Tet ...
Dengan mata masih terpejam ku gapai ponsel yang berdering di samping tempatku terbaring. Rasanya berat sekali untuk membuka mata. Tuntutan kerjaan membuatku harus kerja lembur tiap hari
"Sayang, ini aku. Apa kamu sudah bangun?" suara seseorang di seberang telpon membuatku terhenyak. Suara yang begitu sangat kurindukan. Seseorang denga suara khasnya serak-serak basah.
Tut ...
Entah sengaja atau tidak panggilan itu tiba-tiba terputus. Tidak mau munafik, ada degup keras di jantungku mendengar suara di seberang telpon, entah sudah berapa lama suara itu tak terdengar. Buru-buru aku cek kontak WhatsAap, kulihat nomerku yang terblokir sudah terbuka.
"Mau apalagi manusia itu?" gumamku pelan sambil beranjak dari tempat tidur. Hampir sebulan lebih manusia brengsek itu menghilang bahkan sengaja memblokir kontak WhatsAap aku.
"Tenang Ve, tenang," ucapku dalam hati. Sambil menarik dan menghembuskannya, agar kemarahanku mereda.
"Seandainya kamu tidak punya masa lalu itu, seandainya kamu tidak punya status itu dan seandainya selisih umur kita masih bisa diperbaiki, aku tidak mungkin akan menyakiti kamu selama 6 tahun!"
Ucapan itu berapi-api tanpa titik koma bahkan berderu dengan nafasnya antara marah, sedih nangis, dan terisak.
Aku tercenung, terpaku, terdiam bahkan tak terucap satupun kata dari mulutku. Hanya saja hatiku dari tadi komat- kamit tanpa henti bahkan air mataku pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut berpartisipasi melelehkan kristal beningnya.
"Kamu pikir aku mau punya status sperti ini, kamu pikir aku mau punya masa lalu seperti ini, dan kamu pikir siapa yang perduli mencintai orang dengan selisih perbedaan umur yang begitu banyak!" teriakku dalam hati tapi mulutku terkatup rapat-rapat, hanya suara isak tangis mulai terdengar dari bibirku.
Yah! Itu pembicaraan sebulan kemarin sebelum lost contact dengan dia, Farhan. Seseorang yang bisa dibilang orang yang menempati posisi teratas di hatiku mulai dari 6 tahun yang lalu.
Pasti banyak yang tidak menyangka hubunganku dengan Farhan itu terbentang jarak bermil-mil. Bukan hanya LDR, tapi hubungan kami hubungan virtual, yang hanya dipertemukan lewat gadget dengan vc. Tapi hubungan ini bisa dibilang sudah sampai tahap serius. Hanya saja, semua kandas karena status yang aku miliki.
Aku bukan wanita yang sempurna lagi. Aku hanya wanita yang punya masa lalu kelam, dan status yang dipandang sebelah mata oleh semua orang.
Aku hanya wanita bekas orang, yang sangat mustahil bisa diterima di dalam keluarga yang berkasta dan bermartabat, apalagi aku hanya orang dari kasta susah.
Tet ...
Aku terhenyak mendengar ponselku berdering lagi. Rasanya sudah capek aku bertengkar dan ribut terus sama dia. "Apa lagi?" suaraku serak setengah menjerit.
"Sayang, maafin aku, ini memang kesalahanku, aku minta maaf," suara di seberang panik. Tapi kepalaku sudah berdenyut-denyut tak karuan.
"Itu lagi-itu lagi, selalu minta maaf," desisku sambil mengusap wajahku yang keruh. Aku terlalu bodoh, selalu memberikan maaf buat dia.
"Sudahlah, kita perjelas saja semua, aku capek begini! Kita sudahi saja hubungan tidak jelas ini,"
"Tapi, Sayang,"
Tut ...
Dalam sekejab aku tutup telfon itu. Yah, semua harus diselesaikan, biar rasa menggantung ini cepat kelar. Tidak ada lagi yang harus ditunggu dan diharapkan. Sungguh rasanya capek sekali dengan hubungan virtual ini. Enam tahun tak bertujuan, semua ngambang, nggantung tidak ada kepastian.
"Aku tidak mau putus, aku tidak sanggup kehilanganmu!" suara itu melengking keras. Bernada panik dan ketakutan. Sesaat aku terdiam membiarkan suasana itu hening. Mencoba membiarkan hati kami masing-masing bicara sendiri.
"Sebenarnya, mau kamu apa sekarang? Sudah jelas kita tidak bisa bersama. Dari awal, semua permasalahan ini hanya kamu yang bisa menyelesaikan, kamulah yang jadi kunci dari hubungan kita."
"Aku tahu, tapi intinya saat ini aku tidak mau hubungan kita berakhir."
"Egois!" celetukku menyambar ucapannya. Huh, kuhembuskan nafas dalam-dalam sambil terisak. Apa mungkin akan begini terus?
Terdengar tarikan nafas berat dari seberang telfon. Lama dia terdiam, membuatku jengah menunggunya.
"Kasih kesempatan aku lagi, Sayang. Aku mohon--"
Suara itu menghiba membuat hatiku menjadi lemah. Aku kembali menghela nafas dalam-dalam, mendegar permohonan itu. Mungkin ini sudah gila, dalam waktu 6 tahun aku selalu dicampakkan, digantung, bahkan aku sadar mungkin di sana dia punya wanita lain, atau bahkan aku hanya tempat pelampiasannya saja. Tapi entah kenapa aku masih memaafkan dan mengharapkan masa depan bersamanya. Aku masih setia di sini menunggunya, padahal secara logika itu hal yang tidak mungkin banget, aku bisa memilikinya. Berkali-kali aku tersakiti, tapi aku masih saja menjadi wanita bodoh, dengan menunggunya di sini. Inikah yang dinamakan cinta itu buta?
Enam tahun yang sia-sia. Menjadi korban hubungan virtual. Karena kecanggihan teknologi di zaman milenial membuat orang naif dan bodoh seperti aku, terjerembab ke dalamnya. Aku memang hanya wanita kampung, yang tidak memiliki kelebihan apapun. Apalagi dengan status yang aku sandang, semakin membuatku kelihatan hina.
"Bodoh!" desisku sambil mengepak-ngepakkan tanganku ke kepala. Melampiaskan sesuatu yang ada didalam hatiku.
"Sayang," panggilan di seberang telfon itu membuatku tersadar. Mengembalikan alam sadarku, sudah berapa lama aku mengabaikannya tadi.
"Hem," jawabku datar. Jangan marah lagi, ya?" lanjutnya. Aku hanya menghembuskan nafas panjang. Aku mengangguk pelan seraya menjawabnya. Membuat seseorang yang di sana mungkin sedikit lega.
******
"Selamat Pagi,"
"Pagi kak Move," jawab seseorang dari kejauhan. "Mata sudah kayak mata panda, Kak. Begadang lagi apa nangis lagi?" lanjut seseorang itu sambil nyengir.
"Hush!" ngeledekin orang tua aja. Balasku singkat. "Rei, hari ini kamu yang bertugas ke lapangan, kan?" tanyaku .
"Iya Kak, kenapa?"
"Oh, tidak kenapa-napa sich, kita sama-sama saja, hari ini ada hitung stok, Aku yag bertugas." jawabku menjelaskan.
"Ok, Kak,"
Begitu pembicaraan kami pagi ini. Sudah menjadi rutinitas setiap hari. Di sinilah aku bekerja memenuhi segala kebutuhan keluargaku. Meskipun pahit rasanya, tapi tidak munafik selama 9 tahun ini, pekerjaan inilah yang bisa membuatku melanjutkan nafas kehidupanku (sedikit lebay).
"Move!"
Aku menoleh mendengar panggilan itu. Kulihat manager keuangan sedang mengecek hitung stok di divisi kami. Sesekali dia mengerutkan kening sambil mengetuk-ngetukkan pena ke atas meja.
"Kamu tidak salah hitungkan, kok selisihnya banyak sekali?" suara itu bernada serius sambil terus melihat ke arah laporan pembukuan.
"Tidak, Pak! Saya sudah mengecek hampir 5 kali." jawabku sedikit panik sambil berkali-kali melihat pembukuan dan mencocokkan dengan barang.
"Tuhan! Apalagi ini? Kalau sampe laporan pembukuan tidak sesuai dengan hitung stok, yang ada pasti aku dipecat." ucapku dalam hati.
"Stok bulan ini banyak sekali yang kacau, Saya mohon tiap tim dan personal bisa bertanggung jawab atas pekerjaan masing-masing!" suara itu menggema, suara milik manager keuangan yang menjelaskan hasil kerja kami bulan ini. Suaranya yang lantang kadang membuat kami menunduk segan.
Sudah 9 tahun aku jadi superviser di perusahaan ini. Hampir tiap bulan selalu mengganti barang yang kurang. Heran juga aku, kemana barang-barang yang hilang itu. Setiap bulan pasti hitung stok tidak pernah sama dengan laporan pembukuan. Aku menggeleng- gelengkan kepala bingung.
Kuhembuskan nafas dalam-dalam, sambil menunduk. Terlihat kaki ramping dengan sepasang sepatu higheels sudah berdiri di hadapanku.
Kutatap dalam-dalam wajah itu, wajah yang sudah tak asing lagi. Seseorang yang sering muncul di media sosialku. Dan entah orang ini siapa? Seperti seorang paparazi. Aku sendiri tidak tahu dari mana dia dapet nomorku. Yang pasti orang ini punya maksud tertentu.
Dia cantik, nama nya Feronika Alfarest dengan tinggi badan 165 cm terlihat sangat proporsional. Wanita itu sangat cantik dan terlihat masih sangat muda dibandingkan diriku. Pagi ini, aku terima laporan bahwa dia karyawan baru di kantor ini sebagai superviser juga. Bahkan sebelumnya, dia sudah menjadi seseorang paparazi. Bisa muncul kapan saja di media sosial ku.
Ada beberapa kemungkinan paparazi ini bisa ada di sini sekarang. Mungkin dia ada hubungannya dengan Farhan, atau malah dengan si bos yang ya, ampun arogantnya minta ampun. Sembilan tahun kerja di sini, hanya beberapa kali saja aku bertatap muka. Karena memang kantornya di kantor pusat.
"Kita ada urusan yang akan panjang buat diselesaikan! Jadi, Aku harap mulai detik ini kamu persiapka n diri ksmu untuk menerima kenyataan yang mungkin tidak sesuai harapanmu."
Suara itu tepat di telingaku. Aku terkejut, kutatap pemilik suara itu. Dia, wanita cantik itu, tenang menatapku. Aku masih berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaanku. Sebenarnya, siapa perempuan ini. Kenapa bisa kenal denganku?
"Sebenernya, kamu siapa, apa tujuan kamu ada di kantor ini, dan dari mana kamu kenal aku sebelumnya? Kenapa tiba-tiba bisa mengenalku. Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" ucapku panjang lebar.
Pertanyaanku yang bertubi-tubi itu tak satupun dijawabnya, bahkan dia meninggalkan aku dengan senyuman sinis, yang membuat aku memaki dalam hati.
******
BERSAMBUNG
Aku menghela nafas berkali-kali. Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri semua. Percuma semua dilanjutkan. Hanya membuang-buang waktu.
"Mulai sekarang, hapus semua kontakku! Lebih baik, kita ambil jalan masing-masing saja!" suaraku menggebu-nggebu dengan lengkingan kuat. Ada amarah yang luar biasa memenuhi ruang hatiku. Aku memaki, merutuk, dalam hati. Entah buat siapa. Yang pasti amarah ini butuh pelampiasan.
"Kenapa harus begitu,?" suara di seberang agak terhenyak. Meski terdengar begitu tenang. Dia sudah begitu hafal kata per kata yang sering aku ucapkan untuknya. Sifat tenangnya ini yang membuat aku terlena terus .
"Karena memang tidak ada lagi yang perlu dipertahankan! Hanya aku yg berjuang dan bertahan! Hanya aku yang mengharapkan kita jadi keluarga seutuhnya! Lepaskan aku! Aku mohon, please ...,"Terdengar hembusan nafas berat dari seberang telfon, mendengar suaraku melengking-lengking.
"Aku mohon lepaskan aku," kembali aku menghiba.
"Baik! Kalau itu mau kamu! Aku rasa kamu memang ada yang lain, makanya minta kita putus!" tukasnya tajam. Belum selesai aku menjelaskan sambungan telfon sudag terputus.
Tut ...!
Aku menghela nafas sesak. Secepat itu dia memutuskan komunikasi. Aku cek semua kontak yang bisa buat berkomunikasi dengan dia. Semua sudah terblokir.
Ada luka yang tiba-tiba meyeruak di dalam hatiku. Ternyata pertahananaku selama 6 tahun, hanya sampai disini. Bahkan tanpa diperjuangkan olehnya. Sungguh miris melihat kenyataan ini. Lantas untuk apa selam 6 tahun ini, aku menghabis waktu menunggunya? Setiap hari berusaha mengerti tentang keadaan dan kondisi ini. Tapi hasilnya sekarang seperti sampah yang layak dibuang. Dasar bodoh! Sampai dimanapun aku merutuki diriku sendiri, nggak akan ada gunanya.
Kuseka air mataku, rasanya tak perlu ditangisi. Bukannya aku sendiri yang meminta semua diakhiri?
Perlahan aku beranjak dari tempatku berbaring. Menuju kamar mandi. Mengguyur badanku yang begitu letih. Menjernihkan fikiran dari kesakitan yang kudapat, berharap entah besok atau lusa, aku bisa move on.
******
Aku memperhatikan baik-baik, seseorang yang ada di seberangku. Aku mencoba mengingat-ingat siapa sosok itu. Wanita cantik yang sangat elegant. Namun tetap saja daya ingatku tak cukup baik, untuk mengakses siapa sebenarnya wanita itu. Wanita yang seolah-olah sudah sangat mengenalku. Bahkan selalu muncul di ruang media sosialku.
"Selamat pagi, Pak!"
Terdengar suara sopan para karyawan menyambut kedatangan seseorang. Aku berdiri menunduk, ketika sosok itu melintasi meja kerjaku. Terlihat begitu dingin tanpa senyum. Wajah tampan itu terlihat datar, tapi arrogant dan menghanyutkan.
Dia, RAYA DINATA, ceo muda yang tampan tapi arrogant. Berbadan atletis dengan tinggi 187 cm dengan rambut cepak tertata rapi. Dengan gaya khasnya memasukkan tangan ke kantong sakunya. Wajahnya yang dingin, menggambarkan watak keras dan temprament-nya yang tinggi, angkuh dan sombong.
"Kamu ... !" Jari telunjuk itu mengarah ke mukaku. Aku menarik mukaku yang tertunduk. Tampak jelas di wajahku keterkejutan mutlak.
"Ke ruangan Saya, sekarang!" Ada penekanan dalam nada suaranya. Sekilas wajahku pucat mendengar perintah itu.
"Move ...!" Cubitan itu membuat aku kembali ke alam sadar. "Kamu dipanggil bigbos ke ruangannya!" Fito, manager keuangan menatap tajam ke arahku. Seolah-olah, tatapannya memerintahkan aku segera ke ruangan pimpinan.
"Oh, iya, Pak!" jawabku gugup sambari bergegas menuju ruang direktur.
Di ruang direktur, tanganku gemetaran. Keringat dingin sudah membasahi leherku.
"Saya mau melihat laporan pembukuan 6 bulan terakhir!" ucapnya datar tanpa ekspresi.
Mukanya keliatan lebih menyeramkan dengan tatapan yang menukik tajam. Jantungku serasa berhenti berdetak, mendengar perintahnya barusan. Dalam hati, aku memaki diriku sendiri, yang selalu mengulur-ulur pekerjaan. Dan akhir semuanya terbengkelai sekarang.
"Ada apa?" tanya sang direktur sambil menutup berkas yang barusan dibukanya.
"Kamu belum siap memberikan laporan pekerjaanmu, atau malah kamu belum sama sekali menyelesaikannya?" tukas laki-laki itu lagi, sambil berdiri mendekatiku.
Dalam jarak satu meter, dia melipat kedua tangannya di depan dada, dan menatapku dengan tajam. Seolah-olah siap menerkamku. Kakiku mulai gemetar, dan mukaku tertunduk dalam.
"Kamu kerja disini sudah berapa tahun? Kenapa tugas yang seharusnya menjadi pekerjaanmu bisa terbengkelai seperti ini? Selama ini kamu ngapain aja ...?!" suaranya melengking tajam memenuhi ruangan. Aku semakin tertunduk dalam. Telapak tanganku mulai basah oleh keringat.
"Kalau cara kerja kamu seperti ini! Saya tidak menjamin bulan depan kamu masih ada di kantor ini!" Bagai disambar petir aku mendengar ucapannya. Lemas seluruh tubuhku.
Duh ...! Kejam sekali orang ini. Baru pertama kali menginjakkan kaki di kantornya sudah main pecat-pecat karyawan. Aku berusaha menenangkan diri. Mencoba tetap berdiri di hadapannya meskipun gemetaran. Kutelan salivaku yang tiba-tiba terasa pahit.
"Saya tidak mau tahu! Sebelum pulang kantor, laporan pembukuan itu, sudah harus ada di meja saya! Kalau sampai laporan itu belum ada di meja saya, buat surat pengunduran dirimu besok pagi!"
Aku tercekat. Lidahku terasa kelu. Susah rasanya mau membuka mulut. Aku hanya bisa terpaku diam dan bungkam.
"Kamu paham ... !"
Tangannya mengepal, melayang ke arah meja kerjanya. Suara gubrakan itu terdengar keras ke ruang kerja karyawan. Aku terkejut, tanpa kusadari tubuhhku menyingsut ke belakang. Kakiku semakin gemetar. Jujur, aku tak berani menatap mukanya yang tiba-tiba terlihat bengis, kejam, dan arrogant, juga menyeramkan.
Aku mengangguk takut. "Pa-ham, Pak!"
Sampai detik ini, aku tidak paham, apa yang membuatnya begitu murka. Apa hanya karena aku belum menyelesaikan laporan 6 bulan itu, sampai harus semarah ini? Aku rasa sikapnya ini nggak wajar. Mungkin, karena dia punya temprament yang tinggi.
Setelah kulihat wajahnya mengendur dan sedikit lunak, aku beranikan pamit meninggalkan ruangannya. Rasanya plong setelah aku kembali ke meja kerjaku. Kupijit-pijit pelipisku yang berdenyut-denyut.
Dan semenit kemudian, aku sudah berkutek dengan komputerku sampai waktu menunjukkan jam kerja pulang. Ku sapu ruangan kerja ku. Sudah kosong, tinggal aku sendiri. Jam di tanganku menunjukkan pukul 5 sore. Aku menggeliatkan badan, meregangkan otot tanganku, dan sesekali menguap, merasakan kelelahan yang begitu sangat.
Tiba-tiba ekor mataku menangkap sosok yang sudah berdiri tinggi menjulang. Aku seketika terloncat dari tempat dudukku dan membungkukan badan.
"Selamat Sore, Pak! Hati-hati di jalan."
Tak dihiraukannya sapaanku. Dia berjalan lurus tanpa menoleh dan tanpa ekspresi. Wajahnya selalu datar tanpa senyum sedikitpun.
"Persis mayat hidup!" decihku dengan sinis. Kembali ku geluti komputerku dan berpacu dengan waktu, seperti dikejar deadline.
Tak terasa sudah hampir larut. Aku mengemasi barang-barangku dan merapikan meja kerjaku. Semenit kemudian, aku berjalan lurus ke meja direktur. Menaruh laporan 6 bulanku.
"Akhirnya, kelar juga!" sorakku dalam hati. Kuayunkan kakiku ke luar gedung. Badanku radanya remuk. Hari ini sungguh sangat melelahkan.
"Baru hari pertama saja sudah begini, bagaimana besok-besok, seperti kerja rodi, mungkin?!" sungutku keluar dari lift.
Suara gemericik hujan membuatku tertegun. Kutengadahkan muka ke atas, langit terlihat gelap, dan tak ada warna. Sesaat kemudian, kubuka layar ponselku. Baru saja mau pesan taksi online tiba-tiba suara kalkson berbunyi dari ujung jalan. Reflek aku mencari asal suara itu. Gerakan gesture tangan itu, mengisyaratkan aku untuk mendekat. Samar-samar aku lihat siapa pemilik lambaian tangan itu. Dengan ragu aku mendekat.
"Masuk ke mobil!" Titahnya tegas.
Aku terkejut. Jam kerja sudah selesai beberapa jam yang lalu, tapi kenapa masih main-main perintah saja? Tiba-tiba aku terdiam. Ada yang aneh kurusakan dengan sikapnya.
"Kenapa masih diam saja? Aku suruh masuk ke mobil!"
Aku tersadar dari lamunanku. Kudapati laki-laki itu sudah ada di belakangku. Di bukanya pintu mobilnya,dengan reflek tangannya mendorong tubuhku ke dalam mobil. Aku terjerembab di sana.
Sepanjang perjalanan menuju pulang, aku hanya diam membisu. Sesekali, aku memberanikan diri melirik wajah laki-laki yang tak lain bosku itu. Lagi-lagi kudukku meremang melihat muka datarnya. Tampan-sich, tapi tanpa ekspresi, datar, dan bahkan tanpa senyum sedikitpun.
"Mau berapa lama lagi, kamu melamun di mobil ku?" Aku terkejut mendengar suaranya. Dengan bergegas aku melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil.
"Apa begitu cara kamu berterima kasih sama bosmu, yang sudah mengantarmu pulang?" Dengan segera, aku membalikkan badan menghadapnya. Kubungkukkan badan, tanda terima kasihku padanya.
"Terima kasih banyak, karena Bapak sudah mengantar,Saya pulang." sekali lagi aku membungkuk, selanjutnya dengan cepat aku turun dari mobil. Tanpa menghiraukan ekspresi mukanya. Pasti di muka itu sudah tampak muka monster yang menyeramkan. Aku segera berlalu meninggalkannya di dalam mobil.
Sedangkan, Ray menatap kesal punggung Move. Dia merasa tak dihiraukan oleh wanita itu. Dia merasa cuma di manfaatkan oleh bawahannya. Selaku bos tak seharusnya dia diperlakukan seperti itu. Hatinya berdecak kesal. Muka datarnya tertekuk mutlak. Segera dia melajukan mobilnya setelah dipastikannya sosok Move sudah hilang dari pandangannya.
BERSAMBUNG
Like dan komentnya ya Beri tanda vote Selain ini aku juga punya karya lain lho @Sang Kapten dan Fatamorgana. Mampir ya, para pembaca yang budimanđ
Aku menatap lembar demi lembar kertas itu. Berkali-kali kubuka, tetap aja ada nama dan tanganku di sana. Tanganku gemetaran memegang lembaran kertas itu. Kertas yang menunjukkan ada sejumlah uang yang ditransfer ke rekeningku. "Kenapa harus begini, kalau kamu butuh uang tinggal bilang sama Saya, Move, tidak harus melakukan tindakan ini kan ... ?" suara itu menggema di ruang manager keuangan. "Harus berapa kali, dijelaskan, Saya tidak melakukannya?!" suaraku tak kalah menggema. Merasa bahwa aku benar dan tidak melakukan perbuatan itu. "Tapi bukti ini mengarah padamu, Move!" Fito menunjuk kertas tanda bukti transferan itu padaku. Aku meraup mukaku dengan kasar. Antara bingung dan tidak percaya, drngan apa yang terjadi hari ini. Bagaimana bisa, ada sejumlah uang yang ditransfer ke rekeningku? Kalau aku sendiri saja tidak pernah menerima uang itu? Anehnya di hari dan tanggal itu direkeningku tidak ada uang yang masuk. Terus uang itu kemana
5 menit kemudian. Aku sudah berada di ruang direktur. Dengan tangan sedikit gemetar, aku menaruh kopi itu di atas meja kerja direktur. "Kopinya, Pak," ucapku sambil menarik tanganku dari meja kerja itu. Sempat bingung harus kembali ke meja kerjaku apa menunggu laki-laki itu bicara sama aku. Dalam kebingungan seperti itu. Tiba-tiba, "Bisa kamu jelaskan, kenapa kamu bisa main peluk-pelukan dengan Dattan di ruang pantry?" suaranya membuat aku susah menelan ludah. "I-itu, hanya -, "Jawab yang benar, Move!" teriaknya membuatku terkejut bukan main. Sebegitu berpengaruhkah kejadian tadi sampai membuat dia semarah itu? aku memberanikan diri menatap matanya. Ada kemarahan yang luar biasa di sana. Kemarahan yang lebih berkesan cemburu. Apa iya dia cemburu? "Apa yang kamu lihat, cepat jelaskan!" sekali lagi aku terkejut. Kutarik mukaku kebelakang. "Saya sama Dattan, "Sebegitu dekatnya kamu sama dia, sampai kamu terbiasa memanggilnya tanpa
Tanpa kusadari tatapan teduh itu sudah dari tadi menatapku.Aku membalas tatapanya ,kulihat dibibirnya ada senyum bahagia. "Selamat Pagi," sapanya sambil mengecup keningku. Kupejamkan mata meresapi kasih sayangnya. Entah bermula dari mana, peristiwa semalam bisa terjadi. Tanpa komitmen apapun, aku dan dia melakukannya. Bahkan kami begitu menikmatinya. Apakah aku ini gampangan dan kelihatan murahan? Aku menggelengkan kepala berkali-kali. "Selamat Pagi," sambil memeluknya aku membalas sapaannya. Kudekap badan kekarnya. Rasanya nyaman sekali. Aku tidak bisa membayangkan kalau rasa bahagia ini tiba-tiba menghilang. "Aku sudah bikin sarapan," bisiknya lembut di telingaku. Semakin aku mengeratkan pelukanku. Masih kurasakan sisa-sisa semalam. Rasanya begitu indah. Bahkan laki-laki ini tidak canggung memperlakukan aku. Seolah-olah dia sudah sangat mengenalku. Dan kami seakan-akan sudah lama menjalin hubungan ini. Ingin bertanya yang sebenar-benarny
Kuperhatikan dengan seksama orang-orang yang sangat ku kenal itu. "Oh ternyata, ini jawaban dari semua. Meski belum semua terkuak." Aku menghela nafas kecewa. "Feronika!" Aku baru paham kalau ternyata dia mengenal dengan baik siapa Dattan sergio sesha. Bahkan begitu dekat dengan sosok yang baru semalam begitu dekat denganku. Aku tak menyangka kalau mereka bertiga saling mengenal. Ternyata kehadiran Feronika di perusahaan ini memang sudah diskenario. Motifnya apa? Kenapa harus aku yang mereka jadikan korban konspirasi mereka? Alangkah jahatnya! Benar-benar aku tidak menyangka Ray bisa melakukan ini sama aku. Hatiku bergemuruh menahan rasa marah dan kecewa tapi tatapanku masih lurus ke depan, dimana orang-orang itu masih terlibat pembicaraan serius. Aku benar- benar tidak percaya dengan semua ini. Bahkan Dattan, orang yang kukenal bertahun-tahun baik dan ramah juga perduli, kenapa setega itu dibelakang aku? Dengan berbagai pe
Sepasang mata itu mengawasi pembicaraan kami. Antara aku dan manager HRD. Saking seriusnya, kami tidak menyadari dari tadi ada sepasang mata itu mungkin sudah mendengar semua yang sedang kami bicarakan. Dattan merangkulku dengan senyum lebar. Sitampan yang ramah. Selalu ceria. Bahkan aku tak begitu memperdulikan dia sudah punya kekasih. Kedekatan kami sudah terjalin 6 tahun yang lalu.jauh sebelum dia mempunyai pasangan. Mungkin dia lah satu satunya manusia yang tidak sedikitpun menghiraukan status aku. Tak pernah sekalipun dia merasa malu kalau sedang berjalan denganku. Tak sedikit yang bilang kami serasi. Bahkan banyak karyawan yang selalu bilang aku terlalu beruntung dekat dengan dia. Sempat ada yang bilang kami pacaran diam-diam. Karena Dattan begitu perhatian sama aku. Entah apa yang membuat Dattan begitu nyaman berteman denganku. Sampai detik ini aku tak sekali pun ada niat menanyakannya. Masih sambil merangkul pundakku kami melewat
Sudah hampir telat satu jam, tapi belum datang juga dia. Aku gelisah. Berkali-kali kutengok jam tanganku.kulihat berkali-kali ponsel yang ada ditanganku. Sudah puluhan kali aku telponin tapi nggak diangkat. Tiba tiba ada perasaan bersalah mengingat kejadian kemarin. Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa aku keluar gedung menuju rumahnya. Setengah jam kemudian aku sudah di deoah rumahnya. Ku bunyikan bel. Aku menunggu dengan tidak sabar. Ada khawatir yang begitu sangat tidak biasa. Ketika pintu terbuka aku menatapnya. Ada pias dimukanya. Kulihat ada bekas membiru dipipi sebelah kirinya. "Oh Tuhan! aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Aku tak menyangka tamparanku kemarin berefek seperti ini. Sekali lagi kuperhatikan wajahnya.Tanpa sungkan kutempelkan telapak tanganku di keningnya. Astaga! demamnya tinggi banget! "Bapak, demamnya tinggi banget! Kita kerumah sakit ya?" ucapku panik. Tapi pria tam
Lambaian tangan itu mengisyaratkan keberadaan dirinya sore itu di cafe dekat kantor kami bekerja. Setengah jam yang lalu,aku terima pesan dia. Kalau dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan sesuatu. Aku melangkah mendekatinya. Sebenernya kalau boleh jujur aku malas bertemu dengannya. Karena dia mendesak, dengan alasan ada yang sangat penting mau bicarakan sama aku. Aku batalin janji bertemu dengan Dattan sepulang kerja sore ini. Aku menarik kursi duduk setelah sampai dimeja yang sudah ia pesan. Tanpa berbicara sekatapun, tiba-tiba dia menyodorkan kertas bertuliskan cek. "Kamu bisa mengisi degan nilai seberapun kamu mau! asal kamu meninggalkan berhenti bekerja!" Aku mengernyitkan kening kuat-kuat sambil menatapnya tajam. Bahkan sedikitpun aku tak mengerti arah pembicaraannya. "Apa maksud kamu dengan semua ini Fero? kenapa tiba-tiba kamu menyuruhku untuk mengundurkan dari perusahaan?" "Bukannya sudah jelas, Move! Memang sudah seharusn
Sesekali aku menatap keluar kaca sambil terus mendengar ucapannya. Rasanya memang tidak bisa dipercaya kalau ternyata dalang dibalik semua kasus ini adalah orang yang sangat ku kenal. Tapi itu baru dugaan sementara. Belum ada bukti yang benar-benar real yang bisa memberatkan orang itu bersalah. Kalau pada kenyataanya memang dia, apa hubungannya denga aku. Kenapa aku yang dijadikan target kambing hitamnya? Seandainya bukti itu sudah konkret mungkin aku sendiri yang akan langsung berhadapan dengan dia. Semua harus jelas! tidak boleh dibiarkan dia berbuat semena-mena sama orang lain. Harus ada alasannya kenapa dia tega melakukan ini! "Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dulu Move! kita harus mencari tahu identitas Feronika yang sebenar- benarnya! ucapnya tegas. Aku menatapnya dan mengangguk pelan. "Kita mulai penyelidikan dari mana, Pak?" "Kita cari identitas Feronika dulu Move. kita harus cari informasi yang
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo