“Bisakah aku mengendalikan kehidupanku sendiri? Ini hidupku, dan hanya diriku yang berhak atas itu.”
Kris menikmati potongan croissant yang mengkilap karena olesan butter. Netranya menatap ke arah sang putra yang sedang mengelus lembut buntalan hitam dipangkuannya, Toby. Satu-satunya makhluk hidup yang sangat manja apabila bersama Chan. Terlebih ketika majikannya itu selesai memberikan vaksin. Seperti yang baru saja ia lakukan, memberikan obat cacing pada Toby. Anjing poodle yang sudah berusia 6 bulan memang sebaiknya diberikan obat cacing untuk ketahanan tubuh, khususnya sistem pencernaan.
"Chan," panggil Kris hati-hati. "Mommy rasa tidak ada salahnya kamu memperbaiki hubungan dengan Rossie. Dia wanita yang baik, Mommy dan Granny sangat menyukainya."
Chan menyesap minumannya hingga tandas, dan mengambil napas dalam sebelum menyanggah ucapan sang ibu. Hubungan apa yang harus mereka perbaiki?
"Mom, tolong berhenti mencampuri urusan pribadiku. Aku belum memikirkan soal pendamping. Urusan di perusahaan Daddy saja sudah membuatku pusing."
"So please, Mommy and Granny stop jodohin aku sama Rossie atau sama wanita manapun," tambah Chan sambil beranjak meninggalkan Ibunya.
Kris menatap punggung putranya yang menjauh, bukan maksudnya untuk mencampuri urusan pribadi sang putra. Ia menyadari kalau Chan merasa terbebani dengan segala masalah Hwang group. Ia hanya mencoba mencarikan teman untuk Chan, agar bisa berkeluh kesah dan mengurangi beban pikirannya. Mereka memang terlihat dekat, tetapi Chan tidak pernah mencoba menceritakan segala kesusahannya. Pria itu memang sangat tinggi gengsinya.
***
“Makannya punya pacar! Setidaknya kamu bisa bercerita santai tanpa rasa sungkan,” celetuk Thomas sambil menikmati fettucini bertabur keju.
Chan mengembuskan napas kasar, menumpuk kepenatan hanya membuatnya terasa semakin pusing. Pikirannya tidak bisa digunakan berpikir secara jernih. Ia melirik Thomas yang sedang melahap makanan favoritnya. Ah, pria itu tidak bisa diharapkan. Menceritakan keluh kesahnya kepada Thomas hanya akan membuatnya semakin pusing. Sepupunya itu akan menghakiminya secara terus-menerus. Ia hanya membutuhkan seorang pendengar. Itu saja.
“Chan, bagaimana kalau kamu make a reservation sama cewek. Ini bukan cewek sembarangan, kalau kau mau aku bisa buatkan reservasi atas namaku.”
“Kamu gila?! Berhenti memberiku ide yang tidak masuk akal!”
“Ini sangat masuk akal, kamu cukup berduaan sama dia, menceritakan keluh kesahmu. Kamu lega, rahasiamu aman. Lagian dia juga tidak akan mengenalimu. Kalian tidak perlu bertatap muka.” Thomas memberikan penjelasan layaknya seseorang yang sudah terbiasa melakukan hal itu.
Chan menatap ke arah Thomas penuh selidik, “kamu pernah melakukan itu?”
“Tentu, sebelum aku mempunyai Stevi.”
Kedua tangan Chan tertangkup menopang dagu jirusnya. Ini salah satu efek buruk, karena kurang pergaulan. Ia tidak memiliki seorangpun yang bisa menjadi pendengar setianya. Pikiran Chan kembali berselancar kepada Rossie. Kejadian malam itu masih membekas diingatan. Namun, rasa sakit hati yang ditinggalkan oleh Rossie juga tidak akan dengan mudah hilang begitu saja.
***
"Cheers!"
Rossie langsung meneguk satu sloki yang penuh dengan vodka dalam sekali tegukan. Rasanya sangat menyengat kerongkongan, dan ia menikmati itu. Vodka adalah teman yang tepat untuknya saat ini.
"Ah."
Tangannya kembali menuang vodka ke dalam seloki dan meneguknya hingga tandas. Catherine yang duduk di sebelah Rossie hanya bisa mengamati dalam diam. Ia sudah cukup paham, bahwa itulah cara sahabatnya untuk melampiaskan kekesalan.
"Hai, Girls!" panggil Amber yang berjalan menuju table bar dengan langkah mengangkang. Raut wajahnya terlihat menahan nyeri yang terasa di area sensitif itu.
"Am, are you ok?" tanya Catherine tanpa basa-basi.
Amber merebut vodka yang masih tersisa separuh dari tangan Rossie, sebelum menjawab pertanyaan Catherine. "Of course, I'm not okay," ucap Amber sambil menghela napas pelan.
"Si tua bangka itu menghabisiku dalam satu malam! Entah obat penguat apa yang dia minum! Sialan!" ujar Amber sambil membenarkan posisi duduknya, dan menyandarkan punggung.
Catherine terkekeh, bibirnya mengerucut sambil mengembuskan asap rokok ke udara. "Cari uang memang tidak gampang, darling."
Rossie hanya terdiam menikmati musik yang dimainkan oleh DJ. Ia tidak mencoba masuk ke dalam obrolan kedua sahabatnya. Wanita itu hanya menganggukkan kepala, saat mendengar ucapan Catherine. Yah, mencari uang memang tidak mudah. Bahkan ia rela menukar kebebasannya dengan kemewahan dari Edric. Begitu berkuasanya uang.
"Diantara kita bertiga, yang paling beruntung itu Rossie." Amber menyulut rokok yang terjepit di jarinya, mengisap dalam kemudian menyemburkan asap ke udara. "Dia dapat pria seperti Edric, tampan dan kaya. Tentu tidak akan tersiksa saat bercinta dengannya. Tidak harus menatap wajah tua bangka yang menahan kenikmatan."
“Anyway, ini kasino milik Edric. Kita bisa minum sepuasnya karena sang kekasih ada disini.” Amber terkekeh sambil menyesap vodka miliknya. Yah, tempat itu adalah salah satu bisnis kasino milik Edric, lebih tepatnya di lantai dua untuk tempat berjudi. Sementara lantai 1 untuk menari dan berpesta.
Rossie mencibir, tak ingin membalas pernyataan Amber yang hanya akan memancing perdebatan. Ketiga wanita itu memang terjebak dalam hubungan yang tidak normal. Catherine dulu bekerja sebagai seorang sekretaris, yang kemudian resign dan menikah dengan petinggi negara. Lebih tepatnya, menjadi istri kedua. Sementara Amber, menjadi selingkuhan owner perusahaan yang sudah mempunyai 4 cucu. Dan menurut Amber, libido pria tua itu masih bisa membuatnya kewalahan.
Semua itu mereka lakukan untuk mempertahankan kehidupan yang mewah. Yah, barang-barang branded itu tidak bisa turun dari langit begitu saja, kalau tidak ada yang namanya uang. Belum lagi sifat hedonis yang tertanam sejak masih remaja. Cukup sulit untuk mengubah hidup menjadi sederhana dan apa adanya.
Tapi kali ini, keputusan Rossie sudah benar-benar bulat. Karirnya di dunia modeling sudah cukup bagus, dengan penghasilan yang lumayan besar. Ia akan segera memutuskan hubungan beracunnya dengan Edric.
Pasti!
***
Edric mengembuskan napas kasar ketika melirik kartu terakhirnya, tiga wajik. Hari ini adalah hari sialnya, ia kalah telak.
Sial!
"Aw!" teriak wanita beriris biru yang duduk di pangkuan Edric. Paha putih nan mulus itu tersundut bara rokok yang tentu saja dilakukan oleh Edric.
Wanita itu segera beranjak, sambil meringis menahan luka bakar yang menjalar di bagian sekitar pahanya.
"Tammy, are you ok?" tanya Max salah satu asisten Edric.
"It's okay Max," jawab Tammy sambil meniup bagian pahanya yang masih melepuh. Ia sudah hafal dengan sikap Edric yang akan menyundutkan bara rokok ketika sedang kesal. Mau marah pun tak sanggup, karena merasa sudah dibayar. Beruntung teknologi dermatologi yang canggih, bisa mengembalikkan aset pencetak uangnya itu dalam waktu beberapa hari saja.
Ash, rasanya juga ingin memaki pria itu.
Seorang wanita dengan kostum skandal kelinci, mengganti posisi Tammy. Bergelayut manja di pangkuan Edric yang sudah mereda. Lengan kukuh itu langsung merangkul pinggang ramping yang mubazir untuk disia-siakan. Kecupan panas juga tak terelakkan dari keduanya.
Edric membalas setiap hisapan yang diberikan oleh jalang itu. Ia tidak mau kalah. Tentu, Edric Ridley Anderson adalah pria yang mahir dalam hal itu.
Rossie mengedarkan kedua matanya, mencari tulisan toilet atau penunjuk jalan untuk menuju kesana. Ia harus bersusah payah karena toilet di lantai 1 penuh dengan pasangan kekasih yang sudah tidak bisa menahan gairah bercumbu.
Kedua mata Rossie membulat dengan sempurna, ia terperanjat ketika merekam adegan yang dilakukan oleh Edric dan wanita kelinci itu. Bukan! Bukan rasa cemburu yang kini membakar dada. Rasa cemburunya terlalu kecil apabila dibandingkan dengan rasa marah.
Brengsek!
"Lelaki bajingan!"
"Dia tidak mau melepaskanku, tetapi masih bisa bercumbu dengan wanita lain?!"
Wajah Rossie menegang, kedua bagian giginya beradu. Genggaman tangannya juga ikut menguat, siap digunakan untuk menghantam pria brengsek itu. Ini kesempatan yang sangat tepat untuk memutuskan hubungan sialan bersama Edric, pikir Rossie.
Dengan langkah pasti, Rossie menghampiri Edric yang masih menikmati hisapan penuh gairah itu.
"Edric! Apa yang kamu lakukan?!" pekik Rossie.
Edric melepaskan ciuman panasnya dan memiringkan kepala. Hingga iris coklat gelapnya mampu menatap wajah Rossie yang memerah penuh emosi.
"Babe?" ucap Edric santai.
"Babe? Kau masih bisa bersikap santai? Kau tidak merasa melakukan kesalahan?"
"Kesalahan apa?"
Rossie mendengus kesal, pria itu sudah tertangkap basah tetapi masih tidak merasa bersalah. Gila! Benar-benar gila! Dia memang bukan manusia.
Perhatian pengunjung kini tertuju pada keduanya yang sedang beradu mulut. Max yang sedari tadi merekam kejadian itu hanya bisa berdiri menjauh. Lebih baik menyelamatkan diri, dari pada ikut terlibat dalam pertengkaran sepasang kekasih.
Edric menarik tangan Rossie untuk menjauh dari keramaian. Bagaimanapun juga reputasi seorang Edric Ridley Anderson akan dipertaruhkan, apabila tertangkap sedang bertengkar dengan seorang wanita. Itu sangat menjatuhkan wibawanya sebagai pemilik kasino.
Brengsek benar-benar brengsek!
Berkali-kali Rossie mengumpat dalam batin. Terbuat dari apa hati pria itu? Atau memang dia tidak mempunyai hati.
"Edric! Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan ini! Aku mau pu---."
"Babe, aku begini karena kamu. Kamu yang memulai pertengkaran, kamu yang sudah mulai mengabaikanku!" Edric mencengkeram kuat kedua lengan Rossie dengan tangannya yang kukuh. Membuat Rossie meringis, menahan rasa sakit yang timbul.
"Coba kamu menuruti semua perkataanku, tentu aku tidak akan begini. Lagipula nothing special dengan jalang itu."
“Kamu yang membuatku begini Rossie! Kamu!”
Lagi! Edric kembali mendoktrin isi kepala Rossie, agar ia merasa bersalah. Memutar balikkan fakta, supaya terlihat pihak wanita sebagai orang yang mematik api terlebih dahulu. Rossie memundurkan tubuhnya hingga menempel pada tembok. Pria macam apa yang berada di depannya? Bagaimana bisa ia menjalin hubungan dengan manusia seperti ini? Tidak, dia bukan manusia, dia lebih terlihat seperti dementor yang selalu mengisap kebahagiannya.
Kring...kring...kring...
Hugo calling...
Rosssie melirik layar ponselnya, dan mengusap buliran bening yang akan jatuh dari peraduan. Ia mengatur nafas yang sempat tersengal karena menahan emosi yang meluap. Dipencetnya tombol hijau pada layar ponsel, dan menerima panggilan itu.
"Halo."
Kini buliran bening yang sedari tadi tertahan di pelupuk mata, akhirnya tumpah. Rasa marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu. Dadanya sesak ketika mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Hugo, sang kakak.
“Ya Tuhan, apalagi ini?!” gumam Rossie lirih, hampir tak bersuara.
Daddy kolaps!
Penyakit Daddy kambuh lagi!
Daddy masuk ICU!
Kedua kaki Rossie kini tidak mampu menopang berat tubuhnya. Ia terjatuh dan terisak, air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Sementara Edric hanya menatapnya tanpa reaksi. Kenapa kesedihan selalu datang dalam hidupnya?
TO BE CONTINUED…
"Hanya dia yang aku punya di dunia ini. Akan kubuat jutaan senyum terukir di wajahnya."Mr. Ramos mengalami peningkatan gula darah hingga 350 mg/dL. Hal itu yang menyebabkan beliau mengalami pengurangan kesadaran. Selama ini pasien tidak melakukan pengobatan rutin. Kalau dibiarkan begini terus, tentu akan berakibat fatal.Kata-kata itu terngiang di kedua telinga Rossie. Kenapa ayahnya harus berbohong? Selama ini Alexander selalu bilang kalau rutin melakukan check up. Tetapi nyatanya tidak, sekarang Rossie harus melihat sang ayah terbaring di bed pesakitan.Rossie menggenggam tangan Alexander yang masih terlelap. Ia berusaha membuat matanya tetap terjaga. Dua belas jam perjalanan udara membuat tubuhn
"Hugo, jaga Daddy yah-" "Rossie, Daddy udah seperti baby saja ya. Sampai kamu harus menitipkan kepada Hugo seperti itu." Alexander terkekeh ketika mendengar percakapan Rossie dan Hugo di kursi yang tidak jauh dari ranjangnya. "Itu karena Daddy suka berbohong sama Rossie," ujar Rossie. Kemudian tatapannya beralih kepada Hugo. "Hugo, please perhatikan Daddy,
Menyadari tatapan dari Rossie, Chan meluruskan posisi tubuh. "Apa yang kamu lihat?" "No-nothing, anyway thanks." Rossie meneguk ludah sembari merapikan letak pakaiannya. Tanpa menjawab Chan langsung berlalu begitu saja. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan dari sang mantan kekasih. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Ma-maksudku sebelum pertemuanku dengan Mamamu dan Granny?" Chan menoleh dan memeta tubuh Rossie dari ujung kaki hingga puncak kepala. "Iya, kita pernah bertemu sebelumnya di klub, saat kamu mabuk." Kembali menelan saliva ketika mendengar jawaban dari Chan. Rossie mulai mengingat serpi
Catherine mencuri dengar percakapan Rossie. “Who?”Pandangan Rossie tertuju kepada Catherine dan menjawab, “Mom Kris, Mamanya Chan.”“Chan? Chan Who?” Catherine mengerutkan kening dan mencoba mengingat nama yang terdengar tidak asing di telinga. “Wait, jangan bilang Chan mantan kamu?” tambahnya.Menaikkan kedua bahu sambil bangkit dari duduknya. Rossie meraih jar yang berisi jus segar dan menuangkannya ke gelas panjang. Ia tidak memberikan jawaban kepada sang sahabat.“Are you serious?
Mendorong tubuh Chan agar menjauh, Rossie menghela napas sebelum memulai ucapan. "Karena memang hubungan kita harus berakhir seperti itu." Chan masih menatap Rossie lurus-lurus, fokusnya tertarik pada warna merah di sudut bibir wanita tersebut. "Kau terluka?" Pertanyaan dari Chan diabaikan begitu saja. Kemudian Rossie berjalan melewati Chan begitu saja. Hingga langkahnya terhenti karena ucapan Chan yang tiba-tiba. "Jadi begitu?" Chan terkekeh. "Kau membuangku seperti sampah yang sudah tidak ada artinya." Rossie menoleh dengan tatapan dingin. "Apa kau masih mencintaiku?"
Lengan kukuh yang dipenuhi dengan bulu halus melingkar di pinggul Rossie. Wanita yang tadinya menatap langit malam dengan Kilauan bintang sontak terkesiap."Edric! Mengagetkan saja," ucap Rossie.Edric tertawa. "Apa yang kamu pikirkan, sampai terkejut?""Tidak ada." Menggerakkan tubuh dan berusaha terlepas dari dekapan Edric. "Aku lelah, Edric."Edric melepaskan pelukan dari tubuh Rossie. "Akan ada pesta malam ini, aku sudah siapkan gaun yang harus kamu pakai."Pandangan Rossie teralih pada gaun yang tergeletak di ranjang. Model gaun yang nyaris telanjang favorit Edric.
Tiba-tiba tubuh Chan membeku karena serangan ciuman tersebut. Ia bisa melihat kedua mata Rossie terpejam ketika memberikan kecupan dalam. Namun, saat Chan ingin membalas ciuman itu, Rossie mendorong tubuh Chan dan mengakhiri pagutan."Sial," batin Chan."Apakah ciuman tadi juga mengujimu? Apa itu yang kamu harapkan dariku?" Rossie menatap Chan lurus-lurus tanpa keraguan. "Apakah setelah ini kamu bisa membiarkanku bekerja dengan baik?""Kau menyogokku dengan ciuman?""Kau mau lebih?" tantang Rossie.Chan menyeringai sambil mengusap bibirnya yang masih basah karena ulah Rossie. Sementara wanita blonde itu mengulas senyum sembari berlalu begi
Rossie berjalan tertatih sambil membopong tubuh Chan. Kaki Catherine hampir terjatuh karena ikut menahan beban tubuh Chan yang tentu saja dua kali lebih berat. Keduanya kemudian melemparkan tubuh Chan di atas ranjang. Pria berlesung pipi itu terjatuh di sana tanpa sadar akibat pengaruh alkohol. “Oh my goodness, pria ini sungguh sangat berat,” ujar Catherine sembari merenggangkan otot lengannya. “Cath, seharusnya kita antar Chan ke rumah.” Rossie mengatur napasnya yang tersengal karena kelelahan. “Are you kidding me? Kau mengajakku kesini untuk bersenang-senang, dan baru saja aku datang aku harus mengantarkan pria ini ke lokasi yang jauh? Oh Rossie,” jelas C
"Kenapa kau tidak merasakan betapa besarnya cintaku untukmu? Aku sangat mencintaimu, sangat, sangat, sangat dan tidak bisa diukur lagi. Bahkan seisi dunia tidak bisa menakar rasa cintaku. Aku mencintaimu, sangat." Serentetan kalimat yang diucapkan oleh Chan baru saja membuat jantung Rossie berdebar dengan sangat kencang. Sentuhan jemarinya yang perlahan menelusup ke dalam balik gaun tidur, membuat kedua mata Rossie memejam perlahan. Lembut bibir Chan pun ikut menyentuh bibirnya. Pelan dan menuntut. Dingin dan basah. Dengan intens, Chan memberikan kecupan penuh hisapan. Rossie mulai larut dalam permainan lidah suaminya yang selalu ahli. Meraih tengkuk pria itu ke posisi yang lebih nyaman. Beberapa saat kemudian napas keduanya terengah. Chan menghentikan ciumannya dan terkejut ketika ketahuan sedang mengatur napas sebab kelelahan. Mereka terkekeh. Memajukan kepala di salah satu telinga Rossie dan berbisik sangat lirih. "Rossie, kau sangat seksi malam ini. Bisakah kita melakukannya
"Ketika sang takdir sering mempertemukan kita, apa yang akan terjadi selanjutnya?""Stop!" titah Rossie, membuat Chan menghentikkan laju mobilnya.Lobby apartment Rossie masih jauh berada di depan, sekitar 80 meter. Kedua manik mata Rossie menelisik ke depan, melihat Edric yang sedang berdiri di depan lobby sambil berbicara pada ponselnya."Aku turun sini aja, thanks ya." Rossie bersiap untuk membuka pintu mobil Chan, tetapi tangannya dicekal oleh lengan kukuh pria itu. Chan menatap lekat-lekat Rossie, sangat dekat bahkan ia bisa melihat pantulan dirinya di mata Rossie.Chan merasa tidak salah, wanita yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu adalah Rossie. "Who are you?" Bibir Chan bergumam perlahan. Membuat Rossie tersentak.Chan dan Rossie sesaat saling melempar tatap. Hening. Sampai pada akhirnya Rossie melepaskan cekalan tangan Chan dan berkata, "I'am Rossie, Rossie."Rossie membuka pintu mobil Chan dan segera turun. Ia berjalan perlahan menghampiri Edric yang masih belum sada
Dua tahun yang lalu …."Tutup kedua matamu dan rasakan kehadiranku, karena kau tidak butuh sebuah tatapan untuk mengenaliku."Chan meregangkan otot leher, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya terasa sedikit pegal. Alih-alih untuk berolahraga, untuk sekedar tidur cukup waktu saja, sudah bagus untuknya. Setiap malam ia begadang untuk mempelajari beberapa dokumen penting Saint Hills Hospital. Kalau saja tidak teringat amanah sang Ayah, mungkin ia sudah meminta manager lain untuk menanganinya. Yah, ia harus bertanggung jawab dengan keputusan yang ia pilih.Kaki jenjang Chan menapaki lantai yang merupakan perpaduan dari kayu dan marmer. Rumah dengan interior desain yang disesuaikan dengan seleranya itu, terlihat sangat elegant. Di beberapa sudut ruangan terdapat perabotan yang terkesan classy. Sementara untuk warna ruangannya, ia lebih memilih warna krem dominan.Dibukanya gorden emboss velvet warna hijau, kemudian membuka pintu kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar. Chan me
Suara raungan mobil sport menyeruak di dalam gedung yang sudah di desain untuk balapan itu. Kelima laju mobil itu saling salip dan mendahului. Rossie tersenyum tipis ketika mobil warna biru tua menyalipnya. "Well, let's see," ucap Rossie sambil menginjak gas dalam dan menambah kecepatan. Kemahiran Rossie dalam mengemudi memang tidak bisa diragukan. Hobi barunya melakukan balapan bersama rekan sesama modelnya membuat rasa lelah menguar begitu saja. Garis akhir semakin terlihat di depan, Rossie menaikkan salah satu sudut bibir. Ia merasa kemenangan semakin dekat. Namun, mobil centil warna hot pink mendahuluinya dan menjadi pemenang balapan kali ini. "Ash, sial," kesal Rossie. "Yippi!" Catherine memekik bahagia. Wanita itu keluar dari mobil disusul Jennie, Lisa, dan Jiso keluar dari mobil masing-masing. "Congratulation, Cath!" pekik Rossie sambil keluar dari mobilnya. "Okay, girls. Karena aku memang hari ini, so … party malam ini aku yang traktir!" Begitulah cara mereka merayakan
DOORRR!!!"Clara…" Kedua mata Rossie membulat sempurna ketika darah segar mengucur dari dada kiri pria itu. Pistol revolver yang masih mengepulkan asap terjulur tepat di sisi Rossie. Hal itu sontak membuat Rossie mengarahkan pandangan kepada si penembak. "Am-Amber?" ucap Catherine dengan kedua tangan yang menutup sebagian wajah. Ia mengintip dari sela-sela jemarinya yang merenggang. Rahang Amber bergetar, diikuti tangannya yang masih menodongkan pistol. Tanpa pikir panjang, Amber mengeluarkan senjata yang berada di balik bajunya. Kedua lutut Amber melemas, kemudian membuat tubuhnya terjatuh. Rossie yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi melihat Amber dan Clara secara bergantian. Tangan Amber memegang dada kirinya yang terus mengucurkan darah. Rossie yang sedari tadi bergeming, tiba-tiba merobek bagian bawah gaunnya dan berlari menuju kepada Amber. Ia menyumpalkan robekan tersebut pada luka tembak yang menganga. "Amber." Menekan dengan kuat dada kiri Edric agar darahnya
Melihat raut wajah Rossie yang ketakutan, Clara berusaha memberikan usapan lembut pada wajah wanita itu. Ia menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga Rossie. "Kenapa kau takut? Bukankah harusnya kau senang karena sudah mengingat cinta Tuan Edric yang sebesar cinta kepada ibunya?”Keheningan menyelimuti keduanya. Rossie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Clara yang tiba-tiba ikut bergeming. Pandangannya tertuju kepada Rossie, tetapi kosong. Memori lama dalam benak Clara kembali berputar. Memainkan adegan masa lampaunya bersama sang ibu. "Edric...Mommy akan bekerja. Kamu cepatlah istirahat dan naik ke loteng." titah Carissa sembari memasangkan kaitan teratas gaun seksinya. "Tapi, Mom. Aku masih ingin main," tolak Edric kecil yang masih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, Carissa segera menghampiri Edric. Dipegangnya rahang Edric dengan cengkeraman yang kuat. "Edric! Listen to me! Jangan membangkang, kamu
"Rossie?" Amber mengucapkan nama itu kembali. Wanita yang sempat dikhianati oleh Amber itu, ternyata justru diam-diam membantu dirinya. Dilebarkannya langkah kaki Amber menuju ke mobil. Berulang kali ia mencoba menghubungi Rossie namun tidak tersambung.Amber merasa menjadi manusia yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, Rossie selalu membantunya. Mulai dari masuk ke dunia modelling, hingga membantu biaya operasi sang ibu. "Rossie, tolong angkat. Sungguh aku minta maaf," gumam Amber terus mencoba menghubungi Rossie. Teringat perkataan terakhirnya kepada Edric membuat Amber langsung menginjak rem mobil dan menepi. "Shittt!" Amber menyugar rambut ketika menyadari kebodohannya. Secara tidak langsung, ia membukakan pintu penderitaan untuk Rossie. "Apa yang sudah aku lakukan? Amber! Kau sungguh bodoh!" kata Amber yang sekarang mencoba mengetikkan nomor Catherine. Tidak cukup lama ia menunggu. Nada sambung berganti pada suara Catherine. Kali ini bukan suara ramah seorang kawan
Tetesan darah mengalir perlahan dari salah satu pelipis, dengan mata yang menutup sebagian karena lebam. Tatapan tanpa ketakutan terpancar jelas pada sepasang iris gelap milik Chan. Ia bisa melihat dengan jelas rupa Clara, tangan kanan ibu dari pria yang selama ini sudah menghisap kebahagiaan Rossie. Mengepal kuat dan ingin sekali memberikan hantaman. Sayang, kedua tangannya terikat kuat oleh tali temali. Clara menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kau telah membunuh Tuanku. Seharusnya kau tidak pernah muncul di hubungan mereka." Sambil menahan rasa perih di sudut bibirnya yang terluka, Chan terkekeh. "Membunuh? Edric mati karena ulahnya sendiri. Gelak tawa Clara menggema di ruangan kosong yang hanya ada satu kursi yang ditempati oleh Chan. "Kalau begitu, kau juga harus mati. Karena tidak ada yang bisa memiliki Rossie selain Tuan Edric.!" "Aku tidak bermaksud untuk memiliki Rossie. Aku hanya ingin membahagiakannya. Karena aku sangat mencintainya!" ungkap Chan dengan lugas. Mend
Amber melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. Kurang lebih 30 menit, ia tiba di sebuah rumah sakit terdekat di Beverly Hills. Langkah kaki Amber lebar dan menuju lantai tiga, tempat di mana sang ibu dirawat. Ibunya harus segera melakukan operasi karena penyakit yang diderita. Itulah sebabnya Amber berusaha keras untuk mengumpulkan uang. "Permisi, saya mau melakukan pembayaran untuk pasien atas nama Summer Delacour," ucapnya pada salah satu petugas administrasi. "Baik ditunggu sebentar." Petugas itu terlihat mencari nama pasien di layar monitor dengan tangan yang sesekali menjetik pada mouse, "atas nama Summer Delacour?" tanyanya memastikan. "Yes, my mom." Amber menjawab tegas. "Atas nama Summer Delacour sudah dilakukan pembayaran dua hari yang lalu," jelas petugas tersebut yang kontan membuat Amber teeperanjat. Ia hanya hidup bersama sang ibu. Tidak ada saudara yang peduli atau bahkan rela membayar biaya rumah sakit dengan nominal besar. "Tidak mungkin. Pasti anda salah, sia