"Apa yang harus aku jelaskan lagi, Pak Leo? Aku hanya diminta untuk mencatat dua nama ini sebagai karyawan di sini. Ya sudah. Aku tulis saja sesuai dengan keinginan Presdir. Itu saja. Memangnya kalau mereka bekerja di sini, bapak merasa keberatan?" ucap Wisnu.Leo mengangguk cepat. "Iya, pak. Aku sangat keberatan. Aku datang ke sini adalah untuk meminta kepada bapak agar dua orang itu dipecat. Apa bapak bisa melakukannya?"Wisnu langsung mengangkat kedua tangannya. "Oh, maaf pak. Aku tidak bisa. Mereka bekerja atas keinginan Presdir maka berhenti pun harus dengan perintah Presdir. Aku tidak bisa ikut campur."Leo menghela nafas kecewa. "Aku mengerti, Pak. Akan tetapi aku bingung kenapa Presdir melakukan itu? Apa Bayu sebenarnya punya hubungan yang erat dengan Presdir?"Wisnu geleng-geleng. "Sudahlah, Pak Leo. Jangan terlalu memikirkan tentang hal itu. Kalau mereka memang bekerja di sini ya biarkan saja. Toh, Bayu sudah bukan assisten bapak lagi dan Moza bukan istri bapak lagi. Jalani
Astrid terhenyak. Dia tidak menyangka kalau Leo akan melakukan hal sejauh itu. Sekarang jawaban apa yang harus dia berikan pada Leo. Dia sudah capek untuk berbohong."Seandainya iya, apa mas mau menceraikanku?"Leo menyipitkan matanya. "Jadi benar kamu yang ada di balik drama ini?"Astrid mengencangkan rahangnya. Dia merasa marah karena Leo masih saja membahas tentang ini. Itu artinya cinta Leo memang sudah terbagi dua. Tidak sepenuhnya untuk dirinya seperti waktu mereka pacaran. Kini separuh dari hati Leo sudah terisi dengan Moza. "Kalau iya kenapa, mas? Aku memang tidak suka cinta mas terbagi dua. Aku mau memiliki mas seorang diri. Sekarang dalam perutku sudah ada anak kita mas. Tidak bisakah mas melepaskan Moza dengan ikhlas dan fokus dengan kehamilanku?"Leo mengepalkan jemarinya. Dia merasa emosi tengah menjalar ke ubun-ubunnya. Ternyata benar apa yang dikatakan Bayu kalau Astrid adalah dalang di balik drama ini. Dia tidak menyangka kalau Astrid bisa melakukan hal ini."Mengapa
"Aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan pernikahanku dengan Moza lagi pa," keluh Leo pada kedua orangtuanya. "Dia sudah mendatangi pengadilan agama dan sudah menyewa seorang pengacara.""Lho, darimana Moza punya uang untuk mengurus perceraian ke pengadilan agama dengan memakai pengacara? Dia 'kan tidak punya apa-apa," sahut Susan seolah tidak terima atas sikap mantan menantunya tersebut. Rasanya harga diri putranya yang seorang manager di perusahaan terkenal, telah dicampakkan oleh wanita biasa seperti Moza."Itu juga yang membuat aku bingung, ma. Bagaimana Moza bisa memiki uang untuk menyewa pengacara.""Jangan-jangan selama ini dia mengambil uang yang kamu berikan setiap bulannya.""Tidak, ma. Kartu debit Moza saja ada di rumah. Ketika aku mengusirnya, dia lupa membawa dompet dan ponselnya.""Ya mungkin saja dia sudah menyembunyikan sebagian uang bulanan dari kamu di tempat lain.""Kalau itu sudah menjadi hak istri, ma." Malik urun suara. Jujur jika ingin mengikuti kata hati, Mali
"Mas terima kasih karena selama ini sudah meminjamkan rumah mas padaku." Moza menyodorkan sebuah kunci kepada Bayu. Bayu mengamati kunci itu lama sebelum akhirnya menatap Moza. "Mengapa harus dikembalikan? Kamu bisa terus menepati rumah itu.""Itu tidak mungkin, mas. Itu rumah mas. Jadi harus aku kembalikan lagi pada mas. Aku kebetulan sudah mendapat kontrakan tak jauh dari tempat tinggal mas."Bayu terdiam. Dia tidak suka Moza pindah dari rumahnya. Selama ini, Bayu selalu mempunyai alasan untuk datang ke rumah itu meski hanya untuk sekadar mengambil pakaian atau barang lainnya. Tapi jika Moza pindah, itu artinya dia kehilangan kesempatan untuk sering mendatangi tempat tinggal Moza.Bayu menghela nafas. "Kamu baru saja selesai mengurus perceraianmu dengan Leo, Moza. Jadi jangan berfikir untuk pindah dulu."Moza tersenyum. "Aku tau mas itu baik. Tapi aku tidak boleh menyusahkan, mas.""Kamu tidak menyusahkanku. Aku senang kamu tinggal di rumah itu.""Mas, butuh rumah itu. Nanti jika a
Moza menoleh. Dia mendapati Bayu-lah yang memegang tangannya. "Aku tidak akan membiarkanmu keluar sebelum kita membuat kesepakatan," ucap Bayu lirih tapi penuh ketegasan."Kesepakatan?" tanya Moza bingung. "Kesepakatan apa?" Bayu melirik Roby dan Aditya secara bergantian. Dia memberi kode agar kedua laki-laki itu keluar dari ruangan ini. Terbiasa mendapatkan kode dari Bayu karena selama ini tuannya itu dalam penyamaran, Roby dan Aditya langsung mengerti. Tanpa diisyaratkan untuk kedua kalinya, mereka berdua langsung keluar dari ruangan tersebut. Setelah sampai di luar ruangan, keduanya langsung menutup pintu ruangan kembali. Setelah keluarnya Roby dan Aditya, ruangan itu terasa sunyi. Seketika Moza menjadi takut. Bagaimana tidak, dia tengah berdua dengan pria seperti Bayu oh bukan, Arthur. Pria berkuasa yang penuh dengan siasat.Selama ini, berdua dengan Bayu bukanlah sesuatu yang menakutkan. Tapi sekarang dirasa lain. Dari dulu dia sudah mendengar cerita tentang Arthur dari Leo. A
"Leo! Melamun saja kamu! Tidak tau apa kalau di luar sedang heboh?" Hendra tiba-tiba masuk. Bahkan tanpa ketuk pintu. Pria itu menemukan Leo sedang melamun sembari memainkan bolpoin. Mendengar suara cempreng Hendra, Leo langsung menoleh. "Kamu buat orang kaget saja."Hendra tersenyum. Lalu mengambil duduk di kursi depan Leo. "Ada baiknya kamu keluar dulu dari ruangan. Orang se-perusahaan pada heboh tau."Kening Leo mengerut. "Heboh? Heboh kenapa?""Heboh karena Bayu. Ah, salah bicara tidak sih, aku. Apa aku harus ikut-ikutan Roby memanggilnya tuan?"Kerutan di kening Leo kian rapat. "Kamu bicara apa, Hen? Memangnya kenapa dengan Bayu? Dia mencuri? Atau merusak barang?""Lebih dari itu hebohnya.""Jadi dia kenapa?""Kamu tau, banyak orang yang melihat Pak Roby mengangguk hormat pada Bayu. Bahkan Pak Roby memanggilnya tuan."Deg.Leo tersentak kaget. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Kamu jangan bercanda!""Kenapa aku harus bercanda? Ini serius. Nah, sampai sekarang
"Aku pulang dulu. Kamu hati-hati di rumah sendirian. Nanti sebelum tidur, aku telpon kamu."Moza memaksakan senyum. "Iya." Hanya itu yang dia katakan. Dia tidak mau terlibat obrolan panjang dengan Arthur. Dia ingin Arthur cepat meninggalkan rumahnya. Dia sudah stress menghadapi Arthur hari ini."Baiklah. Kalau begitu aku pulang ya sayang. Daaa."Moza melambaikan tangan. "Daaa."Mobil Arthur pun bergerak meninggalkan tempat kediaman Moza. Dan itu membuat Moza sangat lega. Setelah mengunci pintu rumah, Moza langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Otot-ototnya yang terasa kaku langsung mengendur. Tapi itu tidak mengendurkan stressnya menghadapi Arthur.Moza menatap plafon kamar. Kedua mata bening indahnya tampak sayu. Dia benar-benar sudah menghadapi hari yang buruk. Dan kemungkinan, besok-besok juga begitu. Tak kalah buruknya.Arthur memang kaya raya. Banyak wanita yang mengidamkan pria itu. Tapi saat ini, tak sedikitpun Moza berkeinginan untuk menikah secepat ini. Kegagal
"Baiklah kalau itu mau kamu." Arthur mengambil kertas-kertas berisi gambar rancangan Adi Gunawan dan memperhatikan gambar di tangannya satu persatu. Penuh seksama dia memperhatikan gambar-gambar itu. Dia ingin Moza terlihat cantik jelita di hari pertunangan mereka. Itu sebabnya dia tidak mau sembarangan memilihkan gaun untuk Moza."Bagaimana kalau yang ini?" tanya Arthur kepada Adi Gunawan sang desainer. Adi Gunawan langsung melongokkan kepala ke kertas yang disodorkan Arthur. Matanya langsung membulat. "Ya, it's good. Aku juga sudah menebak kalau anda akan memilih ini. Gaun ini sangat pas dengan Non Moza yang cantik jelita.""Kalau begitu aku ambil yang ini untuk calon istriku.""Baik tuan. Sekarang saatnya mengukur." Adi Gunawan berdiri dari duduknya. Dia lalu melambai lentik pada Moza. "Ayo nona! Berdiri! Kita ukur mengukur dulu!"Tak membantah, Moza pun berdiri. Adi Gunawan langsung mengambil meteran."Ayo, nona! Rentangkan tangannya sedikit. Aku mau mengukur lingkar dadah nona d