Sesekali aku menatap keluar kaca sambil terus mendengar ucapannya. Rasanya memang tidak bisa dipercaya kalau ternyata dalang dibalik semua kasus ini adalah orang yang sangat ku kenal. Tapi itu baru dugaan sementara. Belum ada bukti yang benar-benar real yang bisa memberatkan orang itu bersalah.
Kalau pada kenyataanya memang dia, apa hubungannya denga aku. Kenapa aku yang dijadikan target kambing hitamnya?
Seandainya bukti itu sudah konkret mungkin aku sendiri yang akan langsung berhadapan dengan dia. Semua harus jelas! tidak boleh dibiarkan dia berbuat semena-mena sama orang lain. Harus ada alasannya kenapa dia tega melakukan ini!
"Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dulu Move! kita harus mencari tahu identitas Feronika yang sebenar- benarnya! ucapnya tegas. Aku menatapnya dan mengangguk pelan.
"Kita mulai penyelidikan dari mana, Pak?"
"Kita cari identitas Feronika dulu Move. kita harus cari informasi yang sebanyak-banyak tentang siapa sebenarnya Feronika Alfarest. Apa hubungan Feronika dengan perusahaan ini? kenapa tiba-tiba dia bisa datang ke perusahaan ini? pasti ada motif tersembunyi dibalik semua ini. yang pasti kita harus lebih hati-hati sekarang karena kita tahu ternyata musuh kamu ada di depan mata kamu. orang yang begitu dekat dengan kamu."
Aku menghela nafas panjang. "Terima kasih sudah percaya sama saya, Pak!" terima kasih juga Bapak sudah mau membantu saya. Untuk selanjutnya cukup kita berdua dulu. Karena sekarang kita faham orang-orang disekitar kita belum tentu tidak punya maksud,-" kalimatku menggantung
Pak Fito menepuk-nepuk pundakku."Saya percaya sama kamu Move. Karena kamu orang baik. Dan saya mengenal kamu bukan setahun 2 tahun. Kita bekerja satu perusahaan sudah lebih dari tujuh tahun. Jadi kamu tidak usah khawatir, kita akan cari bersama-sama siapa sebenarnya Feronika, dan apa motifnya dia melakukan ini diperusahaan kita?"
Aku mengangguk mantap seraya tersenyum. Itulah pembicaraanku dengan Fito. Baik Fito ataupun aku sebenarnya tidak percaya kalau orang yang ada dalam rekaman cctv itu adalah Feronika. Meskipun wajahnya ngga begitu jelas karena memakai masker, tapi kalau dilihat dari segi postur tubuhnya itu adalah dia.
Tapi aku dan Fito masih akan menyelidikinya lebih lanjut lagi. Mencari bukti-bukti yang lebih konkret lagi. Kami tidak mau salah menuduh orang.
Selintas aku teringat sosok yang menunggu Feronika didepan pintu keluar kantor. Sosok itu terasa familiar. Tapi baik aku dan pak Fito belumau berasumsi yang ngga-ngga karena dalam rekaman cctv, sosok itu terlihat samar-samar.
Selangkah lagi aku sampai depan pintu masuk ruang direktur. Dimana beberapa hari terakhir ini orang yang ada didalam sana sudah menjadi bagian dalam hatiku. Aku menarik nafas berat. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan sekitarku. Setelah mengetahui kebenaran tentang kasus penggelapan uang perusahaan itu.
Aku sudah menolak untuk tidak curiga dengan orang yang ada didalam ruangan itu. Tapi hatiku entah kenapa merasakan curiga yang begitu besar padanya.
Sebenarnya apa yang harus aku curigai? dia kan direktur perusahaan disini. CEO yang jujur dan sukses dalam kepemimpinannya.
Aku menggeleng kepala berkali-kali. Seraya menggapai pintu.
"Move!" Aku menoleh kaget.
Sosok ramah yang rupawan itu tersenyum mempesona. Akupun membalikkan badan dan membalas senyumnya dengan ramah juga.
Baru mulutku mau terbuka, "jangan manggil aku dengan kata bapak! Ok!" Semakin lebar senyumku mendengar ucapannya.
"Mau nagih janji!" ucapnya lagi. Aku mengangguk-angguk masih dengan senyum.
"Pulang kerja, ok!" lgi-lagi belum sempat aku bicara dia sudah menyerobot duluan.
"Ok!" jawabku singkat dengan tatapan jenaka dan senyuman manis.
"Didepan pintu keluar aku tunggu! jangan lembur ya?" Aku mengangguk. Sosok mempesona itu juga tersenyum dan menatapku dalam. Agak jengah juga. Akhirnya aku mengalihkan pandangan sesaat.
"Aku masuk keruangan dulu Pak Dattan -!" ucapku cepat menyambar pintu lalu masuk.
"Eehh-, " laki-laki itu berusaha mengejar tapi pintu sudah tertutup. "Huft! menggemaskan. Kayak masih anak umur 20 tahun!" gumamnya sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.
*******
Aku salah tingkah dengan sikapnya. Sesekali aku memberanikan diri menatap wajahya. Uhh! dingin tak bereaksi. Seperti batu es. Keras!" mulutku komat-kamit.
Muka datarnya menunjukkan ekspresi marah. Aku melihat rahangnya mengeras. Tatapannya tajam seperti mau menerkam. Dengan sedikit gemetaran aku menunduk kembali. Sebenarnya aku sadar salah aku apa. Melanggar ucapannya waktu itu.
Tapi apa harus dengan cara begini menghukumku. Membiarkan aku berdiri menunduk didepannya sudah lebih dari setengah jam. Rasanya kakiku sudah ngga kuat. Lebih-lebih sikapnya buat aku takut. Diam terus cuma matanya tajam menatapku tanpa berkedip.
Hampir jatuh badanku.Kakiku mgga saggup menopang badanku yang sebenarnya sudah lemas dari tadi. Dengan sigap dia menangkap tubuh kecilku. Bahkan dalam keadaan dia memeluk tubuhkupun, mulutnya belum juga terbuka. Yang ada mata tajam itu tambah garang menatapku.
Aku mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Tapi terlalu kuat tangannya memelukku. Berusaha memberontak, agar aku bisa melarikan diri. Namun sia-sia. Aku mengeluh dalam hati.
Sesaat aku merasakan pelukannya merenggang tapi bukan berarti dia melepaskan pelukannya. Tapi setidaknya aku sedikit bisa bernafas.
"Kenapa melanggar ucapan yang aku sampaikan sama kamu beberapa hari yang lalu? Kamu lupa status kamu sekarang apa?" Aku mengangguk pelan dengan tatapan menghiba.
"Terus kenapa masih saja tidak patuh?" Masih dengan suara berat. Aku kira dia akan bersuara tinggi ternyata suaranya sendu berkesan sedih.
"Maaf!" pelan suaraku.
"Apa kata maafmu sudah cukup mengobati kekesalanku?" Aku menatapnya.
"Cup." secepat kilat kecupan dipipinya itu kutarik. Aku menunduk dengan muka merah merona. Malu! Tanpa kuduga tiba-tiba dia mengangkat badanku kemeja.
"Mulai nakal ya sekarang! ada kemajuan!" dia mencubit hidungku.aku semakin menunduk dan pastinya wajahku semakin memerah. Tangannya meraih mukaku dan menatapku dalam.hembusan nafasnya begitu terasa di wajahku. Dengan sengaja dia mendekatkan mukanya ke wajahku.aku menjauhkan mukaku kebelakang. Tapi tangannya menekan maju kepalaku.
Dalam sekejab! bibirnya sudah melumat bibirku. Aku terkejut tapi tidak sempat mengelak. Semakin kepalaku ditekan semakin masuk lidahnya kemulutku memainkan lidahku sesekali dihisap. Sesaat aku memejamkan mata menikmati lumatan bibirnya.
Tok ...
Kami terperanjat. Secepat kilat aku melompat. Ray pun segera memutar badannya dan kembali kemejanya. Aku menyeka bibirku yang basah dan melihatnya dengan senyum kecil.
"Masuk-!" ucapnya sedikit keras. Kulihat Clarisa datang membawa buku laporan.
"Maaf Pak! ini berkas yang harus Bapak tanda tangani." ucapnya.
"Oh iya!" agak gugup dia. Bahkan tangannya gemetar memegang pena.
"Bapak sakit kok tangannya gemetar?" Aku menoleh mendengar kata-kata Clarisa. Kuperhatikan mimik muka Ray yang saat itu juga menatapku.
"Oh tidak Clarisa! Saya cuma sedikit ngga enak badan. Semalam kurang istirahat dengan baik." jawabnya masih sambil menatapku. Aku menundukkan kepala.
"Baiklah Pak! kalau begitu saya akan melanjutkan kerja."
"Iya Clarisa, silahkan!" Sepeninggalkan Claris, dia mendekati mejaku.
"Takut ya?" suaranya menggoda.
"Bukannya Bapak yang tangannya gemetar. Kenapa jadi saya yang harus takut?" Pembelaanku telak sambil menatapnya tegas
"Hem-m! sudah berani ya sekarang? siapa yang ngajarin?" ucapnya sambil memencet ke dua pipiku.aku meringis.
"Uhh-hh, sakit!" ringisku sambil melepaskan tangannya dari pipiku. Aku usap-usap pipiku yang memerah sambil bersungut-sungut.
Dengan lembut dia mengusap dan membelai pipiku. "Maaf sayang," suaranya lembut. Aku menatapnya lembut. Lalumengangguk pelan.
Lembut sekali dia mengecup keningku. Aku menengadahkan muka menatapnya dengan teduh. Dengan hangat sosok tampan itu memelukku. Harusya aku adalah orang yang paling beruntung.
Tapi semenjak melihat rekaman cctv yang sempat dihapus itu, entah kenapa aku mulai meragukan orang-orang di sekitarku. Dan mulai protect dengan diriku sendiri. Aku berharap semua cepat terungkap. Aku membalas pelukkannya dan mengeratkannya hangat.
BERSAMBUNG.
Up
Rintik hujan mulai deras. Aku hanya menatap terus wajah yang seperti tak ada ekspresi itu. Kenapa dia, marahkah? Entahlah, yang pasti sudah hampir setengah jam lebih situasi ini berlangsung. Huft-ft! Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Kembali aku menatap wajah itu. Bahkan masih datar belum berekspresi. Aku mencoba mengalihkan fikiranku dengan menyedot kuat-kuat minuman yang sudah dipesan. Habis! Tinggal gelas sama sedotannya aja. Tapi raut muka seseorang yang ada di depanku masih sama. "Marahkah?" tanyaku ragu dengan suara agak gemetar. Dan ku beranikan menatapnya. Sosok itu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Punya hak kah aku marah?" Dia balik bertanya. "Akh-kh!" aku kesal dengan sikap dan nada bicaranya. Ku ketuk-ketuk gelas kosong tadi sebagai pelampiasan kekesalanku. "Cukup ...!" suara itu tenang. Meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya. "Kenapa kamu yang marah? Aku melotot mendengar pertanyaannya. Hei ...! Gimana ak
Hari ini weekend. Sepagi ini aku sudah mantengin laptop. Aku terus menarik cursor laptop keatas dan ke bawah. Nafasku serasa sesak, tapi mataku tak mau lepas dari layar laptop. Mulutku kututup pake satu tanganku, ketika tanganku yang lain berusaha meng-zoom gambar yang aku lihat. Ada cairan hangat menetes jatuh ke keybord laptop. Seakan tak percaya tapi memang benar. Layar laptopku, menunjukkan gambar foto orang-orang yang aku kenal. Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa yang aku lihat itu salah. Namun, kenyataan bicara lain. Foto praweding seorang laki-laki dan perempuan yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku sambar ponsel yang ada di sebelahku.Tertera nama CEO galak dilayar ponselku.Berkali-kali berdering dan tersambung, tapi panggilanku nggak diangkat.Aku coba beberapa kali tapi tetap hasilnya nihil. "Kamu di mana? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu!" Aku menunggu pesan itu dibaca sipemilik ponsel.Tapi hampir 10 menit tidak ada
Mungkin terlalu pagi. Aku sudah membereskan barang-barang di ruanganku. Saat ini aku sedang di ruang manager keuangan. "Move! sudah kamu pertimbangkan baik-baik keputusan kamu ini?" Aku menatap kosong ke depan mendengar pertanyaan itu. "Saya rasa tidak ada yang perlu saya pertimbangkan, Pak!" jawabku tegas. Meyakinkan hatiku. Berusaha menegaskan pada diriku sendiri bahwa keputusanku untuk risaign dari perusahaan itu benar. "Kamu yakin tidak mau mengetahui apa motif mereka melakukan ini sama kamu? lagi-lagi pak Fito menanyakan keyakinanku. "Saya sudah tidak mau terlibat jauh dengan mereka lagi, Pak. Saya nggak menyangka mereka bisa begitu rapi bikin skenario ini buat saya." keluhku lemah. Tampak dari raut mukaku ada kesedihan mendalam. Fito, sang manager keuangan menarik nafas seraya menggeleng- gelengkan kepala. "Saya nggak menyangka Dattan terlibat dalam masalah iin dan tega melukai kamu. Entah tujuannya apa? Pungkasnya la
Setelah peristiwa terakhir itu. Aku memutuskan pergi menghilang. Menjauh dari segala permasalahan. Dari berhenti kerja sampai pindah kost, akhirnya aku juga mengganti nomor ponsel. Berharap tidak akan muncul lagi suatu hari peristiwa-peristiwa yang terjadi kemarin. Sekilas aku mendengar ada beberapa orang yang mencari kabar tentang kepergianku. Ray Dinata! Dia salah satu orang yang yang sibuk mencari tentang aku. Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja aku melihat sosok Dattan terlihat di cafe tempat baruku bekerja. Dia salah satu pelanggan setia di cafe tempat aku bekerja. Aku sengaja tidak menemuinya ketika siang itu dia datang ke cafe. Penamipilannya lebih santai dibandingkan ketika dia kerja. Karena memang hari itu hari libur. Di depannya duduk seorang wanita yang sudah sangat aku kenal. Feronika Alfarest! Tak kulihat sosok lain selain mereka berdua. Aku pikir akan ada sosok Ray Dinata. Namun dari kejauhan kuperhatikan mereka sibuk membahas sesuatu h
Panas matahari menembus jendela kamar kostku. Aku menggeliat menyadarkan diri kalau hari sudah berganti waktu. “Terjadi lagi semalam ..." gumamku dalam hati. “ Huft ...!”hembusan nafasku begitu dalam. "Kenapa begitu lemah? Kenapa harus selemah ini? Lagi-lagi hatiku berkata. Sesaat kupejamkan mata menenangkan perasaan yang tiba- tiba merasa tidak nyaman. Rasanya sudah menyerah duluan. Ada rasa enggan menyeruak masuk kedalam pikiranku. Beberapa hari ini dia sudah berusaha untuk tidak mengingat apapun tapi kenapa musti berjumpa lagi. "Takdirkah?" tanyaku sambil bergumam pada diriku sendiri masih dengan mata terpejam. Meng_awang-awang kejadian demi kejadian. “Yah, itu memang takdir. Kita ditakdirkan untuk selalu bertemu." suara yang teramat aku kenal. Dia sudah berbaring di sampingku sambil membelai rambutku. Kubuka mataku, begitu dekat jarak itu. "Tuhan ...! Bagaimana kalau nanti aku kehilangan lagi seperti yang sudah-sudah? Su
Luka lama terbuka kembali! Mungkin itu yang pantas menggambarkan kondisi aku saat ini. Semenjak aku bermimpi tentang masa laluku, hatiku mulai nggak tenang. Ada perasaan nggak nyaman. Luka lama itu seolah-olah kembali menganga dihatiku. Trauma yang bertahun-tahun aku cari obatnya kini kambuh lagi. Bahkan sekarang hampir tiap malam aku bermimpi yang sama. Aku mengendikan bahu ketika salah satu pelayan cafe berbisik di telingaku. Setelah beberapa menit kemudian, aku melangkah menuju meja yang sudah dipesan seseorang. Kulihat wanita cantik itu tidak sendiri. Ada wanita separuh baya duduk berseberangan dengannya. Wanita yang masih begitu terlihat anggun dan cantik diusia 50 tahun. Aku menarik nafas dalam sambil berjalan menuju ke arah mereka. Aku sudah bisa menebak siapa wanita separuh baya yang Feronika bawa itu. Jantungku berdetak begitu kencang. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" ucapku sedikit bergetar menatap wanita anggun itu. Tidak lu
"Gubrak ... !" Tas itu dilempar sebarang. Suaranya terdengar jelas. Dia menelungkupkan mukanya di kedua lututnya. Terduduk di bantalan sofa empuknya. Punggungnya teguncang kencang. Ada isak tangis di sana. Sesaat alam sadarnya kembali. Disekanya air mata itu dengan kasar. "Apa kurangnya aku dibanding dia! Dia hanya seorang janda! Dia hanya wanita biasa! Apa kurangnya aku-!! Prankk-!! Gelas itu pecah berhamburan ke lantai. Pecahannya mengais kulit putihnya,melelehkan darah segar di betisnya. Dia meringis menahan sakit diantara isak tangis kemarahannya. Tanpa memperdulikan pecahan gelas di lantai itu, dia membuka membuka layar ponselnya. Semenit kemudian -, "Lakukan malam ini! Rusak Dia! Hancurrkan- Dia!" perintahnya di seberang telpon. "Baik Nona," "Aku tidak mau mendengar kata gagal!" tandasnya cepat, lalu menutup telpon. Nafasnya ter-engah. Matanya menyorot tajam. Memandang keluar jendela. Feronika Alfarest,!&nbs
Bau ruangan ini sudah tidak asing lagi. Bau khas rumah sakit. Perlahan aku membuka mataku. Rasanya, badanku remuk semua. Aku meringis menahan sakit. Kurasakan sentuhan lembut di jari-jemariku. Dengan masih kurasakan sakit di kepalaku. Kulihat seseorang duduk di hadapanku. Menggenggam hangat tanganku. Aku tidak perlu mencoba mengingat kejadian yang menimpaku. Rasanya aku trauma. "Kamu sudah sadar, Sayang? Apa yang kamu rasakan, masih sangat sakitkah? Suara teduh itu milik Ray. "Maafkan aku, saat kamu butuh aku, aku tidak ada bersamamu!" ucapnya lagi. Aku hanya menggeleng kan kepala lemah. Iya, Dattan yang menyelamatkan aku. Kemanakah dia? Mataku mengitari ruangan. Tapi tidak kutemukan sosok itu. "Kamu mencari Dattan?" Kuanggukan kepala, mengiyakan pertanyaannya. "Dia di kantor polisi. Ikut mengintrogasi kedua penjahat yang akan memperkosamu!" Aku kembali mengangguk, mendengar ucapan Ray. Yah, aku hampir saja diperkosa oleh dua laki-laki
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo