Aku masih tak bergeming dan wanita itu masih menatapku. Semakin lama bibir tipisnya kembali ke posisi semula.
"Kenalin, gue nadia." Wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku.
"Nadia mar-ga-re-tha," ucapnya lagi penuh penekanan.
Kusimpan gelas yang sedari tadi kugenggam di atas meja yang berada di sampingku, lalu meraih tangannya.
"Gue Adelina Chris-tan-to," balasku tak mau kalah.
Kami saling menatap, kemudian kami saling menyinggungkan senyuman. Entah kenapa aku tidak nyaman dengan cara tersenyum Nadia padaku. Aku merasa senyumannya tidak tulus.
"Nadiaa ...." Suara wanita yang tak lain adalah ibu tiriku membuat kami saling melepaskan genggaman. Aku menengok ke arah sumber suara tampak ibu tiriku berjalan cepat ke arah kami diikuti ayahku di belakangnya.
Ibu tiriku segera memeluk wanita muda bernama Nadia itu, membuatku mundur satu langkah.
"Kamu kapan pulang?" tanya tante Tere kemudian tersenyum lebar.
Aku masih memperhatikan mereka.
"Kenalin ini Nadia, anak Tante," ucap tante Tere memperkenalkan kepadaku.
Sudah kuduga dia anaknya, aku sudah bisa menebaknya saat dia menyebutkan namanya tadi. Ditambah ayah juga sudah memberitahuku sebelumnya bahwa tante Tere memiliki seorang anak yang sebaya denganku. Jika kuingat ayah bilang dia tinggal di singapura.
"Kita udah kenalan Mah," sahut Nadia. Aku tersenyum tipis.
"Nadia, gimana kabar kamu?" tanya ayahku kemudian memeluknya.
"Nadia baik-baik aja Om, eh maksudnya Yah."
Ayah?
Mudah sekali baginya memanggil ayahku dengan sebutan ayah, apa dia sesenang itu ibunya menikahinya.
"Kenapa kamu gak bilang Mama kalau mau pulang? Kan Mama bisa jemput kamu di airport."
"Sengaja Mah, biar jadi surprise," elak Nadia.
"Ya sudah kalian ngobrol-ngobrol dulu aja, Ayah sama Mama mu mau menyambut tamu yang lain," sahut ayah tiba-tiba, aku mengiyakan.
Sebenarnya aku malas sekali, aku tidak suka semua tentang tante Tere bahkan aku tidak ingin mengenal anaknya, tapi apa boleh buat.
Akhirnya aku berbincang dengannya, tapi tak banyak yang aku bicarakan dengannya. Kebanyakan dia yang berbicara memamerkan semua yang dia miliki, yang sebenarnya sama sekali tidak ada apa-apanya denganku.
- Flashback off -
KRIING ...
Suara dering telepon genggamku membuyarkan lamunanku, kuintip sekilas layar handphone yang berada tepat disampingku, 'Sekretaris ayah'. dengan cepat aku segera menjawab telepon itu.
"Halo, gimana Pak? Informasi yang saya minta sudah dapat?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Sudah mba Adel," ucap seorang laki-laki dari balik handphone.
"Kalau begitu kita ketemu malam ini, saya akan kirim detail alamat tempat kita akan bertemu. Pastikan mereka tidak tahu."
Aku mengakhiri pembicaraan kami segera setelah sekretaris itu mengiyakan perintahku. Kutengok arloji pemberian ayahku yang melingkar di tanganku.
"Aku pastikan waktu kalian tidak akan lama lagi," sumpahku dalam hati.
***
Suara merdu seorang penyanyi diiringi alunan musik membuatku merasa lebih santai dan tenang malam ini, setidaknya aku bisa melupakan masalahku untuk sementara waktu. Kulihat hampir setiap orang sepertinya menikmati lagu yang dibawakan oleh penyanyi wanita tersebut. Tak lama seorang laki-laki paruh baya dengan setelan jas rapi berwarna hitam berjalan ke arah mejaku. Dia adalah pak Rendra sekretaris kepercayaan ayah dulu, tentu saja aku masih mengenalinya dia beberapa kali mengunjungi rumah kami dan ayah juga pernah memperkenalkannya kepadaku. Dia masih terlihat sama kecuali rambutnya yang telah memutih sebagian.
"Selamat malam mba Adel, senang bisa bertemu dengan mba Adel," sapa pak Rendra sambil mengulurkan tangannya.
Aku menyambut uluran tangannya lalu tersenyum. Pak Rendra benar dari semenjak ayah menikah hingga kepergian ayah, aku hampir tidak pernah bertemu dengannya lagi. Aku sibuk dengan studyku dan juga sibuk meratapi kepergian ayah saat itu. Saking sedihnya kehilangan ayah aku bahkan tidak terpikirkan soal perusahaan. Aku abai dan acuh soal perusahaan, dan dengan bodohnya lagi aku mempercayakan perusahaan ayah kepada nenek sihir itu.
"Maaf saya telat 5 menit mba, macet soalnya."
"Nggak apa-apa Pak, silahkan duduk! Jadi berkas yang saya minta sudah ada Pak?"
Pak Rendra menyodorkan sebuah map berwarna coklat kepadaku, dengan cepat kuraih map itu dan membukanya. Aku menyeringai membaca berkas yang di bawa oleh pak Rendra.
"Bagaimana kondisi perusahaan ayah sekarang Pak?" tanyaku pada pak Rendra sambil terus fokus menatap berkas-berkas itu.
"Setelah perusahaan diambil alih oleh bu Tere, kami banyak mengalami masalah Mba," jawab pak Rendra.
Aku mengangkat alis sebelah kiriku, meletakkan berkas-berkas itu lalu melirik ke arah Pak Rendra yang sedang tertunduk.
"Masalah apa maksud Bapak?"
"Baru-baru ini PT.PRATAMA membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaan kita dan menarik semua investasinya. Mereka kecewa dan tidak puas dengan cara kerja pimpinan baru kami, yaitu bu Tere. Karena hal tersebut muncul beberapa rumor diantara para pemegang saham." Pak Rendra menjelaskan panjang lebar padaku.
"Jika seperti ini terus, perusahaan kita bisa mengalami krisis mba," -Rendra menghela napas- "Mba Adel harus segera mengambil alih perusahaan secepatnya!"
PT.PRATAMA aku pernah mendengarnya, itu adalah salah satu perusahaan ternama di Tanah Air. Banyak perusahaan yang mendambakan bekerja sama dengan perusahaan satu itu. Bahkan masih teringat jelas dibenakku kebahagiaan ayah saat berhasil menggaet perusahaan tersebut.
"Sebenarnya apa sih yang dilakukan nenek sihir dan anaknya itu sampai kehilangan investor berharga seperti itu," batinku.
Aku ingin sekali mengambil alih perusahaan tersebut, tapi bagaimana caranya. Argh! aku sangat menyesal kenapa aku tidak pernah mempelajari perusahaan dengan serius. Aku juga menyesal menolak permintaan ayah untuk membantunya mengurus perusahaan. Bukannya aku tak mau hanya saja waktu itu aku masih ingin melanjutkan kuliah dan aku juga berpikir masih banyak waktu untuk mempelajarinya.
"Cepat atau lambat aku akan mengambil alih perusahaan ayah," gumamku sambil menggebrak meja dengan tangan terkepal membuat pak Rendra terkejut dan beberapa pengunjung menatap ke arahku.
"Saya akan kembali perusahaan Pak! Tapi Pak Rendra harus bantu saya," pintaku sambil menatap serius pak Rendra.
"Mba Adel tenang saja saya akan memberitahu dan mengajarkan mba Adel soal perusahaan."
