Sudah hampir telat satu jam, tapi belum datang juga dia. Aku gelisah. Berkali-kali kutengok jam tanganku.kulihat berkali-kali ponsel yang ada ditanganku. Sudah puluhan kali aku telponin tapi nggak diangkat. Tiba tiba ada perasaan bersalah mengingat kejadian kemarin.
Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa aku keluar gedung menuju rumahnya. Setengah jam kemudian aku sudah di deoah rumahnya. Ku bunyikan bel. Aku menunggu dengan tidak sabar. Ada khawatir yang begitu sangat tidak biasa. Ketika pintu terbuka aku menatapnya. Ada pias dimukanya. Kulihat ada bekas membiru dipipi sebelah kirinya.
"Oh Tuhan! aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Aku tak menyangka tamparanku kemarin berefek seperti ini. Sekali lagi kuperhatikan wajahnya.Tanpa sungkan kutempelkan telapak tanganku di keningnya. Astaga! demamnya tinggi banget!
"Bapak, demamnya tinggi banget! Kita kerumah sakit ya?" ucapku panik. Tapi pria tampan itu hanya menggeleng dan menarik tanganku tiba tiba. Dalam sekejab tubuh kecilku sudah terjerembab kedalam pelukannya. Aku terkejut tapi sudah tidak sempat menolak.
"Maafkan aku! Maaf atas kejadian kemarin. Mungkin aku sangat keterlaluan. Tapi aku benar-benar tidak bermaksud menjatuhkan kamu apalagi menghina kamu, aku lepas kontrol, tidak bisa mengendalikan diri. Aku cemburu," ucapnya bertubi- tubi dengan suara lirih.
Aku terdiam lama dalam pelukannya. Tak menyangka, orang searogant dan sedingin dia tiba-tiba menjadi orang yang posesif. Ada yang berdesir di relung hatiku. Sepenting itukah aku di hatinya? Kurenggangkan pelukannya. Kubelai lembut wajah pias yang membiru itu. Kemudian kutarik tangannya ke arah sofa. Dengan cepat kucari kotak obat. Sedikit demi sedikit kukompres memar biru di wajahnya.
"Bapak, harus minum obat kalau tidak mau kerumah sakit!" suaraku datar sambil membereskan kotak obat. "Saya akan bikin bubur sebentar." ucapku seraya meninggalkan dia kedapur.
Tidak butuh waktu bermenit-menit untuk menjadi sahabat dapur Ray. Aku tidak harus kesusahan membuatkan makanan si empunya dapur. Seperti sudah beradaptasi lama dengan ruangan ini, aku langsung hafal letak bumbu atau alat-alat dapur yang lain.
Begitu gampangkah aku ini jadi perempuan? Apa benar yang diucapkan Ray kemarin? Semurah itukah aku? Aku menggeleng kepala lemah. Mungkinkah, semudah ini aku melupakan Farhan? tapi kenyataanya, setiap bersama Ray, aku seperti merasa bersama Farhan. Terkadang jiwa halusinasiku yang tinggi berharap kalau Ray itu Farhan.
Pikiranku meng-awang-awang jauh. Menghalu hal-hal yang tidak wajar. Khayalanku buyar ketika kurasakan ada pelukan hangat dipinggangku,dan hembusan nafas menerpa telingaku. Aku menoleh. Kulihat sosok tampan itu sedang memelukku lunglai.
"Kenapa kesini? istirahat saja dikamar. Sebentar lagi buburnya jadi. Bapak makan terus minum obat penurun demam!" ucapku sambil memegang tanganya yang hangat. Tanganku yang lain mengaduk bubur.
"Pengen slalu dekat dengan kamu."ucapnya lirih tapi gombal."Sudah kubilang kalau di luar kantor jangan panggil bapak!" lagi-lagi ucapnya sambil membalikkan badanku dan mengecup keningku lembut.
Aku tersenyum. Lalu mendorong tubuhnya ke arah sofa. "Duduk di sini, jangan ganggu, nanti buburnya nggak jadi-jadi." ucapku tegas. Pria itu hanya membalas kelakuanku dengan senyum nakalnya
Untuk beberapa menit aku sibuk di dapur. Sesekali kulirik arah sofa. Kulihat dia sedang berbaring sambil nonton. Aku tersenyum kecil. Entah rasa bahagia seperti apa ini yang sedang bermain di hatiku. Rasanya nyaman sekali bersamanya, meskipun entah dia menganggap aku ini apa. Sampe detik ini belum ada atau malah tidak ada status apapun diantara kami.
*******
Aku perhatikan baik baik muka seperti bayi itu. Tampan,tampan sekali. Aku termasuk orang beruntung bisa dekat dengan pria ini. Sosok jantan yang mampu membuat kaum hawa bertekuk lutut. Bahkan sampe ada yang jadi paparazi hanya untuk mengetahui lebih banyak kondisi idolanya. Ya! Dia diidolakan ole setiap perempuan.
Suapan terakhir, dia makan dengan lahap. Dengan lembut aku seka bibirnya yang kotor. Selanjutnya kumasukkan obat itu ke dalam mulutnya. Dia menelannya dengan cepat.
Selesai sudah hari ini tugasku merawatnya. Aku lihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11 siang. Sebentar lagi aku harus kembali ke kantor untuk menghandel semua kerjaan bos.
Aku sudah bersiap untuk kembali ke kantor. Untuk beberapa saat, aku menunggu pak direktur yang tak kunjung juga keluar dari kamarnya.
"Mau kemana, kenapa sudah bersiap untuk pergi?" suara itu terdengar dari arah pintu kamar.
"Saya harus kembali ke kantor Pak, banyak kerjaan yang belum dihandel."
"Nggak usah pergi. Aku sudah telpon Clarisa untuk menghandel semua perkerjaanku dan pekerjaanmu. Kamu harus tetap di sini menemani aku, karena kamu asisten pribadi ku. Jadi jangan pernah tinggalkan aku, anggap aja ini jam kerja kamu."
Aku menghela nafas sambil menatapnya. Ku taruh kembali tas kerjaku di atas meja.
"Baiklah, tapi sekarang, Bapak harus beristirahat di kamar. Saya akan menunggu, Bapak di luar. Istirahat yang cukup biar Bapak cepat pulih." kudorong tubuhnya menuju ke kamarnya lagi.
"Jangan panggil bapak kalau di luar kantor. Sudah berapa sering aku bilang begitu!" ucapnya lagi. Aku tersenyum dan mengangguk seraya membimbingnya ke kamar. Pria tampan, itu patuh lalu berjalan ke arah kamarnya. Sesampainya dikamar aku membantunya berbaring dan menyelimutinya. Ku tempelkan telapak tanganku ke keningnya. Suhu badannya sudah mulai turun.
"Move," panggilnya sambil menatapku lembut. Aku juga menatapnya dengan senyum teduh. Entah kenapa aku selalu merasa nyaman saat bersamanya.
"I love you!" suaranya tegas membuat jantungku tiba-tiba berdegub kencang. Mukaku terasa panas.
"Aku sangat mencintai kamu." Kembali dia mengucapkan hal yang sama sambil menggenggam tanganku lembut dan hangat.
Aku masih terpana dengan jantung tak karuan rasanya.mulutku terkatup rapat tapi mataku tak lepas dari pandangannya.
"Kejadian kita beberapa hari yang lalu, yang sudah kita lakukan itu sangat berpengaruh terhadapku." aku masih mendengarkan ucapannya dengan bergeming.
"Aku tidak mau kehilangan kamu, Move. Aku tidak mau kamu menduakan Aku," Aku masih mendengarkan dengan baik pernyataan cintanya. Dengan mulut masih terkatup. Aku syok. Tidak bisa mengontrol degub jantungku yang begitu keras. Telapak tanganku tiba tiba berkeringat.
"Maukah kamu selalu di sampingku dalam keadaan apapun. Dan selalu berjalan bersamaku mencapai tujuan kita berdua." ucapnya lagi kali ini menatapku sungguh sungguh.
Aku gemetar. Keringat dingin mulai menetes di keningku. Dengan lembut Ray menyekanya dan menarikku jatuh ke dadanya yang bidang. Dada yang selalu jadi dambaan setiap perempuan.
"I love you!" bisiknya lagi di telingaku dengan lembut.
"I love you to!" jawabku dengan muka merah merona. Belum bibirku terkatup bibirnya sudah menempel di bibirku. Melumatnya pelan. Aku menikmatinya dan membalas lumatan itu dengan mesra.
Tanganku merangkul lehernya dengan kuat. Menekan kepalanya pelan. Dengan tersengal, pria itu memeluk erat tubuhku dan mengetatkan pelukannya. Tubuhnya beranjak dan berganti posisi denganku. Entah kapan tubuhku sudah berganti posisi.
Tanganku meraba punggung kekarnya. membuat nya semakin memburu. Dengan tergesa dia melepaskan piyama yang dipakainya. Dada bidangnya terlihat jantan. Berkali kali aku menelan salivaku melihat dada itu. jakunnya yang turun-naik membuat inginku semakin menjadi.
Alam sadarku sudah pudar. Terlena dengan keinginan yang menggebu. Aku menciumnya dengan agresif. Tanganku menggapai dadanya, yang semakin membuatku beringas.
Keringat mulai membasahi tubuh jantannya. Dia mengangkat tubuhku dan menciuminya dengan memburu. Aku tersengal menahan sesuatu yang ada di batinku. Semakin siang semakin panas. Keringat membasahi tubuh kami, padahal suhu ac sudah begitu dingin. Aku begitu menikmati permainan laki-laki ini.
Nafasku tersengal. Bersamaan dengan suara teriakannya yang khas. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Masih dengan memeluk badanku yang basah, tangannya membelai wajahku. Ku pejamkan mata. Menikmati setiap sentuhannya.
Selintas wajah Farhan memenuhi benakku. Aneh! Setiap aku melakukan itu. Setiap itu juga bayangan Farhan hadir. Seolah dialah yang selalu melakukannya denganku. Bahkan disaat dia sudah melupakan aku, aku masih saja sibuk memikirkannya.
Sekarang, bukannya sudah ada Ray! Kenapa aku masih tidak bisa melupakan laki-laki itu? Semakin Ray mendekat, semakin aku merasakan kehadiran Farhan. Seolah-olah mereka dua orang yang sama.
"Kenapa melamun, kamu tidak bahagia bersamaku?" Aku menatapnya dengan teduh dan menggeleng.
"Sangat bahagia!" jawabku sambil menelusupkan mukaku ke lehernya dan memeluk tubuh kekarnya dengan kuat. Kuusap keringat yang masih menempel di punggungnya.
"Atau kamu malah ingat masa lalu mu ketika kita melakukannya tadi?" Sedikit terhenyak aku mendengar ucapan itu. Tepat sekali dugaannya. Mungkin kalau Ray tahu bahwa aku selalu menganggapnya Farhan dia akan sangat terluka, makanya lebih baik aku diam saja. Tidak perlu membuka masa lalu itu.
"Pernah dicampakkan oleh seseorang?" kembali tanyanya. Aku hanya menghela nafas dipelukan lehernya. Nafasku begitu terasa dikulitnya.
"Jangan hancurkan kebahagiaan kita dengan smua pertanyaan kamu yang nggak ada habisnya itu!" ucapku masih menyembunyikan wajahku di lehernya.
"Iya sayang,aku faham tentang kamu!" Aku mengernyitkan kening dan menarik wajahku dari pelukannya. Kutatap dia dalam dalam.
"Kenapa kok lihat aku begitu serius, ada apa sayang?" Aku menggeleng lemah.
"Ngga apa apa kok." sahutku. Dan sosok itu kembali mengecup bibirku.
"Pengen makan, lapar!" ucapnya seraya memelukku lagi.
Oh iya! Sudah sore. Aku melepaskan diri dari pelukannya.
"Bukan karena sudah sore juga,tapi karena kita sudah sangat bekerja keras hari ini." Godanya sambil menatapku dengan senyum lucu. Mukaku memerah.
"Aku buatin bubur lagi ya? habis itu minum obat lagi terus istirahat yang cukup."
"Aku sudah sembuh sayang, sudah nggak demam lagi. Masa makan bubur lagi?" Aku meraba keningnya. Iya memang sudah dingin badannya. Hebat banget obatnya. Manjur!
"Terus mau makan apa?" Ray mengeratkan pelukannya. "Makan di luar aja ya sayang,sekali-kali. Kita belum pernah makan berdua diluar," aku termenung sesaat.
"Kalau ada yang liat kita pergi berdua gimana?" tanyaku serius.
"Memangnya kenapa? tinggal dijawabkan, kalau kita sedang berkencan." Aku menghela nafas pendek. Jujur aku belum siap kalau semua orang harus tahu tentang hubunganku dengan Ray.
"Mental aku belum siap. Nanti malah banyak omongan dari karyawan lain. Itu sangat mempengaruhi aku dalam bekerja." tandasku. Ray menganguk paham.
"Baiklah, kita sembunyikan dulu hubungan kita. Nanti kalau ketahuan kita makan malam berdua, tinggal dijawab aja, kamu asisten pribadiku yang harus slalu siaga di sampingku. Ok!" Aku tersenyum dan mengangguk mengerti.
