Luka lama terbuka kembali! Mungkin itu yang pantas menggambarkan kondisi aku saat ini. Semenjak aku bermimpi tentang masa laluku, hatiku mulai nggak tenang. Ada perasaan nggak nyaman. Luka lama itu seolah-olah kembali menganga dihatiku. Trauma yang bertahun-tahun aku cari obatnya kini kambuh lagi. Bahkan sekarang hampir tiap malam aku bermimpi yang sama.
Aku mengendikan bahu ketika salah satu pelayan cafe berbisik di telingaku. Setelah beberapa menit kemudian, aku melangkah menuju meja yang sudah dipesan seseorang.
Kulihat wanita cantik itu tidak sendiri. Ada wanita separuh baya duduk berseberangan dengannya. Wanita yang masih begitu terlihat anggun dan cantik diusia 50 tahun.
Aku menarik nafas dalam sambil berjalan menuju ke arah mereka. Aku sudah bisa menebak siapa wanita separuh baya yang Feronika bawa itu. Jantungku berdetak begitu kencang.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" ucapku sedikit bergetar menatap wanita anggun itu. Tidak lu
Ikutin terus episodenya Jangan lupa vote, like dan komentnya
"Gubrak ... !" Tas itu dilempar sebarang. Suaranya terdengar jelas. Dia menelungkupkan mukanya di kedua lututnya. Terduduk di bantalan sofa empuknya. Punggungnya teguncang kencang. Ada isak tangis di sana. Sesaat alam sadarnya kembali. Disekanya air mata itu dengan kasar. "Apa kurangnya aku dibanding dia! Dia hanya seorang janda! Dia hanya wanita biasa! Apa kurangnya aku-!! Prankk-!! Gelas itu pecah berhamburan ke lantai. Pecahannya mengais kulit putihnya,melelehkan darah segar di betisnya. Dia meringis menahan sakit diantara isak tangis kemarahannya. Tanpa memperdulikan pecahan gelas di lantai itu, dia membuka membuka layar ponselnya. Semenit kemudian -, "Lakukan malam ini! Rusak Dia! Hancurrkan- Dia!" perintahnya di seberang telpon. "Baik Nona," "Aku tidak mau mendengar kata gagal!" tandasnya cepat, lalu menutup telpon. Nafasnya ter-engah. Matanya menyorot tajam. Memandang keluar jendela. Feronika Alfarest,!&nbs
Bau ruangan ini sudah tidak asing lagi. Bau khas rumah sakit. Perlahan aku membuka mataku. Rasanya, badanku remuk semua. Aku meringis menahan sakit. Kurasakan sentuhan lembut di jari-jemariku. Dengan masih kurasakan sakit di kepalaku. Kulihat seseorang duduk di hadapanku. Menggenggam hangat tanganku. Aku tidak perlu mencoba mengingat kejadian yang menimpaku. Rasanya aku trauma. "Kamu sudah sadar, Sayang? Apa yang kamu rasakan, masih sangat sakitkah? Suara teduh itu milik Ray. "Maafkan aku, saat kamu butuh aku, aku tidak ada bersamamu!" ucapnya lagi. Aku hanya menggeleng kan kepala lemah. Iya, Dattan yang menyelamatkan aku. Kemanakah dia? Mataku mengitari ruangan. Tapi tidak kutemukan sosok itu. "Kamu mencari Dattan?" Kuanggukan kepala, mengiyakan pertanyaannya. "Dia di kantor polisi. Ikut mengintrogasi kedua penjahat yang akan memperkosamu!" Aku kembali mengangguk, mendengar ucapan Ray. Yah, aku hampir saja diperkosa oleh dua laki-laki
"Ma! Ada yang mau Saya tanyakan sama mama!" Pagi itu sebelum berangkat kerja, Ray menyisakan waktunya mampir ketempat mamanya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sedikit kaget dengan kehadiran putranya yang tiba-tiba datang di rumah. Pagi itu, di kediaman Aliya( mamanya Ray Dinata) terlihat wanita cantik yang sudah tak asing lagi. Senyumnya mengurai ketika dilihat cowok tampan itu berkeliaran di rumah mamanya. "Tumben Ray, mampir? Ada perlukah? Tanpa menghiraukan sapaannya, Ray berlalu menghampiri mamanya. "Ada apa, Ray? Datang-datang kok sudah pasang muka tegang begitu? Aliya menghampiri putra semata wayangnya. "Mama, tolong jangan intimidasi Move lagi? Dia sudah cukup menderita, Ma!" suara Ray sedikit meninggi. Aliya, wanita paruh baya itu mengernyitkan kening. Sedangkan gadis cantik yang duduk bersebrangan dengan kedua orang itu, menggerakan badannya untuk berdiri. "Maksud kamu apa, Ray? Ini tentang Move lagi? Ka
Mata itu menatap tajam dengan kemarahan. Aku yakin di sana ada kebencian mutlak. Pembawaannya yang begitu tenang dan angkuh, membuat sikap itu tidak begitu kelihatan mencolok. Sudah hampir 15 menit berlalu. Belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Aku masih menunggu, tanpa mengurangi sopan-santunku. Sebagai rasa hormatku untuknya. Aku masih dalam posisiku. Duduk di kursi yang ia pesan. Sedang dia, masih berdiri mematung, membelakangi aku. Ketika tiba-tiba ponselku berdering, ... "Angkat panggilan itu!" suaranya memecah keterdiaman diantara kami. Aku mengangguk hormat seraya menjawab panggilan masuk di ponselku. "Hallo!" suaraku datar agak bergetar. Suara di seberang terdiam sesaat. "Sayang! Apa kamu sekarang lagi bareng sama mama?" tanyanya ragu. Aku terdiam sesaat. Menatap seseorang yang berdiri di hadapanku. Wanita itu mengangguk sebentar sebelum mengambil ponselku. Kubiarkan ponsel itu pindah tangan. "Hallo, Ray!
