"Saya juga tidak berniat menjalin dengan perusahaan yang dipimpin oleh direktur arogan seperti anda. Ayo Pak kita pergi dari sini buang-buang waktu saja," ucapku kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Aku membuka pintu ruangan itu kasar, kulangkahkan kakiku secepat mungkin sedang pak Rendra mengekorku dibelakang berusaha mengimbangi langkahku.
"Dasar direktur arogan memangnya kamu pikir kamu hebat, lihat saja perusahaanku juga bisa bangkit tanpa harus menjalin kerjasama dengan kamu!" umpatku dalam hati.
Aku hentikan langkahku sesaat setelah keluar dari gedung perusahaan itu lalu membalikkan tubuhku, "Cih! Menyesal? Yang ada saya yang menyesal pernah menginjakkan kaki saya di perusahaan ini!" umpatku sambil menggerakkan kaki menginjak-injak tanah berulang kali.
"Ibu Adel ayo kita pergi dari sini semua orang memperhatikan ibu."
Mendengar pak Rendra mengatakan hal itu, aku tegakkan tubuhku, merapikan bajuku yang sebenarnya tidak berantakan, kemudian mengangkat kepalaku dan berjalan menuju mobil yang sudah terparkir dihadapanku. Aku bantingkan diriku di atas kursi penumpang, lalu kuletakkan kedua tanganku di atas dada.
Aku mendengus kesal, "Laki-laki arogan itu benar-benar merusak pagiku!"
"Iya ... tolong sampaikan pada pak Tommy saya dan bu direktur akan segera sampai."
Aku melirik ke arah pak Rendra yang tengah mengakhiri pembicaraannya dengan seseorang di telepon. Setelah menutup teleponnya pak Rendra menoleh ke belakang dan menyampaikan pesan dari si penelepon. Aku diam tak merespon. Ada perlu apa pak Tommy datang ke kantor?
30 menit kemudian mobil yang kami kendarai tiba di depan perusahaanku, aku diam sebentar menunggu pak Rendra membukakan pintu mobilnya untukku.
"Silahkan ...."
Setelah keluar dari mobil segera aku berjalan menuju ruanganku. Sesampainya disana kulihat tampak seorang laki-laki paruh baya berbadan gemuk sedang duduk menunggu di sofa ruanganku. Mengetahui kedatanganku laki-laki itu kemudian berdiri menyapaku.
"Selamat siang bu Adel," sapanya.
"Selamat siang bapak Tommy. Silahkan duduk. Pak Rendra tolong siapkan minuman untuk kami."
"Maksud dan tujuan saya datang kesini ingin menanyakan perihal hubungan kerjasama dengan PT.PRATAMA, apakah ibu sudah berhasil menandatangani kontrak dengan mereka."
Haruskah ia menanyakannya hari ini? Aku tidak ingin mendengarnya sekarang. Lagipula untuk apa seorang direksi mengurusi hal-hal seperti ini.
Tok ... Tok ... Tok
Perhatianku teralihkan oleh suara ketukan pintu, kulihat seorang office boy membawa sebuah nampan berisi 2 cangkir teh untuk kami.
"Silahkan diminum dulu pak," ucapku basa basi.
"Saya sudah memutuskan bahwa saya tidak akan menjalin kerjasama dengan perusahaan PRATAMA," ucapku santai sembari menyeruput teh hangat tersebut.
Kulihat pak Tommy mengernyitkan dahi, ia bahkan mengurungkan niatnya untuk menyeruput teh hangat ini dan meletakkan kekmbali ke atas meja.
"Maksud ibu apa?"
"Yaa ... maksud saya, saya tidak akan pernah menandatangi kontrak kerjasama dengan mereka," jelasku lagi lalu meletakkan cangkir yang ku genggam ke atas meja.
"Tidak bisa!" seru pak Tommy menatapku.
"Mengapa tidak bisa?" Aku menyilangkan tanganku di dada.
"Sudah lupakah ibu Adelia, bahwa saya dan dewan direksi lainnya memutuskan ibu menjadi direktur hanya karena isi surat perjanjian itu?"
"Tapi perlu bapak ingat saya tidak pernah berjanji akan bekerja sama dengan mereka," kataku tak mau kalah.
Perdebatan antara aku dan pak Tommy pun tak terelakkan, pak Tommy tidak bisa menerima keputusan serta alasanku. Dia tetap bersikukuh ingin bekerja sama dengan mereka, bahkan pak Tommy mengancamku akan mengganti posisiku dengan orang lain. Huh! Dia pikir dia bisa? tentu saja tidak bisa dan tak akan kubiarkan. Lagipula akulah pemegang saham terbesar di perusahaan ini. Setelah perdebatan itu akhirnya pak Tommy keluar dari ruanganku dengan ekspresi wajah yang masih memerah.
"Cih! Apa hebatnya perusahaan itu," batinku.
Sesaat setelah pak Tommy pergi, pak Rendra menghampiriku yang masih santai bersandar di sofa menikmati teh hangat yang belum sempat kuhabiskan. Dia memberitahuku bahwa Nadia sempat datang ingin menemuiku tapi kemudian ia pergi lagi setelah mendengar perdebatan antara aku dan pak Tommy.
"Untuk apa lagi dia kesini? Lain kali jangan biarkan dia masuk ke ruangan ini!" Perintahku pada pak Rendra.
"Hanya itu saja?"
"A-ah, saya lupa ini silahkan ada telepon untuk ibu." Aku menatap telepon genggam milik pak Rendra yang ia sodorkan ke hadapanku.
"Siapa?" tanyaku tanpa membuat suara.
"Terima saja,"sahut pak Rendra berbisik membuatku mengernyitkan dahi.
Aku masih terus menatap pak Rendra meskipun sudah ku genggam teleponnya.
"Halo ...."
"Halo Adelia Christanto," sahut seorang lelaki dengan suara berat dari sebrang sana. Aku diam tak menjawab.
Siapa laki-laki ini? Bagaimana bisa dia tahu namaku? Dan bagaimana dia bisa mengetahui nomor sekretarisku? Apa dia kerabatku? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku.
"Halo ...." Suaranya menyadarkanku
"Anda kenal saya?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Hahaha ...."
Apa maksudnya ini, apa dia sedang mengejekku sekarang.
"Saya tidak tahu siapa anda," ucapku ketus.
"Tunggu ...."
Baru saja aku ingin mematikan panggilan itu tapi karena penasaran kuurungkan niatku, lalu ku arahkan kembali telepon itu ke telinga.
"Perkenalkan saya Agung Pratama, ayah dari Bastian Pratama."
Agung? Siapa dia? dan Bastian? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu tapi dimana? Sekelebat memori pun tiba-tiba muncul di kepala membuat aku membelalakan mataku. Apa lagi ini? Untuk apa ayah dari laki-laki arogan itu menghubungiku?
"Soal kontrak kerja sa―"
"Maaf bapak Agung yang terhormat saya tidak tertarik dengan hubungan kerjasama maupun perusahaan anda."
Aku menyerahkan telepon itu pada pak Rendra tanpa menutupnya, lalu aku bangkit dari sofa menuju kursi kerjaku dan mulai membaca-baca dokumen di atas meja. Aku tidak tahu kenapa aku sampai semarah ini hanya karena laki-laki arogan itu.
"Iya baik pak akan saya sampaikan," ucap pak Rendra kemudian menutup teleponnya.
"Apa lagi?" tanyaku kepada pak Rendra yang masih berdiri dihadapanku sambil menatapku.
"Beliau ingin bertemu anda malam ini di Western Food Restaurant, katanya ada hal penting yang ingin beliau sampaikan, dan saya menyetujuinya."
Aku menghentikan aktivitasku dan menutup dokumen yang sedang kubaca dengan keras, lalu menatap ke arah sekretarisku tajam. Jika saja pak Rendra bukan sekretarisku yang istimewa habis sudah dia kumaki-maki.
"Kenapa bapak menyetujuinya? Saya tidak akan kesana! Lagipula saya kan bosnya kenapa bapak mengatur saya!" ucapku emosi.
"Maaf Bu, tapi beliau bilang ini berhubungan dengan mendiang ayah anda."
Deg. Aku terdiam tak mengatakan apapun. Degup jantungku kembali normal, aliran darah yang sepertinya akan membuat kepalaku meledak mendadak lancar. Aku lemah jika berhubungan soal Ayah, aku akan melakukan apapun jika ini menyangkut soal almarhum ayah. Aku mengerti sekarang kenapa aku semarah ini, bukan karena laki-laki itu ataupun kerjasama itu, tapi karena aku marah pada diriku karena tak bisa memenuhi perjanjian itu. Bagiku perjanjian itu seperti permintaan terakhir ayah.
"Lantas kira-kira apa yang ingin pak Agung katakan soal ayah?"
- To be continued -
Tak satupun dari pekerjaanku selesai, pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan. Disatu sisi aku penasaran dengan apa yang akan pak Agung katakan tapi disisi lain aku tak mau berhubungan dengannya apalagi menemuinya. "Haaa...." Aku mendengus kesal kemudian menghentikan kegiatan menulisku lalu meletakkan bolpoin yang aku genggam di atas meja dengan kasar. Aku sandarkan punggungku ke kursi lalu menengadahkan kepalaku sesaat kemudian kembali ke posisi semula. Aku melirik jam dinding yang berada dihadapanku dan waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku mendekatkan diriku ke meja lalu kutumpu kepalaku dengan kedua tangan yang kuletakkan di atas meja dan setelah menimbang-nimbang aku meraih telepon yang berada di meja kemudian menghubungi pak Rendra. "Halo pak. Tolong katakan padanya aku akan berada di sana 1 jam dari sekarang," kataku singkat. "Baik Bu." "Ish, sigap sekali dia. A
“STOOPPP!!! TIDAK BISAKAH KALIAN BERHENTI MEMBUAT AKU MENDERITA? AKU SUDAH MUAK DENGAN KALIAN BERDUA!“ teriakku marah. PLAKK! Sebuah tamparan keras berhasil mendarat dipipiku dengan sempurna. Aku hanya menatap tajam ke arah seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku tanpa berkata apapun. Aku benar-benar muak dengan semua ini. “Berani sekali kau berteriak kepada kami seperti itu!" Sahut seorang wanita paruh baya dengan nada yang tak kalah kerasnya. “Aku putuskan mulai hari ini aku akan angkat kaki dari rumah ini! Cih, rumah? Bahkan ini tidak pantas disebut rumah! Pantasnya ini disebut neraka!" kataku sambil membelalakan mataku. "Lihat saja aku akan kembali dan mengusir kalian semua dari sini!“ ancamku seraya pergi. BRAKK!! Aku banting pintu dengan sekencang-kencangnya tak peduli. “DASAR ANAK KURANG AJAR!“ teriak wanita itu dari dalam. *** Tes ... Tes ...Tes Ku tengadahkan kepalaku ke atas langit. Sedikit demi sedikit air hujan membasahi wajahku. Aku tak peduli lagip
Aku masih tak bergeming dan wanita itu masih menatapku. Semakin lama bibir tipisnya kembali ke posisi semula."Kenalin, gue nadia." Wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku."Nadia mar-ga-re-tha," ucapnya lagi penuh penekanan.Kusimpan gelas yang sedari tadi kugenggam di atas meja yang berada di sampingku, lalu meraih tangannya."Gue Adelina Chris-tan-to," balasku tak mau kalah.Kami saling menatap, kemudian kami saling menyinggungkan senyuman. Entah kenapa aku tidak nyaman dengan cara tersenyum Nadia padaku. Aku merasa senyumannya tidak tulus."Nadiaa ...." Suara wanita yang tak lain adalah ibu tiriku membuat kami saling melepaskan genggaman. Aku menengok ke arah sumber suara tampak ibu tiriku berjalan cepat ke arah kami diikuti ayahku di belakangnya.Ibu tiriku segera memeluk wanita muda bernama Nadia itu, membuatku mundur satu langkah.&nbs
"Ada masalah di kantor, Mba."Ucapan terakhir pak Rendra benar-benar mengangguku memejamkan mataku saja aku tak bisa. Aku terlalu penasaran mengenai masalah apa yang terjadi di perusahaan, membuat otakku tak berhenti berputar. Aku bahkan sudah mencoba menelepon pak Rendra berkali-kali tapi tak diangkat sama sekali. Aku harap nenek sihir itu tidak membuat masalah yang serius."Aku harus segera masuk ke perusahaan secepatnya."***Aku menengadahkan kepalaku menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku tahu orang-orang yang sedang berlalu lalang itu pasti sedang melirikku.Tak berselang lama aku menyudahi kegiatanku, lalu berjalan masuk ke dalam menuju gedung tersebut. Baru saja aku ingin masuk lebih dalam, tiba-tiba dua orang petugas keamanan menghentikan langkahku."Permisi ada yang bisa saya bantu?""Saya mau bertemu dengan ibu Teresia Margare
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, itu artinya sisa satu jam lagi rapat direksi akan diadakan. Aku sudah tak sabar.Aku raih blouse lengan panjang berwarna soft pink lalu kupadukan dengan rok pendek selutut yang warnanya tidak jauh berbeda dengan blouse yang aku gunakan. Aku berputar-putar di depan cermin memastikan penampilanku sempurna.Kulihat lagi polesan make up di wajahku, oh tidak kutemukan sedikit lipstik yang keluar dari garis bibirku. Dengan cepat kuraih tisu yang tak jauh dariku kemudian kubersihkan lipstik berwarna merah tua itu.Setelah selesai aku alihkan perhatianku lalu menata rambutku sedemikian rupa."Sempurna!" Gumamku.Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar kostku, tampak semua penghuni wanita disana menatapku. Kuyakin mereka terpesona dengan penampilanku. Kulihat sebuah mobil avanza berwarna hitam terparkir tak jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku hampiri
"Selamat ibu Adelia." Pak Tommy mengulurkan tangannya padaku, dengan senang hati aku terima uluran tangannya."Terimakasih pak Tommy," kataku lalu tersenyum lebar.Satu persatu orang yang berada di ruangan itu menghampiriku dan menyalamiku, kulirik sekilas ke arah sang nenek sihir Teresia Margaretha. Tergambar jelas wajahnya menahan amarah, tatapannya yang tajam seolah-olah ingin menusukku. Aku berikan senyuman tersinis yang aku miliki sambil mengangkat kedua bahuku.BRAKK!!Teresia keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan sangat keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang di ruangan tersebut beberapa saat. Aku tahu mereka tidak peduli dengan itu itulah sebabnya mereka tetap menyalamiku dan memberikan ucapan selamat, kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan ruang pertemuan."Jadi apa rencana Mba ... maksud saya ibu Adelia?" tanya pak Rendra setelah mereka semua pergi.
Tak satupun dari pekerjaanku selesai, pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan. Disatu sisi aku penasaran dengan apa yang akan pak Agung katakan tapi disisi lain aku tak mau berhubungan dengannya apalagi menemuinya. "Haaa...." Aku mendengus kesal kemudian menghentikan kegiatan menulisku lalu meletakkan bolpoin yang aku genggam di atas meja dengan kasar. Aku sandarkan punggungku ke kursi lalu menengadahkan kepalaku sesaat kemudian kembali ke posisi semula. Aku melirik jam dinding yang berada dihadapanku dan waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku mendekatkan diriku ke meja lalu kutumpu kepalaku dengan kedua tangan yang kuletakkan di atas meja dan setelah menimbang-nimbang aku meraih telepon yang berada di meja kemudian menghubungi pak Rendra. "Halo pak. Tolong katakan padanya aku akan berada di sana 1 jam dari sekarang," kataku singkat. "Baik Bu." "Ish, sigap sekali dia. A
"Saya juga tidak berniat menjalin dengan perusahaan yang dipimpin oleh direktur arogan seperti anda. Ayo Pak kita pergi dari sini buang-buang waktu saja," ucapku kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.Aku membuka pintu ruangan itu kasar, kulangkahkan kakiku secepat mungkin sedang pak Rendra mengekorku dibelakang berusaha mengimbangi langkahku."Dasar direktur arogan memangnya kamu pikir kamu hebat, lihat saja perusahaanku juga bisa bangkit tanpa harus menjalin kerjasama dengan kamu!" umpatku dalam hati.Aku hentikan langkahku sesaat setelah keluar dari gedung perusahaan itu lalu membalikkan tubuhku, "Cih! Menyesal? Yang ada saya yang menyesal pernah menginjakkan kaki saya di perusahaan ini!" umpatku sambil menggerakkan kaki menginjak-injak tanah berulang kali."Ibu Adel ayo kita pergi dari sini semua orang memperhatikan ibu."Mendengar pak Rendra mengatakan hal itu, aku tegakkan
"Selamat ibu Adelia." Pak Tommy mengulurkan tangannya padaku, dengan senang hati aku terima uluran tangannya."Terimakasih pak Tommy," kataku lalu tersenyum lebar.Satu persatu orang yang berada di ruangan itu menghampiriku dan menyalamiku, kulirik sekilas ke arah sang nenek sihir Teresia Margaretha. Tergambar jelas wajahnya menahan amarah, tatapannya yang tajam seolah-olah ingin menusukku. Aku berikan senyuman tersinis yang aku miliki sambil mengangkat kedua bahuku.BRAKK!!Teresia keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan sangat keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang di ruangan tersebut beberapa saat. Aku tahu mereka tidak peduli dengan itu itulah sebabnya mereka tetap menyalamiku dan memberikan ucapan selamat, kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan ruang pertemuan."Jadi apa rencana Mba ... maksud saya ibu Adelia?" tanya pak Rendra setelah mereka semua pergi.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, itu artinya sisa satu jam lagi rapat direksi akan diadakan. Aku sudah tak sabar.Aku raih blouse lengan panjang berwarna soft pink lalu kupadukan dengan rok pendek selutut yang warnanya tidak jauh berbeda dengan blouse yang aku gunakan. Aku berputar-putar di depan cermin memastikan penampilanku sempurna.Kulihat lagi polesan make up di wajahku, oh tidak kutemukan sedikit lipstik yang keluar dari garis bibirku. Dengan cepat kuraih tisu yang tak jauh dariku kemudian kubersihkan lipstik berwarna merah tua itu.Setelah selesai aku alihkan perhatianku lalu menata rambutku sedemikian rupa."Sempurna!" Gumamku.Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar kostku, tampak semua penghuni wanita disana menatapku. Kuyakin mereka terpesona dengan penampilanku. Kulihat sebuah mobil avanza berwarna hitam terparkir tak jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku hampiri
"Ada masalah di kantor, Mba."Ucapan terakhir pak Rendra benar-benar mengangguku memejamkan mataku saja aku tak bisa. Aku terlalu penasaran mengenai masalah apa yang terjadi di perusahaan, membuat otakku tak berhenti berputar. Aku bahkan sudah mencoba menelepon pak Rendra berkali-kali tapi tak diangkat sama sekali. Aku harap nenek sihir itu tidak membuat masalah yang serius."Aku harus segera masuk ke perusahaan secepatnya."***Aku menengadahkan kepalaku menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku tahu orang-orang yang sedang berlalu lalang itu pasti sedang melirikku.Tak berselang lama aku menyudahi kegiatanku, lalu berjalan masuk ke dalam menuju gedung tersebut. Baru saja aku ingin masuk lebih dalam, tiba-tiba dua orang petugas keamanan menghentikan langkahku."Permisi ada yang bisa saya bantu?""Saya mau bertemu dengan ibu Teresia Margare
Aku masih tak bergeming dan wanita itu masih menatapku. Semakin lama bibir tipisnya kembali ke posisi semula."Kenalin, gue nadia." Wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku."Nadia mar-ga-re-tha," ucapnya lagi penuh penekanan.Kusimpan gelas yang sedari tadi kugenggam di atas meja yang berada di sampingku, lalu meraih tangannya."Gue Adelina Chris-tan-to," balasku tak mau kalah.Kami saling menatap, kemudian kami saling menyinggungkan senyuman. Entah kenapa aku tidak nyaman dengan cara tersenyum Nadia padaku. Aku merasa senyumannya tidak tulus."Nadiaa ...." Suara wanita yang tak lain adalah ibu tiriku membuat kami saling melepaskan genggaman. Aku menengok ke arah sumber suara tampak ibu tiriku berjalan cepat ke arah kami diikuti ayahku di belakangnya.Ibu tiriku segera memeluk wanita muda bernama Nadia itu, membuatku mundur satu langkah.&nbs
“STOOPPP!!! TIDAK BISAKAH KALIAN BERHENTI MEMBUAT AKU MENDERITA? AKU SUDAH MUAK DENGAN KALIAN BERDUA!“ teriakku marah. PLAKK! Sebuah tamparan keras berhasil mendarat dipipiku dengan sempurna. Aku hanya menatap tajam ke arah seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku tanpa berkata apapun. Aku benar-benar muak dengan semua ini. “Berani sekali kau berteriak kepada kami seperti itu!" Sahut seorang wanita paruh baya dengan nada yang tak kalah kerasnya. “Aku putuskan mulai hari ini aku akan angkat kaki dari rumah ini! Cih, rumah? Bahkan ini tidak pantas disebut rumah! Pantasnya ini disebut neraka!" kataku sambil membelalakan mataku. "Lihat saja aku akan kembali dan mengusir kalian semua dari sini!“ ancamku seraya pergi. BRAKK!! Aku banting pintu dengan sekencang-kencangnya tak peduli. “DASAR ANAK KURANG AJAR!“ teriak wanita itu dari dalam. *** Tes ... Tes ...Tes Ku tengadahkan kepalaku ke atas langit. Sedikit demi sedikit air hujan membasahi wajahku. Aku tak peduli lagip