“Apakah arti dari sebuah pertemuan ulang? Apakah ini sebuah kesempatan untuk memperbaiki semuanya?”
"Sial mengganggu saja!" umpat Edric yang sesenti lagi bisa meraup bibir mungil Rossie. Tangan kekarnya merogoh ponsel yang tertaut di saku celana dan menerima panggilan itu.
Rossie mengembuskan napas lega. Siapapun yang menghubungi Edric, ia sungguh berterima kasih. Sedari tadi pria itu tidak membiarkan Rossie untuk menyampaikan maksudnya.
"Babe, aku harus terbang ke Vegas sekarang. Lagi ada masalah di Delight Demon. Lusa kita akan bertemu, kenakan gaun yang nanti akan kukirimkan, bersiaplah untuk memuaskanku," ucapnya sambil melepaskan kecupan tipis di bibir Rossie.
"Edric tapi ada yang---." Pria itu tidak menghiraukan ucapan Rossie. Ia terus berjalan menjauh hingga bayangannya tak terlihat.
Akhir-akhir ini memang Edric sering bepergian, bisnis casino-nya sedang mengalami masalah. Sehingga ia harus turun tangan langsung.
"Ish susah banget buat ngomong pu tus!" ucap Rossie sambil memasangkan kembali tautan tali pada gaunnya. Kali ini Edric memilihkan gaun dengan detail yang memperlihatkan keseluruhan punggungnya hingga ke pinggang. Bagian depan terbelah sampai ke pusarnya. Meskipun ia menyukai pakaian seksi, tapi gaun pilihan Edric, membuatnya terlihat nyaris telanjang.
***
"Mom, ini tehnya." Kris memberikan secangkir teh kamomil kepada sang Mertua, sudah sejak pagi perutnya terasa begah.
"Thank you, Kris," ucap Granny sambil menyesap tehnya hingga separuh. Rasa hangatnya terasa nyaman begitu mencapai lambung.
"Tidak disangka kita bisa bertemu dengan Rossie lagi ya Kris. Dia wanita yang baik, aku rasa sangat cocok dengan kepribadian Chan," ujar Granny sambil menelan tegukan teh berikutnya.
Kris menghela napas ringan, ia juga sangat menyukai Rossie. Chan dan Rossie terlihat serasi untuk satu sama lain. Insting seorang ibu berkata demikian. Pun ia sangat menyayangkan hubungan keduanya harus berakhir.
"Mom, gimana kalau kita jodohkan mereka berdua?" usul Kris.
"Kamu kan tau putramu itu sangat anti dengan yang namanya perjodohan. Pasti dia akan menolaknya."
Kris mendekati ibu mertuanya, berbisik lirih di salah satu telinga. "Mom, kita pakai rencana lain."
Granny terkikik lirih dengan beberapa rencana dari Kris. Tanpa berpikir dua kali, ia pun sangat menyetujui ide yang disampaikan oleh menantunya itu.
***
Otot bisep tercetak jelas saat kedua dumbel itu mencapai bahu Chan. Sudah tiga tahun terakhir ini, ia rajin bermain dengan alat-alat fitnes. Tidak heran pahatan pada ototnya cukup menarik mata kaum hawa.
Kris membawakan segelas jus jeruk untuk menghilangkan dahaga sang putra. "Nih minumannya."
"Thank you, Mom," ucap Chan sambil meneguk jus jeruknya hingga separuh. Rasa dingin itu menjalar melewati kerongkongan, jus jeruk memang pilihan yang tepat usai berolahraga.
"Rossie terlihat cantik ya, Mommy baru tahu kalau dia model, ambassador brand terkenal lagi," ucap Kris sambil membalikan lembaran majalah yang menampilkan paras Rossie.
Chan menyeka keringat yang membasahi keningnya, sedikit terheran. Sejak kapan sang Ibu tertarik dengan majalah fashion? Ah, lebih tepatnya tertarik pada Rossie.
"Lihat nih, cantik banget ya? Andai bisa punya putri semenyenangkan Rossie."
Jus jeruk itu terasa menyangkut di kerongkongan Chan, membuatnya tersedak. "Mam, apa selama ini aku kurang menyenangkan?" protesnya.
"Bukan begitu, kau sangat menyenangkan, my lovely son. Tapi ada rasa yang berbeda saat bersama seorang putri. Tentu kamu tidak mau menghabiskan waktu, untuk shopping, manicure pedicure, dan spa bareng Mommy kan?"
Chan hanya tersenyum masam. Ia memang masih sangat mencintai Rossie, tetapi kepergiannya yang seakan membuang Chan meninggalkan sedikit luka di hati.
Tidak mungkin sang ibu tertarik hanya karena wajah cantiknya. Yah, tidak dipungkiri kalau wanita itu memang cantik. Tetapi dari sekian banyaknya wanita cantik di Beverly Hills, kenapa harus Rossie?
***
Rossie memilin surai blonde-nya, sambil menikmati smoothies di balkon apartemen. Beverly Hills masih menawarkan pemandangan yang sama, gedung menjulang dan beberapa pohon palem yang tertata di sepanjang jalan. Hembusan angin sepoi- sepoi menyibakkan rambut terurainya, hingga memperlihatkan lekuk tubuh yang hanya berbalut lingerie transparan itu.
Dret... dret...dret …
Siapa yang mengganggu hari liburnya?! Dengan malas, Rossie meraih ponsel yang tergeletak bebas diatas meja kaca.
Mam Kris_ : Sweetie, nanti malam Chan jemput kamu ya. Kita bersenang-senang di wedding party Thomas.
Raut masam kini berganti dengan senyum merekah. Kehadiran Kris sedikit mengobati rasa rindu terhadap keluarganya. Sang Ayah dan Hugo kini menetap di Roma, karena pekerjaan. Hanya sesekali saja mereka bersua, tentu kasih sayang seorang lelaki dengan wanita terasa perbedaannya. Ah, tiba-tiba Rossie sangat merindukan mendiang ibunya.
***
Chan berdiri disebelah mercedes benz G65, menunggu Rossie yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ia sangat membenci orang yang tidak on time. Baginya waktu adalah uang, terlambat sedetik saja sudah berpengaruh pada profit perusahaan..
Chan kembali melirik waktu, di arloji yang melilit tangannya. Malam itu dua wanita kesayangannya meminta untuk menjemput Rossie, dan seperti biasa dia tidak bisa bilang tidak kepada dua bidadarinya itu.
Tidak lama kemudian, Rossie berjalan keluar dari lobby apartment dengan balutan dress midi berwarna biru muda tanpa lengan, senada dengan blazer yang dikenakan oleh Chan, menyesuaikan dress code yang sudah ditentukan.
"Sorry, lama ya," ucap Rossie meringis yang tidak diperdulikan oleh Chan. Pria itu langsung menuju kursi kemudi, sementara Rossie terlihat susah payah untuk mencapai kursi samping kemudi.
Chan melirik ke arah Rossie, malam ini wanita itu terlihat sangat anggun, riasannya juga tipis. Hanya cutting di bagian dadanya sedikit terbuka, memperlihatkan belahan padat yang mengintip. Ia sebenarnya ingin memprotes, tetapi itu bukan haknya.
Setengah perjalanan, mereka berada dalam keheningan. Chan yang fokus dengan kemudinya, dan Rossie yang sedang asyik membaca beberapa comment di media sosialnya. Sambil memasukkan lima butir almond panggang ke dalam mulut. Mengunyahnya untuk menunda rasa lapar yang sudah terasa. Ya, Rossie adalah model yang sangat ketat dengan jadwal makan, ia harus mempertahankan bentuk tubuhnya yang ramping. Itulah salah satu cara agar tetap bisa eksis di dunia modeling.
"Kamu apa kabar?" Rossie mencoba memecah keheningan diantara mereka.
"Baik," jawab Chan singkat, padat dan jelas.
Pria itu sangat irit berbicara, sepertinya hanya akan mengeluarkan kata-kata saat dibutuhkan saja. Ah, lagipula buat apa banyak bicara dengannya, toh mereka juga tidak ada urusan, pikir Rossie.
"Maaf untuk kejadian lima tahun yang lalu,” ucap Rossie tiba-tiba.
Chan tidak menjawab, bukan maaf yang diharapkan, melainkan sebuah penjelasan.
Tidak mendapatkan jawaban dari Chan, Rossie terus menggerus almond panggangnya hingga remuk.
“Kamu tidak mengingat apa pun?” tanya Chan sedikit ragu.
“Mengingat tentang apa?” Rossie berbalik meleparkan tanya.
“Ah… sudahlah lupakan,” sambung Chan.
Chan melirik ke arah Rossie, wanita itu sungguh sudah tumbuh menjadi dewasa. Lima tahun yang lalu ia hanya bisa menundukkan wajahnya, tanpa berani mengucap sepatah kata pun. Sekarang, wanita itu sudah lebih percaya diri.
Membutuhkan 40 menit perjalanan, Chan dan Rossie tiba di sebuah Hotel, dimana pesta pernikahan Thomas akan digelar. Bangunan tinggi yang menjulang itu mengadopsi arsitektur mewah khas Hollywood. Cahaya lampu yang memantul menambah keindahan disana.
Tampak mobil mewah berderet mengantri untuk di vallet kan. Beberapa tamu undangan yang datang tampil dengan pakaian formal yang elegant, khas kalangan atas. Untung saja Rossie tidak salah kostum, midi dress yang ia kenakan terlihat simple, dipadukan dengan kalung mutiara dan tas tangan merk ternama favoritnya. Membuat penampilan Rossie terlihat classy dan tidak berlebihan.
Melihat Rossie yang kesusahan untuk menggapai tanah, Chan berinisiatif untuk membukakan pintu untuknya. Mengulurkan tangan dan membantunya turun dari mobil. Pijakan mobil Chan memang cukup tinggi, lumayan bersusah payah untuk bisa memijakkan kakinya ke tanah.
Keduanya memasuki ballroom dengan dekorasi megah bernuansa biru. Terpasang beberapa chandelier yang kilaunya seperti bintang diatas langit. Jangan lupakan bunga mawar biru yang menjadi center piece di setiap meja yang sudah tertata apik. Sungguh sangat indah.
Disaat Rossie mengagumi keindahan dekorasi malam itu, beberapa pasang mata justru tertarik padanya dan Chan. Seperti sepasang kekasih yang menghadiri pesta pernikahan bersama. Tubuhnya yang kecil dan tinggi, terlihat cocok bersanding dengan Chan yang berperawakan tinggi besar. Sangat serasi.
Kris menghampiri keduanya, melayangkan kecupan di pipi kanan dan kiri Rossie. "Sayang, Granny udah nungguin disana." Tangannya menarik tangan Rossie, dan melemparkan tatapan ke arah sang Putra, "Thank you so much my lovelly son." Kris berlalu sambil menepuk lembut pipi kanan Chan.
Rossie pun berbaur bersama keluarga besar Chan sambil menikmati hidangan. Kris dan Granny memperlakukannya seperti putri sendiri, tidak ada kecanggungan yang tercipta.
"Rossie, Granny akan tinggal sementara di Beverly Hills selama satu bulan, mau liburan sebentar," terang Kris sambil memasukkan irisan salmon ke dalam mulut.
"Really? Wah Rossie bakal siap jadi tour guide granny di Beverly Hills. Banyak tempat indah disini," ucap Rossie sangat antusias. Kebetulan jadwal kegiatannya bulan ini tidak terlalu padat.
"Ah, wanita tua ini hanya akan merepotkanmu nantinya," ucap Granny sambil mengusap punggung tangan Rossie.
"Tentu tidak, akan menyenangkan kalau bisa liburan bareng mommy dan granny." Rossie pun membalas dengan usapan di tangan wanita lanjut usia itu.
Chan memperhatikan tiga wanita berbeda generasi itu dari jauh, sambil sesekali menyesap cocktailnya. Mereka masih terlihat cukup akrab setelah tidak bersua selama lima tahun lamanya.
***
Rossie sedikit menyisir rambutnya dengan jari setelah keluar dari toilet. Seorang pelayan yang membawa nampan berisi red wine, berjalan dari arah berlawanan dengan langkah terburu-buru.
PYARRR!!!
Warna merah itu melumuri bagian dada baju biru Rossie, tercetak dengan sangat jelas. Tentu tidak mudah untuk membersihkan nodanya.
"Ma-maafkan saya nyonya tadi saya buru-buru." Berkali-kali waitress itu mengucap kata maaf dan menundukkan kepalanya. Merasa sangat bersalah atas keteledorannya.
"Rossie! Kau tidak apa-apa?" Suara Chan terdengar dari kejauhan dan menghampirinya.
"Ma-maafkan saya tuan." Sekali lagi waitress itu mengucap maaf, ia terlihat begitu ketakutan. Tak jarang rekan seprofesinya kehilangan pekerjaan karena keteledoran semacam itu.
"Sudahlah, bersihkan saja pecahan gelas ini," pinta Chan pada waitress itu, sambil menarik tubuh Rossie ke dalam restroom. Tempat yang biasanya digunakan untuk mengganti popok bayi.
Wine itu membasahi sebagian dada putih Rossie. Chan menarik tisu dan meminta Rossie untuk membersihkannya.
"Ah, ini susah diilanginnya." Rossie masih berusaha menghilangkan noda itu dengan tisu yang sudah dibasahi.
Tiba-tiba Chan melepaskan blazernya, membuat Rossie sedikit berteriak,"Hey! Kamu mau ngapain?! Dasar pria mesum!"
Chan menyampirkan blazernya di punggung Rossie. "Menurutmu? Pake ini buat nutupin noda di baju kamu. Aku antar pulang," ucapnya sambil beranjak meninggalkan Rossie.
Seketika wajah Rossie memerah seperti tomat. Astaga apa yang sudah dikatakannya? Ia menundukkan wajah dan berjalan mengikuti Chan yang sudah mendahuluinya.
Chan memperhatikan blazernya yang terlihat kebesaran di tubuh Rossie. Yah, tubuh Chan memang dua kali lebih besar dari tubuh wanita itu.
Pria itu meraih tangan Rossie, meletakkannya di atas kerah blazer. Sementara tangan kirinya memegang sisi kerah yang lain. Menggerakkannya menjadi rapat, hingga bagian dada Rossie tertutup penuh. "Kenakan dengan benar, nodanya masih terlihat dengan jelas."
Mungkin ini terkesan sangat percaya diri, tapi sungguh ingin diyakini oleh Rossie. Bahwa pria itu cukup perhatian kepadanya.
***
"Dari mana kamu?" ucap Edric yang sedang duduk di sofa, membuat Rossie cukup terkejut.
"E-Edric bukankah kamu di Vegas?"
"Babe, Las Vegas kesini hanya 1 jam dengan pesawat, dan aku bisa menempuh lebih cepat dengan helikopter."
Edric beranjak dari duduknya, dan mendekati Rossie. Ia menyingkirkan surai blonde yang menutupi sebagian leher jenjang Roossie. Kemudian mengendus aroma wangi perpaduan tuberose dan honeysuckle.
"Kenapa kamu pakai parfum ini?" tanya Edric sambil melemparkan tatapan elang yang sangat mengintimidasi.
"Edric hentikan!" pekik Rossie, membuat pria itu tersentak dan meluruskan tubuhnya.
"Tidak bisakah aku menggunakan sesuatu yang aku mau? Sesuatu yang aku suka?!"
"Tentu saja tidak. Kamu milikku! Jadi harus mengikuti semua yang aku mau!"
"STOP! I'M NOT YOUR DOLL!!!"
Edric mencengkeram bahu Rossie kemudian mendorongnya hingga membentur tembok. Menatapnya tajam dengan rahang yang mengeras.
"Aku sudah memberikan semuanya kepadamu dan keluargamu, beginikah balasannya? Bukankah seharusnya kau menjadi Rossie yang manis?!" ucap Edric dengan nada lirih penuh tekanan.
Rossie membeku, seketika tubuhnya terasa kaku, seperti terhipnotis oleh tatapan Edric. Dia benar-benar sudah terjebak dalam hubungan beracun itu.
TO BE CONTINUED….
“Bisakah aku mengendalikan kehidupanku sendiri? Ini hidupku, dan hanya diriku yang berhak atas itu.” Kris menikmati potongan croissant yang mengkilap karena olesan butter. Netranya menatap ke arah sang putra yang sedang mengelus lembut buntalan hitam dipangkuannya, Toby. Satu-satunya makhluk hidup yang sangat manja apabila bersama Chan. Terlebih ketika majikannya itu selesai memberikan vaksin. Seperti yang baru saja ia lakukan, memberikan obat cacing pada Toby. Anjing poodle yang sudah berusia 6 bulan memang sebaiknya diberikan obat cacing untuk ketahanan tubuh, khususnya sistem pencernaan. "Chan," panggil Kris hati-hati. "Mommy
"Hanya dia yang aku punya di dunia ini. Akan kubuat jutaan senyum terukir di wajahnya."Mr. Ramos mengalami peningkatan gula darah hingga 350 mg/dL. Hal itu yang menyebabkan beliau mengalami pengurangan kesadaran. Selama ini pasien tidak melakukan pengobatan rutin. Kalau dibiarkan begini terus, tentu akan berakibat fatal.Kata-kata itu terngiang di kedua telinga Rossie. Kenapa ayahnya harus berbohong? Selama ini Alexander selalu bilang kalau rutin melakukan check up. Tetapi nyatanya tidak, sekarang Rossie harus melihat sang ayah terbaring di bed pesakitan.Rossie menggenggam tangan Alexander yang masih terlelap. Ia berusaha membuat matanya tetap terjaga. Dua belas jam perjalanan udara membuat tubuhn
"Hugo, jaga Daddy yah-" "Rossie, Daddy udah seperti baby saja ya. Sampai kamu harus menitipkan kepada Hugo seperti itu." Alexander terkekeh ketika mendengar percakapan Rossie dan Hugo di kursi yang tidak jauh dari ranjangnya. "Itu karena Daddy suka berbohong sama Rossie," ujar Rossie. Kemudian tatapannya beralih kepada Hugo. "Hugo, please perhatikan Daddy,
Menyadari tatapan dari Rossie, Chan meluruskan posisi tubuh. "Apa yang kamu lihat?" "No-nothing, anyway thanks." Rossie meneguk ludah sembari merapikan letak pakaiannya. Tanpa menjawab Chan langsung berlalu begitu saja. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan dari sang mantan kekasih. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Ma-maksudku sebelum pertemuanku dengan Mamamu dan Granny?" Chan menoleh dan memeta tubuh Rossie dari ujung kaki hingga puncak kepala. "Iya, kita pernah bertemu sebelumnya di klub, saat kamu mabuk." Kembali menelan saliva ketika mendengar jawaban dari Chan. Rossie mulai mengingat serpi
Catherine mencuri dengar percakapan Rossie. “Who?”Pandangan Rossie tertuju kepada Catherine dan menjawab, “Mom Kris, Mamanya Chan.”“Chan? Chan Who?” Catherine mengerutkan kening dan mencoba mengingat nama yang terdengar tidak asing di telinga. “Wait, jangan bilang Chan mantan kamu?” tambahnya.Menaikkan kedua bahu sambil bangkit dari duduknya. Rossie meraih jar yang berisi jus segar dan menuangkannya ke gelas panjang. Ia tidak memberikan jawaban kepada sang sahabat.“Are you serious?
Mendorong tubuh Chan agar menjauh, Rossie menghela napas sebelum memulai ucapan. "Karena memang hubungan kita harus berakhir seperti itu." Chan masih menatap Rossie lurus-lurus, fokusnya tertarik pada warna merah di sudut bibir wanita tersebut. "Kau terluka?" Pertanyaan dari Chan diabaikan begitu saja. Kemudian Rossie berjalan melewati Chan begitu saja. Hingga langkahnya terhenti karena ucapan Chan yang tiba-tiba. "Jadi begitu?" Chan terkekeh. "Kau membuangku seperti sampah yang sudah tidak ada artinya." Rossie menoleh dengan tatapan dingin. "Apa kau masih mencintaiku?"
Lengan kukuh yang dipenuhi dengan bulu halus melingkar di pinggul Rossie. Wanita yang tadinya menatap langit malam dengan Kilauan bintang sontak terkesiap."Edric! Mengagetkan saja," ucap Rossie.Edric tertawa. "Apa yang kamu pikirkan, sampai terkejut?""Tidak ada." Menggerakkan tubuh dan berusaha terlepas dari dekapan Edric. "Aku lelah, Edric."Edric melepaskan pelukan dari tubuh Rossie. "Akan ada pesta malam ini, aku sudah siapkan gaun yang harus kamu pakai."Pandangan Rossie teralih pada gaun yang tergeletak di ranjang. Model gaun yang nyaris telanjang favorit Edric.
Tiba-tiba tubuh Chan membeku karena serangan ciuman tersebut. Ia bisa melihat kedua mata Rossie terpejam ketika memberikan kecupan dalam. Namun, saat Chan ingin membalas ciuman itu, Rossie mendorong tubuh Chan dan mengakhiri pagutan."Sial," batin Chan."Apakah ciuman tadi juga mengujimu? Apa itu yang kamu harapkan dariku?" Rossie menatap Chan lurus-lurus tanpa keraguan. "Apakah setelah ini kamu bisa membiarkanku bekerja dengan baik?""Kau menyogokku dengan ciuman?""Kau mau lebih?" tantang Rossie.Chan menyeringai sambil mengusap bibirnya yang masih basah karena ulah Rossie. Sementara wanita blonde itu mengulas senyum sembari berlalu begi
"Kenapa kau tidak merasakan betapa besarnya cintaku untukmu? Aku sangat mencintaimu, sangat, sangat, sangat dan tidak bisa diukur lagi. Bahkan seisi dunia tidak bisa menakar rasa cintaku. Aku mencintaimu, sangat." Serentetan kalimat yang diucapkan oleh Chan baru saja membuat jantung Rossie berdebar dengan sangat kencang. Sentuhan jemarinya yang perlahan menelusup ke dalam balik gaun tidur, membuat kedua mata Rossie memejam perlahan. Lembut bibir Chan pun ikut menyentuh bibirnya. Pelan dan menuntut. Dingin dan basah. Dengan intens, Chan memberikan kecupan penuh hisapan. Rossie mulai larut dalam permainan lidah suaminya yang selalu ahli. Meraih tengkuk pria itu ke posisi yang lebih nyaman. Beberapa saat kemudian napas keduanya terengah. Chan menghentikan ciumannya dan terkejut ketika ketahuan sedang mengatur napas sebab kelelahan. Mereka terkekeh. Memajukan kepala di salah satu telinga Rossie dan berbisik sangat lirih. "Rossie, kau sangat seksi malam ini. Bisakah kita melakukannya
"Ketika sang takdir sering mempertemukan kita, apa yang akan terjadi selanjutnya?""Stop!" titah Rossie, membuat Chan menghentikkan laju mobilnya.Lobby apartment Rossie masih jauh berada di depan, sekitar 80 meter. Kedua manik mata Rossie menelisik ke depan, melihat Edric yang sedang berdiri di depan lobby sambil berbicara pada ponselnya."Aku turun sini aja, thanks ya." Rossie bersiap untuk membuka pintu mobil Chan, tetapi tangannya dicekal oleh lengan kukuh pria itu. Chan menatap lekat-lekat Rossie, sangat dekat bahkan ia bisa melihat pantulan dirinya di mata Rossie.Chan merasa tidak salah, wanita yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu adalah Rossie. "Who are you?" Bibir Chan bergumam perlahan. Membuat Rossie tersentak.Chan dan Rossie sesaat saling melempar tatap. Hening. Sampai pada akhirnya Rossie melepaskan cekalan tangan Chan dan berkata, "I'am Rossie, Rossie."Rossie membuka pintu mobil Chan dan segera turun. Ia berjalan perlahan menghampiri Edric yang masih belum sada
Dua tahun yang lalu …."Tutup kedua matamu dan rasakan kehadiranku, karena kau tidak butuh sebuah tatapan untuk mengenaliku."Chan meregangkan otot leher, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya terasa sedikit pegal. Alih-alih untuk berolahraga, untuk sekedar tidur cukup waktu saja, sudah bagus untuknya. Setiap malam ia begadang untuk mempelajari beberapa dokumen penting Saint Hills Hospital. Kalau saja tidak teringat amanah sang Ayah, mungkin ia sudah meminta manager lain untuk menanganinya. Yah, ia harus bertanggung jawab dengan keputusan yang ia pilih.Kaki jenjang Chan menapaki lantai yang merupakan perpaduan dari kayu dan marmer. Rumah dengan interior desain yang disesuaikan dengan seleranya itu, terlihat sangat elegant. Di beberapa sudut ruangan terdapat perabotan yang terkesan classy. Sementara untuk warna ruangannya, ia lebih memilih warna krem dominan.Dibukanya gorden emboss velvet warna hijau, kemudian membuka pintu kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar. Chan me
Suara raungan mobil sport menyeruak di dalam gedung yang sudah di desain untuk balapan itu. Kelima laju mobil itu saling salip dan mendahului. Rossie tersenyum tipis ketika mobil warna biru tua menyalipnya. "Well, let's see," ucap Rossie sambil menginjak gas dalam dan menambah kecepatan. Kemahiran Rossie dalam mengemudi memang tidak bisa diragukan. Hobi barunya melakukan balapan bersama rekan sesama modelnya membuat rasa lelah menguar begitu saja. Garis akhir semakin terlihat di depan, Rossie menaikkan salah satu sudut bibir. Ia merasa kemenangan semakin dekat. Namun, mobil centil warna hot pink mendahuluinya dan menjadi pemenang balapan kali ini. "Ash, sial," kesal Rossie. "Yippi!" Catherine memekik bahagia. Wanita itu keluar dari mobil disusul Jennie, Lisa, dan Jiso keluar dari mobil masing-masing. "Congratulation, Cath!" pekik Rossie sambil keluar dari mobilnya. "Okay, girls. Karena aku memang hari ini, so … party malam ini aku yang traktir!" Begitulah cara mereka merayakan
DOORRR!!!"Clara…" Kedua mata Rossie membulat sempurna ketika darah segar mengucur dari dada kiri pria itu. Pistol revolver yang masih mengepulkan asap terjulur tepat di sisi Rossie. Hal itu sontak membuat Rossie mengarahkan pandangan kepada si penembak. "Am-Amber?" ucap Catherine dengan kedua tangan yang menutup sebagian wajah. Ia mengintip dari sela-sela jemarinya yang merenggang. Rahang Amber bergetar, diikuti tangannya yang masih menodongkan pistol. Tanpa pikir panjang, Amber mengeluarkan senjata yang berada di balik bajunya. Kedua lutut Amber melemas, kemudian membuat tubuhnya terjatuh. Rossie yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi melihat Amber dan Clara secara bergantian. Tangan Amber memegang dada kirinya yang terus mengucurkan darah. Rossie yang sedari tadi bergeming, tiba-tiba merobek bagian bawah gaunnya dan berlari menuju kepada Amber. Ia menyumpalkan robekan tersebut pada luka tembak yang menganga. "Amber." Menekan dengan kuat dada kiri Edric agar darahnya
Melihat raut wajah Rossie yang ketakutan, Clara berusaha memberikan usapan lembut pada wajah wanita itu. Ia menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga Rossie. "Kenapa kau takut? Bukankah harusnya kau senang karena sudah mengingat cinta Tuan Edric yang sebesar cinta kepada ibunya?”Keheningan menyelimuti keduanya. Rossie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Clara yang tiba-tiba ikut bergeming. Pandangannya tertuju kepada Rossie, tetapi kosong. Memori lama dalam benak Clara kembali berputar. Memainkan adegan masa lampaunya bersama sang ibu. "Edric...Mommy akan bekerja. Kamu cepatlah istirahat dan naik ke loteng." titah Carissa sembari memasangkan kaitan teratas gaun seksinya. "Tapi, Mom. Aku masih ingin main," tolak Edric kecil yang masih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, Carissa segera menghampiri Edric. Dipegangnya rahang Edric dengan cengkeraman yang kuat. "Edric! Listen to me! Jangan membangkang, kamu
"Rossie?" Amber mengucapkan nama itu kembali. Wanita yang sempat dikhianati oleh Amber itu, ternyata justru diam-diam membantu dirinya. Dilebarkannya langkah kaki Amber menuju ke mobil. Berulang kali ia mencoba menghubungi Rossie namun tidak tersambung.Amber merasa menjadi manusia yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, Rossie selalu membantunya. Mulai dari masuk ke dunia modelling, hingga membantu biaya operasi sang ibu. "Rossie, tolong angkat. Sungguh aku minta maaf," gumam Amber terus mencoba menghubungi Rossie. Teringat perkataan terakhirnya kepada Edric membuat Amber langsung menginjak rem mobil dan menepi. "Shittt!" Amber menyugar rambut ketika menyadari kebodohannya. Secara tidak langsung, ia membukakan pintu penderitaan untuk Rossie. "Apa yang sudah aku lakukan? Amber! Kau sungguh bodoh!" kata Amber yang sekarang mencoba mengetikkan nomor Catherine. Tidak cukup lama ia menunggu. Nada sambung berganti pada suara Catherine. Kali ini bukan suara ramah seorang kawan
Tetesan darah mengalir perlahan dari salah satu pelipis, dengan mata yang menutup sebagian karena lebam. Tatapan tanpa ketakutan terpancar jelas pada sepasang iris gelap milik Chan. Ia bisa melihat dengan jelas rupa Clara, tangan kanan ibu dari pria yang selama ini sudah menghisap kebahagiaan Rossie. Mengepal kuat dan ingin sekali memberikan hantaman. Sayang, kedua tangannya terikat kuat oleh tali temali. Clara menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kau telah membunuh Tuanku. Seharusnya kau tidak pernah muncul di hubungan mereka." Sambil menahan rasa perih di sudut bibirnya yang terluka, Chan terkekeh. "Membunuh? Edric mati karena ulahnya sendiri. Gelak tawa Clara menggema di ruangan kosong yang hanya ada satu kursi yang ditempati oleh Chan. "Kalau begitu, kau juga harus mati. Karena tidak ada yang bisa memiliki Rossie selain Tuan Edric.!" "Aku tidak bermaksud untuk memiliki Rossie. Aku hanya ingin membahagiakannya. Karena aku sangat mencintainya!" ungkap Chan dengan lugas. Mend
Amber melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. Kurang lebih 30 menit, ia tiba di sebuah rumah sakit terdekat di Beverly Hills. Langkah kaki Amber lebar dan menuju lantai tiga, tempat di mana sang ibu dirawat. Ibunya harus segera melakukan operasi karena penyakit yang diderita. Itulah sebabnya Amber berusaha keras untuk mengumpulkan uang. "Permisi, saya mau melakukan pembayaran untuk pasien atas nama Summer Delacour," ucapnya pada salah satu petugas administrasi. "Baik ditunggu sebentar." Petugas itu terlihat mencari nama pasien di layar monitor dengan tangan yang sesekali menjetik pada mouse, "atas nama Summer Delacour?" tanyanya memastikan. "Yes, my mom." Amber menjawab tegas. "Atas nama Summer Delacour sudah dilakukan pembayaran dua hari yang lalu," jelas petugas tersebut yang kontan membuat Amber teeperanjat. Ia hanya hidup bersama sang ibu. Tidak ada saudara yang peduli atau bahkan rela membayar biaya rumah sakit dengan nominal besar. "Tidak mungkin. Pasti anda salah, sia