Orang-orang kantor menatap Leo dengan tatapan yang merendahkan. Mereka hampir tak percaya kalau Leo turun jabatan dari manager menjadi staf biasa. Mereka seperti diingatkan kalau pepatah roda pasti berputar itu benar adanya dan hukum karma itu memang berlaku."Begitu tuh kalau rakus. Makanya kalau jadi manusia itu harus banyak-banyak mensyukuri apa yang sudah didapatkannya. Kalau memang sudah menjadi manager, jadilah manager yang jujur dan kalau sudah punya istri yang baik, jangan menikah lagi. Sekarang istrinya mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada dirinya.""Itu betul. Makanya kamu kalau jadi laki-laki itu jangan banyak tingkah.""Banyak tingkah apa? Aku tidak ada niat untuk menambah istri lagi kok. Istri satu saja kebutuhan banyak yang belum terpenuhi apalagi istri dua atau tiga. Bisa tidak kebeli beras lagi aku.""Hahaha... iya juga. Tapi kalau tiba-tiba kamu diangkat menjadi manager, apa kamu tidak tertarik untuk menikah lagi?""Tidaklah. Belajar dari pengalaman Pak Leo,
Astrid berjalan sembari bergelayut manja pada lengan Leo. Saat ini dia sudah agak kesusahan untuk berjalan karena kandungannya sudah berusia 7 bulan. Leo sendiri tampak begitu perhatian pada Astrid. Dia berjalan dengan pelan-pelan menyeimbangi Astrid yang sudah tidak bisa melangkah dengan cepat.Di tangan Leo sudah ada dua paper bag. Semuanya berisi peralatan bayi. Tapi sampai sekarang mereka belum menemukan hadiah untuk Astrid sendiri. "Aku mau minta dibelikan tas ya mas sebagai hadiah ulang tahun." Leo tersenyum kecil. "Iya. Beli saja.""Aku boleh pilih sendiri 'kan?""Boleh kok.""Beli mana yang kamu mau ya."Astrid tersenyum lebar. "Makasih ya mas. Mas baik deh.""Apa sih yang tidak aku lakukan untuk kamu. Aku pasti akan lakukan."Keduanya lalu memasuki sebuah outlet tas bermerek. Begitu masuk ke dalam, Astrid langsung tertarik dengan sebuah tas berwarna coksu. Sederhana tapi elegan."Mas aku mau yang di etalase itu," tunjuk Astrid. Leo mengarah pandang pada yang ditunjuk Astri
"Mas memuji dia?" "Tidak, As. Aku tidak bermaksud memuji dia. Tapi itu memang kenyataannya. Moza memang wanita yang baik. Kamu juga tau itu.""Lalu bagaimana dengan aku? Apa aku tidak baik seperti Moza sehingga nasibku buruk?""Kenapa kamu bicara seperti itu? Apa karena aku bukan seorang presiden direktur terus kamu bilang nasib kamu buruk karena menikah denganku?"Astrid tak menjawab. Dia malah menyedekapkan tangannya. "As, kita ini 'kan sudah saling mencintai dari sebelum kita menikah. Kamu tau siapa aku bukan? Aku berasal dari keluarga yang biasa saja. Tidak begitu kaya dan tidak begitu miskin. Jadi masalah jabatan, harusnya tidak kamu jadikan standar kebahagiaan. Berbicara mengenai Moza, Tuhan itu 'kan memang berjanji bahwa kebaikan memang dibalas dengan kebaikan. Tapi kan kita tidak tahu bagaimana perasaan Moza saat ini. Aku memang melihat Tuan Arthur begitu bahagia bersama Moza tapi tidak begitu dengan Moza. Dia bersikap biasa saja dan tidak sumringah. Aku sudah ingin mengubah
Brak!Arthur menendang pintu di mana Moza ada di baliknya. Wanita itu langsung terlonjak kaget dan kemudian menjauhi pintu. Dilihatnya pintu itu dengan pandangan takut. Moza benar-benar takut. Arthur kalau sudah marah sangat mengerikan."Buka Moza! Buka!" teriak Arthur dari luar."Ti-tidak! Aku tidak mau!" Moza panik. Bagaimana jika Arthur akan langsung menyerangnya begitu terbuka."Kalau kamu tidak mau membuka pintu, maka aku akan mendobrak pintu ini!"Tubuh Moza gemetar. Mendobrak dan dibukakan pintu sama-sama membuat Arthur masuk. Dan itu berbahaya."Oke! Kamu benar-benar tidak mau membukakan pintunya! Baik! Aku akan mendobraknya!"Moza kian panik. Tapi dia bingung harus melakukan apa. Yang ada dalam fikirannya adalah satu, tidak membiarkan pria itu masuk ke dalam rumah karena sangat berbahaya.BRAK!Pintu itu jatuh ke lantai. Arthur benar-benar telah mendobrak pintu itu. Bahkan pintu itu tumbang dalam sekali tendang. Arthur benar-benar kuat.Moza mundur dengan tubuh gemetar ketika
Mengabaikan rasa takutnya, Moza duduk di tepi tempat tidur yang berwarna keemasan. Dia menghirup udara banyak-banyak agar rasa sesaknya akibat rasa takut segera hilang.Tapi baru saja kecemasan itu hendak melega, terdengar sebuah ketukan di pintu. Moza seketika terperanjat. Dia langsung berdiri dari duduknya dan mendekati pintu."Siapa?" tanyanya dengan memasang telinga."Ini aku, Arthur."Moza langsung tersentak kaget. 'Mau apa lagi dia?'"Moza buka pintunya sebentar!""Bu-buka pintu? Mas mau apa?""Aku hanya mau mengantarkan baju ganti untuk kamu. Tidak mungkin bukan kamu tidur dengan memakai baju yang dari pagi kamu pakai. Pasti sangat tidak nyaman."Moza terdiam. 'Benarkah Arthur hanya akan mengantarkan baju ganti? Apakah ini bukan bagian dari siasatnya?'"Aku tidak percaya. Apa buktinya mas mau sekadar mengantarkan baju ganti?""Ini aku bawa baju gantinya. Kamu tidak akan bisa melihatnya jika kamu tidak membuka pintunya. Jadi bukalah! Sebentar saja!""Aku takut mas akan menyerang
"Assalamu'alaikum warahmatullah... Assalamu'alaikum warahmatullah..."Tok! Tok! Tok!Moza yang baru selesai sholat, menoleh ke arah pintu. "Siapa lagi, sih?" Moza bangun dan melipat sajadahnya. "Moza! Moza! Apa kamu sudah bangun?!"Moza terhenyak. Itu adalah suara Arthur. 'Kenapa lagi pria itu pagi-pagi sudah ribut?"Tanpa membuka mukenanya, Moza membuka pintu kamar. Seperti semalam, hanya melongokkan kepala saja. "Ada apa, mas?""Aku mau mengantarkan barang-barang kamu, nih." Arthur menyodorkan koper ke hadapan Moza.Moza melirik koper tersebut. "Oh, ya. Terima kasih." Moza pun membuka pintu kamar lebih lebar dan kemudian menarik kopernya."Moza.""Ya.""Mau ikut olahraga tidak? Tidak jauh. Hanya di sekitar halaman rumah kok."Moza menggeleng. "Tidak mas. Mas saja.""Kenapa? Biar badan sehat lho.""Bukan aku tidak mau olahraganya tapi aku tidak mau terlalu sering bersama mas."Kening Arthur mengerut. "Kenapa? Kamu masih marah karena apa yang aku lakukan semalam?""Kalau itu jangan
Hati Leo sangat panas melihat apa yang terhidang di depan matanya. Istrinya dan pria yang bersama istrinya tampak kian mesra. Sudah tidak bisa disangkal kalau Astrid dan pria itu memiliki hubungan. Hubungan seperti apa, itulah yang belum Leo tahu.Rahang Leo menggeram dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa sangat marah. Rasanya dia ingin melabrak mereka berdua dan menghajar pria yang bersama Astrid hingga tulang-tulangnya patah. Akan tetapi, keinginan itu ditahannya. Dia teringat pesan papanya untuk tidak terburu emosi. Dia harus mencari tahu tentang kebenarannya dulu.Dengan perasaan terluka dan rasa kecewa, Leo keluar dari kafe. Pria itu memutuskan untuk pulang daripada tidak tahan melihat kemesraan sang istri dan pria yang bersamanya."Ya Allah, mengapa balasanmu terasa sangat sakit di hati? Kadang-kadang aku sudah tidak sanggup lagi untuk menghadapinya." Di dalam mobil, Leo menangis. Sesak sekali rasanya menghadapi kenyataan ini. Dia jadi tahu beginilah perasaan Moza saat melihatny
Leo menangis sejadi-jadinya. Dia melempar barang yang ingin dia lempar. Bantal, vas bunga, buku, pakaian, dan lainnya. Perasaannya benar-benar terluka dan hancur. "Aku bodoh! Aku memang bodoh! Aku melepaskan Moza yang baik dan tidak bersalah dan malah menikahi Astrid yang ternyata pengkhianat! Harusnya aku dari dulu bersyukur memiliki istri seperti Moza! Dia tidak pernah menuntut anak dengan pernikahannya padahal aku yang mandul! Jika saja aku mengetahui dari awal kalau aku yang mandul, tentu hal ini tidak akan terjadi! Aku tidak akan menikahi Astrid dan tidak melukai hati Moza! Aku memang bodoh! Bodoh!"Leo mengangkat sofa yang berukuran kecil dan kemudian membanting sofa tersebut ke lantai. Suara berdegum langsung terdengar ke lantai bawah. Bik Juli sampai gemetar ketakutan. Untuk menjaga dirinya tetap aman, Bik Juli yang sejak Astrid pergi masih berdiri di depan pintu, tetap berdiri di depan pintu. Dia ancang-ancang kalau Leo mengamuk dan turun. Jika itu yang terjadi, maka dia aka