"Tapi ... ngomomg-ngomong berkas itu untuk apa Mba?" Aku menyeringai ke arah pak Rendra membuatnya mengerutkan dahinya.
Setelah hari itu aku pun lebih sering bertemu dengan pak Rendra, tentu saja tanpa sepengetahuan nenek sihir dan anaknya itu. Ayah beruntung memiliki sekretaris seperti pak Rendra dia sangat bisa dipercaya. Aku mulai mempelajari seluk beluk perusahaan terutama soal keuangan, syukurlah ini bukan hal yang sulit bagiku untuk memahami hal-hal tersebut, tentu saja karena aku adalah seorang sarjana bisnis.
"Tolong beritahu saya Pak, soal proyek yang sedang dikerjaan perusahan baru-baru ini." Tanpa basa-basi pak Rendra segera menjelaskannya kepadaku.
Drrt ... Drrt ... Drrt ...
Suara telepon genggam pak Rendra memotong pembicaraan kami, kulihat pak Rendra sibuk merogoh saku tasnya mencari keberadaan telepon genggamnya. Setelah ia menemukannya ia mengerucutkan bibirnya dan meletakkan jari telunjuknya di depannya, kemudian dia membalikkan telepon genggamnya ke arahku. Tampak tertulis jelas nama nenek sihir itu di layar handphonenya.
"Selamat sore bu Tere, ada yang bisa saya bantu?" kata pak Rendra yang masih duduk dihadapanku.
Aku diam seribu bahasa sambil mendengarkan ia bicara, aku penasaran sekali sebenarnya apa yang dikatakan nenek sihir itu. Sepuluh menit berlalu, pak Rendra mengakhiri pembicaraannya di telepon.
"Saya harus pergi Mba sepertinya kita harus lanjut besok, ada masalah di kantor," ucap pak Rendra sambil memasukkan semua buku dan kertas-kertas yang ia bawa dengan tergesa-gesa.
"Ada a―"
"Permisi Mba." Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku pak Rendra sudah berlari pergi meninggalkanku.
"Sebenarnya apa yang terjadi?"
- To be continued -
"Ada masalah di kantor, Mba."Ucapan terakhir pak Rendra benar-benar mengangguku memejamkan mataku saja aku tak bisa. Aku terlalu penasaran mengenai masalah apa yang terjadi di perusahaan, membuat otakku tak berhenti berputar. Aku bahkan sudah mencoba menelepon pak Rendra berkali-kali tapi tak diangkat sama sekali. Aku harap nenek sihir itu tidak membuat masalah yang serius."Aku harus segera masuk ke perusahaan secepatnya."***Aku menengadahkan kepalaku menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku tahu orang-orang yang sedang berlalu lalang itu pasti sedang melirikku.Tak berselang lama aku menyudahi kegiatanku, lalu berjalan masuk ke dalam menuju gedung tersebut. Baru saja aku ingin masuk lebih dalam, tiba-tiba dua orang petugas keamanan menghentikan langkahku."Permisi ada yang bisa saya bantu?""Saya mau bertemu dengan ibu Teresia Margare
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, itu artinya sisa satu jam lagi rapat direksi akan diadakan. Aku sudah tak sabar.Aku raih blouse lengan panjang berwarna soft pink lalu kupadukan dengan rok pendek selutut yang warnanya tidak jauh berbeda dengan blouse yang aku gunakan. Aku berputar-putar di depan cermin memastikan penampilanku sempurna.Kulihat lagi polesan make up di wajahku, oh tidak kutemukan sedikit lipstik yang keluar dari garis bibirku. Dengan cepat kuraih tisu yang tak jauh dariku kemudian kubersihkan lipstik berwarna merah tua itu.Setelah selesai aku alihkan perhatianku lalu menata rambutku sedemikian rupa."Sempurna!" Gumamku.Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar kostku, tampak semua penghuni wanita disana menatapku. Kuyakin mereka terpesona dengan penampilanku. Kulihat sebuah mobil avanza berwarna hitam terparkir tak jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku hampiri
"Selamat ibu Adelia." Pak Tommy mengulurkan tangannya padaku, dengan senang hati aku terima uluran tangannya."Terimakasih pak Tommy," kataku lalu tersenyum lebar.Satu persatu orang yang berada di ruangan itu menghampiriku dan menyalamiku, kulirik sekilas ke arah sang nenek sihir Teresia Margaretha. Tergambar jelas wajahnya menahan amarah, tatapannya yang tajam seolah-olah ingin menusukku. Aku berikan senyuman tersinis yang aku miliki sambil mengangkat kedua bahuku.BRAKK!!Teresia keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan sangat keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang di ruangan tersebut beberapa saat. Aku tahu mereka tidak peduli dengan itu itulah sebabnya mereka tetap menyalamiku dan memberikan ucapan selamat, kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan ruang pertemuan."Jadi apa rencana Mba ... maksud saya ibu Adelia?" tanya pak Rendra setelah mereka semua pergi.
"Saya juga tidak berniat menjalin dengan perusahaan yang dipimpin oleh direktur arogan seperti anda. Ayo Pak kita pergi dari sini buang-buang waktu saja," ucapku kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.Aku membuka pintu ruangan itu kasar, kulangkahkan kakiku secepat mungkin sedang pak Rendra mengekorku dibelakang berusaha mengimbangi langkahku."Dasar direktur arogan memangnya kamu pikir kamu hebat, lihat saja perusahaanku juga bisa bangkit tanpa harus menjalin kerjasama dengan kamu!" umpatku dalam hati.Aku hentikan langkahku sesaat setelah keluar dari gedung perusahaan itu lalu membalikkan tubuhku, "Cih! Menyesal? Yang ada saya yang menyesal pernah menginjakkan kaki saya di perusahaan ini!" umpatku sambil menggerakkan kaki menginjak-injak tanah berulang kali."Ibu Adel ayo kita pergi dari sini semua orang memperhatikan ibu."Mendengar pak Rendra mengatakan hal itu, aku tegakkan
Tak satupun dari pekerjaanku selesai, pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan. Disatu sisi aku penasaran dengan apa yang akan pak Agung katakan tapi disisi lain aku tak mau berhubungan dengannya apalagi menemuinya. "Haaa...." Aku mendengus kesal kemudian menghentikan kegiatan menulisku lalu meletakkan bolpoin yang aku genggam di atas meja dengan kasar. Aku sandarkan punggungku ke kursi lalu menengadahkan kepalaku sesaat kemudian kembali ke posisi semula. Aku melirik jam dinding yang berada dihadapanku dan waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku mendekatkan diriku ke meja lalu kutumpu kepalaku dengan kedua tangan yang kuletakkan di atas meja dan setelah menimbang-nimbang aku meraih telepon yang berada di meja kemudian menghubungi pak Rendra. "Halo pak. Tolong katakan padanya aku akan berada di sana 1 jam dari sekarang," kataku singkat. "Baik Bu." "Ish, sigap sekali dia. A
“STOOPPP!!! TIDAK BISAKAH KALIAN BERHENTI MEMBUAT AKU MENDERITA? AKU SUDAH MUAK DENGAN KALIAN BERDUA!“ teriakku marah. PLAKK! Sebuah tamparan keras berhasil mendarat dipipiku dengan sempurna. Aku hanya menatap tajam ke arah seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku tanpa berkata apapun. Aku benar-benar muak dengan semua ini. “Berani sekali kau berteriak kepada kami seperti itu!" Sahut seorang wanita paruh baya dengan nada yang tak kalah kerasnya. “Aku putuskan mulai hari ini aku akan angkat kaki dari rumah ini! Cih, rumah? Bahkan ini tidak pantas disebut rumah! Pantasnya ini disebut neraka!" kataku sambil membelalakan mataku. "Lihat saja aku akan kembali dan mengusir kalian semua dari sini!“ ancamku seraya pergi. BRAKK!! Aku banting pintu dengan sekencang-kencangnya tak peduli. “DASAR ANAK KURANG AJAR!“ teriak wanita itu dari dalam. *** Tes ... Tes ...Tes Ku tengadahkan kepalaku ke atas langit. Sedikit demi sedikit air hujan membasahi wajahku. Aku tak peduli lagip
Tak satupun dari pekerjaanku selesai, pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan. Disatu sisi aku penasaran dengan apa yang akan pak Agung katakan tapi disisi lain aku tak mau berhubungan dengannya apalagi menemuinya. "Haaa...." Aku mendengus kesal kemudian menghentikan kegiatan menulisku lalu meletakkan bolpoin yang aku genggam di atas meja dengan kasar. Aku sandarkan punggungku ke kursi lalu menengadahkan kepalaku sesaat kemudian kembali ke posisi semula. Aku melirik jam dinding yang berada dihadapanku dan waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku mendekatkan diriku ke meja lalu kutumpu kepalaku dengan kedua tangan yang kuletakkan di atas meja dan setelah menimbang-nimbang aku meraih telepon yang berada di meja kemudian menghubungi pak Rendra. "Halo pak. Tolong katakan padanya aku akan berada di sana 1 jam dari sekarang," kataku singkat. "Baik Bu." "Ish, sigap sekali dia. A
"Saya juga tidak berniat menjalin dengan perusahaan yang dipimpin oleh direktur arogan seperti anda. Ayo Pak kita pergi dari sini buang-buang waktu saja," ucapku kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.Aku membuka pintu ruangan itu kasar, kulangkahkan kakiku secepat mungkin sedang pak Rendra mengekorku dibelakang berusaha mengimbangi langkahku."Dasar direktur arogan memangnya kamu pikir kamu hebat, lihat saja perusahaanku juga bisa bangkit tanpa harus menjalin kerjasama dengan kamu!" umpatku dalam hati.Aku hentikan langkahku sesaat setelah keluar dari gedung perusahaan itu lalu membalikkan tubuhku, "Cih! Menyesal? Yang ada saya yang menyesal pernah menginjakkan kaki saya di perusahaan ini!" umpatku sambil menggerakkan kaki menginjak-injak tanah berulang kali."Ibu Adel ayo kita pergi dari sini semua orang memperhatikan ibu."Mendengar pak Rendra mengatakan hal itu, aku tegakkan
"Selamat ibu Adelia." Pak Tommy mengulurkan tangannya padaku, dengan senang hati aku terima uluran tangannya."Terimakasih pak Tommy," kataku lalu tersenyum lebar.Satu persatu orang yang berada di ruangan itu menghampiriku dan menyalamiku, kulirik sekilas ke arah sang nenek sihir Teresia Margaretha. Tergambar jelas wajahnya menahan amarah, tatapannya yang tajam seolah-olah ingin menusukku. Aku berikan senyuman tersinis yang aku miliki sambil mengangkat kedua bahuku.BRAKK!!Teresia keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan sangat keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang di ruangan tersebut beberapa saat. Aku tahu mereka tidak peduli dengan itu itulah sebabnya mereka tetap menyalamiku dan memberikan ucapan selamat, kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan ruang pertemuan."Jadi apa rencana Mba ... maksud saya ibu Adelia?" tanya pak Rendra setelah mereka semua pergi.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, itu artinya sisa satu jam lagi rapat direksi akan diadakan. Aku sudah tak sabar.Aku raih blouse lengan panjang berwarna soft pink lalu kupadukan dengan rok pendek selutut yang warnanya tidak jauh berbeda dengan blouse yang aku gunakan. Aku berputar-putar di depan cermin memastikan penampilanku sempurna.Kulihat lagi polesan make up di wajahku, oh tidak kutemukan sedikit lipstik yang keluar dari garis bibirku. Dengan cepat kuraih tisu yang tak jauh dariku kemudian kubersihkan lipstik berwarna merah tua itu.Setelah selesai aku alihkan perhatianku lalu menata rambutku sedemikian rupa."Sempurna!" Gumamku.Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar kostku, tampak semua penghuni wanita disana menatapku. Kuyakin mereka terpesona dengan penampilanku. Kulihat sebuah mobil avanza berwarna hitam terparkir tak jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku hampiri
"Ada masalah di kantor, Mba."Ucapan terakhir pak Rendra benar-benar mengangguku memejamkan mataku saja aku tak bisa. Aku terlalu penasaran mengenai masalah apa yang terjadi di perusahaan, membuat otakku tak berhenti berputar. Aku bahkan sudah mencoba menelepon pak Rendra berkali-kali tapi tak diangkat sama sekali. Aku harap nenek sihir itu tidak membuat masalah yang serius."Aku harus segera masuk ke perusahaan secepatnya."***Aku menengadahkan kepalaku menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku tahu orang-orang yang sedang berlalu lalang itu pasti sedang melirikku.Tak berselang lama aku menyudahi kegiatanku, lalu berjalan masuk ke dalam menuju gedung tersebut. Baru saja aku ingin masuk lebih dalam, tiba-tiba dua orang petugas keamanan menghentikan langkahku."Permisi ada yang bisa saya bantu?""Saya mau bertemu dengan ibu Teresia Margare
Aku masih tak bergeming dan wanita itu masih menatapku. Semakin lama bibir tipisnya kembali ke posisi semula."Kenalin, gue nadia." Wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku."Nadia mar-ga-re-tha," ucapnya lagi penuh penekanan.Kusimpan gelas yang sedari tadi kugenggam di atas meja yang berada di sampingku, lalu meraih tangannya."Gue Adelina Chris-tan-to," balasku tak mau kalah.Kami saling menatap, kemudian kami saling menyinggungkan senyuman. Entah kenapa aku tidak nyaman dengan cara tersenyum Nadia padaku. Aku merasa senyumannya tidak tulus."Nadiaa ...." Suara wanita yang tak lain adalah ibu tiriku membuat kami saling melepaskan genggaman. Aku menengok ke arah sumber suara tampak ibu tiriku berjalan cepat ke arah kami diikuti ayahku di belakangnya.Ibu tiriku segera memeluk wanita muda bernama Nadia itu, membuatku mundur satu langkah.&nbs
“STOOPPP!!! TIDAK BISAKAH KALIAN BERHENTI MEMBUAT AKU MENDERITA? AKU SUDAH MUAK DENGAN KALIAN BERDUA!“ teriakku marah. PLAKK! Sebuah tamparan keras berhasil mendarat dipipiku dengan sempurna. Aku hanya menatap tajam ke arah seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku tanpa berkata apapun. Aku benar-benar muak dengan semua ini. “Berani sekali kau berteriak kepada kami seperti itu!" Sahut seorang wanita paruh baya dengan nada yang tak kalah kerasnya. “Aku putuskan mulai hari ini aku akan angkat kaki dari rumah ini! Cih, rumah? Bahkan ini tidak pantas disebut rumah! Pantasnya ini disebut neraka!" kataku sambil membelalakan mataku. "Lihat saja aku akan kembali dan mengusir kalian semua dari sini!“ ancamku seraya pergi. BRAKK!! Aku banting pintu dengan sekencang-kencangnya tak peduli. “DASAR ANAK KURANG AJAR!“ teriak wanita itu dari dalam. *** Tes ... Tes ...Tes Ku tengadahkan kepalaku ke atas langit. Sedikit demi sedikit air hujan membasahi wajahku. Aku tak peduli lagip