Kakiku gemetaran mendengar perkataan Feronika. Aku membalikkan badan. Pandanganku tajam ke arah Ray. Dengan linglung aku mengarahkan kakiku kembali ke tempat neraka itu. Bukan Ray atau Dattan yang kutuju. Tapi, sosok wanita cantik itu yang kudatangi. "Sebenarnya, kamu ini siapa Feronika?" tanyaku penuh penekanan. Kuamati raut muka wanita itu. Kucari kebenaran dari apa yang dia ucapkan tadi. "Tidak seharusnya, kamu ikut campur terlalu jauh masalah pribadiku!" Agak tersentak Feronika mendengar ucapanku. Mungkin selama ini mereka selalu memandang aku lemah, dan menyepelekan apapun tentang aku. Kali ini ada rasa keterkejutan baik Feronika ataupun orang-orang yang ada di sini, mendengar kalimat terakhirku tadi. "Aku hanya mengatakan kebenaran Move!" Sekali lagi Feronika menegaskan ucapannya. "Sudah cukup Fero!" Tiba-tiba suara Ray bergema. Aku menatap tajam ke mata laki-laki yang teramat aku cintai itu. "Katakan sekali lagi Fe
Agak kasar Ray memarkirkan mobilnya. Dengan buru-buru dia berlari menuju kosan Move. Agak ter-engah dia menaiki tangga itu. Sesampainya di kost Move buru-buru dia mengetuk pintu. Lama ketukan itu nggak ada sahutannya. Ray mulai gelisah. "Move ..., Kembali dia mengetuk pintu, bahkan memanggil namanya. Dia melirik arloji yang bertengger di tangannya. Baru jam 4 sore. Seharusnya dia sudah di rumah. Dibukanya layar ponselnya. Kembali dia berusaha menghubungi lewat telpon seluler. Tapi hasilnya tetap nihil. Karena merasa tidak sabar, Ray menuruni anak tangga. Kembali ke mobilnya, melajukannya dengan cepat ke arah tempat kerja Move. Sesampainya di sana, dia langsung ke meja kasir. "Mbak! Maaf, numpang tanya, Movenya, ada?" Nafas Ray ngos-ngosan seperti dikejar penjahat. "Haduh, maaf mas, hari ini mbak Move izin setengah hari. Katanya ada keperluan mendadak." Ray menghela nafas, rasa kecewa itu tampak di raut mukanya yang tampan.
Menghilangnya Move hampir 3 hari membuat seluruh teman kerjanya merasa kehilangan. Aplagi Ray, laki-laki itu sempat drop dalam pencariannya. Bahkan detektif yang ia sewa sama sekali belum mendapatkan hasil. Baik Dattan dan Fito, hampir tidak pernah tidur. Mereka mencari keberadaan Move sampai 24 jam. Polisi juga sudah dikerahkan dalam pecarian itu. "Mama bawain makan siang buat kamu Ray," suara wanita itu ketika berada di ruang kerja anaknya, "Aku nggak lapar Ma, bawa pulang aja lagi." jawabnya tanpa menoleh. Wanita itu mendekati putra semata wayangnya itu. "Mama tahu kamu sedang bersedih, sangat marah sama Mama, tapi mau sampai kapan kamu seperti ini?" "Nggak ada yang nyalahin Mama, Aku lagi sibuk kerja. Nggak mau diganggu." jawabnya sekali lagi. Terdengar sangat dingin nada bicaranya. Terlihat kantung matanya sampai menghitam. Itu menandakan dia jarang atau malah nggak pernah tidur berhari-hari untuk mencari Move.
Dokter Careld dengan cepat menggenggam jari-jemari wanita itu. Hanya sesaat, selanjutnya diam lagi. "Hanya gerakan reflek ya, Dok?" Perawat itu mengubah raut muka riang dengan raut muka lesu. "Nggak apa-apa, Sus, ini kabar baik. Sudah ada kemajuan." jawab dokter Careld tidak lupa memberikan senyum manis sama suster itu. Beberapa menit kemudian, suasana hening. Suster itu sudah meninggalkan ruang VIP. Sedangkan dokter Careld masih duduk di tepi ranjang pasien. "Cepat sadar, wanita misteriusku, sudah ada kabar baik. Sudah ada kemajuan soal kondisimu. Semoga kamu cepat membuka mata. MOVE!" Move! Ternyata, korban kecelakaan itu adalah Move Herdianata. Kekasih dari Ray Dinata. Sudah 5 hari dia berbaring di tempat tidur pasien dalam keadaan koma. 5 hari yang lalu, setelah kejadian terbongkarnya identitas Ray yang sesungguhnya, Move berniat untuk pergi selamanya dari kehidupan Ray Dinata. Hancurnya perasaannya waktu itu membuat
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo