"Selamat ibu Adelia." Pak Tommy mengulurkan tangannya padaku, dengan senang hati aku terima uluran tangannya.
"Terimakasih pak Tommy," kataku lalu tersenyum lebar.
Satu persatu orang yang berada di ruangan itu menghampiriku dan menyalamiku, kulirik sekilas ke arah sang nenek sihir Teresia Margaretha. Tergambar jelas wajahnya menahan amarah, tatapannya yang tajam seolah-olah ingin menusukku. Aku berikan senyuman tersinis yang aku miliki sambil mengangkat kedua bahuku.
BRAKK!!
Teresia keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan sangat keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang di ruangan tersebut beberapa saat. Aku tahu mereka tidak peduli dengan itu itulah sebabnya mereka tetap menyalamiku dan memberikan ucapan selamat, kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan ruang pertemuan.
"Jadi apa rencana Mba ... maksud saya ibu Adelia?" tanya pak Rendra setelah mereka semua pergi.
"Hal pertama yang akan saya lakukan adalah mengusir nenek sihir itu dari perusahaan ini." Aku menatap pak Rendra tajam. "Aku rasa nenek sihir itu benar-benar akan meledak sekarang," tambahku lagi lalu tersenyum lebar.
"Ayo Pak ikuti saya!"
Dengan cepat kulangkahkan kakiku menuju ruang direktur, aku sudah tak sabar ingin melihat penderitaannya lalu mengusir nenek sihir itu dari sini.
"Aaargh ...."
Dari suara teriakannya saja sudah bisa kutebak nenek sihir itu pasti sedang mengamuk sekarang. Kutambah lagi laju langkahku ketika mendengar suara teriakan nenek sihir itu aku tak sabar menyaksikan kekalahannya.
Pak Rendra membukakan pintu ruangan itu untukku, kulihat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. kertas-kertas berserakan dimana-mana. Vas bunga di ruangan itu pun tak luput dari amukan sang nenek sihir.
"Astaga kasihan sekali kamu," kataku sambil memungut bunga yang berserakan di lantai.
"Ngapain kamu kesini? Puas kamu mempermalukan saya, HAH?!" teriak Teresia.
"Dasar perempuan tidak punya sopan santun! Lihat saja aku akan balas semua perlakuan kamu terhadap mama saya," cerocos Nadia yang ternyata ada di ruangan tersebut.
"Pak Rendra itu suara apa sih? Bikin gatal telinga saya." Aku mengorek-ngorek kupingku yang tidak gatal.
"Jangan-jangan disini ada JIN betina!" Sindirku penuh penekanan.
"Kalau gitu kita harus panggil orang pintar untuk mengusir mereka, Pak."
"Emang dasar kamu anak kurang ajar, pantas saja ayah dan ibumu mati. Itu semua pasti karena tidak tahan dengan sikap kurang ajar kamu!"
Aku lempar bunga yang aku genggam, kuhampiri Nadia lalu kudaratkan telapak tanganku di pipinya.
PLAK!
Nadia memegangi pipinya sambil menatapku tajam membuatku ingin congkel kedua bola matanya dan kurobek mulutnya. Nadia berusaha membalas tamparanku tapi tangannya berhasil kutahan, reflek aku dorong tubuhnya hingga tersungkur ke lantai.
"Sayang, kamu ngga apa-apa?" tanya Teresia pada anak perempuannya itu.
Aku membungkukkan tubuhku dan jongkok dihadapan mereka, "Jangan berani-berani bicara soal ayah dan ibuku dihadapanku lagi, atau akan kurobek mulut kamu!" ancamku sambil berbisik.
"Sebaiknya kalian pergi dari sini atau aku akan panggil petugas keamanan untuk menyeret kalian berdua dari sini!" kataku lagi
"Kamu tidak bisa mengusir kami berdua begitu saja. Ingatlah kami masih memiliki saham diperusahaan ini jadi kami berhak berada disini," sahut sang nenek sihir membela diri.
"HAHAHAHA ..." Aku tertawa sekencang-kencangnya lalu kuusap ujung mataku yang hampir saja menitikkan air mata.
"Pak Rendra cepat panggilkan petugas keamanan untuk mengusir mereka!"
"Lihat saja aku akan membalas kejadian hari ini! Jangan kira kamu sudah menang!" ancam Nadia kemudian bangkit berdiri diikuti ibunya.
"Ayo Ma, kita pergi dari sini!" kata Nadia kemudian berlalu pergi.
"Goodbye ..." ucapku sambil melambaikan tangan lalu menunjukkan ekspresi sedih, tentu saja hanya untuk mengejeknya.
"Ish, ruangan indah ini jadi kotor gara-gara mereka. Pak Rendra panggilkan petugas kebersihan untuk merapikan semua ini."
"Baik bu."
***
Pertarunganku hari ini dengan nenek sihir cukup menguras tenaga dan emosiku, kurebahkan tubuhku di atas kasur kecil di kamar kostku. Aku menutup kedua mataku dengan lenganku kemudian tersenyum. Aku tak menyangka bisa semudah itu menyingkirkan nenek sihir itu. Aku berharap menjalin kerjasama ulang bersama PT.PRATAMA minggu depan akan mudah seperti hari ini.
Dengan mata yang masih tertutup aku meraba-raba kasurku mencari handphone milikku, entah sudah berapa lama aku tertidur hingga suara alarm membangunkanku. Aku balikkan handphoneku untuk mematikan suara alarm tersebut, beruntunglah handphoneku memiliki fitur seperti itu jadi aku tidak perlu repot-repot membuka mataku. Baru saja aku ingin melanjutkan tidurku suara dering telepon mengangguku lagi memaksaku membuka mataku.
'Nomor tidak dikenal.' Aku mengernyitkan dahi lalu menekan tombol merah di layar handphoneku. Kulihat jam di layar handphoneku sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Aku bangkit dari pembaringanku berusaha mengumpulkan nyawaku untuk kembali ke dunia nyata.
Ting.
[Selamat pagi ibu, saya ingin menginformasikan bahwa hari ini pukul 9 pagi ada pertemuan dengan direktur perusahaan PRATAMA.]
Aku terperanjat kaget setelah membaca pesan dari pak Rendra lalu bergegas menuju kamar mandi. Aku tak menyangka direktur itu mengiyakan pertemuan hari ini. Padahal kemarin sekretaris perusahaan tersebut menolak mentah-mentah pertemuan ini dengan alasan jadwal sang direktur sangat padat.
Hari ini aku pilih mengenakan kemeja putih dengan aksen garis vertikal di bagian dada lalu kutambahkan dasi berwarna hitam kemudian kubentuk sedemikian rupa tali tersebut hingga membentuk pita yang menggantung di kerah bajuku, untuk bagian bawahnya aku mengenakan rok pendek selutut berwarna hitam dan sepatu hitam karya stiletto Gianvito Rossi Montecarlo D'orsay dengan aksen tali pita mungil, dan satu hal yang tak kalah pentingnya adalah tas The taller story karya Alexander McQueen dan tentu saja tampilan riasan wajah yang sederhana namun elegan.
Ting.
[Saya sudah di depan gang kost ibu]
Aku bergegas setelah membaca pesan dari pak Rendra. Seperti biasa para penghuni kost yang lainnya memperhatikan aku. Kulihat mobil sedan berwarna hitam telah terparkir disana.
"Ayo Pak berangkat," pintaku pada sang supir.
"Ibu Adel, apakah saya perlu mencarikan apartemen yang lebih layak untuk ibu tinggali?" tanya pak Rendra tiba-tiba dari kursi depan.
Sebenarnya aku mulai merasa nyaman tinggal di kost itu setelah hampir sebulan aku disana, tapi sayangnya jarak antara kost dan kantor lumayan cukup jauh belum lagi kalau macet, jadi kupikir ada baiknya untuk pindah ke tempat yang lebih baik sambil menunggu waktu yang tepat merebut kembali rumah peninggalan ayah dan ibu yang saat ini masih dikuasai sang nenek sihir, Teresia.
"Boleh Pak, tolong carikan."
Tak berselang lama aku pun sampai di depan perusahaan PRATAMA, setelah keluar dari mobil aku langkahkan kakiku menuju ke dalam lalu aku duduk di sofa lobi perusahaan itu sembari menunggu pak Rendra yang sedang berbicara dengan seorang resepsionis disana.
"Ayo Bu, kita ke ruangan direktur," ucap pak Rendra kemudian aku mengikuti.
Setelah sampai di ruang direktur tepatnya di lantai 20 lantai yang sama seperti di perusahaanku. Pak Rendra segera menemui sekretaris direktur tersebut nampak sekretaris wanita itu mengabarkan kedatangan kami.
Tok ... Tok ... Tok
Sekretaris itu mengetuk pintu ruangan tersebut lalu mempersilahkan kami masuk. Tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi membelakangi kami dan sibuk menatap dunia luar dari balik kaca besar disana. Punggungnya yang lebar dan bidang memberikan kesan gagah padanya, ditambah kemeja putih yang ia kenakan semakin menonjolkan tubunya yang atletis.
"Permisi ..." sapa pak Rendra membuatnya membalikkan tubuhnya seketika.
Mataku terbelalak dan mulutku ternganga ketika melihat penampakannya dari depan, tulang pipinya yang tinggi, hidungnya yang mancung, serta kulit wajahnya yang tidak gelap ataupun putih, ya ... kira-kira sawo matang membuatku terpesona beberapa saat. Sempurna. Tak kusangka direktur perusahaan PRATAMA semuda dan setampan ini.
"Silahkan duduk," ucapnya.
Aku dan pak Rendra menuruti pintanya, kemudian pak Rendra mulai menjelaskan panjang lebar maksud dan tujuan kami datang kesini. Sedangkan aku masih sibuk memandangi setiap inci sudut wajahnya.
"Ternyata masih sama saja," sahutnya dingin setelah pak Rendra selesai menjelaskan membuatku mengernyitkan dahi.
"Saya kira setelah bergantinya direktur perusahaan kalian akan menjadi lebih inovatif dan kreatif ternyata sama saja, menyesal saya menyetujui pertemuan ini," lanjutnya lagi dengan nada mengejek.
Kemudian pak Rendra menyodorkan berkas perjanjian yang kami miliki kepadanya, ia meraihnya kemudian tersenyum sinis.
"Anda pikir dengan selembar kertas ini bisa membuat perusahaan saya menjalin kerjasama dengan perusahaan anda?" tanyanya kemudian melempar pelan kertas itu ke atas meja di hadapannya.
"Perjanjian itu hanya antara direktur terdahulu yaitu ayah saya dengan ayah anda. Jadi kalian jangan berpikir kertas ini bisa membuat saya berubah pikiran."
Apa maksudnya dia berbicara seperti itu, percuma memiliki wajah tampan tapi ternyata sikapnya berbanding terbalik dengan wajahnya, sangat arogan. Aku mengepalkan kedua tanganku sambil menatap tajam ke arahnya.
Aku menarik napas panjang, "Tenang Adelia," batinku.
"Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi―"
"Saya juga tidak berniat menjalin dengan perusahaan yang dipimpin oleh direktur arogan seperti anda. Ayo Pak kita pergi dari sini buang-buang waktu saja," ucapku kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.
- To be continued -
"Saya juga tidak berniat menjalin dengan perusahaan yang dipimpin oleh direktur arogan seperti anda. Ayo Pak kita pergi dari sini buang-buang waktu saja," ucapku kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.Aku membuka pintu ruangan itu kasar, kulangkahkan kakiku secepat mungkin sedang pak Rendra mengekorku dibelakang berusaha mengimbangi langkahku."Dasar direktur arogan memangnya kamu pikir kamu hebat, lihat saja perusahaanku juga bisa bangkit tanpa harus menjalin kerjasama dengan kamu!" umpatku dalam hati.Aku hentikan langkahku sesaat setelah keluar dari gedung perusahaan itu lalu membalikkan tubuhku, "Cih! Menyesal? Yang ada saya yang menyesal pernah menginjakkan kaki saya di perusahaan ini!" umpatku sambil menggerakkan kaki menginjak-injak tanah berulang kali."Ibu Adel ayo kita pergi dari sini semua orang memperhatikan ibu."Mendengar pak Rendra mengatakan hal itu, aku tegakkan
Tak satupun dari pekerjaanku selesai, pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan. Disatu sisi aku penasaran dengan apa yang akan pak Agung katakan tapi disisi lain aku tak mau berhubungan dengannya apalagi menemuinya. "Haaa...." Aku mendengus kesal kemudian menghentikan kegiatan menulisku lalu meletakkan bolpoin yang aku genggam di atas meja dengan kasar. Aku sandarkan punggungku ke kursi lalu menengadahkan kepalaku sesaat kemudian kembali ke posisi semula. Aku melirik jam dinding yang berada dihadapanku dan waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku mendekatkan diriku ke meja lalu kutumpu kepalaku dengan kedua tangan yang kuletakkan di atas meja dan setelah menimbang-nimbang aku meraih telepon yang berada di meja kemudian menghubungi pak Rendra. "Halo pak. Tolong katakan padanya aku akan berada di sana 1 jam dari sekarang," kataku singkat. "Baik Bu." "Ish, sigap sekali dia. A
“STOOPPP!!! TIDAK BISAKAH KALIAN BERHENTI MEMBUAT AKU MENDERITA? AKU SUDAH MUAK DENGAN KALIAN BERDUA!“ teriakku marah. PLAKK! Sebuah tamparan keras berhasil mendarat dipipiku dengan sempurna. Aku hanya menatap tajam ke arah seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku tanpa berkata apapun. Aku benar-benar muak dengan semua ini. “Berani sekali kau berteriak kepada kami seperti itu!" Sahut seorang wanita paruh baya dengan nada yang tak kalah kerasnya. “Aku putuskan mulai hari ini aku akan angkat kaki dari rumah ini! Cih, rumah? Bahkan ini tidak pantas disebut rumah! Pantasnya ini disebut neraka!" kataku sambil membelalakan mataku. "Lihat saja aku akan kembali dan mengusir kalian semua dari sini!“ ancamku seraya pergi. BRAKK!! Aku banting pintu dengan sekencang-kencangnya tak peduli. “DASAR ANAK KURANG AJAR!“ teriak wanita itu dari dalam. *** Tes ... Tes ...Tes Ku tengadahkan kepalaku ke atas langit. Sedikit demi sedikit air hujan membasahi wajahku. Aku tak peduli lagip
Aku masih tak bergeming dan wanita itu masih menatapku. Semakin lama bibir tipisnya kembali ke posisi semula."Kenalin, gue nadia." Wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku."Nadia mar-ga-re-tha," ucapnya lagi penuh penekanan.Kusimpan gelas yang sedari tadi kugenggam di atas meja yang berada di sampingku, lalu meraih tangannya."Gue Adelina Chris-tan-to," balasku tak mau kalah.Kami saling menatap, kemudian kami saling menyinggungkan senyuman. Entah kenapa aku tidak nyaman dengan cara tersenyum Nadia padaku. Aku merasa senyumannya tidak tulus."Nadiaa ...." Suara wanita yang tak lain adalah ibu tiriku membuat kami saling melepaskan genggaman. Aku menengok ke arah sumber suara tampak ibu tiriku berjalan cepat ke arah kami diikuti ayahku di belakangnya.Ibu tiriku segera memeluk wanita muda bernama Nadia itu, membuatku mundur satu langkah.&nbs
"Ada masalah di kantor, Mba."Ucapan terakhir pak Rendra benar-benar mengangguku memejamkan mataku saja aku tak bisa. Aku terlalu penasaran mengenai masalah apa yang terjadi di perusahaan, membuat otakku tak berhenti berputar. Aku bahkan sudah mencoba menelepon pak Rendra berkali-kali tapi tak diangkat sama sekali. Aku harap nenek sihir itu tidak membuat masalah yang serius."Aku harus segera masuk ke perusahaan secepatnya."***Aku menengadahkan kepalaku menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku tahu orang-orang yang sedang berlalu lalang itu pasti sedang melirikku.Tak berselang lama aku menyudahi kegiatanku, lalu berjalan masuk ke dalam menuju gedung tersebut. Baru saja aku ingin masuk lebih dalam, tiba-tiba dua orang petugas keamanan menghentikan langkahku."Permisi ada yang bisa saya bantu?""Saya mau bertemu dengan ibu Teresia Margare
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, itu artinya sisa satu jam lagi rapat direksi akan diadakan. Aku sudah tak sabar.Aku raih blouse lengan panjang berwarna soft pink lalu kupadukan dengan rok pendek selutut yang warnanya tidak jauh berbeda dengan blouse yang aku gunakan. Aku berputar-putar di depan cermin memastikan penampilanku sempurna.Kulihat lagi polesan make up di wajahku, oh tidak kutemukan sedikit lipstik yang keluar dari garis bibirku. Dengan cepat kuraih tisu yang tak jauh dariku kemudian kubersihkan lipstik berwarna merah tua itu.Setelah selesai aku alihkan perhatianku lalu menata rambutku sedemikian rupa."Sempurna!" Gumamku.Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar kostku, tampak semua penghuni wanita disana menatapku. Kuyakin mereka terpesona dengan penampilanku. Kulihat sebuah mobil avanza berwarna hitam terparkir tak jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku hampiri
Tak satupun dari pekerjaanku selesai, pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan. Disatu sisi aku penasaran dengan apa yang akan pak Agung katakan tapi disisi lain aku tak mau berhubungan dengannya apalagi menemuinya. "Haaa...." Aku mendengus kesal kemudian menghentikan kegiatan menulisku lalu meletakkan bolpoin yang aku genggam di atas meja dengan kasar. Aku sandarkan punggungku ke kursi lalu menengadahkan kepalaku sesaat kemudian kembali ke posisi semula. Aku melirik jam dinding yang berada dihadapanku dan waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku mendekatkan diriku ke meja lalu kutumpu kepalaku dengan kedua tangan yang kuletakkan di atas meja dan setelah menimbang-nimbang aku meraih telepon yang berada di meja kemudian menghubungi pak Rendra. "Halo pak. Tolong katakan padanya aku akan berada di sana 1 jam dari sekarang," kataku singkat. "Baik Bu." "Ish, sigap sekali dia. A
"Saya juga tidak berniat menjalin dengan perusahaan yang dipimpin oleh direktur arogan seperti anda. Ayo Pak kita pergi dari sini buang-buang waktu saja," ucapku kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.Aku membuka pintu ruangan itu kasar, kulangkahkan kakiku secepat mungkin sedang pak Rendra mengekorku dibelakang berusaha mengimbangi langkahku."Dasar direktur arogan memangnya kamu pikir kamu hebat, lihat saja perusahaanku juga bisa bangkit tanpa harus menjalin kerjasama dengan kamu!" umpatku dalam hati.Aku hentikan langkahku sesaat setelah keluar dari gedung perusahaan itu lalu membalikkan tubuhku, "Cih! Menyesal? Yang ada saya yang menyesal pernah menginjakkan kaki saya di perusahaan ini!" umpatku sambil menggerakkan kaki menginjak-injak tanah berulang kali."Ibu Adel ayo kita pergi dari sini semua orang memperhatikan ibu."Mendengar pak Rendra mengatakan hal itu, aku tegakkan
"Selamat ibu Adelia." Pak Tommy mengulurkan tangannya padaku, dengan senang hati aku terima uluran tangannya."Terimakasih pak Tommy," kataku lalu tersenyum lebar.Satu persatu orang yang berada di ruangan itu menghampiriku dan menyalamiku, kulirik sekilas ke arah sang nenek sihir Teresia Margaretha. Tergambar jelas wajahnya menahan amarah, tatapannya yang tajam seolah-olah ingin menusukku. Aku berikan senyuman tersinis yang aku miliki sambil mengangkat kedua bahuku.BRAKK!!Teresia keluar dari ruangan lalu membanting pintu dengan sangat keras hingga mengalihkan perhatian orang-orang di ruangan tersebut beberapa saat. Aku tahu mereka tidak peduli dengan itu itulah sebabnya mereka tetap menyalamiku dan memberikan ucapan selamat, kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan ruang pertemuan."Jadi apa rencana Mba ... maksud saya ibu Adelia?" tanya pak Rendra setelah mereka semua pergi.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, itu artinya sisa satu jam lagi rapat direksi akan diadakan. Aku sudah tak sabar.Aku raih blouse lengan panjang berwarna soft pink lalu kupadukan dengan rok pendek selutut yang warnanya tidak jauh berbeda dengan blouse yang aku gunakan. Aku berputar-putar di depan cermin memastikan penampilanku sempurna.Kulihat lagi polesan make up di wajahku, oh tidak kutemukan sedikit lipstik yang keluar dari garis bibirku. Dengan cepat kuraih tisu yang tak jauh dariku kemudian kubersihkan lipstik berwarna merah tua itu.Setelah selesai aku alihkan perhatianku lalu menata rambutku sedemikian rupa."Sempurna!" Gumamku.Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar kostku, tampak semua penghuni wanita disana menatapku. Kuyakin mereka terpesona dengan penampilanku. Kulihat sebuah mobil avanza berwarna hitam terparkir tak jauh dari tempat dimana aku tinggal. Aku hampiri
"Ada masalah di kantor, Mba."Ucapan terakhir pak Rendra benar-benar mengangguku memejamkan mataku saja aku tak bisa. Aku terlalu penasaran mengenai masalah apa yang terjadi di perusahaan, membuat otakku tak berhenti berputar. Aku bahkan sudah mencoba menelepon pak Rendra berkali-kali tapi tak diangkat sama sekali. Aku harap nenek sihir itu tidak membuat masalah yang serius."Aku harus segera masuk ke perusahaan secepatnya."***Aku menengadahkan kepalaku menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku tahu orang-orang yang sedang berlalu lalang itu pasti sedang melirikku.Tak berselang lama aku menyudahi kegiatanku, lalu berjalan masuk ke dalam menuju gedung tersebut. Baru saja aku ingin masuk lebih dalam, tiba-tiba dua orang petugas keamanan menghentikan langkahku."Permisi ada yang bisa saya bantu?""Saya mau bertemu dengan ibu Teresia Margare
Aku masih tak bergeming dan wanita itu masih menatapku. Semakin lama bibir tipisnya kembali ke posisi semula."Kenalin, gue nadia." Wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku."Nadia mar-ga-re-tha," ucapnya lagi penuh penekanan.Kusimpan gelas yang sedari tadi kugenggam di atas meja yang berada di sampingku, lalu meraih tangannya."Gue Adelina Chris-tan-to," balasku tak mau kalah.Kami saling menatap, kemudian kami saling menyinggungkan senyuman. Entah kenapa aku tidak nyaman dengan cara tersenyum Nadia padaku. Aku merasa senyumannya tidak tulus."Nadiaa ...." Suara wanita yang tak lain adalah ibu tiriku membuat kami saling melepaskan genggaman. Aku menengok ke arah sumber suara tampak ibu tiriku berjalan cepat ke arah kami diikuti ayahku di belakangnya.Ibu tiriku segera memeluk wanita muda bernama Nadia itu, membuatku mundur satu langkah.&nbs
“STOOPPP!!! TIDAK BISAKAH KALIAN BERHENTI MEMBUAT AKU MENDERITA? AKU SUDAH MUAK DENGAN KALIAN BERDUA!“ teriakku marah. PLAKK! Sebuah tamparan keras berhasil mendarat dipipiku dengan sempurna. Aku hanya menatap tajam ke arah seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku tanpa berkata apapun. Aku benar-benar muak dengan semua ini. “Berani sekali kau berteriak kepada kami seperti itu!" Sahut seorang wanita paruh baya dengan nada yang tak kalah kerasnya. “Aku putuskan mulai hari ini aku akan angkat kaki dari rumah ini! Cih, rumah? Bahkan ini tidak pantas disebut rumah! Pantasnya ini disebut neraka!" kataku sambil membelalakan mataku. "Lihat saja aku akan kembali dan mengusir kalian semua dari sini!“ ancamku seraya pergi. BRAKK!! Aku banting pintu dengan sekencang-kencangnya tak peduli. “DASAR ANAK KURANG AJAR!“ teriak wanita itu dari dalam. *** Tes ... Tes ...Tes Ku tengadahkan kepalaku ke atas langit. Sedikit demi sedikit air hujan membasahi wajahku. Aku tak peduli lagip