Mobil mewah itu memasuki halaman rumah yang luas. Dua orang security membukakan pintu mobil kanan dan kiri mobil. Athur langsung bergerak keluar sementara Moza terdiam di dalam mobil. Berat sekali kedua kakinya diajak melangkah keluar."Moza, apa yang kamu tunggu? Ayo keluar!" Arthur menyodorkan tangan kanannya pada Moza. Moza melihat tangan itu lalu bergerak."Aku bisa keluar sendiri." Moza pun bergerak keluar.Arthur menarik tangannya yang tidak diterima oleh Moza. Kecewa tapi tak mengapa. Dia tahu Moza belum bisa menerima takdirnya yang sudah sah menjadi istri seorang Arthur. Arthur pun menegapkan tubuhnya memberi jalan untuk Moza keluar mobil.Dengan hati yang masih tidak karuan, Moza bergerak keluar. Matanya langsung tertuju pada bangunan mewah dan megah di depannya. Dulu dia pernah tinggal di rumah ini. Tidak lama. Tapi cukup berkesan. Ya, kesan horor karena setiap hari dihantui rasa takut kalau Arthur nekat masuk ke dalam kamarnya.Begitu melihat Moza keluar dari dalam mobil, M
"Eee...sudah sih Tante. Tapi..." Moza bingung menjelaskannya pada Rosa. Haruskah dia bilang kalau dirinya sudah dinikahi oleh Arthur dan mungkin tidak bisa kembali ke rumah itu? Tapi bagaimana cara menjelaskannya?"Tapi apa, Moza? Kamu jangan membuat tante khawatir."Srek!Tiba-tiba Arthur mengambil ponsel Moza dari genggaman tangan istrinya itu. Kini ponsel itu dia dekatkan ke telinganya."Halo! Ini Arthur!""Heh? Tuan Arthur?" suara Rosa terdengar terkejut. "Maaf tuan. Maaf jika saya mengganggu waktu anda bersama Moza.""Tidak juga. Tapi aku ingin menjelaskan sesuatu pada anda.""Apa itu tuan?""Moza tidak akan kembali ke kos-annya.""Lho, kenapa tuan?""Mulai hari ini Moza akan tinggal di rumah saya.""A-apa? Tinggal di rumah anda? Apa ini bagian dari perjanjian karena menyelamatkan usaha katering saya.""Mungkin iya. Tapi dia tinggal di rumah saya sebagai istri bukan yang lain.""I-istri? Bagaimana bisa?""Kenapa tidak bisa? Sebenarnya kami sudah berencana menikah satu tahun yang
Klak!Jantung Moza terasa mencelot ketika dia mendengar suara pintu yang terbuka. Namun dia berusaha tetap tenang dan tidak melakukan pergerakan. Ya sebagaimana layaknya orang tidur saja. Maka dia berusaha terlihat seperti itu.Tap. Tap. Tap.Itu adalah suara sepatu Arthur. Memacu detak jantungnya sehingga semakin cepat. Lalu suara itu berganti dengan suara pelan-pelan orang yang sedang melepas apa yang dikenakan di tubuhnya.Deg. Deg. Deg.Semakin kesini, jantung Moza tambah tidak karuan ritmenya. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus bertahan untuk pura-pura tidur.Terdengar langkah mendekat. Moza sudah sangat tegang. Dia mengira Arthur akan mendekati tempat tidurnya. Ternyata tidak. Arthur hanya lewat dan membuka lemari pakaian. Moza membuka matanya sedikit dan melihat Arthur mengambil sebuah handuk. Rupanya pria itu akan mandi dulu sebelum tidur.Arthur hendak berbalik, Moza cepat-cepat menutup matanya kembali. Lalu terdengar pintu kamar mandi dibuka dan ditutup. Selanjutnya adalah s
Kurang lebih 30 menit kemudian."Istirahatlah dulu sebentar. Jika tenaga sudah pulih kita lanjutkan," ucap Arthur sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka yang polos. Pertarungan memang sudah berakhir dan dia sangat menikmatinya. Tapi entah kenapa dia masih belum juga merasa puas.Moza tersentak kaget. "Apa? Kita akan melakukannya lagi?"Arthur tersenyum tanpa dosa. "Tentu saja, sayang. Satu kali tidak cukup buat aku.""Jadi harus berapa kali?""Minimal empat kali lah.""Anda mau membuatku pingsan karena kelelahan?"Arthur memeluk Moza kian erat. "Aku bukan mau membuatmu pingsan karena kelelahan, tapi aku mau membuatmu pingsan karena nikmat. Aku menyukai semua yang ada pada dirimu, Moza. Aku mencintaimu. Jangan pernah tinggalkan aku ya."Moza tak menjawab. Kata-kata cinta dari seorang pria seperti Arthur apakah bisa dipercaya? Moza menghela nafas perlahan. Dia mencoba untuk berfikir positif, mencoba untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arthur. Cinta ya cinta. Dia s
Moza terbangun ketika mendengar suara mengaji dari speaker dari Masjid kompleks. Itu artinya sebentar lagi waktu subuh tiba. Tapi mata Moza sulit sekali untuk dibuka karena dia baru saja tidur satu jam yang lalu. Arthur memang gila. Bagaimana tidak, pria itu benar-benar melakukannya sampai beberapa kali. Seingatnya hampir satu jam sekali. Benar-benar suami yang berbahaya.Sesungguhnya Moza masih ingin tidur. Matanya masih sangat mengantuk. Tapi suara orang mengaji mengharuskannya bangun. Dia harus mandi dan kemudian melakukan kewajiban subuh. Dia tidak bisa meninggalkannya apalagi hanya dengan alasan mengantuk.Moza menoleh ke samping. Dia hampir tidak percaya kalau Arthur ternyata mempunyai wajah yang sangat tampan. Alis, mata, hidung, dan bibir semuanya tampak sempurna di mata Moza. "Mas Arthur memang tampan. Aku mengakui itu walaupun kelakuannya bikin panas hati," ucap Moza lirih. Dia lalu menggerakkan tangan kanannya ke pipi Arthur. Dia tepuk pipi Arthur pelan. "Mas! Mas! Bangun!
Arthur bercermin. Senyum. Penampilannya sudah tampak sempurna dengan setelan jas berwarna krem. Sebenarnya hari ini dia malas bekerja karena masih ingin tidur bersama Moza. Tapi ada rapat penting yang mengharuskannya tetap pergi ke perusahaan. Selain itu, dia juga sedang menyelesaikan masalah katering Rosa yang masih sedikit lagi.Arthur berbalik. Moza masih tertidur. Istrinya itu ternyata belum terbiasa digempur semalaman. Dia langsung tumbang dan tidak kuat bangun. Tak apa. Dia memang membiarkan Moza banyak tidur hari ini karena malam akan bertempur lagi.Arthur menaruh buku tabungan dan kartu ATM di nakas samping tempat tidur. Buku tabungan itu atas Moza karena isi tabungannya adalah uang 600 juta yang dia berikan pada Moza sebagai Mahar pernikahan. Setelahnya dia mengecup kening Moza. "Aku pergi kerja dulu ya, sayang."Moza hanya menggeliat sedikit tanpa membuka mata sama sekali. Moza benar-benar seperti orang pingsan. Arthur menegakkan tubuhnya. Setelah memakai sepatu, dia pun m
Sore hari rapat baru selesai. Arthur sedang bercengkrama dengan Leo ketika Putri membungkuk di hadapan mereka. Putri adalah karyawan paling cantik di perusahaan ini. "Selamat sore, tuan, pak. Saya pamit duluan.""Oh, iya," jawab Leo. Lalu dia mengikuti arah langkah kaki Putri menuju mobil yang ada di parkiran. Jendela depan mobil itu terbuka dan memperlihatkan manusia berjenis kelamin laki-laki di dalamnya. 'What? Dion?'Leo menyipitkan matanya lebih selidik. Dia tidak salah lihat. Pria di dalam mobil itu adalah Dion. Tapi bagaimana Dion bisa menjemput Putri? Dan mereka terlihat sangat akrab sekali. Arthur yang sejak tadi memperhatikan Leo, kemudian menyentuh bahu pria itu. "Ada apa?"Leo terhenyak. "Oh, eh, tidak tuan. Pria yang bersama Putri...""Itu pacarnya. Lebih tepatnya calon suaminya."Leo tersentak. "Bagaimana tuan tau itu?""Dari Aditya. Kamu tau bukan, tak ada informasi yang bebas dari telinga dia.""Tapi 'kan laki-laki yang bersama Putri itu adalah Dion."Kening Arthur
"Aku minta maaf, Moza. Aku benar-benar meminta maaf," ucap Arthur sembari memeluk Moza. "Minta maaf untuk apa, mas?" tanya Moza dengan kening yang mengerut."Karena telah membuat kamu kecewa." Arthur melepaskan pelukannya dan menatap Moza. "Katanya kamu tadi masak dan menungguku dari sore."Moza mengangguk. "Iya. Aku memang menunggu mas. Tapi sayang mas tidak pulang juga. Mas darimana sesudah dari perusahaan?""Aku mengurus masalah katering Rosa yang belum selesai. Kamu tau 'kan, undangannya waktu itu seribu orang. Jadi tidak mudah menyelesaikan masalah dengan orang seribu."Moza menghela nafas lega. "Oh, aku kira....""Aku dengan wanita lain?" Athur mengusap rambut Moza. "Aku tidak akan melakukan itu. Aku sudah berjanji kepadamu bukan kalau aku tidak akan pernah menyakitimu.""Ya, aku akan mencoba untuk percaya.""Jangan hanya mencoba. Kamu memang harus percaya."Moza mendorong tubuh Arthur lembut. "Mas sudah makan belum?""Sudah sayang. Tadi mas makan bareng Roby dan Aditya. Kamu b
"Maksud kamu apa sih?" tanya Haris dengan tatapan penuh selidik. Arthur tersenyum geli. Dia merasa lucu dengan drama ini. Dia lalu mencondongkan wajahnya pada Haris. "Paman mau tau apa yang sebenarnya sudah terjadi?"Haris tidak bereaksi. "Oke, lihat apa yang aku lakukan ya?"Dengan angkuhnya, Arthur mendekati tempat pembaringan Rebeca. Dia lalu duduk di samping Rebeca dekat kepala wanita itu. Dia menatap wajah Rebeca yang tampak lesu tidak berdaya."Oma," Arthur mulai berbisik di dekat telinga Rebeca. Tapi suaranya bisa di dengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu. "Kenapa Oma tidak bangun saja? Memangnya Oma tidak pegal berpura-pura sakit?"Deg.Saat itu juga, jantung Rebeca berdegup kencang. Apa maksud dari ucapan Arthur? Mungkinkah pria itu sudah mengetahui kepura-puraannya?"Sudahlah, Oma. Aku sudah tau kok kalau Oma itu sehat walafiat. Dan sakit Oma ini hanyalah sandiwara saja agar aku mengikuti keinginan Oma untuk menikah dengan Isyana."Melihat itu, Haris geram.
Akhirnya setelah dipikirkan dan setelah meminta pendapat Amelia, Moza ikut pulang bersama Arthur meski hatinya masih berkecamuk. Tapi dia memberi penegasan kapada suaminya itu bahwa di rumah nanti, dia ingin berpisah kamar dulu seperti yang pernah dia lakukan sampai tiga hari sesuai dengan kesepakan mereka. Arthur setuju dan akan secepatnya menyelesaikan masalah ini tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Kamu tenang saja, ya. Masalah ini pasti akan selesai dengan baik. Aku butuh dukungan kamu untuk sabar dan jangan lagi melarikan diri. Kamu boleh marah padaku. Marah saja. Tapi jangan lagi melarikan diri. Aku sedang mencari jalan yang terbaik," ucap Athur sembari menggenggam tangan Moza. Moza mengangguk. "Iya, mas. Tapi waktu itu ketika aku marah dan tidak mau dikecup sama mas, mas balik marah sama aku dan langsung memaksaku."Glek.Arthur menelan salivanya. "Oh, kalau yang waktu itu sih aku sedang khilaf. Aku syok karena tiba-tiba kamu menolak.""Tapi tetap saja namanya mas tidak te
"Aku lelah hidup seperti ini, Mel. Mengapa masalahku selalu ada orang ketiga? Mas Arthur memang berkata bahwa dia tidak akan menduakan aku dan lebih memilih diriku daripada keluarganya. Akan tetapi aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku tidak mau dia berdosa mengabaikan keinginan almarhum kakek dan oma-nya. Gara-gara kehadiranku, oma-nya sampai sakit. Aku sepertinya jadi beban keluarganya."Amelia menghela nafas panjang. "Aku bingung mau memberi solusi apa, Moz. Aku merasa pendapat kalian berdua sama-sama benar. Kamu yang tidak nyaman di posisi ini lalu merasa lelah dan Mas Arthur yang lebih memilih kamu daripada keluarganya. Dia tidak mau dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia cinta.""Iya, bagaimana kalau oma-nya meninggal gara-gara ini? Aku merasa serba salah. Aku sudah capek dengan yang terjadi. Karena itu, aku merasa ingin menyerah saja. Aku tidak apa-apa kok hidup tanpa Mas Arthur.""Yakin kamu bisa hidup tanpa dia? Kamu itu sedang hamil anak dia. Jadi tentu saja kamu me
Di ruangannya Arthur tampak gelisah. Apa yang terjadi semalam membuatnya tidak lagi fokus dengan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan saat ini. Rasanya pikirannya yang ruwet ini tidak bisa di ajak untuk bekerja. Roby yang sejak tadi ada bersama Arthur, sejak tadi memperhatikan atasannya tersebut. Dia ikut prihatin dengan masalah pelik yang menimpa Arthur. Dia ingin membantu jika memang memiliki cara yang tepat. Tiba-tiba saja, dia berfikir tentang sesuatu. Ini memang bukan untuk menyelesaikan masalah. Tapi ini adalah sesuatu yang membuat masalah menjadi jelas dan Arthur bisa mengambil keputusan dengan baik."Tuan." Panggilan itu cukup mengejutkan Arthur. Pria itu langsung menoleh pada Roby. "Ya, ada apa?""Ada yang ingin saya sampaikan.""Sampaikanlah saja."Roby mendekati Arthur dan membisiki sesuatu. Arthur angguk-angguk. Dia tampak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Roby."Bagus itu. Aku setuju jika kamu mau melakukan itu. Aku akan mendukungnya. Kerjakan sekarang juga dan
"Kamu keterlaluan Ar! Bisa-bisanya kamu menolak keinginan terakhir Oma! Kamu debat keinginan oma dan kakek kamu sendiri hanya demi seorang wanita! Kami ini keluargamu! Harusnya kamu mendengarkan keinginan kami juga! Lihat, Yana kamu buat tersinggung! Dan sekarang Oma jadi tidak sadarkan diri gara-gara kamu! Puas kamu!"Kalimat penuh amarah Haris terus berdengung di telinganya. Dia tidak menyangka kalau gara-gara penolakannya, Rebeca akhirnya tidak sadarkan diri. Semua keluarga sekarang menyalahkan dirinya. Mereka menganggap bahwa dirinya terlalu keras karena mempertahankan pendapatnya untuk tidak menyakiti istrinya dengan menikah lagi tapi menganggap tak punya hati kepada oma-nya sendiri.Akhirnya karena perdebatan itu, Rebeca pingsan dan akhirnya tidak sadarkan diri."Tuan masih memikirkan kejadian di rumah sakit tadi?" tanya Roby yang sejak tadi memperhatikan Arthur dari kaca tengah mobil."Ya, tentu saja aku memikirkannya. Kamu tau bukan kalau aku tidak mungkin mengingkari janjiku
Arthur mengalihkan pandangan dari layar tipisnya ke Candra yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Setiap kali melihat orang-orang Rebeca, hatinya langsung merasa tidak enak. "Maaf tuan saya mengganggu," ucap Candra setelah mengangguk hormat. Arthur menatap tajam pada Candra. "Ada perlu apa kamu datang kemari? Apa kamu dapat perintah dari Oma untuk membujukku bertunangan dengan Isyana?""Tidak tuan. Saya tidak datang untuk itu.""Lalu?""Saya datang untuk memberi kabar yang kurang baik kepada anda."Kening Arthur mengerut. "Memangnya kabar apa?"Candra menunduk seolah sedih. "Nyonya...nyonya Rebeca drop. Dia sekarang terbaring di rumah sakit. Dia ingin bertemu dengan cucu-cucunya. Karena itu saya datang kesini tuan. Saya harap secepatnya anda mengunjungi Nyonya Rebeca. Karena walaupun anda tidak menyukainya, dia tetaplah nenek anda yang harus anda hargai dan hormati. Apalagi saat ini keadaan Nyonya sangat memprihatikan."Arthur terdiam. Selama ini setahunya Rebeca memang kerap drop.
Seperti biasa, Moza akan membersihkan dirinya sebelum tidur. Begitu pun dengan malam ini. Kebiasaan itu sudah dia terapkan sejak remaja. Moza tidak suka dengan make up tebal tapi membersihkan diri adalah kewajiban baginya.Setelah membersihkan diri dan menggosok gigi, Moza keluar dari dalam kamar mandi. Tak langsung naik ke atas tempay tidur, wanita itu melakukan perawatan wajah sebelum tidur yang rutin dia lakukan. Perawatannya simpen kok. Hanya meneteskan beberapa tetes serum ke kulit wajahnya. Sudah itu saja. Menurutnya, serum baik untuk menjaga kesehatan kulit wajah agar tetap sehat dan kenyal. Setelah perawatan wajahnya yang simpel itu selesai, Moza mematikan lampu kamar dan hanya membiarkan lampu tidur untuk tetap menyala. Tidur dalam keadaan gelap membuat tidur lebih nyenyak dan berkualitas. Paginya, biasanya tubuhnya akan terasa fit dan semangat pergi bekerja.Usai kamar agak gelap dan hanya remang-remang saja, Moza naik ke atas tempat tidur. Dia membaringkan tubuhnya di atas
Pagi ini Moza senang sekali karena bisa ke perusahaan lagi. Dia sengaja berangkat pagi dan tidak pamitan pada Arthur karena takut dilarang oleh suaminya itu. Jadi daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik dia pergi sendiri menggunakan taksi. Sehari Moza tidak bekerja saja, Aditya merasa ada yang kurang. Dia kehilangan orang yang bisa dia ganggu. Akhirnya, ketika melihat Moza berangkat, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bercengkrama dengan wanita itu. Dia bercerita mengenai masa kecilnya yang dikejar-kejar induk ayam lantaran mengganggu anak-anaknya. Karena merasa ceritanya sangata lucu, Moza pun tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua tidak sadar kalau Arthur sudah berdiri di dekat mereka."Ehem! Ehem!" Arthur berdehem kencang sekali. Jelas sekali itu adalah deheman yang dibuat-buat dan bukan karena batuk. Mereka berdua langsung menoleh dan terkesiap begitu tahu kalau Arthur telah berdiri di dekat mereka. Wajah pria itu tampak tidak senang.Tawa Moza dan
Mendengar Arthur menyetujui dirinya untuk pisah kamar, Moza langsung berdiri dan menyodorkan tangan kanannya pada Arthur. "Kalau begitu mana kuncinya?"Alis Arthur terangkat ke atas. "Semangat sekali sih untuk pisah kamar sama aku.""Aku mau cepat makan, mas. Aku lapar.""Lalu apa hubungannya makan dengan kunci kamar?""Aku tidak mau makan kalau mas belum beri kunci kamar tamu. Aku takut mas mengingkari janji mas untuk meminjamkan kamar kalau aku makan duluan."Arthur tersenyum. Pria itu langsung berdiri. "Kalau aku mengingkari janji aku, ya sudah. Tidur di kamar ini saja. Begitu saja kok repot.""Oh, oke. Kalau begitu aku tidak akan makan. Biar saja aku dan anakku sama-sama kelaparan."Arthur menipiskan bibir. Sepertinya bayi dalam perut dijadikan senjata bagi Moza untuk mengancamnya. Dasar."Ya, sudah. Aku ambil kunci dulu."Arthur beranjak dari duduknya dan langsung keluar kamar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah kunci. Kedatangan Arthur sudah ditunggu-tunggu ol