Careld seolah masih tak percaya, dia kembali menatap wanita yang sudah bangun dari tidur panjangnya itu. Berkali-kali diremasnya jari-jemari ringkih itu. Si empunya jari meringis menahan sakit.
"Oh, maaf," ucapnya melihat ringisan di wajah wanita itu.
"Kamu dokter?" tanyanya polos. Careld menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Genggamannya pada tangan pasien itupun terlepas.
"Jadi, Aku di rumah sakit?" Kembali Careld menganggukkan kepala. Dokter tampan itu tersenyum geli dengan pertanyaan pasiennya. Sekalinya bangun, tingkahnya jadi lucu dan polos.
"Apa yang terjadi denganku?" Sekali lagi dia bertanya.
"Kamu nggak ingat apa yang terjadi?" tanya Careld sambil menatap wanita itu dengan tatapan teduh. Tatapan yang bisa membuat semua kaum hawa bertekuk lutut.
Dia, wanita itu, pasien dokter Careld hanya menggeleng lemah. Careld menarik nafas pendek.
"Terus Dokter, tahu nggak, aku ini siapa, namaku siapa?" Careld tertegun sesaat. Dia berpikir dalam diam. Ada kegelisahan tampak di wajah tampannya.
"Dok!" Tangan wanita itu menyentuh tangan Careld.
Careld tersentak sesaat. Kemudian dia berdiri. Mendekati pasiennya. Tangannya mengarah ke dada wanita itu.
"Ehhh-hh, mau ngapain?" sergahnya sambil menyilangkan ke dua tangannya di dada.
Lagi-lagi Careld tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mau periksa keadaan kamu, kok bisa kamu sampai nggak ingat nama sendiri." jawabnya sambil menekan alat stetoskopnya ke dada sebelah kanan wanita itu. Lalu menyentuh kelopak matanya dengan tangan lembutnya.
"Coba julurin lidahnya!" Perintahnya. Sesaat pasien itu terdiam. Careld menatapnya dengan saksama. Tak lama kemudian dia menuruti perintah dokter yang ada di depannya.
Careld menghela nafas panjang. "Kamu terkena amnesia?" ujarnya. Si pasien membulatkan bola matanya.
Lagi-lagi Careld tersenyum geli. Ada aja tingkah wanita itu, menurutnya yang bisa membuat dia nyaman.
"Memang saya kenapa, Dok, kok sampai amnesia begini?" tanyanya panik.
"Kamu kecelakaan. Tertabrak truk container. Ada cidera di kepala bagian belakang sama tulang belakang kamu, akibat benturan di aspal. Tapi, jangan khawatir, insya alloh akan cepat pulih dengan segera." jelasnya panjang.
"Jangan terlalu dipaksain ya! Yang terpenting saat ini kamu sehat." Kembali dia melanjutkan penjelasannya.
"Nama kamu, Move! Move Herdianata." Careld menyebutkan identitas wanita itu sambil memberikan dompet milik Move.
"Kamu mengalami koma selama 5 hari." Wanita yang bernama Move itu kembali membulatkan bola matanya.
Careld tertawa terkekeh. Dia menepuk bahu Move.
"Oh iya, aku dokter Careld. Dokter khusus yang mengobati kamu." Careld mengulurkan tangan. Move terdiam sesaat. Dia menatap dokter Careld lama.
"Kenapa, nggak mau kenalan dengan, Saya?" Move kembali menatap laki-laki sejuta pesona itu. Lalu mengulurkan tangannya.
"Move," ucapny pelan. Careld tersenyum lembut. Merangkum tangan ringkih itu dalam satu genggaman.
"Kamu jangan sungkan Move! Kalau ada yang diperlukan bilang sama aku." Move mengangguk ragu.
Move itu aku,
Yang koma selama 5 hari, karena kecelakaan. Tertabrak truk container. Sekalinya aku bangun dari tidur panjangku, aku amnesia. Menyedihkan! Cuma kata itu yang bisa mewakili hatiku.
Bagaimana tidak? Selama aku koma, tidak ada satupun yang menjengukku. Aku tak punya siapa-siapa. Dan kini aku tidak ingat satu hal terkecilpun tentang diriku sendiri.
Kuhembuskan nafas dalam-dalam. Memandang ke arah kaca jendela. Rintik hujan itu menambah pilu hatiku. Sebenarnya aku ini siapa? Ku gelengkan kepala dan mencoba mengingat sedikit aja, tentang hal terpenting dalam diriku. Tapi nggak berhasil. Yang ada kepalaku tiba-tiba sakitnya luar biasa.
******
"Pasien itu sudah sadar lho! Dokter Careld sendiri yang ada di sana waktu dia membuka mata." Perawat-perawat ituriuh rendah bergosip.
Ray berhenti sesaat, mendengarkan perkataan mereka. Nama dokter Careld disebut, itu artinya yang dimaksud pasiennya sudah sadar itu adalah pasien yang ada di lantai 2, yang sejajar dengan ruangan Careld.
"Aku merasa iri sama dia, dokter Careld meng-istimewakannya." celoteh perawat itu sambil tertawa.
Ray semakin yakin, kalau sepupunya itu punya hubungan khusus dengan orang yang dia sebut pasien itu.
Dengan tergesa, Ray melangkahkan kakinya ke lantai 2. Ketika kakinya melewati kamar VIP itu, tak sengaja dia menoleh ke dalam kamar tersebut. Agak kaget ketika di lihatnya seorang wanita tengah berdiri membelakanginya. Merasa familiar dengan postur tubuh wanita itu. Mencoba mengingat-ingat, namun segera di gelengkan kepalanya.
******
Baru saja Ray mau mengetuk pintu ruang praktek dokter Careld. Pintu ruangan itu sudah terbuka, terlihat dokter Careld bersama seorang wanita yang teramat Ray kenal.
Ray berdiri mematung di depan pintu. Menunggu mereka menghampirinya. Sedang dokter Careld dan wanita itu saling melempar senyum.
"Hai Ray, kamu datang lagi? Ada yang bisa aku bantu?" tanya dokter Careld ramah. Sedangkan wanita yang ada di sampingnya mengurai senyum pengharapan.
"Aku mampir aja Careld, ada yang mau aku bahas sama kamu?" jawabnya datar sambil menatap wanita itu.
"Lama nggak bertemu Ray," sapa perempuan itu sambil mengulurkan tangan. Ray bergeming.
Dia,
Feronika Alfarest, wanita yang tetakhir kali membuat hidup Ray berantakan. Dan akhirnya harus kehilangan Move. Di hati Ray, sangat tidak bisa menerima kelakuan teman kecilnya itu. Sampai pada akhirnya dia memutuskan konta wanita ini.
"Ok, Ray, tunggu aku di ruanganku. Aku anter Feronika dulu ya?" ucapnya seraya bergegas meninggalkan Ray yang masih berdiri mematung.
Ketika dokter Careld dan Feronika di lobi, tampak Move, pasien yang baru bangun dari komanya itu sedang berada di taman.
"Fero, sebentar ya," ucapnya seraya mrnghampiri Move yang duduk membelakangi mereka. Berbicara sebentar, lalu berniat kembali ke tempat Feronika berdiri. Ketika terdengar pertengkaran mereka,
"Ray, aku juga berusaha mencarinya! Selama 5 hari ini aku bukannya diam saja, tapi aku selalu berusaha mencari keberadaannya,"
"Untuk apa?" sambar Ray cepat. Feronika tercekat. Ditatapnya manik mata laki-laki yang dia cintai itu. Begitu dingin wajah itu.
"Ray-, aku-,
Air mata Feronika tumpah. Wanita itu berlari ke luar gedung. Sedang Ray menatap kepergian wanita itu hanya dengan menarik nafas pendek.
"Kalian ada masalah?" Careld menghampirinya dari belakang.
"Apa sudah separah itu hubungan kalian?" Kembali Careld berucap sambil menjajari sepupunya itu. Ray hanya membuang pandangannya kedepan.
Terbentur pada sosok berambut pendek tampak ringkih dari belakang. Seolah-plah familiar dengan sosok itu, dia berhenti sesaat untuk memastikan.
"Kenapa,?" tanya Careld penasaran.
"Itu pasien kamu?" tanyanya dengan jari telunjuk sudah mengarah pada sosok wanita yang ada di taman. Bahkan Ray tak menjawab pertanyaan dokter Careld.
"Oh dia, pasien yang koma itu. Iya, dia pasienku, barusan dia sadar, bangun dari komanya, kamu mengenalnya?" tanya Careld pada sepupunya itu.
Ray menggelengkan kepalanya, pandangan matanya tetap tertuju ke arah pasien dokter Careld.
"Pasien kamu itu, namanya siapa?" tanya Ray polos.
"Namanya, ..."
"Dokter Careld!" Panggil seorang perawat dari arah berlawanan.
