" bisiknya lembut.Ku buka mataku dan menatapnya dengan sendu. Kulihat senyum di bibirnya. Wajah lembutnya menatapku seolah-olah dia begitu sangat mencintaiku.
Dengan lembut dia membelai wajahku, menyentuh bibirku. Sebenarnya ini ada apa? Kenapa tiba-tiba ada kejadian seperti ini?
Hubungan kami sudah tidak wajar. Aku merasa ada yang aneh dengan laki- laki ini. Kenapa seolah- olah dia sudah begitu sangat mengenalku? Bahkan tak sejengkalpun merasa bahwa aku adalah bawahannya?
Wajah yang begitu dingin dan arogant itu, sekrang berubah menjadi wajah yang begitu tampan lembut dan teduh. Menatapku dan membelaiku setiap jengkal kulitku. Aku semakin menikmati setiap sentuhannya. Sesekali bibir itu menyentuh bibirku. Tidak munafik sosok ini begitu mirip dengan sosok Farhan. Setiap kecupannya dan sentuhannya, sama persis dengan Farhan.
"Jangan bahas apa -apa, aku hanya ingin bermesraan dengan kamu malam ini ..." ucapnya lembut di telingaku sambil menjilat belakang telingaku dengan lidahnya yang panas.Akum melenguh.
"Akh..." Terdengar suara erangan dari bibirku.
Dia semakin menjadi. Aku semakin terbuai. Semakin kutekan kepalanya kedadaku. Aku mengelinjang.
Terdengar desahan dari bibirku. Kupejamkn mata, kunikmati setiap sentuhannya. Dan kudengar desahannya yang begitu panjang.
"Akh ...!" Erangnnya panjang menuntaskan sesuatu yang dari tadi menggebu. Aku menjerit sambil menggigit bibirnya kuat kuat.
"I love you sayang," bisiknya lembut mengecup bibirku. Ucapan ini tidak asing lagi. Sering aku dengar kalau Farhan mengakhiri teriakannya. Kenapa semua sama?
Aku terkulai dalam pelukannya. Jari-jari kokohnya menelusup disetiap helai rambutku. Membelainya dan sesekali mengusap-usap penuh kasih sayang.
Rasanya begitu nyaman ada dalam pelukannya. Dadanya yang bidang mampu memberikan perlindungan yang selama ini aku impikan.
"Hari sudah larut, sebaiknya bersiap untuk pulang." bisikku. Tanpa reaksi, laki- laki itu semakin mengeratkan pelukannya. Memberikan kecupan lembut di keningku. Tangannya mengusap punggungku yang telanjang.
Kalau boleh jujur, kejadian yang tiba-tiba ini diluar kendaliku. Aku lupa siapa diriku. Dan anehnya begitu mudahnya aku jatuh ke pelukannya. Aku begitu sangat menikmati setiap sentuhan yang dia berikan. Sentuhan yang sama aku rasaksn ketika Farhan masih bersamaku.
"Merasa bingung, kenapa tiba-tiba kita bisa melakukan ini?" suaranya memecah kesunyian. Kutengadahkan mukaku. Terlihat begitu tenang sikap itu.
"Suatu saat kamu akan menemukan jawabannya." lanjutnya tanpa meminta jawaban dariku. Kembali dia memberikan kecupan lembut di keningku. Diraihnya tubuhku. Dipeluknya erat-erat seakan-akan takut kehilanganku.
Semakin berkecamuk pikiranku. Sampai detik ini tidak paham sama sekali apa yang terjadi. Rasanya mengalir begitu saja. Tapi jauhdid dalam hatiku aku sudah menempatkan namanya.
Bukan sebagai pelampiasan kesakitanku terhadap Farhan tapi sebagai pahlawan yang mampu mengobati hancur leburnya perasaanku.
BERSAMBUNG
Up
Tanpa kusadari tatapan teduh itu sudah dari tadi menatapku.Aku membalas tatapanya ,kulihat dibibirnya ada senyum bahagia. "Selamat Pagi," sapanya sambil mengecup keningku. Kupejamkan mata meresapi kasih sayangnya. Entah bermula dari mana, peristiwa semalam bisa terjadi. Tanpa komitmen apapun, aku dan dia melakukannya. Bahkan kami begitu menikmatinya. Apakah aku ini gampangan dan kelihatan murahan? Aku menggelengkan kepala berkali-kali. "Selamat Pagi," sambil memeluknya aku membalas sapaannya. Kudekap badan kekarnya. Rasanya nyaman sekali. Aku tidak bisa membayangkan kalau rasa bahagia ini tiba-tiba menghilang. "Aku sudah bikin sarapan," bisiknya lembut di telingaku. Semakin aku mengeratkan pelukanku. Masih kurasakan sisa-sisa semalam. Rasanya begitu indah. Bahkan laki-laki ini tidak canggung memperlakukan aku. Seolah-olah dia sudah sangat mengenalku. Dan kami seakan-akan sudah lama menjalin hubungan ini. Ingin bertanya yang sebenar-benarny
Kuperhatikan dengan seksama orang-orang yang sangat ku kenal itu. "Oh ternyata, ini jawaban dari semua. Meski belum semua terkuak." Aku menghela nafas kecewa. "Feronika!" Aku baru paham kalau ternyata dia mengenal dengan baik siapa Dattan sergio sesha. Bahkan begitu dekat dengan sosok yang baru semalam begitu dekat denganku. Aku tak menyangka kalau mereka bertiga saling mengenal. Ternyata kehadiran Feronika di perusahaan ini memang sudah diskenario. Motifnya apa? Kenapa harus aku yang mereka jadikan korban konspirasi mereka? Alangkah jahatnya! Benar-benar aku tidak menyangka Ray bisa melakukan ini sama aku. Hatiku bergemuruh menahan rasa marah dan kecewa tapi tatapanku masih lurus ke depan, dimana orang-orang itu masih terlibat pembicaraan serius. Aku benar- benar tidak percaya dengan semua ini. Bahkan Dattan, orang yang kukenal bertahun-tahun baik dan ramah juga perduli, kenapa setega itu dibelakang aku? Dengan berbagai pe
Sepasang mata itu mengawasi pembicaraan kami. Antara aku dan manager HRD. Saking seriusnya, kami tidak menyadari dari tadi ada sepasang mata itu mungkin sudah mendengar semua yang sedang kami bicarakan. Dattan merangkulku dengan senyum lebar. Sitampan yang ramah. Selalu ceria. Bahkan aku tak begitu memperdulikan dia sudah punya kekasih. Kedekatan kami sudah terjalin 6 tahun yang lalu.jauh sebelum dia mempunyai pasangan. Mungkin dia lah satu satunya manusia yang tidak sedikitpun menghiraukan status aku. Tak pernah sekalipun dia merasa malu kalau sedang berjalan denganku. Tak sedikit yang bilang kami serasi. Bahkan banyak karyawan yang selalu bilang aku terlalu beruntung dekat dengan dia. Sempat ada yang bilang kami pacaran diam-diam. Karena Dattan begitu perhatian sama aku. Entah apa yang membuat Dattan begitu nyaman berteman denganku. Sampai detik ini aku tak sekali pun ada niat menanyakannya. Masih sambil merangkul pundakku kami melewat
Sudah hampir telat satu jam, tapi belum datang juga dia. Aku gelisah. Berkali-kali kutengok jam tanganku.kulihat berkali-kali ponsel yang ada ditanganku. Sudah puluhan kali aku telponin tapi nggak diangkat. Tiba tiba ada perasaan bersalah mengingat kejadian kemarin. Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa aku keluar gedung menuju rumahnya. Setengah jam kemudian aku sudah di deoah rumahnya. Ku bunyikan bel. Aku menunggu dengan tidak sabar. Ada khawatir yang begitu sangat tidak biasa. Ketika pintu terbuka aku menatapnya. Ada pias dimukanya. Kulihat ada bekas membiru dipipi sebelah kirinya. "Oh Tuhan! aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Aku tak menyangka tamparanku kemarin berefek seperti ini. Sekali lagi kuperhatikan wajahnya.Tanpa sungkan kutempelkan telapak tanganku di keningnya. Astaga! demamnya tinggi banget! "Bapak, demamnya tinggi banget! Kita kerumah sakit ya?" ucapku panik. Tapi pria tam
Lambaian tangan itu mengisyaratkan keberadaan dirinya sore itu di cafe dekat kantor kami bekerja. Setengah jam yang lalu,aku terima pesan dia. Kalau dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan sesuatu. Aku melangkah mendekatinya. Sebenernya kalau boleh jujur aku malas bertemu dengannya. Karena dia mendesak, dengan alasan ada yang sangat penting mau bicarakan sama aku. Aku batalin janji bertemu dengan Dattan sepulang kerja sore ini. Aku menarik kursi duduk setelah sampai dimeja yang sudah ia pesan. Tanpa berbicara sekatapun, tiba-tiba dia menyodorkan kertas bertuliskan cek. "Kamu bisa mengisi degan nilai seberapun kamu mau! asal kamu meninggalkan berhenti bekerja!" Aku mengernyitkan kening kuat-kuat sambil menatapnya tajam. Bahkan sedikitpun aku tak mengerti arah pembicaraannya. "Apa maksud kamu dengan semua ini Fero? kenapa tiba-tiba kamu menyuruhku untuk mengundurkan dari perusahaan?" "Bukannya sudah jelas, Move! Memang sudah seharusn
Sesekali aku menatap keluar kaca sambil terus mendengar ucapannya. Rasanya memang tidak bisa dipercaya kalau ternyata dalang dibalik semua kasus ini adalah orang yang sangat ku kenal. Tapi itu baru dugaan sementara. Belum ada bukti yang benar-benar real yang bisa memberatkan orang itu bersalah. Kalau pada kenyataanya memang dia, apa hubungannya denga aku. Kenapa aku yang dijadikan target kambing hitamnya? Seandainya bukti itu sudah konkret mungkin aku sendiri yang akan langsung berhadapan dengan dia. Semua harus jelas! tidak boleh dibiarkan dia berbuat semena-mena sama orang lain. Harus ada alasannya kenapa dia tega melakukan ini! "Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dulu Move! kita harus mencari tahu identitas Feronika yang sebenar- benarnya! ucapnya tegas. Aku menatapnya dan mengangguk pelan. "Kita mulai penyelidikan dari mana, Pak?" "Kita cari identitas Feronika dulu Move. kita harus cari informasi yang
Rintik hujan mulai deras. Aku hanya menatap terus wajah yang seperti tak ada ekspresi itu. Kenapa dia, marahkah? Entahlah, yang pasti sudah hampir setengah jam lebih situasi ini berlangsung. Huft-ft! Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Kembali aku menatap wajah itu. Bahkan masih datar belum berekspresi. Aku mencoba mengalihkan fikiranku dengan menyedot kuat-kuat minuman yang sudah dipesan. Habis! Tinggal gelas sama sedotannya aja. Tapi raut muka seseorang yang ada di depanku masih sama. "Marahkah?" tanyaku ragu dengan suara agak gemetar. Dan ku beranikan menatapnya. Sosok itu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Punya hak kah aku marah?" Dia balik bertanya. "Akh-kh!" aku kesal dengan sikap dan nada bicaranya. Ku ketuk-ketuk gelas kosong tadi sebagai pelampiasan kekesalanku. "Cukup ...!" suara itu tenang. Meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya. "Kenapa kamu yang marah? Aku melotot mendengar pertanyaannya. Hei ...! Gimana ak
Hari ini weekend. Sepagi ini aku sudah mantengin laptop. Aku terus menarik cursor laptop keatas dan ke bawah. Nafasku serasa sesak, tapi mataku tak mau lepas dari layar laptop. Mulutku kututup pake satu tanganku, ketika tanganku yang lain berusaha meng-zoom gambar yang aku lihat. Ada cairan hangat menetes jatuh ke keybord laptop. Seakan tak percaya tapi memang benar. Layar laptopku, menunjukkan gambar foto orang-orang yang aku kenal. Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa yang aku lihat itu salah. Namun, kenyataan bicara lain. Foto praweding seorang laki-laki dan perempuan yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku sambar ponsel yang ada di sebelahku.Tertera nama CEO galak dilayar ponselku.Berkali-kali berdering dan tersambung, tapi panggilanku nggak diangkat.Aku coba beberapa kali tapi tetap hasilnya nihil. "Kamu di mana? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu!" Aku menunggu pesan itu dibaca sipemilik ponsel.Tapi hampir 10 menit tidak ada
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo