"Hanya dia yang aku punya di dunia ini. Akan kubuat jutaan senyum terukir di wajahnya."
Mr. Ramos mengalami peningkatan gula darah hingga 350 mg/dL. Hal itu yang menyebabkan beliau mengalami pengurangan kesadaran. Selama ini pasien tidak melakukan pengobatan rutin. Kalau dibiarkan begini terus, tentu akan berakibat fatal.
Kata-kata itu terngiang di kedua telinga Rossie. Kenapa ayahnya harus berbohong? Selama ini Alexander selalu bilang kalau rutin melakukan check up. Tetapi nyatanya tidak, sekarang Rossie harus melihat sang ayah terbaring di bed pesakitan.
Rossie menggenggam tangan Alexander yang masih terlelap. Ia berusaha membuat matanya tetap terjaga. Dua belas jam perjalanan udara membuat tubuhnya terasa luar biasa lelah.
Hugo mengulurkan segelas cokelat hangat untuk sang adik, sambil mengusap lembut pundaknya.
"Thanks," ucap Rossie. Lidahnya terasa hambar, tidak lagi bisa menikmati rasa manis cokelat favoritnya. Melihat sang ayah yang terkulai lemas seperti ini, membuat separuh hatinya patah. Pria paruh baya itu adalah cinta pertamanya.
"Edric sudah membayar semua biaya pengobatan Daddy," jelas Hugo.
Penjelasan yang sangat tidak ingin Rossie dengar. Semakin sering Edric memberikan kebaikan untuk keluarganya, semakin sulit pula untuk lepas dari pria tersebut.
"Hugo, mulai sekarang jangan pernah terima sepeserpun uang dari Edric," pinta Rossie sambil menatap nanar Hugo. "Aku cuma nggak mau kita semakin berhutang budi karena bantuannya."
"Baiklah, sekarang kamu istirahat dulu, biar Peter yang mengantarkanmu pulang ke rumah."
***
Campuran air mawar dan juga kelopak bunga mawar merah, membungkus tubuh Rossie yang bertelanjang bulat. Rasa hangat itu menyentuh lapisan epidermis kulitnya. Nyaman. Berharap campuran air hangat itu tidak hanya bisa memberikan kesegaran di tubuhnya, tetapi juga sedikit kebahagiaan.
Jika Harry Potter bisa mengusir dementor hanya dengan mengayunkan tongkat dan mengucap mantra 'expecto patronus'. Lalu mantra apa yang harus diucap oleh Rossie, untuk mengusir Edric yang telah mengisap kebahagiannya?
Tatapan Rossie kosong, ia masih tidak mengerti, kenapa sang takdir mempermainkan hidupnya seperti ini? Kesalahan apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya?
Tangannya meraih segelas red wine yang sudah disiapkan di bibir bathtub, kemudian menyesapnya hingga tandas. Ia mengambil napas dalam, lalu menenggelamkan wajahnya dalam air. Berharap ia bisa terbangun di kehidupan yang baru dan terlepas dari semua penderitaan ini.
***
Menghentakkan jemari pada keyboard dan memeriksa beberapa berkas yang sudah terkirim di surel milik Chan. Hari ini ada banyak laporan yang harus diperiksa.
Ruangan yang didominasi warna putih tersebut semakin terlihat luas, karena Chan tidak menaruh beberapa barang di sana. Hanya ada sofa panjang berwana abu yang dipasang menhadap pada pemandangan kota California dan beberapa rak yang berisi penghargaan Hwang Jewelry.
Mendengar kata berlian, maka nama Hwang Jewelry akan mudah terlintas di benak para penikmat perhiasaan mahal. Perusahaan tersebut mengambil warna pink sebagai identitas produk. Seperti yang diketahui, berlian warna pink mempunyai harga paling mahal dan dikenal sangat langka.
Chan menggaruk dagunya yang tidak gatal, wajah Rossie yang merintih di malam pertama mereka bertemu terbesit kembali di benaknya.
“Sial, aku tidak bisa berkonsentrasi kerja. Kenapa harus wajah itu yang teringat? Padahal setelahnya aku berjumpa lagi dengan wanita itu,” gerutu Chan sembari menyandarkan punggung di sandaran kursi. Kedua mata pria berdarah oriental tersebut menatap pemandangan gedung-gedung di California.
