"Aku pulang dulu. Kamu hati-hati di rumah sendirian. Nanti sebelum tidur, aku telpon kamu."Moza memaksakan senyum. "Iya." Hanya itu yang dia katakan. Dia tidak mau terlibat obrolan panjang dengan Arthur. Dia ingin Arthur cepat meninggalkan rumahnya. Dia sudah stress menghadapi Arthur hari ini."Baiklah. Kalau begitu aku pulang ya sayang. Daaa."Moza melambaikan tangan. "Daaa."Mobil Arthur pun bergerak meninggalkan tempat kediaman Moza. Dan itu membuat Moza sangat lega. Setelah mengunci pintu rumah, Moza langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Otot-ototnya yang terasa kaku langsung mengendur. Tapi itu tidak mengendurkan stressnya menghadapi Arthur.Moza menatap plafon kamar. Kedua mata bening indahnya tampak sayu. Dia benar-benar sudah menghadapi hari yang buruk. Dan kemungkinan, besok-besok juga begitu. Tak kalah buruknya.Arthur memang kaya raya. Banyak wanita yang mengidamkan pria itu. Tapi saat ini, tak sedikitpun Moza berkeinginan untuk menikah secepat ini. Kegagal
"Baiklah kalau itu mau kamu." Arthur mengambil kertas-kertas berisi gambar rancangan Adi Gunawan dan memperhatikan gambar di tangannya satu persatu. Penuh seksama dia memperhatikan gambar-gambar itu. Dia ingin Moza terlihat cantik jelita di hari pertunangan mereka. Itu sebabnya dia tidak mau sembarangan memilihkan gaun untuk Moza."Bagaimana kalau yang ini?" tanya Arthur kepada Adi Gunawan sang desainer. Adi Gunawan langsung melongokkan kepala ke kertas yang disodorkan Arthur. Matanya langsung membulat. "Ya, it's good. Aku juga sudah menebak kalau anda akan memilih ini. Gaun ini sangat pas dengan Non Moza yang cantik jelita.""Kalau begitu aku ambil yang ini untuk calon istriku.""Baik tuan. Sekarang saatnya mengukur." Adi Gunawan berdiri dari duduknya. Dia lalu melambai lentik pada Moza. "Ayo nona! Berdiri! Kita ukur mengukur dulu!"Tak membantah, Moza pun berdiri. Adi Gunawan langsung mengambil meteran."Ayo, nona! Rentangkan tangannya sedikit. Aku mau mengukur lingkar dadah nona d
Leo kembali tertunduk mendengar jawaban dari Arthur. Dalam hati dia sangat berharap Arthur memaafkannya karena jika tidak hidupnya akan hancur. Perusahaan ini sangat berpengaruh sehingga staf yang dipecat dari perusahaan ini akan sulit diterima di perusahaan manapun. Image jeleknya akan tersebar kemana-mana dan di dengar oleh semua perusahaan. Itulah sebabnya mengapa orang yang diberhentikan secara tidak hormat dari perusahaan ini benar-benar bernasib buruk."Jika aku bisa mempertanggungjawabkannya, maka akan aku pertanggungjawabkan. Tapi tolong jangan pecat aku dari perusahaan ini tuan. Aku mohon tuan."Arthur terdiam. Dia mencoba merenungi sesuatu. Dia mengakui kalau Leo adalah pria yang cerdas. Itu sebabnya, Leo bisa menyembunyikan kecurangan dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, justru kecerdasan Leo itulah yang mengkhawatirkan perusahaan. Arthur bimbang. Namun dia adalah tipe orang yang tidak mau menunda pekerjaan apalagi menunda untuk mengambil sebuah keputusan. Menurutny
'As, kamu lagi apa? Anak kita baik-baik saja bukan?'Sebuah chat dari Dion mengusik Astrid yang sedang membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. 'Aku baik-baik saja. Tapi soal bayi yang sedang aku kandung, jangan pernah menganggapnya sebagai anak kamu, ya.''Bagaimana kamu bisa bilang begitu sementara anak itu memang anakku? Sebagai papanya, tentu aku menginginkan anak itu.''Aku tidak akan pernah menganggap kamu sebagai papanya.''Terserah kepadamu. Tapi aku akan tetap berusaha untuk mendapatkan anakku bagaimana pun caranya. Kalau perlu aku menemui Leo dan mengatakan kebenaran itu.'Mata Astrid melebar. 'Kamu jangan main-main dengan suamiku, Dion.''Kenapa tidak? Aku menginginkan anakku. Kebetulan aku sudah mendapatkan nomor ponsel Leo, jadi aku akan mengajaknya ketemuan dan mengatakan kebenaran ini.'Astrid menggeram. Dion benar-benar sulit untuk dihadapi. 'Mau kamu sebenarnya apa, Dion?''Akhirnya kamu menanyakan itu juga.''Ya, terus mau kamu apa?''Temui aku di apartemenku. K
"As! Astrid!" Dion membangunkan Astrid. Saat ini jam menunjukkan pukul 23. 05. "Ya," jawab Astrid dengan mata yang masih terpejam. "Bangunlah. Bukankah kamu harus pulang?""Tapi aku sangat mengantuk. Aku tidak mungkin bisa menyetir dengan baik jika dalam keadaan mengantuk begini. Jadi izinkan aku tidur di sini ya?""Aku sih tidak masalah. Tapi aku takut ini jadi masalah buat kamu. Bagaimana kalau Leo curiga?""Kamu 'kan tau Leo tidak ada. Dia tidur di rumah orangtuanya.""Iya, aku tahu kalau soal itu. Akan tetapi, di rumahmu ada pembantumu bukan? Dia bisa curiga.""Kalau soal pembantu itu gampang. Aku bisa mengatasinya. Jadi jangan ganggu aku tidur."Mendengar itu, Dion tersenyum. Tentu saja dia sangat suka jika Astrid memutuskan untuk tidur di sini. Dengan semangat, dia memeluk tubuh polos Astrid yang berada di bawah selimut. "Oke, terserah kamu saja. Kalau perlu kamu tidak kembali lagi ke rumah kamu. Aku senang kamu ada bersamaku." Dion memejamkan matanya kembali. ***Pagi-pagi
Orang-orang kantor menatap Leo dengan tatapan yang merendahkan. Mereka hampir tak percaya kalau Leo turun jabatan dari manager menjadi staf biasa. Mereka seperti diingatkan kalau pepatah roda pasti berputar itu benar adanya dan hukum karma itu memang berlaku."Begitu tuh kalau rakus. Makanya kalau jadi manusia itu harus banyak-banyak mensyukuri apa yang sudah didapatkannya. Kalau memang sudah menjadi manager, jadilah manager yang jujur dan kalau sudah punya istri yang baik, jangan menikah lagi. Sekarang istrinya mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada dirinya.""Itu betul. Makanya kamu kalau jadi laki-laki itu jangan banyak tingkah.""Banyak tingkah apa? Aku tidak ada niat untuk menambah istri lagi kok. Istri satu saja kebutuhan banyak yang belum terpenuhi apalagi istri dua atau tiga. Bisa tidak kebeli beras lagi aku.""Hahaha... iya juga. Tapi kalau tiba-tiba kamu diangkat menjadi manager, apa kamu tidak tertarik untuk menikah lagi?""Tidaklah. Belajar dari pengalaman Pak Leo,
Astrid berjalan sembari bergelayut manja pada lengan Leo. Saat ini dia sudah agak kesusahan untuk berjalan karena kandungannya sudah berusia 7 bulan. Leo sendiri tampak begitu perhatian pada Astrid. Dia berjalan dengan pelan-pelan menyeimbangi Astrid yang sudah tidak bisa melangkah dengan cepat.Di tangan Leo sudah ada dua paper bag. Semuanya berisi peralatan bayi. Tapi sampai sekarang mereka belum menemukan hadiah untuk Astrid sendiri. "Aku mau minta dibelikan tas ya mas sebagai hadiah ulang tahun." Leo tersenyum kecil. "Iya. Beli saja.""Aku boleh pilih sendiri 'kan?""Boleh kok.""Beli mana yang kamu mau ya."Astrid tersenyum lebar. "Makasih ya mas. Mas baik deh.""Apa sih yang tidak aku lakukan untuk kamu. Aku pasti akan lakukan."Keduanya lalu memasuki sebuah outlet tas bermerek. Begitu masuk ke dalam, Astrid langsung tertarik dengan sebuah tas berwarna coksu. Sederhana tapi elegan."Mas aku mau yang di etalase itu," tunjuk Astrid. Leo mengarah pandang pada yang ditunjuk Astri
"Mas memuji dia?" "Tidak, As. Aku tidak bermaksud memuji dia. Tapi itu memang kenyataannya. Moza memang wanita yang baik. Kamu juga tau itu.""Lalu bagaimana dengan aku? Apa aku tidak baik seperti Moza sehingga nasibku buruk?""Kenapa kamu bicara seperti itu? Apa karena aku bukan seorang presiden direktur terus kamu bilang nasib kamu buruk karena menikah denganku?"Astrid tak menjawab. Dia malah menyedekapkan tangannya. "As, kita ini 'kan sudah saling mencintai dari sebelum kita menikah. Kamu tau siapa aku bukan? Aku berasal dari keluarga yang biasa saja. Tidak begitu kaya dan tidak begitu miskin. Jadi masalah jabatan, harusnya tidak kamu jadikan standar kebahagiaan. Berbicara mengenai Moza, Tuhan itu 'kan memang berjanji bahwa kebaikan memang dibalas dengan kebaikan. Tapi kan kita tidak tahu bagaimana perasaan Moza saat ini. Aku memang melihat Tuan Arthur begitu bahagia bersama Moza tapi tidak begitu dengan Moza. Dia bersikap biasa saja dan tidak sumringah. Aku sudah ingin mengubah