Dokter Careld dengan cepat menggenggam jari-jemari wanita itu. Hanya sesaat, selanjutnya diam lagi.
"Hanya gerakan reflek ya, Dok?" Perawat itu mengubah raut muka riang dengan raut muka lesu.
"Nggak apa-apa, Sus, ini kabar baik. Sudah ada kemajuan." jawab dokter Careld tidak lupa memberikan senyum manis sama suster itu.
Beberapa menit kemudian, suasana hening. Suster itu sudah meninggalkan ruang VIP. Sedangkan dokter Careld masih duduk di tepi ranjang pasien.
"Cepat sadar, wanita misteriusku, sudah ada kabar baik. Sudah ada kemajuan soal kondisimu. Semoga kamu cepat membuka mata. MOVE!"
Move! Ternyata, korban kecelakaan itu adalah Move Herdianata. Kekasih dari Ray Dinata. Sudah 5 hari dia berbaring di tempat tidur pasien dalam keadaan koma.
5 hari yang lalu, setelah kejadian terbongkarnya identitas Ray yang sesungguhnya, Move berniat untuk pergi selamanya dari kehidupan Ray Dinata.
Hancurnya perasaannya waktu itu membuat kosentrasinya hilang kendali.
Saat itu dia sudah berada di posisi pusat kota. Meninggalkan tempat kostnya dan juga tempat kerjanya.
Tak disangka, saat dia sedang menyeberang, dia ditabrak sebuah truk container yang mengangkut bensin dan solar.
Diselamatkan oleh seorang dokter muda,bernama dokter Careld Alderrad Subastian, seorang dokter ahli jantung yang merupakan dokter pribadi keluarga Ray, sekaligus sepupu jauhnya.
Kondisi Move masih belum bangun dari koma panjangnya. Namun dokter Careld punya setitik harapan dengan melihat kondisi Move. Dimana kemarin tiba-tiba bisa menggerakan jarinya secara reflek.
Pagi ini,
Ray Dinata kembali ke rumah sakit untuk mengambil hasil lab sang ayah. Dia berada di lantai 2 melewati ruangan VIP, di mana Move sedang berbaring koma di sana.
Rasa penasaran yang begitu besar dengan ruang VIP itu, membuat Ray kembali menyempatkan diri untuk melongok sebentar saja ke arah ruangan itu.
Namun -,
"Ray ...
Kamu sudah datang? Ikut ke ruanganku!" seru dokter Careld ketika membuka pintu. Serentak Ray menarik kembali kepalanya. Dia mengurung niatnya.
Dilihatnya, di ujung dia berdiri, seorang dokter muda nan tampan sedang berdiri menyapanya dengan kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya.
Dengan tergesa Ray menghampiri dokter itu.
"Masih penasaran aja dengan pasien ku?" tanyanya sambil berseloroh.
Ray mendekati sepupunya itu. Sambil mengikuti jalan dokter Careld masuk ke ruangannya.
Benar itu pasien kamu?" tanyanya sambil menarik kursi di depan meja kerja Careld.
"Iya, memang kenapa, penasaran, ya?" Dokter Careld berkata sambil melirik Ray yang duduk dengan cuek. Laki-laki itu tersenyum melihat sikap sepupunya itu.
"Kamu harus lebih memperhatikan kondisi om Salim, Ray! Kondisinya cukup serius. Perhatikan pola makan dan tidurnya. Kamukan anak satu-satunya." ucapnya menjelaskan hasil lab sang ayah.
Ray hanya mengangguk kecil."Aku serius Ray! Tolong lebih perhatikan beliau, jangan sampai semua terlambat. Aku nggak mau ada penyesalan di hatimu."
Ray kembali mengangguk dan menatap sepupunya.
"Iya-iya! Nggak usah khawatir masalah itu, nanti aku sempatkan setiap hari mampir ke sana." jawabnya.
Dokter Careld hanya mengendikkan bahu mendengar jawaban Ray.
"Tapi, tunggu-tunggu! Kenapa kantung mata kamu sampai seperti itu, kamu kurang tidur, atau banyak pikiran?" Laki-laki yang berwajah ke bule-bule-an itu memperhatikan wajah Ray dengan saksama.
"Atau, jangan-jangan kamu sedang putus cinta, ya?" Ledeknya sambil terkekeh.
"Apaan sich, ngaco kamu!"sergah Ray sambil berdiri dari duduknya.
"Jaga kesehatan Ray, kurangi begadang, kamu satu-satunya yang diandalkan om dan tante," Ray hanya melirik sekilas ke arah sepupunya itu. Lantas mengangguk sambil mengambil hasil lab sang ayah.
"Aku pergi, ya! Thansk a lot," gestur tangannya melambai ditujukan ke arah dokter Careld. Dokter Careld mengantarnya sampai depan pintu ruang kerjanya.
Seperti ada daya magnet sendiri, setiap Ray melewati ruang VIP itu. Ada rasa penasaran yang luar biasa yang memenuhi ruang hatinya, tentang pasien yang jadi korban kecelakaan itu.
"Secantik apa sich, pasien ini? Sampai Careld mengistimewakan dia, memberikan ruang VIP khusus buatnya!" gumamnya pada diri sendiri.
Tapi, dia melewatinya begitu saja ruangan VIP itu. Dia nggak mau Careld memergoki kesekian kali lagi. Karena berusaha ingin tahu tentang pasien itu.
Dilangkahkannya kakinya menuju lift. Di lorong rumah sakit, dia bertemu dengan beberapa perawat.
"Kasihan ya, pasien itu. Sudah 5 hari koma, tidak ada keluarga satu pun yang menjenguk!" celoteh salah satu pasien itu.
Ray menarik nafas pendek. Ada keinginan tiba-tiba terbersit di hatinya untuk mengunjungi pasien itu. Itung-itung untuk menghilangkan rasa penasarannya.
******
"Habis dari rumah sakit Ray?" Sosok Dattan sudah duduk di sofa ruang kerja Ray. Laki-laki itu menuju meja kerjanya. Menghenyakkan tubuh penatnya di kursi kerjanya. Tak dihiraukan sapaan sahabatnya itu.
"Ada perlu denganku?" tanyanya sambil matanya menatap ke layar komputer.
"Tadi komandan Agus mmenelponm, tapi kamu tidak mengangkatnya." jawab Dattan datar.
Ray merogoh sakunya dan menaruh ponselnya di atas meja. "Tidak kedengaran ttad, apa ada perkembangan?" tanyanya sambil menutup komputernya. Menaikkan satu kakinya dan melipatnya dengan kaki yang lain. Duduknya berubah arah, menghadap ke arah Dattan.
"Detektif Agus bilang, kalau dia menemukan titik GPS ponsel Move, terakhir kali ada di pusat kota." jelasnya.
"Tapi, ponsel itu sepertinya di non-aktifkan untuk waktu yang lama." Binar mata yang sempat mengerjab di manik Ray tiba-tiba sirna.
"Itu artinya, Move sengaja menon-aktifkan ponselnya? Dan benar-benar pergi meninggalkan tempat ini?" Dattan mengendikan bahu mendengar pertanyaan Ray.
Sebegitu bencikah kamu, padaku? Sampai harus benar-benar menghilang dari hidupku?
Ray benar-benar putus asa. Ternyata dia sudah tidak punya harapan. Berkali-kali dia mengusap wajahnya yang mulai memanas.
Dattan menghampiri sahabat karibnya itu dan merangkul bahunya perlahan.
"Belajarlah mengikhlaskannya, Ray," mendengar ucapan sahabatnya itu, Ray meraba dadanya. Terasa nyeri ulu hatinya.