BERSAMBUNG
Dokter Careld menoleh mendengar panggilan itu. Seorang suster menghampiri. "Ada pasien yang anfal Dok, di lantai 5!" katanya tergesa. "Ok , Sus, segera ya," jawabnya sambil mengangguk, " maaf Ray, aku tugas dulu ya!" Kalau menungguku, ke ruanganku aja!" lanjutnya seraya berjalan tergesa menuju lantai 5. Ray hanya menatapnya dengan raut muka susah diartikan. Dilayangkan pandangamnya ke arah taman. Perempuan yang menjadi pasien istimewa Careld sudah menghilang entah ke mana. Dengan berdiri mematung di lantai dasar, Ray menghbuskan nafasnya kuat-kuat. Sudah hampir seminggu hilangnya Move. Bahkan ponselnya pun tidak aktif sama sekali. Ada yang membuatnya merasa aneh. Seandainya memang Move sengaja menghilang kenapa jejaknya sama sekali tidak terlacak. Mungkinkah terjadi sesuatu dengan dia? Pikiran itu ke mana-mana. Selang beberapa jam, dia sudah di ruang direktur. Duduk menatap kosong ke layar komputer. Pintu diketuk, Clarisa masuk d
"Dokter, Saya masuk dulu ya, mau beres-beres," ucapku dengan senyum di bibirku. Terdengar suara sepatu dari belakang tempatku berdiri. Dokter Careld mengangguk dan membalas senyumanku sambil mengelus pundakku. Selanjutnya aku berlalu dari tempat itu. Aku tidak ingin mencampuri urusan mereka. Aku dah cukup beruntung, bertemu dengan dokter sebaik dia. Uang mau menampung orang asing sepertiku. Sepeninggalku, laki-laki yang bernama Dattan itu asyik ngobrol dengan dokter Careld. "Mangsa baru bro?" tanya Dattan sambil menatap lurus ke arah wanita yang barusan bersama Careld. "Sembarangan aja, bilang mangsa! Dia manusia kali!" Dattan terkekeh mendengar Careld, sahabat lamanya juga sahabat kecilnya itu menggerutu. "Tumben, masih ingat mampir ke sini? Sudah hampir berbulan-bulan lho kamu melupakan rumahku?" ucap Careld sambil berjalan menuju rumahnya yang ada di sebelah pavilium. Dattan hanya mengendikkan bahu mendengar perkataan Careld
Ray mengangkat telponnya. Agak serius dia menerima telpon itu. Kakinya berbalik arah ke rumah dokter Careld. Sedang aku masih saja berusaha msngingat hal sekecil apapun itu. Beberapa menit yang lalu, seiring denyut jantungku yang berdetak kencang, aku seolah merasakan ada sesuatu yang sangat aku rindukan. Entah apa itu. Seperti aku merindukan seseorang yang sangat dekat denganku. Tapi sudah beberapa detik rasa nyeri di ulu hatiku tiba-tiba menghilang. Aku menarik dan menghembuskan nafas agar beban yang ada di hatiku hilang. Berharap secepatnya ingatanku pulih. Masih kudengar suara dokter Careld dan teman-temannya tertawa gembira. Sekilas teringat pria yang turun dari mobil hitam tadi, rasanya seperti dekat dan kenal dengan orang itu. Apakah itu artinya dia pernah ada di masa laluku? "Reld, kok pasien kamu nggak diajak gabung sich? Takut ya pindah ke lain hati?" Careld cuma terbahak mendengar lelucon Dattan. Sedang Ray masih sibuk dengan
Ada yang kurasakan hangat di kulitku. Mataku terbuka samar-samar. Kepalaku rasanya berdenyut-denyut sakit. Kutebar pandanganku ke sekeliling. Kusapu ruangan itu dengan tatapan kosong. Beberapa detik kemudian, Aku teringat kejadian sebelumnya. Dokter Careld dan temannya yang bernama Ray Dinata. Hatiku tiba-tiba tercekat, mengingat ucapan terakhir laki-laki itu. Bahwa aku adalah kekasih 6 tahunnya. Oh ..., Benarkah? Itu artinya laki-laki itu adalah orang paling berperan dalam hidupku! Pikiranku melayang ke mana-mana. Pada akhirnya pandanganku terbentur pada sosok tampan dengan satu tangannya menyangga dagunya. Mata itu terpejam. Kuamati dalam-dalam wajah yang begitu mempesona itu. Dan ... aku terperanjat menyadari siapa laki-laki itu. Spontan aku tarik tanganku yang ternyata ada dalam genggamannya. Tubuhku secara reflek juga terbangun dan beringsut mundur, mentok ke belakang. Dan sekali kusadari bahwa aku masih di rumah sakit, jadi pasie
Dengan tergesa, Ray berlari mengejar brankar dorong yang membawa Move. Di dalam pikirannya, di sana, jenazah Move terbaring. Air matanya tumpah ruah. Dunianya gelap. Dattan yang menyadari kondisi itu, segera mengejar sahabat kecilnya itu. Dengan nafas ter-engah, Ray menggapai brankar dorong itu. Dilihatnya Move sedang terlelap tak sadarkan diri akibat obat bius. Ray terduduk lemas, membiarkan brankar dorong itu dibawa perawat rumah sakit. Nafas yang tadi tersengal pelan-pelan mulai teratur. Ada kelegaan yang luar biasa di dadanya. Badannya seperti tak bertulang. Dilihatnya Careld tersenyum meledek. Secepat kilat Ray bangun. Seolah punya kekuatan dia mengejar sepupunya itu. Careld ...! Kamu keterlaluan!" teriaknya dengan nafas ngos-ngosan. Sedangkan Careld sudah berlari ke ruang prakteknya. "Ray, semua baik-baik saja. Operasi Move sukses. Tinggal menunggu dia sadar. Lebih baik kita ke ruangannya." Dattan membimbing tubuh Ray bangu
Wanita itu berdiri membelakangi bangku yang ada di taman. Postur tubuhnya yang aduhai,membuat mata setiap pria yang melihatnya, menyempatkan untuk menelan salivanya sendiri. Ada 30 menit, wanita itu menunggu kedatangan dokter Careld. Ada kegelisahan yang terpancar di wajahnya. Bahkan sikapnya yang mondar mandir, tidak bisa menutupi ada keresahan yang mutlak di hatinya. Sebentar-sebentar, dia menengok jam tangannya, menoleh ke arah lobi rumah sakit, dan sesekali mengusap mukanya dengan kasar. Ada ketidaksabaran jelas terpancar di wajahnya. "Hah!" Jelas, dengusan itu menggambarkan kondisinya yang kesal dan tidak sabar. Dari arah belakang seseorang yang ditunggunya datang. Dengan gaya khasnya, dokter Careld langsung berdiri di depan wanita itu. "Sudah lama tidak minta aku untuk menemuimu, apakah ada yang membuatmu ingin bertemu denganku?" Careld menatap wanita itu dengan senyum khasnya. Ke dua tangannya merangkup disakunya
"Kalau sudah lihat rekaman ini, terserah kamu mau bagaimana," ucap Careld sambil menyandarkan punggungnya di sofa ruang kerjanya. Ray dengan tergesa melihat ke cctv. Nafasnya terdengar mendengus. "Dia lagi!" geramnya. Giginya gemeletuk menahan marah. Careld hanya mengendikkan bahu ketika mata Ray beralih menatapnya. Dia itu terobsesi sama kamu, Ray. Kenyataanya, dia bisa melakukan apa saja untuk menyakiti orang yang kamu sayang,mungkin, menurut dia, lebih baik tidak ada yang memilki kamu." "Gila! Ray menggeram marah. "Sakit itu namanya!" tukasnya dengan wajah memerah. "Untung kamu nggak jadi nikah sama dia," lanjutnya. Careld hanya terkekeh. Terdengar suara pintu dibuka. Wajah Dattan nongol dari balik pintu. "Tindakan apa yang mau kamu ambil Ray?" tanyanya seraya menjatuhkan badannya ke sofa di sebelah Careld. "Kalau boleh aku saranin, nggak usahlah bawa-bawa polisi lagi, kita nunggu ingatan Move pulih, untuk membebaskan
Sudah setengah jam, Ray memperhatikan wartawan yang semakin banyak memenuhi halaman gedung kantornya. Sudah dikerahkan tim keamanan dan juga sempat menyewa beberapa bodyguard, agar para reporter itu tidak menyeruak masuk ke dalam gedung perkantoran. Line telfon berdering terus tiap detik, meminta klarifikasi atas mencuatnya ke media surat kabar gosip Ray Dinata, presdir dari perusahaan pengiriman barang, terlibat skandal dengan mantan karyawannya. Disitu tertera nama Move Herdianata. Entah, perbuatan siapa yang menyebarluaskan gambar dan berita ini di semua media sosial, tentang dirinya dan Move. Teringat akan Move, Ray dengan tergesa menyambar ponselnya, dia ingin memastikan Move tidak jadi perburuan empuk awak media. Tapi baru saja telpon di seberang berbunyi sekali, "Maaf, Pak Ray, para dewan direksi sudah menunggu untuk rapat mendadak." Clarisa, dari balik pintu mengingatkan jadwal rapat darurat hari ini. Ray kembali memencet warna merah dipanggil
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo