"Assalamu'alaikum warahmatullah... Assalamu'alaikum warahmatullah..."Tok! Tok! Tok!Moza yang baru selesai sholat, menoleh ke arah pintu. "Siapa lagi, sih?" Moza bangun dan melipat sajadahnya. "Moza! Moza! Apa kamu sudah bangun?!"Moza terhenyak. Itu adalah suara Arthur. 'Kenapa lagi pria itu pagi-pagi sudah ribut?"Tanpa membuka mukenanya, Moza membuka pintu kamar. Seperti semalam, hanya melongokkan kepala saja. "Ada apa, mas?""Aku mau mengantarkan barang-barang kamu, nih." Arthur menyodorkan koper ke hadapan Moza.Moza melirik koper tersebut. "Oh, ya. Terima kasih." Moza pun membuka pintu kamar lebih lebar dan kemudian menarik kopernya."Moza.""Ya.""Mau ikut olahraga tidak? Tidak jauh. Hanya di sekitar halaman rumah kok."Moza menggeleng. "Tidak mas. Mas saja.""Kenapa? Biar badan sehat lho.""Bukan aku tidak mau olahraganya tapi aku tidak mau terlalu sering bersama mas."Kening Arthur mengerut. "Kenapa? Kamu masih marah karena apa yang aku lakukan semalam?""Kalau itu jangan
Hati Leo sangat panas melihat apa yang terhidang di depan matanya. Istrinya dan pria yang bersama istrinya tampak kian mesra. Sudah tidak bisa disangkal kalau Astrid dan pria itu memiliki hubungan. Hubungan seperti apa, itulah yang belum Leo tahu.Rahang Leo menggeram dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa sangat marah. Rasanya dia ingin melabrak mereka berdua dan menghajar pria yang bersama Astrid hingga tulang-tulangnya patah. Akan tetapi, keinginan itu ditahannya. Dia teringat pesan papanya untuk tidak terburu emosi. Dia harus mencari tahu tentang kebenarannya dulu.Dengan perasaan terluka dan rasa kecewa, Leo keluar dari kafe. Pria itu memutuskan untuk pulang daripada tidak tahan melihat kemesraan sang istri dan pria yang bersamanya."Ya Allah, mengapa balasanmu terasa sangat sakit di hati? Kadang-kadang aku sudah tidak sanggup lagi untuk menghadapinya." Di dalam mobil, Leo menangis. Sesak sekali rasanya menghadapi kenyataan ini. Dia jadi tahu beginilah perasaan Moza saat melihatny
Leo menangis sejadi-jadinya. Dia melempar barang yang ingin dia lempar. Bantal, vas bunga, buku, pakaian, dan lainnya. Perasaannya benar-benar terluka dan hancur. "Aku bodoh! Aku memang bodoh! Aku melepaskan Moza yang baik dan tidak bersalah dan malah menikahi Astrid yang ternyata pengkhianat! Harusnya aku dari dulu bersyukur memiliki istri seperti Moza! Dia tidak pernah menuntut anak dengan pernikahannya padahal aku yang mandul! Jika saja aku mengetahui dari awal kalau aku yang mandul, tentu hal ini tidak akan terjadi! Aku tidak akan menikahi Astrid dan tidak melukai hati Moza! Aku memang bodoh! Bodoh!"Leo mengangkat sofa yang berukuran kecil dan kemudian membanting sofa tersebut ke lantai. Suara berdegum langsung terdengar ke lantai bawah. Bik Juli sampai gemetar ketakutan. Untuk menjaga dirinya tetap aman, Bik Juli yang sejak Astrid pergi masih berdiri di depan pintu, tetap berdiri di depan pintu. Dia ancang-ancang kalau Leo mengamuk dan turun. Jika itu yang terjadi, maka dia aka
"Kamu jangan bercanda, Leo?" Malik langsung menarik tangannya dari punggung Leo."Kenapa aku harus bercanda, Pa. Memang ini kenyataannya. Bayi yang sedang dikandung oleh Astrid bukan anakku melainkan anak dari pria lain. Aku memergoki Astrid bertemu dengan pria itu. Mereka seperti sepasang suami istri dan sangat romantis. Setelah aku tanya langsung kepada Astrid, dia jujur mengenai semuanya. Dia bilang anak di dalam kandungannya bukan anakku. Dia lalu pergi dan lebih memilih pria itu. Dia ingin kami bercerai.""Astaghfirullahadzim." Malik langsung lemas. Pria tua itu langsung menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dengan wajah sedih. Dia tidak menyangka nasib putranya akan seburuk ini.Sementara itu, Susan terdiam seribu bahasa dengan wajah yang menunduk. Wanita tua itu merasa sangat malu. Ya jelas saja. Karena perbuatannya nasib putranya jadi seperti ini. Andai saja dari awal dia tidak egois dan merendahkan Moza, hal ini mungkin tidak akan terjadi."Mama dengar itu? Mama dengar ba
"Kalau begitu aku tidak mau menikah denganmu, mas. Aku tidak mau. Tolong mas cari wanita lain saja. Wanita yang lebih baik dari pada aku." Entah darimana Moza mendapat keberanian untuk mengatakan itu. Yang pasti, itulah isi hatinya. Siapapun sebenarnya tidak bisa memaksa. Mendengar itu, Arthur terdiam untuk beberapa saat. Tapi setelah itu, rahangnya mengencang. Pesta pertunangan sudah di depan mata. Dan semua sudah dipesan. Baik gedung, undangan, catering, dan lain sebagainya.Selain itu, dia memang sangat menginginkan Moza. Sejak dia menyamar menjadi supir Leo, dia sudah jatuh cinta pada wanita itu. Dan tuhan memberinya kesempatan merebut Moza dari Leo karena Leo menikah lagi dengan Astrid."Berani sekali kamu mengatakan itu kepadaku?" tanya Arthur dengan nada dingin dan mengancam."Ya, aku tentu harus berani. Aku mengalami kesialan dalam hidupku karena selama ini aku bukanlah orang yang berani. Aku selalu memendam perasaanku dari orang lain. Dan aku tidak mau kisah burukku terulan
"Leo, ada yang cari kamu tuh di lobby.""Ah, ya. Siapa?""Aku tidak kenal. Mungkin kamu kenal.""Oke, terima kasih, ya."Leo meninggalkan meja kerjanya dan kemudian langsung pergi ke lobby. Dia terhenyak melihat siapa yang datang. Pria itu adalah pria yang bersama Astrid di kafe. Itu artinya dia adalah kekasihnya Astrid.Melihat kedatangan Leo, Dion yang sejak 20 menit lalu menunggu kedatangan Leo langsung berdiri dan menyalami suami dari kekasihnya itu. "Maaf jika saya menganggu," kata Leo ramah.Meskipun hatinya sakit luar biasa, Leo berusaha untuk tersenyum. "Tidak juga. Kebetulan sebentar lagi waktu istirahat. Mari silahkan duduk." Leo menunjuk sofa yang ada di dekat mereka."Terima kasih." Dion mengambil duduk di sofa tersebut. Begitu pun dengan Leo. Mereka duduk berhadapan."Ada perlu apa kamu mencariku?" tanya Leo langsung. Tapi hatinya sudah menebak bahwa kedatangan Dion adalah ada sangkut pautnya dengan Astrid."Ini mengenai Astrid.""Ada apa dengan dia? Apa kedatanganmu jug
PLAK!Moza sudah hilang kesabarannya karena barusan Arthur kembali mengecup bibirnya hanya karena salah paham. Dia menampar wajah Arthur kuat. Arthur terhenyak dengan apa yang sudah dilakukan Moza. Tapi belum sempat dia berbuat apa-apa, Moza sudah lebih dulu menguarkan kemarahannya."Sudah cukup, mas! Cukup! Cukup mas memperlakukan aku seperti ini! Mas memaksaku dan bertindak sesuka hati! Apa karena aku sudah memakai sebagian uang mas sehingga mas memperlakukan aku seperti ini?! Hah?! Oke! Jika aku sudah mempunyai uang aku akan membayarnya! Tapi buang mimpi mas untuk menikahiku!"Mata Arthur melebar. Dia tidak menyangka Moza akan berbicara seperti itu. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka dan Moza langsung berlari keluar lift menuju pantry. Arthur tidak bisa berbuat banyak. Pria itu pun terpaksa melangkah keluar lift. Dia ingin menyusul Moza, tetapi diurungkannya. Dia sendiri syok mendapat tamparan dari Moza. Tapi siapa sangka, begitu Arthur sampai di depan pintu ruangannya, dia
Mbok Wati menatap Arthur dengan tatapan sedih. Sudah berjam-jam lalu pria itu ada di balkon, menatap malam di sana sembari sesekali menoleh ke balkon kamar Moza. Mbok Wati sangat tahu baru kali ini seorang Arthur jatuh cinta pada seorang wanita. Arthur memang banyak digosipkan dengan wanita, tapi mereka tidak ada yang bisa membuat Arthur jatuh cinta seperti Moza. Mbok Wati mendekati Arthur. Dia menyentuh bahu tuannya itu lembut. "Tuan, makanannya sudah dingin. Lebih baik tuan makan dulu sekarang. Nanti sakit lho." Arthur menoleh. Dia mendapati wajah teduh Mbok Wati yang membuatnya damai. Meskipun kulit Mbok Wati sudah keriput dan seorang pembantu, Arthur senang berada di sampingnya. Bagi Arthur, Mbok Wati itu adalah neneknya. "Moza hilang, mbok," ucap Arthur dengan nada lirih. "Iya, mbok tau. Tapi tuan harus tetap sehat biar bisa mencari Moza. Jadi harus makan, ya?" "Aku tidak berselera makan, mbok. Aku takut dia kenapa-kenapa di luar sana." "InsyaAllah Moza bisa menjaga di