"Nah, sekarang bersiap gih, mandi terus kita keluar." ucapnya sambil mengangkat badanku dan berjalan ke arah kamar mandi. Aku bergerak gerak memberontak dan bertubi- tubi bibirku dikecupnya
BERSAMBUNG
Gaes bc y
Lambaian tangan itu mengisyaratkan keberadaan dirinya sore itu di cafe dekat kantor kami bekerja. Setengah jam yang lalu,aku terima pesan dia. Kalau dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan sesuatu. Aku melangkah mendekatinya. Sebenernya kalau boleh jujur aku malas bertemu dengannya. Karena dia mendesak, dengan alasan ada yang sangat penting mau bicarakan sama aku. Aku batalin janji bertemu dengan Dattan sepulang kerja sore ini. Aku menarik kursi duduk setelah sampai dimeja yang sudah ia pesan. Tanpa berbicara sekatapun, tiba-tiba dia menyodorkan kertas bertuliskan cek. "Kamu bisa mengisi degan nilai seberapun kamu mau! asal kamu meninggalkan berhenti bekerja!" Aku mengernyitkan kening kuat-kuat sambil menatapnya tajam. Bahkan sedikitpun aku tak mengerti arah pembicaraannya. "Apa maksud kamu dengan semua ini Fero? kenapa tiba-tiba kamu menyuruhku untuk mengundurkan dari perusahaan?" "Bukannya sudah jelas, Move! Memang sudah seharusn
Sesekali aku menatap keluar kaca sambil terus mendengar ucapannya. Rasanya memang tidak bisa dipercaya kalau ternyata dalang dibalik semua kasus ini adalah orang yang sangat ku kenal. Tapi itu baru dugaan sementara. Belum ada bukti yang benar-benar real yang bisa memberatkan orang itu bersalah. Kalau pada kenyataanya memang dia, apa hubungannya denga aku. Kenapa aku yang dijadikan target kambing hitamnya? Seandainya bukti itu sudah konkret mungkin aku sendiri yang akan langsung berhadapan dengan dia. Semua harus jelas! tidak boleh dibiarkan dia berbuat semena-mena sama orang lain. Harus ada alasannya kenapa dia tega melakukan ini! "Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dulu Move! kita harus mencari tahu identitas Feronika yang sebenar- benarnya! ucapnya tegas. Aku menatapnya dan mengangguk pelan. "Kita mulai penyelidikan dari mana, Pak?" "Kita cari identitas Feronika dulu Move. kita harus cari informasi yang
Rintik hujan mulai deras. Aku hanya menatap terus wajah yang seperti tak ada ekspresi itu. Kenapa dia, marahkah? Entahlah, yang pasti sudah hampir setengah jam lebih situasi ini berlangsung. Huft-ft! Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Kembali aku menatap wajah itu. Bahkan masih datar belum berekspresi. Aku mencoba mengalihkan fikiranku dengan menyedot kuat-kuat minuman yang sudah dipesan. Habis! Tinggal gelas sama sedotannya aja. Tapi raut muka seseorang yang ada di depanku masih sama. "Marahkah?" tanyaku ragu dengan suara agak gemetar. Dan ku beranikan menatapnya. Sosok itu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Punya hak kah aku marah?" Dia balik bertanya. "Akh-kh!" aku kesal dengan sikap dan nada bicaranya. Ku ketuk-ketuk gelas kosong tadi sebagai pelampiasan kekesalanku. "Cukup ...!" suara itu tenang. Meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya. "Kenapa kamu yang marah? Aku melotot mendengar pertanyaannya. Hei ...! Gimana ak
Hari ini weekend. Sepagi ini aku sudah mantengin laptop. Aku terus menarik cursor laptop keatas dan ke bawah. Nafasku serasa sesak, tapi mataku tak mau lepas dari layar laptop. Mulutku kututup pake satu tanganku, ketika tanganku yang lain berusaha meng-zoom gambar yang aku lihat. Ada cairan hangat menetes jatuh ke keybord laptop. Seakan tak percaya tapi memang benar. Layar laptopku, menunjukkan gambar foto orang-orang yang aku kenal. Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa yang aku lihat itu salah. Namun, kenyataan bicara lain. Foto praweding seorang laki-laki dan perempuan yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku sambar ponsel yang ada di sebelahku.Tertera nama CEO galak dilayar ponselku.Berkali-kali berdering dan tersambung, tapi panggilanku nggak diangkat.Aku coba beberapa kali tapi tetap hasilnya nihil. "Kamu di mana? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu!" Aku menunggu pesan itu dibaca sipemilik ponsel.Tapi hampir 10 menit tidak ada