Yah, dia sendiri yang menghancurkan 6 tahun kebersamaannya bersama Move. Saat ini memang yang bisa dilakukannya hanya belajar untuk ikhlas.
Ray menarik nafas panjang,.mengiyakan ucapan sahabat karibnya. Dattan menepuk bahu Ray ppela dan mencoba memberikan dukungan, bahwa dia mampu melewati semua ini.
Semenit kemudian, Dattan sudah menutup pintu ruangan direktur.
Sepeninggal Dattan, Ray berdiri di depan kaca ruangannya. Pandangannya lurus ke depan. Menatap langit yang begitu cerah, menghujamkan pesonanya yang begitu indah.
Selintas dia teringat pasien di rumah sakit itu. Kenapa begitu dekat hatinya dengan aroma yang menguar dari ruang VIP itu. Terasa begitu dalam perasaannya di sana.
Sedang di ruang VIP tersebut, dokter Careld menggenggam jari-jari ringkih itu. Terasa dingin dan beku. Ada sepercik harapan agar wanita yang ada di hadapannya itu segera membuka matanya.
Ini sudah ke-8 kalinya, dia membacakan kata mutiara. Tugas yang akhir-akhir ini senang dilakukannya. Dia lebih senang menghabisksn waktu di luar jam kerjanya di sini, bersama pasiennya, dari pada keluyuran di luar.
Di dalam ketertegunannya itu, dia merasakan ada yang hangat di genggaman tangannya. Jari-jemari yang ia rangkum dalam genggaman itu bergerak pperlahan.
Sesaat Careld tersentak, matanya mengerjab melihat mata itu bergerak pelan. Semburat di pipinya mulai terlihat. Pelan-pelan mata itu terbuka, menyapu kesekeliling ruangan. Dan pandangannya berhenti pada sosok tampan dengan wajah ke bule-bule-an.
Careld terkesima ssesaa, dan akhirnya bibir simetrisnya membentuk senyum penuh pesona. Dia menepuk pipinya 2 kali, memastikan bahwa dia tidak bermimpi.
Dengan penuh haru bahagia, dia menatap wanita yang sudah terbangun dari tidur panjangnya itu. Meremas lembut jemarinya, sebagai pengungkapan hatinya, bersyukur pada Tuhan di dalam hati.
BERSAMBUNG
Careld seolah masih tak percaya, dia kembali menatap wanita yang sudah bangun dari tidur panjangnya itu. Berkali-kali diremasnya jari-jemari ringkih itu. Si empunya jari meringis menahan sakit. "Oh, maaf," ucapnya melihat ringisan di wajah wanita itu. "Kamu dokter?" tanyanya polos. Careld menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Genggamannya pada tangan pasien itupun terlepas. "Jadi, Aku di rumah sakit?" Kembali Careld menganggukkan kepala. Dokter tampan itu tersenyum geli dengan pertanyaan pasiennya. Sekalinya bangun, tingkahnya jadi lucu dan polos. "Apa yang terjadi denganku?" Sekali lagi dia bertanya. "Kamu nggak ingat apa yang terjadi?" tanya Careld sambil menatap wanita itu dengan tatapan teduh. Tatapan yang bisa membuat semua kaum hawa bertekuk lutut. Dia, wanita itu, pasien dokter Careld hanya menggeleng lemah. Careld menarik nafas pendek. "Terus Dokter, tahu nggak, aku ini siapa, namaku siapa?" Careld terte
Dokter Careld menoleh mendengar panggilan itu. Seorang suster menghampiri. "Ada pasien yang anfal Dok, di lantai 5!" katanya tergesa. "Ok , Sus, segera ya," jawabnya sambil mengangguk, " maaf Ray, aku tugas dulu ya!" Kalau menungguku, ke ruanganku aja!" lanjutnya seraya berjalan tergesa menuju lantai 5. Ray hanya menatapnya dengan raut muka susah diartikan. Dilayangkan pandangamnya ke arah taman. Perempuan yang menjadi pasien istimewa Careld sudah menghilang entah ke mana. Dengan berdiri mematung di lantai dasar, Ray menghbuskan nafasnya kuat-kuat. Sudah hampir seminggu hilangnya Move. Bahkan ponselnya pun tidak aktif sama sekali. Ada yang membuatnya merasa aneh. Seandainya memang Move sengaja menghilang kenapa jejaknya sama sekali tidak terlacak. Mungkinkah terjadi sesuatu dengan dia? Pikiran itu ke mana-mana. Selang beberapa jam, dia sudah di ruang direktur. Duduk menatap kosong ke layar komputer. Pintu diketuk, Clarisa masuk d
"Dokter, Saya masuk dulu ya, mau beres-beres," ucapku dengan senyum di bibirku. Terdengar suara sepatu dari belakang tempatku berdiri. Dokter Careld mengangguk dan membalas senyumanku sambil mengelus pundakku. Selanjutnya aku berlalu dari tempat itu. Aku tidak ingin mencampuri urusan mereka. Aku dah cukup beruntung, bertemu dengan dokter sebaik dia. Uang mau menampung orang asing sepertiku. Sepeninggalku, laki-laki yang bernama Dattan itu asyik ngobrol dengan dokter Careld. "Mangsa baru bro?" tanya Dattan sambil menatap lurus ke arah wanita yang barusan bersama Careld. "Sembarangan aja, bilang mangsa! Dia manusia kali!" Dattan terkekeh mendengar Careld, sahabat lamanya juga sahabat kecilnya itu menggerutu. "Tumben, masih ingat mampir ke sini? Sudah hampir berbulan-bulan lho kamu melupakan rumahku?" ucap Careld sambil berjalan menuju rumahnya yang ada di sebelah pavilium. Dattan hanya mengendikkan bahu mendengar perkataan Careld
Ray mengangkat telponnya. Agak serius dia menerima telpon itu. Kakinya berbalik arah ke rumah dokter Careld. Sedang aku masih saja berusaha msngingat hal sekecil apapun itu. Beberapa menit yang lalu, seiring denyut jantungku yang berdetak kencang, aku seolah merasakan ada sesuatu yang sangat aku rindukan. Entah apa itu. Seperti aku merindukan seseorang yang sangat dekat denganku. Tapi sudah beberapa detik rasa nyeri di ulu hatiku tiba-tiba menghilang. Aku menarik dan menghembuskan nafas agar beban yang ada di hatiku hilang. Berharap secepatnya ingatanku pulih. Masih kudengar suara dokter Careld dan teman-temannya tertawa gembira. Sekilas teringat pria yang turun dari mobil hitam tadi, rasanya seperti dekat dan kenal dengan orang itu. Apakah itu artinya dia pernah ada di masa laluku? "Reld, kok pasien kamu nggak diajak gabung sich? Takut ya pindah ke lain hati?" Careld cuma terbahak mendengar lelucon Dattan. Sedang Ray masih sibuk dengan
Ada yang kurasakan hangat di kulitku. Mataku terbuka samar-samar. Kepalaku rasanya berdenyut-denyut sakit. Kutebar pandanganku ke sekeliling. Kusapu ruangan itu dengan tatapan kosong. Beberapa detik kemudian, Aku teringat kejadian sebelumnya. Dokter Careld dan temannya yang bernama Ray Dinata. Hatiku tiba-tiba tercekat, mengingat ucapan terakhir laki-laki itu. Bahwa aku adalah kekasih 6 tahunnya. Oh ..., Benarkah? Itu artinya laki-laki itu adalah orang paling berperan dalam hidupku! Pikiranku melayang ke mana-mana. Pada akhirnya pandanganku terbentur pada sosok tampan dengan satu tangannya menyangga dagunya. Mata itu terpejam. Kuamati dalam-dalam wajah yang begitu mempesona itu. Dan ... aku terperanjat menyadari siapa laki-laki itu. Spontan aku tarik tanganku yang ternyata ada dalam genggamannya. Tubuhku secara reflek juga terbangun dan beringsut mundur, mentok ke belakang. Dan sekali kusadari bahwa aku masih di rumah sakit, jadi pasie
Dengan tergesa, Ray berlari mengejar brankar dorong yang membawa Move. Di dalam pikirannya, di sana, jenazah Move terbaring. Air matanya tumpah ruah. Dunianya gelap. Dattan yang menyadari kondisi itu, segera mengejar sahabat kecilnya itu. Dengan nafas ter-engah, Ray menggapai brankar dorong itu. Dilihatnya Move sedang terlelap tak sadarkan diri akibat obat bius. Ray terduduk lemas, membiarkan brankar dorong itu dibawa perawat rumah sakit. Nafas yang tadi tersengal pelan-pelan mulai teratur. Ada kelegaan yang luar biasa di dadanya. Badannya seperti tak bertulang. Dilihatnya Careld tersenyum meledek. Secepat kilat Ray bangun. Seolah punya kekuatan dia mengejar sepupunya itu. Careld ...! Kamu keterlaluan!" teriaknya dengan nafas ngos-ngosan. Sedangkan Careld sudah berlari ke ruang prakteknya. "Ray, semua baik-baik saja. Operasi Move sukses. Tinggal menunggu dia sadar. Lebih baik kita ke ruangannya." Dattan membimbing tubuh Ray bangu
Wanita itu berdiri membelakangi bangku yang ada di taman. Postur tubuhnya yang aduhai,membuat mata setiap pria yang melihatnya, menyempatkan untuk menelan salivanya sendiri. Ada 30 menit, wanita itu menunggu kedatangan dokter Careld. Ada kegelisahan yang terpancar di wajahnya. Bahkan sikapnya yang mondar mandir, tidak bisa menutupi ada keresahan yang mutlak di hatinya. Sebentar-sebentar, dia menengok jam tangannya, menoleh ke arah lobi rumah sakit, dan sesekali mengusap mukanya dengan kasar. Ada ketidaksabaran jelas terpancar di wajahnya. "Hah!" Jelas, dengusan itu menggambarkan kondisinya yang kesal dan tidak sabar. Dari arah belakang seseorang yang ditunggunya datang. Dengan gaya khasnya, dokter Careld langsung berdiri di depan wanita itu. "Sudah lama tidak minta aku untuk menemuimu, apakah ada yang membuatmu ingin bertemu denganku?" Careld menatap wanita itu dengan senyum khasnya. Ke dua tangannya merangkup disakunya
"Kalau sudah lihat rekaman ini, terserah kamu mau bagaimana," ucap Careld sambil menyandarkan punggungnya di sofa ruang kerjanya. Ray dengan tergesa melihat ke cctv. Nafasnya terdengar mendengus. "Dia lagi!" geramnya. Giginya gemeletuk menahan marah. Careld hanya mengendikkan bahu ketika mata Ray beralih menatapnya. Dia itu terobsesi sama kamu, Ray. Kenyataanya, dia bisa melakukan apa saja untuk menyakiti orang yang kamu sayang,mungkin, menurut dia, lebih baik tidak ada yang memilki kamu." "Gila! Ray menggeram marah. "Sakit itu namanya!" tukasnya dengan wajah memerah. "Untung kamu nggak jadi nikah sama dia," lanjutnya. Careld hanya terkekeh. Terdengar suara pintu dibuka. Wajah Dattan nongol dari balik pintu. "Tindakan apa yang mau kamu ambil Ray?" tanyanya seraya menjatuhkan badannya ke sofa di sebelah Careld. "Kalau boleh aku saranin, nggak usahlah bawa-bawa polisi lagi, kita nunggu ingatan Move pulih, untuk membebaskan
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo