Sepasang iris cokelat tua tersebut menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah tirus dengan lipatan ganda pada kelopak matanya, khas wajah Asia. Sementara fitur bagian lain menunjukkan khas kaukasia, salah satunya adalah hidung yang mancung dan ramping. Semua pahatan indah itu terlihat lebih sempurna dengan bingkai surai blonde yang panjangnya sesiku. Perpaduan gen Asia dan Eropa yang cantik sekali.
Rosseane Liady Ramos, memiliki kehidupan yang nyaris sempurna. Ia hidup bergelimang harta, memiliki keluarga, dan cinta. Tetapi hatinya terasa hampa, dan dingin. Seperti tidak pernah disambangi. Padahal ia pun juga memiliki seorang kekasih.
Kekasih yang beberapa hari ini menunjukkan sikap yang berbeda. Ia mulai merasakan tekanan dari hubungan yang baru seumur jagung itu. Enam bulan yang lalu ia sepakat untuk menjalin hubungan bersama pria kaya idaman semua wanita, Edric Ridley Anderson.
Awalnya hubungan mereka masih baik-baik saja, Rossie menikmati segala kemewahan yang didapatkan. Pria itu sangat loyal, tidak hanya kepada Rossie saja, tetapi juga keluarganya. Membantu bisnis sang ayah hingga sekarang menjadi cukup besar, ia sangat merasa berhutang budi atas itu. Tetapi, itu hanya berjalan sementara. Semakin lama, pria itu menunjukkan wajah aslinya. Dan merasa berkuasa, menjadi pengendali hidup Rossie.
“Ah,” Rossie mengembuskan napas kasar, sambil mengusap halus pipinya yang masih terasa panas karena tamparan dari Edric. Tamparan yang ia dapatkan karena masalah sepele, membuat Edric terlalu lama menunggu.
“Aku harus segera mengakhiri hubungan ini,” gumamnya lirih.
***
Di depan apartemen, sudah ada limousin yang menunggu Rossie, tentu dengan Edric di dalamnya. Malam itu ia terlihat seksi dengan balutan gaun bertali spagethi yang memperlihatkan keseluruhan punggung. Bagian bawahnya membelah hingga paha. Edric memang menyukai detail yang seperti itu.
Seorang pria dengan jenggot tipis membukakan pintu limousin untuknya. Edric tampil dengan setelan jas dan kemeja putih yang tiga kancing atasnya dibiarkan terbuka, tato bertuliskan huruf "R" di bagian dada kirinya terlihat mengintip. Paras tampan, dengan hidung mancung dan senyum yang mengintimidasi. Kulit warna tan dibalut dengan bulu lebat yang menambah kesan jantan. Tentu saja tubuhnya atletis, akan ditemukan pahatan otot yang sempurna apabila melepas kemejanya.
Gaun indah, mobil mewah, kekasih yang tampan. Banyak yang ingin merasakannya, tetapi apakah kalian tahu hal yang harus ditukar dengan semua itu?
"Night, Babe." Edric mengecup bibir plum Rossie, hingga membuat brewok tipis itu menempel padanya. "Aku suka melihatmu seperti ini, so se---xy," bisiknya di salah satu telinga Rossie. Nafas hangat itu membuat Rossie merinding.
"Hm, I like your smell." Edric mengendus leher Rossie, menghirup wangi perpaduan dari buah dan vanila yang manis, favoritnya. Dan Rossie benci aroma itu, membuatnya seperti sepotong cake yang siap disantap. Ia tidak akan memprotes, karena itu hanya akan memancing perdebatan yang tidak berujung.
Capek!
"Babe, nanti kita akan bertemu dengan Mr. Smith, Aku harap kau menjadi wanita yang anggun dan penurut seperti biasanya, okay." Pria brewok tipis itu merangkul Rossie, menjadikan rapat tubuh keduanya. "Dia yang akan membuat bisnis Daddy-mu semakin berkembang."
Rossie hanya mengangguk pelan, menyanggupi permintaan Edric. Tidak dipungkiri, menjadi kekasih Mr. Anderson juga memberikan keuntungan selain harta. Membersihkan nama baik ayahnya, Alexander Ramos. Pria yang dulu dikenal memiliki citra yang buruk, kini cukup dihargai di kalangan mereka.
Setelah melintasi jalanan Beverly Hills, keduanya sampai di sebuah hotel bintang lima. Bangunan dengan arsitektur megah dan dominasi warna cream. Edric membuat pertemuan di restaurant mewah yang berada di roof top tempat itu.
Beberapa pria dengan setelan hitam lengkap dengan earphone yang terselip di salah satu telinga mereka, berjejer rapi menyambut kedatangan Edric dan Rossie. Semua meja di restoran itu terlihat kosong, hanya ada satu pria yang duduk di ujung ruangan. Sudah bisa dipastikan, Edric yang menyewa tempat itu untuk mendapatkan privasi.
"Mr. Smith apakah sudah menunggu lama?" sapa Edric pada pria dengan surai klimis yang ditata ke belakang.
"Tidak, aku baru saja datang." Pria itu melirik ke arah Rossie, memperhatikan gumpalan padat yang sedikit mengintip dari balik gaunnya.
Edric memberikan kecupan tipis pada bibir Rossie dan membiarkannya pergi. Ia memang tidak pernah bergabung dalam pembicaraan bisnis Edric, karena dirasa juga tidak penting baginya.
Embusan angin malam menerbangkan buliran bening yang menetes dari pangkal mata Rossie. Tiba-tiba ia merindukan dua wanita yang potretnya terlihat di layar ponsel. Dua wanita berbeda generasi yang sangat hangat, menyayanginya seperti seorang putri. Ah, rasanya mustahil apabila berharap bisa berjumpa lagi dengan keduanya. Sudah 3 tahun mereka lost contact.
Edric menatap punggung Rossie dari dalam ruangan, otak liarnya sudah mulai berimajinasi dengan tubuh indah itu. Entah kenapa otaknya selalu fast respon ketika melihat Rossie. Membuat si jantan itu berontak tak karuan.
Tangan kekar berbulu lebat itu melingkar di pinggang ramping Rossie, dan menguatkan pelukannya.
“Kau sangat menggoda dengan gaun ini, Babe," ucap Edric. Nafas hangatnya menguar di area sekitar telinga. Membuat bulu roma Rossie berdiri.
"Akan kubuat keluargamu bahagia, babe. Itukan yang kamu mau?" Edric menjeda ucapannya, ia membalikkan tubuh Rossie sehingga membuat keduanya berhadapan. Tangan kukuh itu mencengkeram bahu Rossie dengan kuat.
Sakit!
Kedua mata elang itu menatap lekat iris coklat yang membuatnya tergila-gila. Entah sejak kapan tepatnya, yang jelas setiap menatap wanita blonde itu, ia menjadi egois dan tak mau melepaskannya.
"Cukup dengan bersamaku, akan kubuat kau dan keluargamu bahagia." Edric menundukkan kepalanya hingga membuatnya sejajar dengan Rossie.
"Tentu kau tidak mau keluargamu menderita bukan? Kau hanya akan menjadi milikku selamanya,” tambahnya sambil menyeringai.
Rossie menelan saliva, wajah Edric terlihat sangat menyeramkan. Apakah ini ancaman? Atau memang ungkapan sayang yang keterlaluan?
Edric merangkum wajah Rossie dan mendekatkannya. Bibir keduanya berpadu, tetapi hanya Edric yang bekerja. Rossie tidak memberikan balasan di setiap lumatan yang ia terima. Tangannya meremas pinggiran gaun, iris coklat itu masih bisa merekam rupa Edric yang tengah menikmati setiap hisapan.
Tubuh ramping Rossie terangkat dan berpindah pada salah satu meja terdekat, membuatnya dalam posisi duduk. Edric mengencangkan pelukannya, tak ingin sang Ratu pergi. Baginya, wanita blonde itu adalah milik Mr. Anderson. Selamanya.
Edric seperti pria yang kehausan, rasa panas menjalari tubuhnya. Ia terus memberi hisapan rakus pada Rossie. Dan menikmati percumbuan itu seorang diri. Bahkan ia tidak sadar kalau sebagian tangannya basah.
Kedua manik mata Rossie kini berlinang, satu persatu butiran bening menetes dari peraduan. Membasahi tulang pipi yang berpulaskan blush-on. Ia juga tidak mengetahui, kenapa ia menangis? Hatinya terasa sangat teriris. Ia bahkan rela memberikan segalanya demi Edric, meskipun sering mendapatkan perlakuan kasar. Kenapa? Apa dia memang bodoh?
Mendorong tubuh Edric pelan, maksud hati ingin mengakhiri hubungan yang sudah tidak sehat ini. “Edric, ada yang ingin aku sampaikan.”
“Apa itu? Katakan, apa yang kamu inginkan?” sahut Edric dengan senyuman tipis di bibir.
Jika kamu mengatakan hal itu, berarti sudah siap untuk kehilangan semuanya Rossie. Kehilang kemewahan yang selama ini mengikutimu, kehilangan perusahaan yang dikelola oleh ayahmu. Di mana itu adalah sumber kebahagiaan miliknya, dan satu lagi? Alexander Ramos akan kembali menjadi orang lemah yang selalu mendapatkan cibiran karena tidak lagi memiliki kekayaan. Ribuan kata bercokol di kepala Rossie. Ia kembali meneguk saliva berulang dengan tatapan dari Edric yang enggan berpindah.
“Apakah kamu siap dengan semua itu?” Satu pertanyaan yang berteriak hebat kini memenuhi otak Rossie.
TO BE CONTINUED….
"Sepertinya, nasib kita tidak hanya bertabrakan sekilas saja." Enam bulan kemudian…. Beberapa kursi model kubus ditata berjajar merenggang di kedua sisi. Bunga yang bermekaran diletakkan secara diagonal di sepanjang area catwalk. Puluhan pasang mata terkesima, pada busana yang melekat apik ditubuh sintal yang berlenggok mengikuti alunan musik instrumental. Tak sedikit yang mencoba mengabadikan momen itu. Seorang wanita dengan surai blonde, memamerkan bralette renda dengan cetakan flora di bagian dadanya, serasi dengan rok tutu berwarna hijau. Bando kupu-kupu yang menghiasi kepalanya menambah kesan musim semi yang paling ditunggu. Diak
"Semuanya serba tiba-tiba dan tak terprediksi, memangnya siapa yang bisa memprediksi takdir?" Kring...kring...kring... Rossie memicingkan matanya dan mendapati nama Edric tercetak di layar ponsel. [“Babe, kamu masih tidur?]” “ Ehm, iya ada apa Edric? Kapan kamu pulang dari Yunani?” tanya Rossie sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terkspos. [“Sore ini, aku akan kembali. Persiapkan dirimu. Baiklah, aku tutup dulu ya. I love you.”] Panggilan keduanya terputus, Edric yang melakukan. Tubuh Rossie
“Apakah arti dari sebuah pertemuan ulang? Apakah ini sebuah kesempatan untuk memperbaiki semuanya?”"Sial mengganggu saja!" umpat Edric yang sesenti lagi bisa meraup bibir mungil Rossie. Tangan kekarnya merogoh ponsel yang tertaut di saku celana dan menerima panggilan itu.Rossie mengembuskan napas lega. Siapapun yang menghubungi Edric, ia sungguh berterima kasih. Sedari tadi pria itu tidak membiarkan Rossie untuk menyampaikan maksudnya."Babe, aku harus terbang ke Vegas sekarang. Lagi ada masalah di Delight Demon. Lusa kita akan bertemu, kenakan gaun yang nanti akan kukirimkan, bersiaplah untuk memuaskanku," ucapnya sambil melepaskan kecupan tipis di bibir Rossie."Edric tapi ada yang---." Pria itu tidak menghiraukan ucapan
“Bisakah aku mengendalikan kehidupanku sendiri? Ini hidupku, dan hanya diriku yang berhak atas itu.” Kris menikmati potongan croissant yang mengkilap karena olesan butter. Netranya menatap ke arah sang putra yang sedang mengelus lembut buntalan hitam dipangkuannya, Toby. Satu-satunya makhluk hidup yang sangat manja apabila bersama Chan. Terlebih ketika majikannya itu selesai memberikan vaksin. Seperti yang baru saja ia lakukan, memberikan obat cacing pada Toby. Anjing poodle yang sudah berusia 6 bulan memang sebaiknya diberikan obat cacing untuk ketahanan tubuh, khususnya sistem pencernaan. "Chan," panggil Kris hati-hati. "Mommy
"Hanya dia yang aku punya di dunia ini. Akan kubuat jutaan senyum terukir di wajahnya."Mr. Ramos mengalami peningkatan gula darah hingga 350 mg/dL. Hal itu yang menyebabkan beliau mengalami pengurangan kesadaran. Selama ini pasien tidak melakukan pengobatan rutin. Kalau dibiarkan begini terus, tentu akan berakibat fatal.Kata-kata itu terngiang di kedua telinga Rossie. Kenapa ayahnya harus berbohong? Selama ini Alexander selalu bilang kalau rutin melakukan check up. Tetapi nyatanya tidak, sekarang Rossie harus melihat sang ayah terbaring di bed pesakitan.Rossie menggenggam tangan Alexander yang masih terlelap. Ia berusaha membuat matanya tetap terjaga. Dua belas jam perjalanan udara membuat tubuhn
"Hugo, jaga Daddy yah-" "Rossie, Daddy udah seperti baby saja ya. Sampai kamu harus menitipkan kepada Hugo seperti itu." Alexander terkekeh ketika mendengar percakapan Rossie dan Hugo di kursi yang tidak jauh dari ranjangnya. "Itu karena Daddy suka berbohong sama Rossie," ujar Rossie. Kemudian tatapannya beralih kepada Hugo. "Hugo, please perhatikan Daddy,
Menyadari tatapan dari Rossie, Chan meluruskan posisi tubuh. "Apa yang kamu lihat?" "No-nothing, anyway thanks." Rossie meneguk ludah sembari merapikan letak pakaiannya. Tanpa menjawab Chan langsung berlalu begitu saja. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan dari sang mantan kekasih. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Ma-maksudku sebelum pertemuanku dengan Mamamu dan Granny?" Chan menoleh dan memeta tubuh Rossie dari ujung kaki hingga puncak kepala. "Iya, kita pernah bertemu sebelumnya di klub, saat kamu mabuk." Kembali menelan saliva ketika mendengar jawaban dari Chan. Rossie mulai mengingat serpi
Catherine mencuri dengar percakapan Rossie. “Who?”Pandangan Rossie tertuju kepada Catherine dan menjawab, “Mom Kris, Mamanya Chan.”“Chan? Chan Who?” Catherine mengerutkan kening dan mencoba mengingat nama yang terdengar tidak asing di telinga. “Wait, jangan bilang Chan mantan kamu?” tambahnya.Menaikkan kedua bahu sambil bangkit dari duduknya. Rossie meraih jar yang berisi jus segar dan menuangkannya ke gelas panjang. Ia tidak memberikan jawaban kepada sang sahabat.“Are you serious?
"Kenapa kau tidak merasakan betapa besarnya cintaku untukmu? Aku sangat mencintaimu, sangat, sangat, sangat dan tidak bisa diukur lagi. Bahkan seisi dunia tidak bisa menakar rasa cintaku. Aku mencintaimu, sangat." Serentetan kalimat yang diucapkan oleh Chan baru saja membuat jantung Rossie berdebar dengan sangat kencang. Sentuhan jemarinya yang perlahan menelusup ke dalam balik gaun tidur, membuat kedua mata Rossie memejam perlahan. Lembut bibir Chan pun ikut menyentuh bibirnya. Pelan dan menuntut. Dingin dan basah. Dengan intens, Chan memberikan kecupan penuh hisapan. Rossie mulai larut dalam permainan lidah suaminya yang selalu ahli. Meraih tengkuk pria itu ke posisi yang lebih nyaman. Beberapa saat kemudian napas keduanya terengah. Chan menghentikan ciumannya dan terkejut ketika ketahuan sedang mengatur napas sebab kelelahan. Mereka terkekeh. Memajukan kepala di salah satu telinga Rossie dan berbisik sangat lirih. "Rossie, kau sangat seksi malam ini. Bisakah kita melakukannya
"Ketika sang takdir sering mempertemukan kita, apa yang akan terjadi selanjutnya?""Stop!" titah Rossie, membuat Chan menghentikkan laju mobilnya.Lobby apartment Rossie masih jauh berada di depan, sekitar 80 meter. Kedua manik mata Rossie menelisik ke depan, melihat Edric yang sedang berdiri di depan lobby sambil berbicara pada ponselnya."Aku turun sini aja, thanks ya." Rossie bersiap untuk membuka pintu mobil Chan, tetapi tangannya dicekal oleh lengan kukuh pria itu. Chan menatap lekat-lekat Rossie, sangat dekat bahkan ia bisa melihat pantulan dirinya di mata Rossie.Chan merasa tidak salah, wanita yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu adalah Rossie. "Who are you?" Bibir Chan bergumam perlahan. Membuat Rossie tersentak.Chan dan Rossie sesaat saling melempar tatap. Hening. Sampai pada akhirnya Rossie melepaskan cekalan tangan Chan dan berkata, "I'am Rossie, Rossie."Rossie membuka pintu mobil Chan dan segera turun. Ia berjalan perlahan menghampiri Edric yang masih belum sada
Dua tahun yang lalu …."Tutup kedua matamu dan rasakan kehadiranku, karena kau tidak butuh sebuah tatapan untuk mengenaliku."Chan meregangkan otot leher, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya terasa sedikit pegal. Alih-alih untuk berolahraga, untuk sekedar tidur cukup waktu saja, sudah bagus untuknya. Setiap malam ia begadang untuk mempelajari beberapa dokumen penting Saint Hills Hospital. Kalau saja tidak teringat amanah sang Ayah, mungkin ia sudah meminta manager lain untuk menanganinya. Yah, ia harus bertanggung jawab dengan keputusan yang ia pilih.Kaki jenjang Chan menapaki lantai yang merupakan perpaduan dari kayu dan marmer. Rumah dengan interior desain yang disesuaikan dengan seleranya itu, terlihat sangat elegant. Di beberapa sudut ruangan terdapat perabotan yang terkesan classy. Sementara untuk warna ruangannya, ia lebih memilih warna krem dominan.Dibukanya gorden emboss velvet warna hijau, kemudian membuka pintu kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar. Chan me
Suara raungan mobil sport menyeruak di dalam gedung yang sudah di desain untuk balapan itu. Kelima laju mobil itu saling salip dan mendahului. Rossie tersenyum tipis ketika mobil warna biru tua menyalipnya. "Well, let's see," ucap Rossie sambil menginjak gas dalam dan menambah kecepatan. Kemahiran Rossie dalam mengemudi memang tidak bisa diragukan. Hobi barunya melakukan balapan bersama rekan sesama modelnya membuat rasa lelah menguar begitu saja. Garis akhir semakin terlihat di depan, Rossie menaikkan salah satu sudut bibir. Ia merasa kemenangan semakin dekat. Namun, mobil centil warna hot pink mendahuluinya dan menjadi pemenang balapan kali ini. "Ash, sial," kesal Rossie. "Yippi!" Catherine memekik bahagia. Wanita itu keluar dari mobil disusul Jennie, Lisa, dan Jiso keluar dari mobil masing-masing. "Congratulation, Cath!" pekik Rossie sambil keluar dari mobilnya. "Okay, girls. Karena aku memang hari ini, so … party malam ini aku yang traktir!" Begitulah cara mereka merayakan
DOORRR!!!"Clara…" Kedua mata Rossie membulat sempurna ketika darah segar mengucur dari dada kiri pria itu. Pistol revolver yang masih mengepulkan asap terjulur tepat di sisi Rossie. Hal itu sontak membuat Rossie mengarahkan pandangan kepada si penembak. "Am-Amber?" ucap Catherine dengan kedua tangan yang menutup sebagian wajah. Ia mengintip dari sela-sela jemarinya yang merenggang. Rahang Amber bergetar, diikuti tangannya yang masih menodongkan pistol. Tanpa pikir panjang, Amber mengeluarkan senjata yang berada di balik bajunya. Kedua lutut Amber melemas, kemudian membuat tubuhnya terjatuh. Rossie yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi melihat Amber dan Clara secara bergantian. Tangan Amber memegang dada kirinya yang terus mengucurkan darah. Rossie yang sedari tadi bergeming, tiba-tiba merobek bagian bawah gaunnya dan berlari menuju kepada Amber. Ia menyumpalkan robekan tersebut pada luka tembak yang menganga. "Amber." Menekan dengan kuat dada kiri Edric agar darahnya
Melihat raut wajah Rossie yang ketakutan, Clara berusaha memberikan usapan lembut pada wajah wanita itu. Ia menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga Rossie. "Kenapa kau takut? Bukankah harusnya kau senang karena sudah mengingat cinta Tuan Edric yang sebesar cinta kepada ibunya?”Keheningan menyelimuti keduanya. Rossie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Clara yang tiba-tiba ikut bergeming. Pandangannya tertuju kepada Rossie, tetapi kosong. Memori lama dalam benak Clara kembali berputar. Memainkan adegan masa lampaunya bersama sang ibu. "Edric...Mommy akan bekerja. Kamu cepatlah istirahat dan naik ke loteng." titah Carissa sembari memasangkan kaitan teratas gaun seksinya. "Tapi, Mom. Aku masih ingin main," tolak Edric kecil yang masih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, Carissa segera menghampiri Edric. Dipegangnya rahang Edric dengan cengkeraman yang kuat. "Edric! Listen to me! Jangan membangkang, kamu
"Rossie?" Amber mengucapkan nama itu kembali. Wanita yang sempat dikhianati oleh Amber itu, ternyata justru diam-diam membantu dirinya. Dilebarkannya langkah kaki Amber menuju ke mobil. Berulang kali ia mencoba menghubungi Rossie namun tidak tersambung.Amber merasa menjadi manusia yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, Rossie selalu membantunya. Mulai dari masuk ke dunia modelling, hingga membantu biaya operasi sang ibu. "Rossie, tolong angkat. Sungguh aku minta maaf," gumam Amber terus mencoba menghubungi Rossie. Teringat perkataan terakhirnya kepada Edric membuat Amber langsung menginjak rem mobil dan menepi. "Shittt!" Amber menyugar rambut ketika menyadari kebodohannya. Secara tidak langsung, ia membukakan pintu penderitaan untuk Rossie. "Apa yang sudah aku lakukan? Amber! Kau sungguh bodoh!" kata Amber yang sekarang mencoba mengetikkan nomor Catherine. Tidak cukup lama ia menunggu. Nada sambung berganti pada suara Catherine. Kali ini bukan suara ramah seorang kawan
Tetesan darah mengalir perlahan dari salah satu pelipis, dengan mata yang menutup sebagian karena lebam. Tatapan tanpa ketakutan terpancar jelas pada sepasang iris gelap milik Chan. Ia bisa melihat dengan jelas rupa Clara, tangan kanan ibu dari pria yang selama ini sudah menghisap kebahagiaan Rossie. Mengepal kuat dan ingin sekali memberikan hantaman. Sayang, kedua tangannya terikat kuat oleh tali temali. Clara menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kau telah membunuh Tuanku. Seharusnya kau tidak pernah muncul di hubungan mereka." Sambil menahan rasa perih di sudut bibirnya yang terluka, Chan terkekeh. "Membunuh? Edric mati karena ulahnya sendiri. Gelak tawa Clara menggema di ruangan kosong yang hanya ada satu kursi yang ditempati oleh Chan. "Kalau begitu, kau juga harus mati. Karena tidak ada yang bisa memiliki Rossie selain Tuan Edric.!" "Aku tidak bermaksud untuk memiliki Rossie. Aku hanya ingin membahagiakannya. Karena aku sangat mencintainya!" ungkap Chan dengan lugas. Mend
Amber melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. Kurang lebih 30 menit, ia tiba di sebuah rumah sakit terdekat di Beverly Hills. Langkah kaki Amber lebar dan menuju lantai tiga, tempat di mana sang ibu dirawat. Ibunya harus segera melakukan operasi karena penyakit yang diderita. Itulah sebabnya Amber berusaha keras untuk mengumpulkan uang. "Permisi, saya mau melakukan pembayaran untuk pasien atas nama Summer Delacour," ucapnya pada salah satu petugas administrasi. "Baik ditunggu sebentar." Petugas itu terlihat mencari nama pasien di layar monitor dengan tangan yang sesekali menjetik pada mouse, "atas nama Summer Delacour?" tanyanya memastikan. "Yes, my mom." Amber menjawab tegas. "Atas nama Summer Delacour sudah dilakukan pembayaran dua hari yang lalu," jelas petugas tersebut yang kontan membuat Amber teeperanjat. Ia hanya hidup bersama sang ibu. Tidak ada saudara yang peduli atau bahkan rela membayar biaya rumah sakit dengan nominal besar. "Tidak mungkin. Pasti anda salah, sia