Jarang sekali perhatian Chan mudah terpecah hanya karena seorang wanita. Biasanya yang akan menetap di pikiran Chan hanyalah segala ambisi untuk membesarkan nama Hwang Jewelry.
Derit pintu yang dibuka, menampilkan presensi Bianca, kerabat jauh Chan yang menjabat sebagai director of sales and marketing di Hwang Jewelry.
“Chan, ini paper beberapa model yang akan pemotretan produk terbaru kita dan siap launching di Beverly Hills juga.” Bianca menyodorkan beberapa kertas yang dirakit menjadi satu bagian.
Menoleh pada paper tebal tersebut kemudian mengangguk. “Taruh situ saja.”
“Oh, come on Chan! Kamu harus segera memeriksanya, aku tidak mau kamu mengubah talent yang sudah kupilih mendadak ya!” peringat Bianca. Well, wanita berambut pirang itu sudah cukup hafal dengan sifat seenaknya Chan. Di mana bisa tiba-tiba ingin mengganti model dalam waktu beberapa jam sebelum pemotretan.
“Baiklah,” ujar Chan sembari meluruskan punggung. Ia membolak-balikkan lembaran dengan beberapa potret model yang terpasang di sana.
Kedua mata Chan menatap malas paras para model yang menurut dirinya biasa saja. Hingga gerakan membalik lembaran terhenti diikuti kedua pupil yang membesar. Wajah mungil yang berbingkai rambut blonde dengan nama Rossie Liady Ramos tercetak di samping foto tersebut.
“Why? Ada yang tidak kamu sukai?” tanya Bianca yang menyadari ekspresi terkejut Chan.
“Dia?” Chan menunjukkan foto Rossie kepada Bianca, seakan meminta penjelasan.
“Kamu tidak suka dengannya? Pdahal dia salah satu model yang berpotensi, aku rasa akan sangat membantu penjualan produk baru kita.” Bianca menjelaskan. Embusan napas kasar lolos dari bibirnya, “Baiklah aku akan menggantinya.”
“Ti-tidak perlu, kita pakai dia saja, it’s okay,” kata Chan tiba-tiba.
“Lalu? Untuk apa kamu bertanya?” Bianca mendengkus.
“Why? Memangnya sebagai CEO aku tidak berhak tanya?”
“Baiklah Tuan C E O!”
Chan menggigit bibir bawahnya. Well, bisa bekerja sama dengan Rossie bukanlah hal yang buruk. Malah bisa menjadi kesempatan bagi Chan untuk memberi pelajaran kepada wanita tersebut atas patah hati yang pernah dialaminya.
***
Rossie menyuapkan beberapa sendok sup hangat untuk Ayahnya. Sup dengan irisan sayuran hijau yang melimpah memang sangat bagus untuk penderita diabetes. Sumber antioksidan yang terkandung di dalamnya, dapat melindungi mata dari degenerasi makula dan katarak, yang merupakan komplikasi diabetes.
"Kenapa Daddy harus berbohong sama Rossie sih? Daddy bilang rajin check up, tapi dokter bilang, nggak pernah kontrol tuh," tanya Rossie penuh selidik.
"Maaf, Daddy cuma nggak mau membuat kamu dan Hugo kepikiran," jawab Alexander lirih.
"Dad, jangan seperti ini lagi. Please, itu buat Rossie benar-benar nggak berdaya. Rossie nggak bisa liat Daddy sakit seperti ini."
"I'm promise." Alexander mengusap lembut punggung tangan Rossie yang memegang erat tangannya.
"Sampaikan terima kasih Daddy untuk Edric, dia sudah terlalu banyak membantu keluarga kita. Kita banyak berhutang budi, Ros."
Rossie terdiam, hutang budi adalah sesuatu yang paling rumit di dunia ini, sulit untuk dilunasi.
Kedua manik mata Rossie mengedar ke sekeliling ruangan. Berjejer rapi rangkaian bunga, buah, dan makanan lainnya dengan pita yang bertuliskan "Get well soon". Sepertinya itu dikirimkan oleh rekan bisnis sang Ayah.
Alexander yang memperhatikan pandangan sang putri, langsung memberikan penjelasan, "semenjak kamu bersama Edric, Daddy seperti dianggap menjadi orang terpandang oleh para kalangan atas. Mereka sangat menghormatiku."
Alexander terkekeh, ketika satu kejadian di memorinya kembali berputar secara otomatis. "Padahal dulu mereka memperlakukan Daddy seperti anjing liar yang sangat menjijikkan. Semua pendukung De Santis memandang Daddy dengan sangat remeh, tak jarang mereka memperlakukan Daddy dengan tidak layak."
"Mafia rendahan, orang miskin, disgusting. Raut wajah mereka selalu menunjukkan kata itu."
"Apa Daddy bahagia?" tanya Rossie menatap lekat sang ayah.
"Tentu, bagaimana denganmu?
"Aku akan bahagia kalau Daddy juga bahagia," ucap Rossie dengan senyum merekah di wajahnya.
Tangan kukuh yang sudah mulai berkerut itu, mengusap wajah Rossie penuh kasih. Pemandangan yang sangat hangat.
Rossie menatap wajah Ayahnya yang terlihat sumringah. Bagaimana bisa ia melenyapkan senyum itu? Ia hanya ingin mengukir jutaan senyuman di wajah sang Ayah. Pria pertama yang menempati relung hatinya.
"Excuse me."
Seorang wanita paruh baya bertubuh sintal dengan surai layer pendek memasuki ruangan, kedua tangannya mendekap satu keranjang buah, Katharina Lestrange.
"Hallo Mr. Ramos, saya dengar anda sedang sakit. Jadi saya mampir menjenguk sebentar. Kebetulan sedang ada bisnis di Roma," ucap Katharina sambil mendekat ke Alexander dan Rossie.
Mungkin bisnis yang dimaksud Katharina adalah mengantarkan salah satu modelnya untuk menemani millionaire. Di mana uang yang ia dapatkan lebih besar daripada upah yang terpotong dari pemotretan maupun fashion show.
Katharina Lestrange adalah pemilik agensi yang menaungi karir Rossie di dunia modeling. Salah satu orang yang tidak disukai oleh Rossie, karena suka mengeksploitasi karyawannya.
"Mrs. Katharina, terima kasih banyak sudah berkunjung. Malah jadi merepotkan."
"Tentu tidak, Rossie adalah bagian dari keluarga saya. Jadi, keluarga Rossie juga termasuk keluarga saya bukan?" Senyum merekah di bibir merah menyalanya.
"Thanks, Katha." Rossie ikut melemparkan senyuman kepada Katharina. Bagaimanapun juga ia harus menyambut tamu dengan hangat bukan?
Katharina mengembuskan asap rokok mild ke udara, sementara tangan yang lainnya menawarkan rokok ke arah Rossie. Tentu saja Rossie menolaknya, ia adalah penggemar berat hidup sehat. Walaupun sesekali ia juga menikmati tegukan vodka dan red wine. Yah, itu karena suasana hatinya yang selalu memburuk akhir-akhir ini.
Kedua wanita cantik itu menikmati birunya langit di area smooking Rumah Sakit tempat ayah Rossie dirawat. Katharina menyodorkan amplop coklat ke arah Rossie.
"Apa ini?" tanya Rossie.
"Kontrak kerja yang bisa membuatmu pensiun awal, Darling," jelas Katharina sambil melepaskan asap rokoknya. "Kamu cukup ikut berlibur ke Yunani bersama Mr. Smith, seorang milioner."
Rossie mengembuskan napas kasar, sudah kesekian kalinya ia ditawari hal yang mereka anggap lumrah itu. Melakukan perjalanan bersama seorang milioner dengan dalih membicarakan pekerjaan.
"Katharina, aku seorang model bukan escort."
"Sttt… Darling jangan terlalu naif, Hal ini sudah cukup biasa di dunia kita."
Tidak dipungkiri, ada beberapa rekan seprofesinya yang melakukan hal itu. Tetapi tidak sedikit juga yang bertahan dengan jalur normal. Beberapa yang memilih melakukan hal itu, karena untuk mencukupi kehidupan hedonis mereka. Kehidupan terlampau mewah yang nyaris mustahil untuk dipenuhi dengan mengandalkan pendapatan murni saja.
Sebenarnya tidak ada bedanya dengan Rossie, secara tidak langsung ia juga menjual kebahagiaannya pada seorang pria milioner. Edric juga ikut berperan dalam mencukupi kehidupan mewahnya.
"Apa yang salah dengan semua itu? Semua orang membutuhkan uang dan menikmati seks."
"Apa yang membuatmu enggan melakukannya? Bayangkan aroma uang yang bisa membuatmu membeli seisi dunia itu Darling," tambah Katharina sambil menyesap rokoknya.
"Thanks for your offering Katha, tapi aku tidak tertarik untuk melakukannya." Rossie menyodorkan kembali amplop cokelat ke arah Katharina.
"Okay, kalau tidak ada yang perlu dibahas lagi, aku akan kembali menemani Ayahku," ujar Rossie sambil menyunggingkan senyum. Kemudian ia beranjak dan berjalan menjauhi Katharina.
Wanita paruh baya itu memperhatikan langkah Rossie sampai menghilang. Senyum seringai terlukis di wajahnya. Dering dari ponsel, sesaat memecah perhatiannya.
"Hallo,"
"Baik Sir, anda akan mendapatkannya. Saya pastikan itu."
TO BE CONTINUED ...
"Hugo, jaga Daddy yah-" "Rossie, Daddy udah seperti baby saja ya. Sampai kamu harus menitipkan kepada Hugo seperti itu." Alexander terkekeh ketika mendengar percakapan Rossie dan Hugo di kursi yang tidak jauh dari ranjangnya. "Itu karena Daddy suka berbohong sama Rossie," ujar Rossie. Kemudian tatapannya beralih kepada Hugo. "Hugo, please perhatikan Daddy,
Menyadari tatapan dari Rossie, Chan meluruskan posisi tubuh. "Apa yang kamu lihat?" "No-nothing, anyway thanks." Rossie meneguk ludah sembari merapikan letak pakaiannya. Tanpa menjawab Chan langsung berlalu begitu saja. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan dari sang mantan kekasih. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Ma-maksudku sebelum pertemuanku dengan Mamamu dan Granny?" Chan menoleh dan memeta tubuh Rossie dari ujung kaki hingga puncak kepala. "Iya, kita pernah bertemu sebelumnya di klub, saat kamu mabuk." Kembali menelan saliva ketika mendengar jawaban dari Chan. Rossie mulai mengingat serpi
Catherine mencuri dengar percakapan Rossie. “Who?”Pandangan Rossie tertuju kepada Catherine dan menjawab, “Mom Kris, Mamanya Chan.”“Chan? Chan Who?” Catherine mengerutkan kening dan mencoba mengingat nama yang terdengar tidak asing di telinga. “Wait, jangan bilang Chan mantan kamu?” tambahnya.Menaikkan kedua bahu sambil bangkit dari duduknya. Rossie meraih jar yang berisi jus segar dan menuangkannya ke gelas panjang. Ia tidak memberikan jawaban kepada sang sahabat.“Are you serious?
Mendorong tubuh Chan agar menjauh, Rossie menghela napas sebelum memulai ucapan. "Karena memang hubungan kita harus berakhir seperti itu." Chan masih menatap Rossie lurus-lurus, fokusnya tertarik pada warna merah di sudut bibir wanita tersebut. "Kau terluka?" Pertanyaan dari Chan diabaikan begitu saja. Kemudian Rossie berjalan melewati Chan begitu saja. Hingga langkahnya terhenti karena ucapan Chan yang tiba-tiba. "Jadi begitu?" Chan terkekeh. "Kau membuangku seperti sampah yang sudah tidak ada artinya." Rossie menoleh dengan tatapan dingin. "Apa kau masih mencintaiku?"
Lengan kukuh yang dipenuhi dengan bulu halus melingkar di pinggul Rossie. Wanita yang tadinya menatap langit malam dengan Kilauan bintang sontak terkesiap."Edric! Mengagetkan saja," ucap Rossie.Edric tertawa. "Apa yang kamu pikirkan, sampai terkejut?""Tidak ada." Menggerakkan tubuh dan berusaha terlepas dari dekapan Edric. "Aku lelah, Edric."Edric melepaskan pelukan dari tubuh Rossie. "Akan ada pesta malam ini, aku sudah siapkan gaun yang harus kamu pakai."Pandangan Rossie teralih pada gaun yang tergeletak di ranjang. Model gaun yang nyaris telanjang favorit Edric.
Tiba-tiba tubuh Chan membeku karena serangan ciuman tersebut. Ia bisa melihat kedua mata Rossie terpejam ketika memberikan kecupan dalam. Namun, saat Chan ingin membalas ciuman itu, Rossie mendorong tubuh Chan dan mengakhiri pagutan."Sial," batin Chan."Apakah ciuman tadi juga mengujimu? Apa itu yang kamu harapkan dariku?" Rossie menatap Chan lurus-lurus tanpa keraguan. "Apakah setelah ini kamu bisa membiarkanku bekerja dengan baik?""Kau menyogokku dengan ciuman?""Kau mau lebih?" tantang Rossie.Chan menyeringai sambil mengusap bibirnya yang masih basah karena ulah Rossie. Sementara wanita blonde itu mengulas senyum sembari berlalu begi
Rossie berjalan tertatih sambil membopong tubuh Chan. Kaki Catherine hampir terjatuh karena ikut menahan beban tubuh Chan yang tentu saja dua kali lebih berat. Keduanya kemudian melemparkan tubuh Chan di atas ranjang. Pria berlesung pipi itu terjatuh di sana tanpa sadar akibat pengaruh alkohol. “Oh my goodness, pria ini sungguh sangat berat,” ujar Catherine sembari merenggangkan otot lengannya. “Cath, seharusnya kita antar Chan ke rumah.” Rossie mengatur napasnya yang tersengal karena kelelahan. “Are you kidding me? Kau mengajakku kesini untuk bersenang-senang, dan baru saja aku datang aku harus mengantarkan pria ini ke lokasi yang jauh? Oh Rossie,” jelas C
“Sial, ini pasti ulah si Dobby.” Rossie mendengkus kesal.Mendengar desisan Rossie, Amber melemparkan tatap dengan rasa ingin tahu yang tinggi. “Chan? Siapa Chan?”“Bukan orang penting,” jawab Rossie sekenanya. Ia lalu melipat ponsel dan memasukkannya ke dalam tas tangan. “I’m done.”“Mau pergi kemana?” tanya Amber.“Pulang, aku besok ada photoshoot,” jelas Rossie, kedua matanya melirik ke arah Catherine yang sudah tidak sadarkan diri. “Pesankan saja Catherine taksi, Amber.”“Ok
"Kenapa kau tidak merasakan betapa besarnya cintaku untukmu? Aku sangat mencintaimu, sangat, sangat, sangat dan tidak bisa diukur lagi. Bahkan seisi dunia tidak bisa menakar rasa cintaku. Aku mencintaimu, sangat." Serentetan kalimat yang diucapkan oleh Chan baru saja membuat jantung Rossie berdebar dengan sangat kencang. Sentuhan jemarinya yang perlahan menelusup ke dalam balik gaun tidur, membuat kedua mata Rossie memejam perlahan. Lembut bibir Chan pun ikut menyentuh bibirnya. Pelan dan menuntut. Dingin dan basah. Dengan intens, Chan memberikan kecupan penuh hisapan. Rossie mulai larut dalam permainan lidah suaminya yang selalu ahli. Meraih tengkuk pria itu ke posisi yang lebih nyaman. Beberapa saat kemudian napas keduanya terengah. Chan menghentikan ciumannya dan terkejut ketika ketahuan sedang mengatur napas sebab kelelahan. Mereka terkekeh. Memajukan kepala di salah satu telinga Rossie dan berbisik sangat lirih. "Rossie, kau sangat seksi malam ini. Bisakah kita melakukannya
"Ketika sang takdir sering mempertemukan kita, apa yang akan terjadi selanjutnya?""Stop!" titah Rossie, membuat Chan menghentikkan laju mobilnya.Lobby apartment Rossie masih jauh berada di depan, sekitar 80 meter. Kedua manik mata Rossie menelisik ke depan, melihat Edric yang sedang berdiri di depan lobby sambil berbicara pada ponselnya."Aku turun sini aja, thanks ya." Rossie bersiap untuk membuka pintu mobil Chan, tetapi tangannya dicekal oleh lengan kukuh pria itu. Chan menatap lekat-lekat Rossie, sangat dekat bahkan ia bisa melihat pantulan dirinya di mata Rossie.Chan merasa tidak salah, wanita yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu adalah Rossie. "Who are you?" Bibir Chan bergumam perlahan. Membuat Rossie tersentak.Chan dan Rossie sesaat saling melempar tatap. Hening. Sampai pada akhirnya Rossie melepaskan cekalan tangan Chan dan berkata, "I'am Rossie, Rossie."Rossie membuka pintu mobil Chan dan segera turun. Ia berjalan perlahan menghampiri Edric yang masih belum sada
Dua tahun yang lalu …."Tutup kedua matamu dan rasakan kehadiranku, karena kau tidak butuh sebuah tatapan untuk mengenaliku."Chan meregangkan otot leher, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya terasa sedikit pegal. Alih-alih untuk berolahraga, untuk sekedar tidur cukup waktu saja, sudah bagus untuknya. Setiap malam ia begadang untuk mempelajari beberapa dokumen penting Saint Hills Hospital. Kalau saja tidak teringat amanah sang Ayah, mungkin ia sudah meminta manager lain untuk menanganinya. Yah, ia harus bertanggung jawab dengan keputusan yang ia pilih.Kaki jenjang Chan menapaki lantai yang merupakan perpaduan dari kayu dan marmer. Rumah dengan interior desain yang disesuaikan dengan seleranya itu, terlihat sangat elegant. Di beberapa sudut ruangan terdapat perabotan yang terkesan classy. Sementara untuk warna ruangannya, ia lebih memilih warna krem dominan.Dibukanya gorden emboss velvet warna hijau, kemudian membuka pintu kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar. Chan me
Suara raungan mobil sport menyeruak di dalam gedung yang sudah di desain untuk balapan itu. Kelima laju mobil itu saling salip dan mendahului. Rossie tersenyum tipis ketika mobil warna biru tua menyalipnya. "Well, let's see," ucap Rossie sambil menginjak gas dalam dan menambah kecepatan. Kemahiran Rossie dalam mengemudi memang tidak bisa diragukan. Hobi barunya melakukan balapan bersama rekan sesama modelnya membuat rasa lelah menguar begitu saja. Garis akhir semakin terlihat di depan, Rossie menaikkan salah satu sudut bibir. Ia merasa kemenangan semakin dekat. Namun, mobil centil warna hot pink mendahuluinya dan menjadi pemenang balapan kali ini. "Ash, sial," kesal Rossie. "Yippi!" Catherine memekik bahagia. Wanita itu keluar dari mobil disusul Jennie, Lisa, dan Jiso keluar dari mobil masing-masing. "Congratulation, Cath!" pekik Rossie sambil keluar dari mobilnya. "Okay, girls. Karena aku memang hari ini, so … party malam ini aku yang traktir!" Begitulah cara mereka merayakan
DOORRR!!!"Clara…" Kedua mata Rossie membulat sempurna ketika darah segar mengucur dari dada kiri pria itu. Pistol revolver yang masih mengepulkan asap terjulur tepat di sisi Rossie. Hal itu sontak membuat Rossie mengarahkan pandangan kepada si penembak. "Am-Amber?" ucap Catherine dengan kedua tangan yang menutup sebagian wajah. Ia mengintip dari sela-sela jemarinya yang merenggang. Rahang Amber bergetar, diikuti tangannya yang masih menodongkan pistol. Tanpa pikir panjang, Amber mengeluarkan senjata yang berada di balik bajunya. Kedua lutut Amber melemas, kemudian membuat tubuhnya terjatuh. Rossie yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi melihat Amber dan Clara secara bergantian. Tangan Amber memegang dada kirinya yang terus mengucurkan darah. Rossie yang sedari tadi bergeming, tiba-tiba merobek bagian bawah gaunnya dan berlari menuju kepada Amber. Ia menyumpalkan robekan tersebut pada luka tembak yang menganga. "Amber." Menekan dengan kuat dada kiri Edric agar darahnya
Melihat raut wajah Rossie yang ketakutan, Clara berusaha memberikan usapan lembut pada wajah wanita itu. Ia menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga Rossie. "Kenapa kau takut? Bukankah harusnya kau senang karena sudah mengingat cinta Tuan Edric yang sebesar cinta kepada ibunya?”Keheningan menyelimuti keduanya. Rossie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Clara yang tiba-tiba ikut bergeming. Pandangannya tertuju kepada Rossie, tetapi kosong. Memori lama dalam benak Clara kembali berputar. Memainkan adegan masa lampaunya bersama sang ibu. "Edric...Mommy akan bekerja. Kamu cepatlah istirahat dan naik ke loteng." titah Carissa sembari memasangkan kaitan teratas gaun seksinya. "Tapi, Mom. Aku masih ingin main," tolak Edric kecil yang masih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, Carissa segera menghampiri Edric. Dipegangnya rahang Edric dengan cengkeraman yang kuat. "Edric! Listen to me! Jangan membangkang, kamu
"Rossie?" Amber mengucapkan nama itu kembali. Wanita yang sempat dikhianati oleh Amber itu, ternyata justru diam-diam membantu dirinya. Dilebarkannya langkah kaki Amber menuju ke mobil. Berulang kali ia mencoba menghubungi Rossie namun tidak tersambung.Amber merasa menjadi manusia yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, Rossie selalu membantunya. Mulai dari masuk ke dunia modelling, hingga membantu biaya operasi sang ibu. "Rossie, tolong angkat. Sungguh aku minta maaf," gumam Amber terus mencoba menghubungi Rossie. Teringat perkataan terakhirnya kepada Edric membuat Amber langsung menginjak rem mobil dan menepi. "Shittt!" Amber menyugar rambut ketika menyadari kebodohannya. Secara tidak langsung, ia membukakan pintu penderitaan untuk Rossie. "Apa yang sudah aku lakukan? Amber! Kau sungguh bodoh!" kata Amber yang sekarang mencoba mengetikkan nomor Catherine. Tidak cukup lama ia menunggu. Nada sambung berganti pada suara Catherine. Kali ini bukan suara ramah seorang kawan
Tetesan darah mengalir perlahan dari salah satu pelipis, dengan mata yang menutup sebagian karena lebam. Tatapan tanpa ketakutan terpancar jelas pada sepasang iris gelap milik Chan. Ia bisa melihat dengan jelas rupa Clara, tangan kanan ibu dari pria yang selama ini sudah menghisap kebahagiaan Rossie. Mengepal kuat dan ingin sekali memberikan hantaman. Sayang, kedua tangannya terikat kuat oleh tali temali. Clara menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kau telah membunuh Tuanku. Seharusnya kau tidak pernah muncul di hubungan mereka." Sambil menahan rasa perih di sudut bibirnya yang terluka, Chan terkekeh. "Membunuh? Edric mati karena ulahnya sendiri. Gelak tawa Clara menggema di ruangan kosong yang hanya ada satu kursi yang ditempati oleh Chan. "Kalau begitu, kau juga harus mati. Karena tidak ada yang bisa memiliki Rossie selain Tuan Edric.!" "Aku tidak bermaksud untuk memiliki Rossie. Aku hanya ingin membahagiakannya. Karena aku sangat mencintainya!" ungkap Chan dengan lugas. Mend
Amber melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. Kurang lebih 30 menit, ia tiba di sebuah rumah sakit terdekat di Beverly Hills. Langkah kaki Amber lebar dan menuju lantai tiga, tempat di mana sang ibu dirawat. Ibunya harus segera melakukan operasi karena penyakit yang diderita. Itulah sebabnya Amber berusaha keras untuk mengumpulkan uang. "Permisi, saya mau melakukan pembayaran untuk pasien atas nama Summer Delacour," ucapnya pada salah satu petugas administrasi. "Baik ditunggu sebentar." Petugas itu terlihat mencari nama pasien di layar monitor dengan tangan yang sesekali menjetik pada mouse, "atas nama Summer Delacour?" tanyanya memastikan. "Yes, my mom." Amber menjawab tegas. "Atas nama Summer Delacour sudah dilakukan pembayaran dua hari yang lalu," jelas petugas tersebut yang kontan membuat Amber teeperanjat. Ia hanya hidup bersama sang ibu. Tidak ada saudara yang peduli atau bahkan rela membayar biaya rumah sakit dengan nominal besar. "Tidak mungkin. Pasti anda salah, sia