Aku menatap lembar demi lembar kertas itu. Berkali-kali kubuka, tetap aja ada nama dan tanganku di sana. Tanganku gemetaran memegang lembaran kertas itu. Kertas yang menunjukkan ada sejumlah uang yang ditransfer ke rekeningku.
"Kenapa harus begini, kalau kamu butuh uang tinggal bilang sama Saya, Move, tidak harus melakukan tindakan ini kan ... ?" suara itu menggema di ruang manager keuangan.
"Harus berapa kali, dijelaskan, Saya tidak melakukannya?!" suaraku tak kalah menggema. Merasa bahwa aku benar dan tidak melakukan perbuatan itu.
"Tapi bukti ini mengarah padamu, Move!" Fito menunjuk kertas tanda bukti transferan itu padaku. Aku meraup mukaku dengan kasar. Antara bingung dan tidak percaya, drngan apa yang terjadi hari ini. Bagaimana bisa, ada sejumlah uang yang ditransfer ke rekeningku? Kalau aku sendiri saja tidak pernah menerima uang itu? Anehnya di hari dan tanggal itu direkeningku tidak ada uang yang masuk. Terus uang itu kemana?
"Saya difinah, Pak!" ucapku tegas dengan nada dingin. Fito, selaku manager keuangan menarik nafas panjang.
"Kamu sepertinya, harus menghadap ke ruang pimpinan, Move," aku tercekat mendengar kata-katanya.
"Aku yakin tidak lama lagi, pak Ray, akan memanggilmu ke ruangannya."
Aku semakin gusar dengan keadaanku sendiri. Dan memang benar tak perlu menunggu waktu sampai 5 menit, tiba-tiba sekertaris direktur sudah mencariku. Aku menghela nafas, ada debar jantung yang kian membuatku ciut. Tapi, buat apa aku takut, toh aku tak pernah melakukan itu.
Di waktu yang cuma beda 5 menit, aku sudah berdiri di depan meja kerja pimpinan. Dengan wajah menunduk dan kaki berkeringat, aku menunggu reaksi dari laki-laki yang sedari tadi berdiri menatapku dengan mata tajamnya. Rasanya kaki ku sudah lemas, tapi laki-laki itu masih diam seribu bahasa.
Dia maju selangkah, dengan reflek ada pergerakan dari badanku. Kaki ku semakin gemetar aku rasakan. Dengan wajah menunduk, aku menyembunyikan ketakutanku.
"Kamu butuh uang berapa?" suaranya datar. Sedatar mukanya yang tanpa ekspresi.
Aku terpanana mendengar pertanyaan itu. Tanpa kusadari kepaku menggeleng pelan.
"Kalau kamu tidak membutuhkan uang, kenapa harus bertindak seperti ini?" Kali iin, aku seperti tertampar. Jadi benar, dia juga percaya bahwa akulah yang melakukan melakukan perbuatan itu.
"Saya tidak me-,
"Tapi bukti itu mengarah ke dirimu, ada nama dan tanda tanganmu."
Aku menelan saliva dengan susah payah. Beberap detik yang lalu, dia menyambar ucapanku yang belum selesai.
"Besok, kita akan mengadakan rapat darurat. Kamu wajib ada di sana, karema semua petinggi perusahaan, akan menentukan nasib kamu!" Sekali lagi aku menelan salivaku yang mulai mengering, mendengar ucapan tegasnya. Aku tak berani sama sekali menatap mukanya yang datar itu.
Dengan lemah aku mmenganggu, "baik, Pak."
"Kamu boleh keluar!" usirnya membuatku tercengang. "Selama masalah ini belum ada titik terangnya, jangan berani-berani ambil cuti!" perintahnya tegas. Sekali lagi, aku mengangguk.
Aku bergegas keluar menuju meja kerjaku. Riuh rendah karyawan lain membicarakanku dengan nada sinis. 9 tahun aku kerja di perusahaan iin, baru kali ini tersandung kasus memalukan seperti iin, bahkan kesalahan yang tidak pernah aku lakukan sama sekali. Aku menelungkupkan mukaku dengan kedua tangan. Ada beban berat di sana.
Selama ini, masalah seberat aapapu, aku selalu tenang menghadapinya. Dan ku pastikan ada jalan keluarnya. Tapi kali ini, aku mengeluh. Apakah jalan satu-satunya aku mengundurkan diri saja? Mukaku terasa panas ada cairan yang menggenang di dalam mataku.
Ketukan di meja kerja ku, membuat wajahku mendongak ke atas. Ku lihat sosok Feronika di sampingku, dengan senyum sinis mengejek. Sebenarnya dia ada masalah apa sich, sama aku, kenapa seolah-olah membenciku?
Dengan Mata yang menukik tajam ke arahku, dia menghembuskan nafas sebelum memulai pembicaraan.
"Ada perlu apa kamu datang ke meja kerjaku Fero?" tanyaku enggan sambil membuang muka.
"Sebegitu ingin tenarnya kamu ,Move, sampai membuat kasus yang memalukan seperti itu!" Aku terpana mendengar ucapannya. Bahkan, dia mengabaikan pertanyaanku.
Aku menggeleng geram. Ada kemarahan di mataku, tapi dia setenang air sungai gangga, tanpa menghiraukan aku.
"Maksud kamu apa Fero, kamu mau bilang, bahwa aku menerima suap dalam kasus penggelapan uang itu?"
"Kenyataannya memang begitu!" Dia menyambar kalimatku.
"Move,! aku rasa, bukan cuma aku saja yang sudah tahu kasus kamu ini. Bahkan seluruh karyawan dari lantai dasar pun sudah tahu berita ini!" ucapnya lantang membuat semua karyawan yang ada di ruangan itu sejenak memperhatikan kami. Aku menyingsut mundur ke meja kerjaku, mencoba tetap bertahan.
"Jangan mentang-mentang kamu senior, bisa berbuat semau kamu! Saat ini perbuatan kamu ini, bisa bikin rugi perusahaan. Tolong, tempatkan posisimu di tempat yang sewajarnya."
Jlek-kk,
Aku terhenyak mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut Fero. Wanita itu begitu rendah memandang harga dirinya.
25 menit sudah berlalu, semenjak Feronika meninggalkan meja kerjaku.
Sampai detik ini aku belum paham, kenapa Feronika seolah-olah sangat membenciku. Entah salah apa yang sudah aku perbuat padanya. Kuarahkaan tatapanku pada layar komputer. Otakku bekerja keras untuk menyelidiki masalah yang menimpaku.
Terlintas sosok Fito, manager keuangan di perusahaanku, mungkin akan lebih baik kalau minta tolong sama dia, karena kasus ini bermula di sana.
Kasus yang tiba-tiba muncul, menghebohkan seluruh karyawan perusahaan.
Saat aku baru saja menengadahkan muka, ada sosok yang detik itu membuat jantungku berhenti berdetak. Dengan gugup aku berdiri
"Pak-k Ray! maaf ada yang bisa saya bantu?" Suaraku gagap. Lidahku seperti kelu. Menyadari sosok berwajah dingin itu sudah ada di depanku.
"Buatin saya kopi! sekarang-!" Perintah yang bernada penekanan itu membuat aku menelan salivaku pahit.
"Baik, Pak." jawabku menunduk dan selang 5 menit kemudian aku sudah di pantry. Seumur-umur baru kali ini aku ditugaskan membuat kopi buat bos. Entah takarannya seberapa.
"Move!" suara itu membuatku menoleh. Kulihat wajah mempesona itu sudah berada tepat di belakangku berdiri.
"Dattan," gumamku sambil tersenyum. Aku membalikkan badan. Masih tersisa di sana, di mataku yang sembab kesedihan yang luar biasa. Laki-laki itu meraih pundakku dan merengkuhnya untuk memberi kekuatan. Mataku mengerjab, ada air hangat yang jatuh di pipiku.
"Dont cry," bisiknya lembut di telingaku. Aku semakin terisak, punggungku bergetar. Tanpa sungkan Dattan menjatuhkan kepalaku di pundaknya, Merangkulku dengan lembut, saat seluruh pesonanya meruntuhkanku.
Tanpa aku sadari, ada seseorang yang sudah berdiri tepat di depan pintu pantry.
"Jadi ini, yang kamu lakukan saat jam kerja? suara itu mengagetkanku dan juga Dattan. Reflek, Dattan merenggangkan rangkulannya.
Aku menundukkan wajahku yang pias. Detak jantungku tak karuan, antara takut dan malu.
"Aku bisa jelasin, Ray, semua tidak seperti yang kamu fikirkan. Aku hanya menghibur Move karena kejadian ini pasti membuat dia down."
Dattan Sergio Sesha, manager HRD, yang punya tampang mempesona, digilai banyak wanita, sekaligus sahabat kental Ray Dinata. Mecoba memberikan penjelasan, bahwa yang dilihat barusan tidak seperti yang ia pikirkan. Tapi Ray tetaplah Ray. Dia tidak mau peduli pendapat orang lain.
"Penjelasanmu itu tidak penting, Pak Manager!" tukasnya tajam. Aku bergidik mendengar sergahan direktur muda itu. Kalau Dattan saja tidak dihargai apalagi aku? Lagi-lagi kudukku meremang, membayangkan apa yang akan terjadi nanti, kalau aku sudah di ruang pimpinan.
"Move! Bawa kopinya ke ruangan direksi dan kamu!" tunjuknya tajam ke arah mukaku. "Jelaskan semua di ruangan, Saya!" lagi-lagi perintahnya membuatku gemetararan.
BERSAMBUNG
Di baca ya teman-teman
5 menit kemudian. Aku sudah berada di ruang direktur. Dengan tangan sedikit gemetar, aku menaruh kopi itu di atas meja kerja direktur. "Kopinya, Pak," ucapku sambil menarik tanganku dari meja kerja itu. Sempat bingung harus kembali ke meja kerjaku apa menunggu laki-laki itu bicara sama aku. Dalam kebingungan seperti itu. Tiba-tiba, "Bisa kamu jelaskan, kenapa kamu bisa main peluk-pelukan dengan Dattan di ruang pantry?" suaranya membuat aku susah menelan ludah. "I-itu, hanya -, "Jawab yang benar, Move!" teriaknya membuatku terkejut bukan main. Sebegitu berpengaruhkah kejadian tadi sampai membuat dia semarah itu? aku memberanikan diri menatap matanya. Ada kemarahan yang luar biasa di sana. Kemarahan yang lebih berkesan cemburu. Apa iya dia cemburu? "Apa yang kamu lihat, cepat jelaskan!" sekali lagi aku terkejut. Kutarik mukaku kebelakang. "Saya sama Dattan, "Sebegitu dekatnya kamu sama dia, sampai kamu terbiasa memanggilnya tanpa
Tanpa kusadari tatapan teduh itu sudah dari tadi menatapku.Aku membalas tatapanya ,kulihat dibibirnya ada senyum bahagia. "Selamat Pagi," sapanya sambil mengecup keningku. Kupejamkan mata meresapi kasih sayangnya. Entah bermula dari mana, peristiwa semalam bisa terjadi. Tanpa komitmen apapun, aku dan dia melakukannya. Bahkan kami begitu menikmatinya. Apakah aku ini gampangan dan kelihatan murahan? Aku menggelengkan kepala berkali-kali. "Selamat Pagi," sambil memeluknya aku membalas sapaannya. Kudekap badan kekarnya. Rasanya nyaman sekali. Aku tidak bisa membayangkan kalau rasa bahagia ini tiba-tiba menghilang. "Aku sudah bikin sarapan," bisiknya lembut di telingaku. Semakin aku mengeratkan pelukanku. Masih kurasakan sisa-sisa semalam. Rasanya begitu indah. Bahkan laki-laki ini tidak canggung memperlakukan aku. Seolah-olah dia sudah sangat mengenalku. Dan kami seakan-akan sudah lama menjalin hubungan ini. Ingin bertanya yang sebenar-benarny
Kuperhatikan dengan seksama orang-orang yang sangat ku kenal itu. "Oh ternyata, ini jawaban dari semua. Meski belum semua terkuak." Aku menghela nafas kecewa. "Feronika!" Aku baru paham kalau ternyata dia mengenal dengan baik siapa Dattan sergio sesha. Bahkan begitu dekat dengan sosok yang baru semalam begitu dekat denganku. Aku tak menyangka kalau mereka bertiga saling mengenal. Ternyata kehadiran Feronika di perusahaan ini memang sudah diskenario. Motifnya apa? Kenapa harus aku yang mereka jadikan korban konspirasi mereka? Alangkah jahatnya! Benar-benar aku tidak menyangka Ray bisa melakukan ini sama aku. Hatiku bergemuruh menahan rasa marah dan kecewa tapi tatapanku masih lurus ke depan, dimana orang-orang itu masih terlibat pembicaraan serius. Aku benar- benar tidak percaya dengan semua ini. Bahkan Dattan, orang yang kukenal bertahun-tahun baik dan ramah juga perduli, kenapa setega itu dibelakang aku? Dengan berbagai pe
Sepasang mata itu mengawasi pembicaraan kami. Antara aku dan manager HRD. Saking seriusnya, kami tidak menyadari dari tadi ada sepasang mata itu mungkin sudah mendengar semua yang sedang kami bicarakan. Dattan merangkulku dengan senyum lebar. Sitampan yang ramah. Selalu ceria. Bahkan aku tak begitu memperdulikan dia sudah punya kekasih. Kedekatan kami sudah terjalin 6 tahun yang lalu.jauh sebelum dia mempunyai pasangan. Mungkin dia lah satu satunya manusia yang tidak sedikitpun menghiraukan status aku. Tak pernah sekalipun dia merasa malu kalau sedang berjalan denganku. Tak sedikit yang bilang kami serasi. Bahkan banyak karyawan yang selalu bilang aku terlalu beruntung dekat dengan dia. Sempat ada yang bilang kami pacaran diam-diam. Karena Dattan begitu perhatian sama aku. Entah apa yang membuat Dattan begitu nyaman berteman denganku. Sampai detik ini aku tak sekali pun ada niat menanyakannya. Masih sambil merangkul pundakku kami melewat
Sudah hampir telat satu jam, tapi belum datang juga dia. Aku gelisah. Berkali-kali kutengok jam tanganku.kulihat berkali-kali ponsel yang ada ditanganku. Sudah puluhan kali aku telponin tapi nggak diangkat. Tiba tiba ada perasaan bersalah mengingat kejadian kemarin. Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa aku keluar gedung menuju rumahnya. Setengah jam kemudian aku sudah di deoah rumahnya. Ku bunyikan bel. Aku menunggu dengan tidak sabar. Ada khawatir yang begitu sangat tidak biasa. Ketika pintu terbuka aku menatapnya. Ada pias dimukanya. Kulihat ada bekas membiru dipipi sebelah kirinya. "Oh Tuhan! aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Aku tak menyangka tamparanku kemarin berefek seperti ini. Sekali lagi kuperhatikan wajahnya.Tanpa sungkan kutempelkan telapak tanganku di keningnya. Astaga! demamnya tinggi banget! "Bapak, demamnya tinggi banget! Kita kerumah sakit ya?" ucapku panik. Tapi pria tam
Lambaian tangan itu mengisyaratkan keberadaan dirinya sore itu di cafe dekat kantor kami bekerja. Setengah jam yang lalu,aku terima pesan dia. Kalau dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan sesuatu. Aku melangkah mendekatinya. Sebenernya kalau boleh jujur aku malas bertemu dengannya. Karena dia mendesak, dengan alasan ada yang sangat penting mau bicarakan sama aku. Aku batalin janji bertemu dengan Dattan sepulang kerja sore ini. Aku menarik kursi duduk setelah sampai dimeja yang sudah ia pesan. Tanpa berbicara sekatapun, tiba-tiba dia menyodorkan kertas bertuliskan cek. "Kamu bisa mengisi degan nilai seberapun kamu mau! asal kamu meninggalkan berhenti bekerja!" Aku mengernyitkan kening kuat-kuat sambil menatapnya tajam. Bahkan sedikitpun aku tak mengerti arah pembicaraannya. "Apa maksud kamu dengan semua ini Fero? kenapa tiba-tiba kamu menyuruhku untuk mengundurkan dari perusahaan?" "Bukannya sudah jelas, Move! Memang sudah seharusn
Sesekali aku menatap keluar kaca sambil terus mendengar ucapannya. Rasanya memang tidak bisa dipercaya kalau ternyata dalang dibalik semua kasus ini adalah orang yang sangat ku kenal. Tapi itu baru dugaan sementara. Belum ada bukti yang benar-benar real yang bisa memberatkan orang itu bersalah. Kalau pada kenyataanya memang dia, apa hubungannya denga aku. Kenapa aku yang dijadikan target kambing hitamnya? Seandainya bukti itu sudah konkret mungkin aku sendiri yang akan langsung berhadapan dengan dia. Semua harus jelas! tidak boleh dibiarkan dia berbuat semena-mena sama orang lain. Harus ada alasannya kenapa dia tega melakukan ini! "Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dulu Move! kita harus mencari tahu identitas Feronika yang sebenar- benarnya! ucapnya tegas. Aku menatapnya dan mengangguk pelan. "Kita mulai penyelidikan dari mana, Pak?" "Kita cari identitas Feronika dulu Move. kita harus cari informasi yang
Rintik hujan mulai deras. Aku hanya menatap terus wajah yang seperti tak ada ekspresi itu. Kenapa dia, marahkah? Entahlah, yang pasti sudah hampir setengah jam lebih situasi ini berlangsung. Huft-ft! Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Kembali aku menatap wajah itu. Bahkan masih datar belum berekspresi. Aku mencoba mengalihkan fikiranku dengan menyedot kuat-kuat minuman yang sudah dipesan. Habis! Tinggal gelas sama sedotannya aja. Tapi raut muka seseorang yang ada di depanku masih sama. "Marahkah?" tanyaku ragu dengan suara agak gemetar. Dan ku beranikan menatapnya. Sosok itu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Punya hak kah aku marah?" Dia balik bertanya. "Akh-kh!" aku kesal dengan sikap dan nada bicaranya. Ku ketuk-ketuk gelas kosong tadi sebagai pelampiasan kekesalanku. "Cukup ...!" suara itu tenang. Meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya. "Kenapa kamu yang marah? Aku melotot mendengar pertanyaannya. Hei ...! Gimana ak
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo