Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, itu artinya sisa satu jam lagi rapat direksi akan diadakan. Aku sudah tak sabar.
Aku raih blouse lengan panjang berwarna soft pink lalu kupadukan dengan rok pendek selutut yang warnanya tidak jauh berbeda dengan blouse yang aku gunakan. Aku berputar-putar di depan cermin memastikan penampilanku sempurna.
Kulihat lagi polesan make up di wajahku, oh tidak kutemukan sedikit lipstik yang keluar dari garis bibirku. Dengan cepat kuraih tisu yang tak jauh dariku kemudian kubersihkan lipstik berwarna merah tua itu.
Setelah selesai aku alihkan perhatianku lalu menata rambutku sedemikian rupa.
"Sempurna!" Gumamku.
Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar kostku, tampak semua penghuni wanita disana menatapku. Kuyakin mereka terpesona dengan penampilanku. Kulihat sebuah mobil avanza berwarna hitam terparkir tak jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku hampiri mobil itu lalu mengetuk kacanya sebelum masuk.
"Pak Andi?" Tanyaku pada laki-laki yang kurasa lebih muda dariku untuk memastikan.
Tak ada respon darinya, dia terdiam dan terus menatapku.
"Halo ...." Aku melambaikan tanganku di hadapan wajahnya membuat ia mengedipkan matanya berulangkali.
"O-oh, i-iya kak," jawabnya.
Setelah memastikan bahwa mobil itu adalah taksi online yang kupesan, aku bergegas masuk.
[Bagaimana persiapannya?]
Tanyaku pada Pak Rendra melalui pesan singkat.
[Beres mba, semunya sudah siap.]
Aku melirik sekilas ke arah kaca spion di hadapanku, aku menyadari bahwa sang supir taksi masih saja berusaha mencuri-curi pandang ke arahku.
"Gak pernah liat wanita cantik ya, Pak?" Celetukku datar sambil terus memperhatikan handphoneku.
Hening. Sang supir tak mengatakan apapun, kulirik lagi ke arahnya tampak ia sedang menengok ke kanan dan ke kiri memperhatikan kendaraan yang lain sesekali ia mengusap belakang lehernya.
Beberapa menit kemudian taksi online yang kutumpangi telah sampai di depan gedung perusahaan ayah. Syukurlah jalanan tadi cukup lengang sehingga aku bisa datang tepat waktu.
Kulangkahkan kakiku penuh percaya diri sambil mengibaskan rambut panjang indahku yang sengaja kuuraikan. Sesampainya di depan pintu, aku menunjukkan kartu akses masuk di depan wajah sang petugas keamanan yang hampir saja menghentikanku seperti tempo hari.
Melihat aku memiliki kartu itu sang petugas keamanan menurunkan tangannya, aku melirik ke arahnya sambil menaikkan sedikit ujung bibirku kemudian pergi.
Setelah sampai di lantai 20 aku memasuki ruangan kecil mirip ruang tunggu di sebelah ruang pertemuan dimana para direksi berkumpul. Pak Rendra memintaku untuk menunggu disini.
Selama didalam sini aku bisa mendengarkan semua percakapan mereka dengan jelas. Kudengar mereka banyak yang protes atas kepemimpinan nenek sihir itu, tentu saja nenek sihir itu tak mau kalah hingga perdebatan pun tak terelakkan.
"Saya minta anda harus mengundurkan diri dari posisi anda, sebagai seorang pemimpin anda tidak cukup kompeten," protes salah seorang lelaki disana.
"Lantas jika saya tidak kompeten menurut anda siapa yang lebih kompeten dan pantas menggantikan posisi saya, hah?" Tanya nenek sihir itu dengan nada marah.
"Saya tahu akal bulus kalian!" Seru nenek sihir lagi membuatku terkekeh.
"Cih, bagaimana mungkin orang licik seperti dia berkata seperti itu," gumamku.
"Kata-kata anda keterlaluan bu Teresia, apa maksud anda berbicara seperti itu?" Protes laki-laki itu diikuti peserta yang lainnya.
"Ini perusahaan mendiang suami saya, jadi kalian tidak berhak meminta saya untuk mundur dari posisi saya."
Aku yang sedari tadi duduk diam tak terima dengan ucapan Teresia sang nenek sihir. Jika bicara tentang hak tentu saja perusahaan ini adalah hak milikku. Aku bangkit dari dudukku kemudian membuka pintu yang terhubung dengan ruangan tersebut.
BRAKK!
Semua orang tersentak kaget, mereka mengalihkan pandangannya kepadaku bersamaan. Aku berjalan melewati mereka semua menuju podium yang berada tepat samping dimana nenek sihir itu duduk.
"Perkenalkan saya Adelia Christanto. Anak dari mendiang Teddy Christanto," ucapku penuh penekanan dimana-mana.
Semua mata masih tertuju padaku, begitupun Teresia yang masih terbelalak menatapku. Aku yakin dia pasti bertanya-tanya mengenai kehadiranku disini.
"Dialah orangnya, orang yang pantas mendapatkan posisi ini," celetuk lelaki dengan suara yang sama seperti lelaki yang kudengar sebelumnya.
"Tidak bisa! Bagaimana mungkin dia bisa menggantikan posisi saya disini. Saya adalah pemegang saham terbesar di perusahaan ini jadi saya berhak untuk menjadi direktur utama di perusahaan ini," protesnya tak mau kalah.
Aku terkekeh mendengar pernyataannya bagaimana bisa dia se-percaya diri itu.
"Maaf, sepertinya anda salah ibu Teresia yang terhormat. Pemegang saham terbesar saat ini adalah ibu Adelia. Saya dan rekan direksi yang lain memutuskan untuk menjadikan ibu Adelia sebagai direktur utama di perusahaan ini sesuai dari hasil rapat umum para pemegang saham," jelas lelaki itu.
"Tepuk tangan untuk ibu Adelia," sorak lelaki itu kemudian diikuti yang lainnya.
Tergambar jelas kemarahan di wajah sang nenek sihir, ia masih menatapku tajam penuh kebencian. Aku tersenyum puas dihadapannya kemudian menggerakkan kepalaku sebagai tanda padanya agar menyingkir dari hadapanku.
"Selamat ibu Adelia." Lelaki itu menghampiriku.
"Terimakasih bapak Tommy," kataku sambil menjabat tangan lelaki itu kemudian tersenyum.
Kulihat lagi ke arah nenek sihir itu yang masih menatapku tajam melihat ekspresinya membuat aku semakin melebarkan senyuman yang ternyata berhasil membuatnya pergi meninggalkan ruang pertemuan itu.
- 1 hari yang lalu -
Sebenarnya aku sedikit gugup dan khawatir rencanaku tidak berjalan sesuai keinginanku. Aku sudah meminta bantuan pak Rendra tapi sampai detik ini pak Rendra belum menghubungi membuatku semakin gelisah. Aku berharap ia berhasil membujuknya.
Ting.
Mendengar bunyi notifikasi pesan masuk membuat tanganku dengan cepat meraih handphone yang tak jauh dari sampingku, pesan yang kutunggu akhirnya datang juga tanpa membuang waktu aku klik pesan tersebut dan membacanya.
Pak Rendra
[Saya sudah menghubungi ketua direksi, kita akan bertemu jam 7 malam ini di Paradise Food Restaurant]
Aku menghela nafas, karena langkah pertama berhasil kulakukan.
*
"Perkenalkan ini bapak Tommy, dan Pak Tommy ini ibu Adelia anak dari mendiang bapak Teddy." Aku tersenyum kemudian kami saling berjabat tangan.
"Ayo silahkan dimakan," ucapku padanya.
Kami pun mulai melahap makanan yang berada di atas meja perlahan.
"Jadi apa maksud pertemuan ini?" Celetuk pak Tommy santai sambil terus melahap makanan di meja.
Aku menghentikan aktivitasku kemudian melirik ke arah pak Rendra, lalu ia menganggukkan kepala. Aku meletakkan garpu dan pisau yang aku genggam kemudian mengusap bibirku dengan sebuah kain putih. Setelah itu aku mengeluarkan berkas kepemilikan sahamku.
"Apa ini?"
"Silahkan dibaca."
"Saya ingin melengserkan bu Teresia dari posisinya di rapat direksi besok dan saya mengajukan diri sebagai penggantinya."
"Tidak semudah itu bu Adelia. Meskipun anda pemilik saham terbesar tapi anda belum cukup berpengalaman untuk menjadi seorang direktur perusahaan," jawabnya.
"Benarkah?" Tanyaku sinis kemudian menyodorkan berkas yang lainnya.
Aku lihat ekspresi wajah lelaki paruh baya itu berubah drastis, sesekali dia menatapku kemudian membaca kembali isi dari berkas itu. Aku tersenyum kemudian melanjutkan makanku.
"Baiklah, saya tidak bisa berkata-kata lagi. Saya akan sampaikan ini kepada direksi dan para pemegang saham. Ibu Adelia tenang saja. Ibu pasti akan mendapat dukungan dari kami."
"Silahkan lanjutkan makanannya," ucapku santai. Aku menoleh ke arah pak Rendra sekilas dan ia sedang mengernyitkan dahinya.
Makan malam pun berakhir, kami berpisah dengan pak Tommy di depan pintu keluar restoran.
"Sebenarnya itu berkas apa?" Tanya pak Rendra sesaat setelah pak Tommy masuk kedalam mobilnya.
Aku tersenyum lebar, membuat pak Rendra mengernyitkan dahinya lagi. Aku sudah bisa menebak bahwa pak Rendra sudah penasaran sejak tadi dan tidak sabar ingin mengetahui isi dari berkas itu.
"Nih, Bapak baca saja!" Aku menyodorkan map coklat padanya.
"Ini kan ...." Pak Rendra menatapku diikuti anggukan kepalaku. "Ini berkas yang tempo hari Mba Adel minta, kan" ucap pak Rendra sambil berusaha membukanya. Tampak pak Rendra tersenyum lebar setelah membaca berkas tersebut.
"Saya masih tak menyangka ada surat perjanjian seperti ini antara ayah anda dengan PT.PRATAMA, disini tertulis PT.PRATAMA hanya akan bekerja sama hanya jika sang direktur utama adalah anak kandung dari Teddy Christanto, sungguh tak masuk akal," ucap pak Rendra sambil tetap tersenyum.
"Saya juga tidak menyangka ada perjanjian semacam ini dan ayah meninggalkan hal seperti ini pada saya."
"Tapi bagaimana Mba tahu soal surat ini?"
"Ayah pernah mengatakannya pada saya, awalnya saya tidak terlalu peduli dengan ucapannya bahkan saya hampir lupa tapi entah bagaimana saya teringat kembali dan meminta pak Rendra untuk membawakannya kepada saya. Untunglah nenek sihir itu tidak menemukan surat ini," tuturku.
"Terimakasih ayah, sudah bantu Adelia," gumamku dalam hati sambil menatap pemandangan langit malam.
- To be continued -
"Selamat ibu Adelia." Pak Tommy mengulurkan tangannya padaku, dengan senang hati aku terima uluran tangannya."Terimakasih pak Tommy," kataku lalu tersenyum lebar.Satu persatu orang yang berada di ruangan itu menghampiriku dan menyalamiku, kulirik sekilas ke arah sang nenek sihir Teresia Margaretha. Tergambar jelas wajahnya menahan amarah, tatapannya yang tajam seolah-olah ingin menusukku. Aku berikan senyuman tersinis yang aku miliki sambil mengangkat kedua bahuku.BRAKK!!Teresia keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan sangat keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang di ruangan tersebut beberapa saat. Aku tahu mereka tidak peduli dengan itu itulah sebabnya mereka tetap menyalamiku dan memberikan ucapan selamat, kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan ruang pertemuan."Jadi apa rencana Mba ... maksud saya ibu Adelia?" tanya pak Rendra setelah mereka semua pergi.
"Saya juga tidak berniat menjalin dengan perusahaan yang dipimpin oleh direktur arogan seperti anda. Ayo Pak kita pergi dari sini buang-buang waktu saja," ucapku kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.Aku membuka pintu ruangan itu kasar, kulangkahkan kakiku secepat mungkin sedang pak Rendra mengekorku dibelakang berusaha mengimbangi langkahku."Dasar direktur arogan memangnya kamu pikir kamu hebat, lihat saja perusahaanku juga bisa bangkit tanpa harus menjalin kerjasama dengan kamu!" umpatku dalam hati.Aku hentikan langkahku sesaat setelah keluar dari gedung perusahaan itu lalu membalikkan tubuhku, "Cih! Menyesal? Yang ada saya yang menyesal pernah menginjakkan kaki saya di perusahaan ini!" umpatku sambil menggerakkan kaki menginjak-injak tanah berulang kali."Ibu Adel ayo kita pergi dari sini semua orang memperhatikan ibu."Mendengar pak Rendra mengatakan hal itu, aku tegakkan
Tak satupun dari pekerjaanku selesai, pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan. Disatu sisi aku penasaran dengan apa yang akan pak Agung katakan tapi disisi lain aku tak mau berhubungan dengannya apalagi menemuinya. "Haaa...." Aku mendengus kesal kemudian menghentikan kegiatan menulisku lalu meletakkan bolpoin yang aku genggam di atas meja dengan kasar. Aku sandarkan punggungku ke kursi lalu menengadahkan kepalaku sesaat kemudian kembali ke posisi semula. Aku melirik jam dinding yang berada dihadapanku dan waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku mendekatkan diriku ke meja lalu kutumpu kepalaku dengan kedua tangan yang kuletakkan di atas meja dan setelah menimbang-nimbang aku meraih telepon yang berada di meja kemudian menghubungi pak Rendra. "Halo pak. Tolong katakan padanya aku akan berada di sana 1 jam dari sekarang," kataku singkat. "Baik Bu." "Ish, sigap sekali dia. A
“STOOPPP!!! TIDAK BISAKAH KALIAN BERHENTI MEMBUAT AKU MENDERITA? AKU SUDAH MUAK DENGAN KALIAN BERDUA!“ teriakku marah. PLAKK! Sebuah tamparan keras berhasil mendarat dipipiku dengan sempurna. Aku hanya menatap tajam ke arah seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku tanpa berkata apapun. Aku benar-benar muak dengan semua ini. “Berani sekali kau berteriak kepada kami seperti itu!" Sahut seorang wanita paruh baya dengan nada yang tak kalah kerasnya. “Aku putuskan mulai hari ini aku akan angkat kaki dari rumah ini! Cih, rumah? Bahkan ini tidak pantas disebut rumah! Pantasnya ini disebut neraka!" kataku sambil membelalakan mataku. "Lihat saja aku akan kembali dan mengusir kalian semua dari sini!“ ancamku seraya pergi. BRAKK!! Aku banting pintu dengan sekencang-kencangnya tak peduli. “DASAR ANAK KURANG AJAR!“ teriak wanita itu dari dalam. *** Tes ... Tes ...Tes Ku tengadahkan kepalaku ke atas langit. Sedikit demi sedikit air hujan membasahi wajahku. Aku tak peduli lagip
Aku masih tak bergeming dan wanita itu masih menatapku. Semakin lama bibir tipisnya kembali ke posisi semula."Kenalin, gue nadia." Wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku."Nadia mar-ga-re-tha," ucapnya lagi penuh penekanan.Kusimpan gelas yang sedari tadi kugenggam di atas meja yang berada di sampingku, lalu meraih tangannya."Gue Adelina Chris-tan-to," balasku tak mau kalah.Kami saling menatap, kemudian kami saling menyinggungkan senyuman. Entah kenapa aku tidak nyaman dengan cara tersenyum Nadia padaku. Aku merasa senyumannya tidak tulus."Nadiaa ...." Suara wanita yang tak lain adalah ibu tiriku membuat kami saling melepaskan genggaman. Aku menengok ke arah sumber suara tampak ibu tiriku berjalan cepat ke arah kami diikuti ayahku di belakangnya.Ibu tiriku segera memeluk wanita muda bernama Nadia itu, membuatku mundur satu langkah.&nbs
"Ada masalah di kantor, Mba."Ucapan terakhir pak Rendra benar-benar mengangguku memejamkan mataku saja aku tak bisa. Aku terlalu penasaran mengenai masalah apa yang terjadi di perusahaan, membuat otakku tak berhenti berputar. Aku bahkan sudah mencoba menelepon pak Rendra berkali-kali tapi tak diangkat sama sekali. Aku harap nenek sihir itu tidak membuat masalah yang serius."Aku harus segera masuk ke perusahaan secepatnya."***Aku menengadahkan kepalaku menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku tahu orang-orang yang sedang berlalu lalang itu pasti sedang melirikku.Tak berselang lama aku menyudahi kegiatanku, lalu berjalan masuk ke dalam menuju gedung tersebut. Baru saja aku ingin masuk lebih dalam, tiba-tiba dua orang petugas keamanan menghentikan langkahku."Permisi ada yang bisa saya bantu?""Saya mau bertemu dengan ibu Teresia Margare
Tak satupun dari pekerjaanku selesai, pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan. Disatu sisi aku penasaran dengan apa yang akan pak Agung katakan tapi disisi lain aku tak mau berhubungan dengannya apalagi menemuinya. "Haaa...." Aku mendengus kesal kemudian menghentikan kegiatan menulisku lalu meletakkan bolpoin yang aku genggam di atas meja dengan kasar. Aku sandarkan punggungku ke kursi lalu menengadahkan kepalaku sesaat kemudian kembali ke posisi semula. Aku melirik jam dinding yang berada dihadapanku dan waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku mendekatkan diriku ke meja lalu kutumpu kepalaku dengan kedua tangan yang kuletakkan di atas meja dan setelah menimbang-nimbang aku meraih telepon yang berada di meja kemudian menghubungi pak Rendra. "Halo pak. Tolong katakan padanya aku akan berada di sana 1 jam dari sekarang," kataku singkat. "Baik Bu." "Ish, sigap sekali dia. A
"Saya juga tidak berniat menjalin dengan perusahaan yang dipimpin oleh direktur arogan seperti anda. Ayo Pak kita pergi dari sini buang-buang waktu saja," ucapku kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.Aku membuka pintu ruangan itu kasar, kulangkahkan kakiku secepat mungkin sedang pak Rendra mengekorku dibelakang berusaha mengimbangi langkahku."Dasar direktur arogan memangnya kamu pikir kamu hebat, lihat saja perusahaanku juga bisa bangkit tanpa harus menjalin kerjasama dengan kamu!" umpatku dalam hati.Aku hentikan langkahku sesaat setelah keluar dari gedung perusahaan itu lalu membalikkan tubuhku, "Cih! Menyesal? Yang ada saya yang menyesal pernah menginjakkan kaki saya di perusahaan ini!" umpatku sambil menggerakkan kaki menginjak-injak tanah berulang kali."Ibu Adel ayo kita pergi dari sini semua orang memperhatikan ibu."Mendengar pak Rendra mengatakan hal itu, aku tegakkan
"Selamat ibu Adelia." Pak Tommy mengulurkan tangannya padaku, dengan senang hati aku terima uluran tangannya."Terimakasih pak Tommy," kataku lalu tersenyum lebar.Satu persatu orang yang berada di ruangan itu menghampiriku dan menyalamiku, kulirik sekilas ke arah sang nenek sihir Teresia Margaretha. Tergambar jelas wajahnya menahan amarah, tatapannya yang tajam seolah-olah ingin menusukku. Aku berikan senyuman tersinis yang aku miliki sambil mengangkat kedua bahuku.BRAKK!!Teresia keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan sangat keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang di ruangan tersebut beberapa saat. Aku tahu mereka tidak peduli dengan itu itulah sebabnya mereka tetap menyalamiku dan memberikan ucapan selamat, kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan ruang pertemuan."Jadi apa rencana Mba ... maksud saya ibu Adelia?" tanya pak Rendra setelah mereka semua pergi.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, itu artinya sisa satu jam lagi rapat direksi akan diadakan. Aku sudah tak sabar.Aku raih blouse lengan panjang berwarna soft pink lalu kupadukan dengan rok pendek selutut yang warnanya tidak jauh berbeda dengan blouse yang aku gunakan. Aku berputar-putar di depan cermin memastikan penampilanku sempurna.Kulihat lagi polesan make up di wajahku, oh tidak kutemukan sedikit lipstik yang keluar dari garis bibirku. Dengan cepat kuraih tisu yang tak jauh dariku kemudian kubersihkan lipstik berwarna merah tua itu.Setelah selesai aku alihkan perhatianku lalu menata rambutku sedemikian rupa."Sempurna!" Gumamku.Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar kostku, tampak semua penghuni wanita disana menatapku. Kuyakin mereka terpesona dengan penampilanku. Kulihat sebuah mobil avanza berwarna hitam terparkir tak jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku hampiri
"Ada masalah di kantor, Mba."Ucapan terakhir pak Rendra benar-benar mengangguku memejamkan mataku saja aku tak bisa. Aku terlalu penasaran mengenai masalah apa yang terjadi di perusahaan, membuat otakku tak berhenti berputar. Aku bahkan sudah mencoba menelepon pak Rendra berkali-kali tapi tak diangkat sama sekali. Aku harap nenek sihir itu tidak membuat masalah yang serius."Aku harus segera masuk ke perusahaan secepatnya."***Aku menengadahkan kepalaku menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku tahu orang-orang yang sedang berlalu lalang itu pasti sedang melirikku.Tak berselang lama aku menyudahi kegiatanku, lalu berjalan masuk ke dalam menuju gedung tersebut. Baru saja aku ingin masuk lebih dalam, tiba-tiba dua orang petugas keamanan menghentikan langkahku."Permisi ada yang bisa saya bantu?""Saya mau bertemu dengan ibu Teresia Margare
Aku masih tak bergeming dan wanita itu masih menatapku. Semakin lama bibir tipisnya kembali ke posisi semula."Kenalin, gue nadia." Wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku."Nadia mar-ga-re-tha," ucapnya lagi penuh penekanan.Kusimpan gelas yang sedari tadi kugenggam di atas meja yang berada di sampingku, lalu meraih tangannya."Gue Adelina Chris-tan-to," balasku tak mau kalah.Kami saling menatap, kemudian kami saling menyinggungkan senyuman. Entah kenapa aku tidak nyaman dengan cara tersenyum Nadia padaku. Aku merasa senyumannya tidak tulus."Nadiaa ...." Suara wanita yang tak lain adalah ibu tiriku membuat kami saling melepaskan genggaman. Aku menengok ke arah sumber suara tampak ibu tiriku berjalan cepat ke arah kami diikuti ayahku di belakangnya.Ibu tiriku segera memeluk wanita muda bernama Nadia itu, membuatku mundur satu langkah.&nbs
“STOOPPP!!! TIDAK BISAKAH KALIAN BERHENTI MEMBUAT AKU MENDERITA? AKU SUDAH MUAK DENGAN KALIAN BERDUA!“ teriakku marah. PLAKK! Sebuah tamparan keras berhasil mendarat dipipiku dengan sempurna. Aku hanya menatap tajam ke arah seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku tanpa berkata apapun. Aku benar-benar muak dengan semua ini. “Berani sekali kau berteriak kepada kami seperti itu!" Sahut seorang wanita paruh baya dengan nada yang tak kalah kerasnya. “Aku putuskan mulai hari ini aku akan angkat kaki dari rumah ini! Cih, rumah? Bahkan ini tidak pantas disebut rumah! Pantasnya ini disebut neraka!" kataku sambil membelalakan mataku. "Lihat saja aku akan kembali dan mengusir kalian semua dari sini!“ ancamku seraya pergi. BRAKK!! Aku banting pintu dengan sekencang-kencangnya tak peduli. “DASAR ANAK KURANG AJAR!“ teriak wanita itu dari dalam. *** Tes ... Tes ...Tes Ku tengadahkan kepalaku ke atas langit. Sedikit demi sedikit air hujan membasahi wajahku. Aku tak peduli lagip