Leo menangis sejadi-jadinya. Dia melempar barang yang ingin dia lempar. Bantal, vas bunga, buku, pakaian, dan lainnya. Perasaannya benar-benar terluka dan hancur. "Aku bodoh! Aku memang bodoh! Aku melepaskan Moza yang baik dan tidak bersalah dan malah menikahi Astrid yang ternyata pengkhianat! Harusnya aku dari dulu bersyukur memiliki istri seperti Moza! Dia tidak pernah menuntut anak dengan pernikahannya padahal aku yang mandul! Jika saja aku mengetahui dari awal kalau aku yang mandul, tentu hal ini tidak akan terjadi! Aku tidak akan menikahi Astrid dan tidak melukai hati Moza! Aku memang bodoh! Bodoh!"Leo mengangkat sofa yang berukuran kecil dan kemudian membanting sofa tersebut ke lantai. Suara berdegum langsung terdengar ke lantai bawah. Bik Juli sampai gemetar ketakutan. Untuk menjaga dirinya tetap aman, Bik Juli yang sejak Astrid pergi masih berdiri di depan pintu, tetap berdiri di depan pintu. Dia ancang-ancang kalau Leo mengamuk dan turun. Jika itu yang terjadi, maka dia aka
"Kamu jangan bercanda, Leo?" Malik langsung menarik tangannya dari punggung Leo."Kenapa aku harus bercanda, Pa. Memang ini kenyataannya. Bayi yang sedang dikandung oleh Astrid bukan anakku melainkan anak dari pria lain. Aku memergoki Astrid bertemu dengan pria itu. Mereka seperti sepasang suami istri dan sangat romantis. Setelah aku tanya langsung kepada Astrid, dia jujur mengenai semuanya. Dia bilang anak di dalam kandungannya bukan anakku. Dia lalu pergi dan lebih memilih pria itu. Dia ingin kami bercerai.""Astaghfirullahadzim." Malik langsung lemas. Pria tua itu langsung menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dengan wajah sedih. Dia tidak menyangka nasib putranya akan seburuk ini.Sementara itu, Susan terdiam seribu bahasa dengan wajah yang menunduk. Wanita tua itu merasa sangat malu. Ya jelas saja. Karena perbuatannya nasib putranya jadi seperti ini. Andai saja dari awal dia tidak egois dan merendahkan Moza, hal ini mungkin tidak akan terjadi."Mama dengar itu? Mama dengar ba
"Kalau begitu aku tidak mau menikah denganmu, mas. Aku tidak mau. Tolong mas cari wanita lain saja. Wanita yang lebih baik dari pada aku." Entah darimana Moza mendapat keberanian untuk mengatakan itu. Yang pasti, itulah isi hatinya. Siapapun sebenarnya tidak bisa memaksa. Mendengar itu, Arthur terdiam untuk beberapa saat. Tapi setelah itu, rahangnya mengencang. Pesta pertunangan sudah di depan mata. Dan semua sudah dipesan. Baik gedung, undangan, catering, dan lain sebagainya.Selain itu, dia memang sangat menginginkan Moza. Sejak dia menyamar menjadi supir Leo, dia sudah jatuh cinta pada wanita itu. Dan tuhan memberinya kesempatan merebut Moza dari Leo karena Leo menikah lagi dengan Astrid."Berani sekali kamu mengatakan itu kepadaku?" tanya Arthur dengan nada dingin dan mengancam."Ya, aku tentu harus berani. Aku mengalami kesialan dalam hidupku karena selama ini aku bukanlah orang yang berani. Aku selalu memendam perasaanku dari orang lain. Dan aku tidak mau kisah burukku terulan
"Leo, ada yang cari kamu tuh di lobby.""Ah, ya. Siapa?""Aku tidak kenal. Mungkin kamu kenal.""Oke, terima kasih, ya."Leo meninggalkan meja kerjanya dan kemudian langsung pergi ke lobby. Dia terhenyak melihat siapa yang datang. Pria itu adalah pria yang bersama Astrid di kafe. Itu artinya dia adalah kekasihnya Astrid.Melihat kedatangan Leo, Dion yang sejak 20 menit lalu menunggu kedatangan Leo langsung berdiri dan menyalami suami dari kekasihnya itu. "Maaf jika saya menganggu," kata Leo ramah.Meskipun hatinya sakit luar biasa, Leo berusaha untuk tersenyum. "Tidak juga. Kebetulan sebentar lagi waktu istirahat. Mari silahkan duduk." Leo menunjuk sofa yang ada di dekat mereka."Terima kasih." Dion mengambil duduk di sofa tersebut. Begitu pun dengan Leo. Mereka duduk berhadapan."Ada perlu apa kamu mencariku?" tanya Leo langsung. Tapi hatinya sudah menebak bahwa kedatangan Dion adalah ada sangkut pautnya dengan Astrid."Ini mengenai Astrid.""Ada apa dengan dia? Apa kedatanganmu jug
PLAK!Moza sudah hilang kesabarannya karena barusan Arthur kembali mengecup bibirnya hanya karena salah paham. Dia menampar wajah Arthur kuat. Arthur terhenyak dengan apa yang sudah dilakukan Moza. Tapi belum sempat dia berbuat apa-apa, Moza sudah lebih dulu menguarkan kemarahannya."Sudah cukup, mas! Cukup! Cukup mas memperlakukan aku seperti ini! Mas memaksaku dan bertindak sesuka hati! Apa karena aku sudah memakai sebagian uang mas sehingga mas memperlakukan aku seperti ini?! Hah?! Oke! Jika aku sudah mempunyai uang aku akan membayarnya! Tapi buang mimpi mas untuk menikahiku!"Mata Arthur melebar. Dia tidak menyangka Moza akan berbicara seperti itu. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka dan Moza langsung berlari keluar lift menuju pantry. Arthur tidak bisa berbuat banyak. Pria itu pun terpaksa melangkah keluar lift. Dia ingin menyusul Moza, tetapi diurungkannya. Dia sendiri syok mendapat tamparan dari Moza. Tapi siapa sangka, begitu Arthur sampai di depan pintu ruangannya, dia
Mbok Wati menatap Arthur dengan tatapan sedih. Sudah berjam-jam lalu pria itu ada di balkon, menatap malam di sana sembari sesekali menoleh ke balkon kamar Moza. Mbok Wati sangat tahu baru kali ini seorang Arthur jatuh cinta pada seorang wanita. Arthur memang banyak digosipkan dengan wanita, tapi mereka tidak ada yang bisa membuat Arthur jatuh cinta seperti Moza. Mbok Wati mendekati Arthur. Dia menyentuh bahu tuannya itu lembut. "Tuan, makanannya sudah dingin. Lebih baik tuan makan dulu sekarang. Nanti sakit lho." Arthur menoleh. Dia mendapati wajah teduh Mbok Wati yang membuatnya damai. Meskipun kulit Mbok Wati sudah keriput dan seorang pembantu, Arthur senang berada di sampingnya. Bagi Arthur, Mbok Wati itu adalah neneknya. "Moza hilang, mbok," ucap Arthur dengan nada lirih. "Iya, mbok tau. Tapi tuan harus tetap sehat biar bisa mencari Moza. Jadi harus makan, ya?" "Aku tidak berselera makan, mbok. Aku takut dia kenapa-kenapa di luar sana." "InsyaAllah Moza bisa menjaga di
"Bagaimana kak? Apa masalahnya sudah selesai?" tanya Moza dengan nafas turun naik karena untuk mencapai ruangan yang saat ini ada di hadapannya, dia berlari. Di sana, dia melihat rekan-rekannya satu team katering Rosa, sedang duduk dengan wajah cemas."Belum Moza. Malah tambah runyam. Kamu tau kenapa? Para tamu undangan menuntut. Karena mereka takut ada belatung yang masuk ke dalam perut mereka yang tidak mereka sadari karena warna belatung dan bumbu rendang rendang hampir sama. Kamu tau, tadi para tamu undangan pada muntah semua. Kalau tidak mendapat pertolongan, Tante Rosa dalam bahaya. Tidak mungkin dia membayar ganti rugi seribu orang. Selain itu, kateringnya bakal terancam bangkrut. Mungkin bisa jadi Tante Rosa akan dipenjara karena dituduh melakukan kejahatan memasukan belatung ke makanan dengan sengaja."Moza menelan salivanya. Rasa panik dan cemas yang sudah dia rasakan sejak berangkat langsung meningkat berlipat-lipat ganda. Dia sangat takut apa yang dikatakan oleh Susi terja
Begitu sampai di lobby hotel, Moza dipersilahkan masuk oleh Roby dari pintu kiri. Sedangkan Arthur masuk dari pintu kanan. Ketika Arthur masuk, Moza langsung memepetkan duduk ke dinding kiri mobil. Masa lalu telah mengajarkannya untuk menjaga jarak dengan Arthur. Arthur itu berbahaya. Suka menyerobot seenaknya.Melihat Moza begitu memepet ke dinding mobil, Arthur tersenyum penuh arti. Untuk saat ini dia biarkan Moza bersikap seolah anti Pati dengan dirinya. Tapi tunggu beberapa jam lagi. Tak akan ada jarak yang dia biarkan. Arthur akan mengambil hak-nya langsung secara tunai tanpa kredit.Tak lama kemudian, lebih tepatnya tidak sampai satu jam, mobil Arthur tiba di sebuah kantor KUA. Tentu itu membuat Moza tercengang. Moza pun langsung menoleh pada Arthur."Ke-kenapa kita kesini?" tanya Moza pada Arthur dengan wajah panik dan takut."Lho, tentu saja untuk menikah. Bukankah kamu sudah menyetujuinya?""Se-secepat ini?"Arthur mendengus. "Pernikahan kita itu sudah tertunda lama sekali Mo
"Maksud kamu apa sih?" tanya Haris dengan tatapan penuh selidik. Arthur tersenyum geli. Dia merasa lucu dengan drama ini. Dia lalu mencondongkan wajahnya pada Haris. "Paman mau tau apa yang sebenarnya sudah terjadi?"Haris tidak bereaksi. "Oke, lihat apa yang aku lakukan ya?"Dengan angkuhnya, Arthur mendekati tempat pembaringan Rebeca. Dia lalu duduk di samping Rebeca dekat kepala wanita itu. Dia menatap wajah Rebeca yang tampak lesu tidak berdaya."Oma," Arthur mulai berbisik di dekat telinga Rebeca. Tapi suaranya bisa di dengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu. "Kenapa Oma tidak bangun saja? Memangnya Oma tidak pegal berpura-pura sakit?"Deg.Saat itu juga, jantung Rebeca berdegup kencang. Apa maksud dari ucapan Arthur? Mungkinkah pria itu sudah mengetahui kepura-puraannya?"Sudahlah, Oma. Aku sudah tau kok kalau Oma itu sehat walafiat. Dan sakit Oma ini hanyalah sandiwara saja agar aku mengikuti keinginan Oma untuk menikah dengan Isyana."Melihat itu, Haris geram.
Akhirnya setelah dipikirkan dan setelah meminta pendapat Amelia, Moza ikut pulang bersama Arthur meski hatinya masih berkecamuk. Tapi dia memberi penegasan kapada suaminya itu bahwa di rumah nanti, dia ingin berpisah kamar dulu seperti yang pernah dia lakukan sampai tiga hari sesuai dengan kesepakan mereka. Arthur setuju dan akan secepatnya menyelesaikan masalah ini tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Kamu tenang saja, ya. Masalah ini pasti akan selesai dengan baik. Aku butuh dukungan kamu untuk sabar dan jangan lagi melarikan diri. Kamu boleh marah padaku. Marah saja. Tapi jangan lagi melarikan diri. Aku sedang mencari jalan yang terbaik," ucap Athur sembari menggenggam tangan Moza. Moza mengangguk. "Iya, mas. Tapi waktu itu ketika aku marah dan tidak mau dikecup sama mas, mas balik marah sama aku dan langsung memaksaku."Glek.Arthur menelan salivanya. "Oh, kalau yang waktu itu sih aku sedang khilaf. Aku syok karena tiba-tiba kamu menolak.""Tapi tetap saja namanya mas tidak te
"Aku lelah hidup seperti ini, Mel. Mengapa masalahku selalu ada orang ketiga? Mas Arthur memang berkata bahwa dia tidak akan menduakan aku dan lebih memilih diriku daripada keluarganya. Akan tetapi aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku tidak mau dia berdosa mengabaikan keinginan almarhum kakek dan oma-nya. Gara-gara kehadiranku, oma-nya sampai sakit. Aku sepertinya jadi beban keluarganya."Amelia menghela nafas panjang. "Aku bingung mau memberi solusi apa, Moz. Aku merasa pendapat kalian berdua sama-sama benar. Kamu yang tidak nyaman di posisi ini lalu merasa lelah dan Mas Arthur yang lebih memilih kamu daripada keluarganya. Dia tidak mau dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia cinta.""Iya, bagaimana kalau oma-nya meninggal gara-gara ini? Aku merasa serba salah. Aku sudah capek dengan yang terjadi. Karena itu, aku merasa ingin menyerah saja. Aku tidak apa-apa kok hidup tanpa Mas Arthur.""Yakin kamu bisa hidup tanpa dia? Kamu itu sedang hamil anak dia. Jadi tentu saja kamu me
Di ruangannya Arthur tampak gelisah. Apa yang terjadi semalam membuatnya tidak lagi fokus dengan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan saat ini. Rasanya pikirannya yang ruwet ini tidak bisa di ajak untuk bekerja. Roby yang sejak tadi ada bersama Arthur, sejak tadi memperhatikan atasannya tersebut. Dia ikut prihatin dengan masalah pelik yang menimpa Arthur. Dia ingin membantu jika memang memiliki cara yang tepat. Tiba-tiba saja, dia berfikir tentang sesuatu. Ini memang bukan untuk menyelesaikan masalah. Tapi ini adalah sesuatu yang membuat masalah menjadi jelas dan Arthur bisa mengambil keputusan dengan baik."Tuan." Panggilan itu cukup mengejutkan Arthur. Pria itu langsung menoleh pada Roby. "Ya, ada apa?""Ada yang ingin saya sampaikan.""Sampaikanlah saja."Roby mendekati Arthur dan membisiki sesuatu. Arthur angguk-angguk. Dia tampak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Roby."Bagus itu. Aku setuju jika kamu mau melakukan itu. Aku akan mendukungnya. Kerjakan sekarang juga dan
"Kamu keterlaluan Ar! Bisa-bisanya kamu menolak keinginan terakhir Oma! Kamu debat keinginan oma dan kakek kamu sendiri hanya demi seorang wanita! Kami ini keluargamu! Harusnya kamu mendengarkan keinginan kami juga! Lihat, Yana kamu buat tersinggung! Dan sekarang Oma jadi tidak sadarkan diri gara-gara kamu! Puas kamu!"Kalimat penuh amarah Haris terus berdengung di telinganya. Dia tidak menyangka kalau gara-gara penolakannya, Rebeca akhirnya tidak sadarkan diri. Semua keluarga sekarang menyalahkan dirinya. Mereka menganggap bahwa dirinya terlalu keras karena mempertahankan pendapatnya untuk tidak menyakiti istrinya dengan menikah lagi tapi menganggap tak punya hati kepada oma-nya sendiri.Akhirnya karena perdebatan itu, Rebeca pingsan dan akhirnya tidak sadarkan diri."Tuan masih memikirkan kejadian di rumah sakit tadi?" tanya Roby yang sejak tadi memperhatikan Arthur dari kaca tengah mobil."Ya, tentu saja aku memikirkannya. Kamu tau bukan kalau aku tidak mungkin mengingkari janjiku
Arthur mengalihkan pandangan dari layar tipisnya ke Candra yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Setiap kali melihat orang-orang Rebeca, hatinya langsung merasa tidak enak. "Maaf tuan saya mengganggu," ucap Candra setelah mengangguk hormat. Arthur menatap tajam pada Candra. "Ada perlu apa kamu datang kemari? Apa kamu dapat perintah dari Oma untuk membujukku bertunangan dengan Isyana?""Tidak tuan. Saya tidak datang untuk itu.""Lalu?""Saya datang untuk memberi kabar yang kurang baik kepada anda."Kening Arthur mengerut. "Memangnya kabar apa?"Candra menunduk seolah sedih. "Nyonya...nyonya Rebeca drop. Dia sekarang terbaring di rumah sakit. Dia ingin bertemu dengan cucu-cucunya. Karena itu saya datang kesini tuan. Saya harap secepatnya anda mengunjungi Nyonya Rebeca. Karena walaupun anda tidak menyukainya, dia tetaplah nenek anda yang harus anda hargai dan hormati. Apalagi saat ini keadaan Nyonya sangat memprihatikan."Arthur terdiam. Selama ini setahunya Rebeca memang kerap drop.
Seperti biasa, Moza akan membersihkan dirinya sebelum tidur. Begitu pun dengan malam ini. Kebiasaan itu sudah dia terapkan sejak remaja. Moza tidak suka dengan make up tebal tapi membersihkan diri adalah kewajiban baginya.Setelah membersihkan diri dan menggosok gigi, Moza keluar dari dalam kamar mandi. Tak langsung naik ke atas tempay tidur, wanita itu melakukan perawatan wajah sebelum tidur yang rutin dia lakukan. Perawatannya simpen kok. Hanya meneteskan beberapa tetes serum ke kulit wajahnya. Sudah itu saja. Menurutnya, serum baik untuk menjaga kesehatan kulit wajah agar tetap sehat dan kenyal. Setelah perawatan wajahnya yang simpel itu selesai, Moza mematikan lampu kamar dan hanya membiarkan lampu tidur untuk tetap menyala. Tidur dalam keadaan gelap membuat tidur lebih nyenyak dan berkualitas. Paginya, biasanya tubuhnya akan terasa fit dan semangat pergi bekerja.Usai kamar agak gelap dan hanya remang-remang saja, Moza naik ke atas tempat tidur. Dia membaringkan tubuhnya di atas
Pagi ini Moza senang sekali karena bisa ke perusahaan lagi. Dia sengaja berangkat pagi dan tidak pamitan pada Arthur karena takut dilarang oleh suaminya itu. Jadi daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik dia pergi sendiri menggunakan taksi. Sehari Moza tidak bekerja saja, Aditya merasa ada yang kurang. Dia kehilangan orang yang bisa dia ganggu. Akhirnya, ketika melihat Moza berangkat, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bercengkrama dengan wanita itu. Dia bercerita mengenai masa kecilnya yang dikejar-kejar induk ayam lantaran mengganggu anak-anaknya. Karena merasa ceritanya sangata lucu, Moza pun tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua tidak sadar kalau Arthur sudah berdiri di dekat mereka."Ehem! Ehem!" Arthur berdehem kencang sekali. Jelas sekali itu adalah deheman yang dibuat-buat dan bukan karena batuk. Mereka berdua langsung menoleh dan terkesiap begitu tahu kalau Arthur telah berdiri di dekat mereka. Wajah pria itu tampak tidak senang.Tawa Moza dan
Mendengar Arthur menyetujui dirinya untuk pisah kamar, Moza langsung berdiri dan menyodorkan tangan kanannya pada Arthur. "Kalau begitu mana kuncinya?"Alis Arthur terangkat ke atas. "Semangat sekali sih untuk pisah kamar sama aku.""Aku mau cepat makan, mas. Aku lapar.""Lalu apa hubungannya makan dengan kunci kamar?""Aku tidak mau makan kalau mas belum beri kunci kamar tamu. Aku takut mas mengingkari janji mas untuk meminjamkan kamar kalau aku makan duluan."Arthur tersenyum. Pria itu langsung berdiri. "Kalau aku mengingkari janji aku, ya sudah. Tidur di kamar ini saja. Begitu saja kok repot.""Oh, oke. Kalau begitu aku tidak akan makan. Biar saja aku dan anakku sama-sama kelaparan."Arthur menipiskan bibir. Sepertinya bayi dalam perut dijadikan senjata bagi Moza untuk mengancamnya. Dasar."Ya, sudah. Aku ambil kunci dulu."Arthur beranjak dari duduknya dan langsung keluar kamar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah kunci. Kedatangan Arthur sudah ditunggu-tunggu ol