Mungkin terlalu pagi. Aku sudah membereskan barang-barang di ruanganku. Saat ini aku sedang di ruang manager keuangan. "Move! sudah kamu pertimbangkan baik-baik keputusan kamu ini?" Aku menatap kosong ke depan mendengar pertanyaan itu. "Saya rasa tidak ada yang perlu saya pertimbangkan, Pak!" jawabku tegas. Meyakinkan hatiku. Berusaha menegaskan pada diriku sendiri bahwa keputusanku untuk risaign dari perusahaan itu benar. "Kamu yakin tidak mau mengetahui apa motif mereka melakukan ini sama kamu? lagi-lagi pak Fito menanyakan keyakinanku. "Saya sudah tidak mau terlibat jauh dengan mereka lagi, Pak. Saya nggak menyangka mereka bisa begitu rapi bikin skenario ini buat saya." keluhku lemah. Tampak dari raut mukaku ada kesedihan mendalam. Fito, sang manager keuangan menarik nafas seraya menggeleng- gelengkan kepala. "Saya nggak menyangka Dattan terlibat dalam masalah iin dan tega melukai kamu. Entah tujuannya apa? Pungkasnya la
Setelah peristiwa terakhir itu. Aku memutuskan pergi menghilang. Menjauh dari segala permasalahan. Dari berhenti kerja sampai pindah kost, akhirnya aku juga mengganti nomor ponsel. Berharap tidak akan muncul lagi suatu hari peristiwa-peristiwa yang terjadi kemarin. Sekilas aku mendengar ada beberapa orang yang mencari kabar tentang kepergianku. Ray Dinata! Dia salah satu orang yang yang sibuk mencari tentang aku. Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja aku melihat sosok Dattan terlihat di cafe tempat baruku bekerja. Dia salah satu pelanggan setia di cafe tempat aku bekerja. Aku sengaja tidak menemuinya ketika siang itu dia datang ke cafe. Penamipilannya lebih santai dibandingkan ketika dia kerja. Karena memang hari itu hari libur. Di depannya duduk seorang wanita yang sudah sangat aku kenal. Feronika Alfarest! Tak kulihat sosok lain selain mereka berdua. Aku pikir akan ada sosok Ray Dinata. Namun dari kejauhan kuperhatikan mereka sibuk membahas sesuatu h
Panas matahari menembus jendela kamar kostku. Aku menggeliat menyadarkan diri kalau hari sudah berganti waktu. “Terjadi lagi semalam ..." gumamku dalam hati. “ Huft ...!”hembusan nafasku begitu dalam. "Kenapa begitu lemah? Kenapa harus selemah ini? Lagi-lagi hatiku berkata. Sesaat kupejamkan mata menenangkan perasaan yang tiba- tiba merasa tidak nyaman. Rasanya sudah menyerah duluan. Ada rasa enggan menyeruak masuk kedalam pikiranku. Beberapa hari ini dia sudah berusaha untuk tidak mengingat apapun tapi kenapa musti berjumpa lagi. "Takdirkah?" tanyaku sambil bergumam pada diriku sendiri masih dengan mata terpejam. Meng_awang-awang kejadian demi kejadian. “Yah, itu memang takdir. Kita ditakdirkan untuk selalu bertemu." suara yang teramat aku kenal. Dia sudah berbaring di sampingku sambil membelai rambutku. Kubuka mataku, begitu dekat jarak itu. "Tuhan ...! Bagaimana kalau nanti aku kehilangan lagi seperti yang sudah-sudah? Su
Luka lama terbuka kembali! Mungkin itu yang pantas menggambarkan kondisi aku saat ini. Semenjak aku bermimpi tentang masa laluku, hatiku mulai nggak tenang. Ada perasaan nggak nyaman. Luka lama itu seolah-olah kembali menganga dihatiku. Trauma yang bertahun-tahun aku cari obatnya kini kambuh lagi. Bahkan sekarang hampir tiap malam aku bermimpi yang sama. Aku mengendikan bahu ketika salah satu pelayan cafe berbisik di telingaku. Setelah beberapa menit kemudian, aku melangkah menuju meja yang sudah dipesan seseorang. Kulihat wanita cantik itu tidak sendiri. Ada wanita separuh baya duduk berseberangan dengannya. Wanita yang masih begitu terlihat anggun dan cantik diusia 50 tahun. Aku menarik nafas dalam sambil berjalan menuju ke arah mereka. Aku sudah bisa menebak siapa wanita separuh baya yang Feronika bawa itu. Jantungku berdetak begitu kencang. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" ucapku sedikit bergetar menatap wanita anggun itu. Tidak lu
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo