Moza terbangun ketika mendengar suara mengaji dari speaker dari Masjid kompleks. Itu artinya sebentar lagi waktu subuh tiba. Tapi mata Moza sulit sekali untuk dibuka karena dia baru saja tidur satu jam yang lalu. Arthur memang gila. Bagaimana tidak, pria itu benar-benar melakukannya sampai beberapa kali. Seingatnya hampir satu jam sekali. Benar-benar suami yang berbahaya.Sesungguhnya Moza masih ingin tidur. Matanya masih sangat mengantuk. Tapi suara orang mengaji mengharuskannya bangun. Dia harus mandi dan kemudian melakukan kewajiban subuh. Dia tidak bisa meninggalkannya apalagi hanya dengan alasan mengantuk.Moza menoleh ke samping. Dia hampir tidak percaya kalau Arthur ternyata mempunyai wajah yang sangat tampan. Alis, mata, hidung, dan bibir semuanya tampak sempurna di mata Moza. "Mas Arthur memang tampan. Aku mengakui itu walaupun kelakuannya bikin panas hati," ucap Moza lirih. Dia lalu menggerakkan tangan kanannya ke pipi Arthur. Dia tepuk pipi Arthur pelan. "Mas! Mas! Bangun!
Arthur bercermin. Senyum. Penampilannya sudah tampak sempurna dengan setelan jas berwarna krem. Sebenarnya hari ini dia malas bekerja karena masih ingin tidur bersama Moza. Tapi ada rapat penting yang mengharuskannya tetap pergi ke perusahaan. Selain itu, dia juga sedang menyelesaikan masalah katering Rosa yang masih sedikit lagi.Arthur berbalik. Moza masih tertidur. Istrinya itu ternyata belum terbiasa digempur semalaman. Dia langsung tumbang dan tidak kuat bangun. Tak apa. Dia memang membiarkan Moza banyak tidur hari ini karena malam akan bertempur lagi.Arthur menaruh buku tabungan dan kartu ATM di nakas samping tempat tidur. Buku tabungan itu atas Moza karena isi tabungannya adalah uang 600 juta yang dia berikan pada Moza sebagai Mahar pernikahan. Setelahnya dia mengecup kening Moza. "Aku pergi kerja dulu ya, sayang."Moza hanya menggeliat sedikit tanpa membuka mata sama sekali. Moza benar-benar seperti orang pingsan. Arthur menegakkan tubuhnya. Setelah memakai sepatu, dia pun m
Sore hari rapat baru selesai. Arthur sedang bercengkrama dengan Leo ketika Putri membungkuk di hadapan mereka. Putri adalah karyawan paling cantik di perusahaan ini. "Selamat sore, tuan, pak. Saya pamit duluan.""Oh, iya," jawab Leo. Lalu dia mengikuti arah langkah kaki Putri menuju mobil yang ada di parkiran. Jendela depan mobil itu terbuka dan memperlihatkan manusia berjenis kelamin laki-laki di dalamnya. 'What? Dion?'Leo menyipitkan matanya lebih selidik. Dia tidak salah lihat. Pria di dalam mobil itu adalah Dion. Tapi bagaimana Dion bisa menjemput Putri? Dan mereka terlihat sangat akrab sekali. Arthur yang sejak tadi memperhatikan Leo, kemudian menyentuh bahu pria itu. "Ada apa?"Leo terhenyak. "Oh, eh, tidak tuan. Pria yang bersama Putri...""Itu pacarnya. Lebih tepatnya calon suaminya."Leo tersentak. "Bagaimana tuan tau itu?""Dari Aditya. Kamu tau bukan, tak ada informasi yang bebas dari telinga dia.""Tapi 'kan laki-laki yang bersama Putri itu adalah Dion."Kening Arthur
"Aku minta maaf, Moza. Aku benar-benar meminta maaf," ucap Arthur sembari memeluk Moza. "Minta maaf untuk apa, mas?" tanya Moza dengan kening yang mengerut."Karena telah membuat kamu kecewa." Arthur melepaskan pelukannya dan menatap Moza. "Katanya kamu tadi masak dan menungguku dari sore."Moza mengangguk. "Iya. Aku memang menunggu mas. Tapi sayang mas tidak pulang juga. Mas darimana sesudah dari perusahaan?""Aku mengurus masalah katering Rosa yang belum selesai. Kamu tau 'kan, undangannya waktu itu seribu orang. Jadi tidak mudah menyelesaikan masalah dengan orang seribu."Moza menghela nafas lega. "Oh, aku kira....""Aku dengan wanita lain?" Athur mengusap rambut Moza. "Aku tidak akan melakukan itu. Aku sudah berjanji kepadamu bukan kalau aku tidak akan pernah menyakitimu.""Ya, aku akan mencoba untuk percaya.""Jangan hanya mencoba. Kamu memang harus percaya."Moza mendorong tubuh Arthur lembut. "Mas sudah makan belum?""Sudah sayang. Tadi mas makan bareng Roby dan Aditya. Kamu b
"SEGAMPANG ITU KAMU BICARA TENTANG HAL INI?!" teriak Astrid dengan emosi penuh. Dion sampai tersentak kaget melihat perangai Astrid yang tiba-tiba berubah."Astrid, kenapa kamu harus menjerit? Malu di dengar tetangga!"Astrid menatap Dion dengan rahang mengencang. Rasanya dia ingin mencekik leher suaminya itu saat ini. "Bagaimana aku tidak menjerit, Dion? Kamu telah menyakiti hati aku!""Mengapa kamu tidak mau mengerti? Aku tidak bermaksud untuk menyakiti hati kamu! Aku itu mencari solusi untuk masalah rumah tangga kita! Jadi tidak ada yang salah di sini!"Astrid menyeringai. "Tidak ada yang salah kamu bilang?! Jadi dengan keputusan kamu menduakan aku kamu anggap itu benar?!""Iya. Karena hanya itu satu-satunya solusi. Coba apa solusinya untuk rumah tangga kita ini jika tidak memakai cara seperti itu? Kalau kamu susah hamil, masih ada solusi lain yaitu bayi tabung. Tapi itu jika rahim kamu masih ada. Masalahnya rahim kamu sudah diangkat, As. Maka dari itu ini adalah satu-satunya solus
Astrid memandang ke seberang dengan pandangan marah. Kini dia sudah tahu dimana calon istri Dion yang baru bekerja. Ternyata satu tempat dengan mantan suaminya, Leo. Saat ini dia sedang melihat bagaimana romantisnya Leo melepas Putri masuk. Dion mengusap tangan putri penuh kelembutan lalu kemudian mengusap rambutnya wanita itu dengan penuh kasih. Astrid menggenggam kemudinya dengan kuat. Hatinya begitu panas. Bagaimana tidak, Dion memperlakukan Putri dengan penuh cinta. Dari melihat ini saja, Astrid sudah bisa membaca seperti apa perasaan Dion pada wanita itu. Dion menyayangi Putri sama besarnya dengan Dion menyayangi dirinya. Selama ini Dion memang memperlakukannya dengan sangat baik. Dan sekarang sikap yang sama juga ditunjukkan Dion pada Putri. Jadi ini bukan hanya soal anak tapi soal perasaan juga.Astrid memperhatikan semuanya. Sampai akhirnya mobil Dion bergerak meninggalkan tempat itu. Setelahnya, dia mengarahkan setir masuk ke dalam halaman perusahaan. Astrid bergerak sangat
"Secepat ini mas move on dari aku, mas? Hanya setahunan?" tanya Astrid sembari menatap lekat wajah Leo.Leo menepak-nepak jasnya yang tadi digunakan Astrid untuk bersandar. "Memangnya berapa lama aku harus terus mengingatmu, As? Sakit rasanya hatiku akibat dari perbuatanmu. Kamu adalah salah satu orang yang membuat aku kehilangan Moza.""Jadi sebenarnya mas merasa lebih berat kehilangan Moza daripada aku?""Awalnya aku memang lebih mencintai kamu. Tapi begitu aku tau bahwa kamu itu wanita seperti apa, perasaan cinta itu sudah hilang. Kini tak ada sedikit pun rasa untukmu lagi, Astrid."Astrid terdiam dengan pandangan yang melayu. Sakit hati karena suami berniat menduakannya, dan sekarang dia juga merasakan sakit karena mantan juga sudah melupakan dirinya. "Sudahlah. Tidak perlu membahas masa lalu. Yang lalu biarkan saja berlalu. Aku pun sudah mengikhlaskannya. Lebih baik kamu lebih fokus dengan hidupmu ke depannya.""Tapi masa depanku juga sudah hancur, mas. Dion... berniat untuk men
"Kenapa mas mengatakan hal tabu itu di depan orang mas? Mas 'kan tahu kalau Mas Leo itu duda," tanya Moza lirih ketika mereka sedang berada di dalam lift.Arthur tersenyum, lalu berbalik. Kini posisinya ada di depan Moza dengan tangan kanan dan kiri berada di samping wajah Moza. "Tidak ada yang salah dengan yang telah aku ucapkan. Praktek membuat anak memang hal yang akan dilakukan oleh semua pasangan suami istri, sayang.""Aku tau itu mas. Tapi jangan dikatakan depan mereka. Kasihan Mas Leo yang seorang duda."Arthur memiringkan wajahnya. Dia menatap Moza penuh selidik. "Kamu sepertinya sangat perhatian sama Leo. Kamu masih menyimpan rasa kepadanya?"Mata Moza melebar mendengar tanya itu. Arthur sudah salah sangka. "Oh, eh, tidak mas. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kita menjaga perasaan orang-orang yang saat ini tidak punya pasangan. Apalagi orang itu Mas Leo. Aku dan dia pernah melakukan hub---" Moza menyetop ucapannya yang dirasa sudah kebablasan."Melakukan apa?" tanya Arthur
"Maksud kamu apa sih?" tanya Haris dengan tatapan penuh selidik. Arthur tersenyum geli. Dia merasa lucu dengan drama ini. Dia lalu mencondongkan wajahnya pada Haris. "Paman mau tau apa yang sebenarnya sudah terjadi?"Haris tidak bereaksi. "Oke, lihat apa yang aku lakukan ya?"Dengan angkuhnya, Arthur mendekati tempat pembaringan Rebeca. Dia lalu duduk di samping Rebeca dekat kepala wanita itu. Dia menatap wajah Rebeca yang tampak lesu tidak berdaya."Oma," Arthur mulai berbisik di dekat telinga Rebeca. Tapi suaranya bisa di dengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu. "Kenapa Oma tidak bangun saja? Memangnya Oma tidak pegal berpura-pura sakit?"Deg.Saat itu juga, jantung Rebeca berdegup kencang. Apa maksud dari ucapan Arthur? Mungkinkah pria itu sudah mengetahui kepura-puraannya?"Sudahlah, Oma. Aku sudah tau kok kalau Oma itu sehat walafiat. Dan sakit Oma ini hanyalah sandiwara saja agar aku mengikuti keinginan Oma untuk menikah dengan Isyana."Melihat itu, Haris geram.
Akhirnya setelah dipikirkan dan setelah meminta pendapat Amelia, Moza ikut pulang bersama Arthur meski hatinya masih berkecamuk. Tapi dia memberi penegasan kapada suaminya itu bahwa di rumah nanti, dia ingin berpisah kamar dulu seperti yang pernah dia lakukan sampai tiga hari sesuai dengan kesepakan mereka. Arthur setuju dan akan secepatnya menyelesaikan masalah ini tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Kamu tenang saja, ya. Masalah ini pasti akan selesai dengan baik. Aku butuh dukungan kamu untuk sabar dan jangan lagi melarikan diri. Kamu boleh marah padaku. Marah saja. Tapi jangan lagi melarikan diri. Aku sedang mencari jalan yang terbaik," ucap Athur sembari menggenggam tangan Moza. Moza mengangguk. "Iya, mas. Tapi waktu itu ketika aku marah dan tidak mau dikecup sama mas, mas balik marah sama aku dan langsung memaksaku."Glek.Arthur menelan salivanya. "Oh, kalau yang waktu itu sih aku sedang khilaf. Aku syok karena tiba-tiba kamu menolak.""Tapi tetap saja namanya mas tidak te
"Aku lelah hidup seperti ini, Mel. Mengapa masalahku selalu ada orang ketiga? Mas Arthur memang berkata bahwa dia tidak akan menduakan aku dan lebih memilih diriku daripada keluarganya. Akan tetapi aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku tidak mau dia berdosa mengabaikan keinginan almarhum kakek dan oma-nya. Gara-gara kehadiranku, oma-nya sampai sakit. Aku sepertinya jadi beban keluarganya."Amelia menghela nafas panjang. "Aku bingung mau memberi solusi apa, Moz. Aku merasa pendapat kalian berdua sama-sama benar. Kamu yang tidak nyaman di posisi ini lalu merasa lelah dan Mas Arthur yang lebih memilih kamu daripada keluarganya. Dia tidak mau dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia cinta.""Iya, bagaimana kalau oma-nya meninggal gara-gara ini? Aku merasa serba salah. Aku sudah capek dengan yang terjadi. Karena itu, aku merasa ingin menyerah saja. Aku tidak apa-apa kok hidup tanpa Mas Arthur.""Yakin kamu bisa hidup tanpa dia? Kamu itu sedang hamil anak dia. Jadi tentu saja kamu me
Di ruangannya Arthur tampak gelisah. Apa yang terjadi semalam membuatnya tidak lagi fokus dengan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan saat ini. Rasanya pikirannya yang ruwet ini tidak bisa di ajak untuk bekerja. Roby yang sejak tadi ada bersama Arthur, sejak tadi memperhatikan atasannya tersebut. Dia ikut prihatin dengan masalah pelik yang menimpa Arthur. Dia ingin membantu jika memang memiliki cara yang tepat. Tiba-tiba saja, dia berfikir tentang sesuatu. Ini memang bukan untuk menyelesaikan masalah. Tapi ini adalah sesuatu yang membuat masalah menjadi jelas dan Arthur bisa mengambil keputusan dengan baik."Tuan." Panggilan itu cukup mengejutkan Arthur. Pria itu langsung menoleh pada Roby. "Ya, ada apa?""Ada yang ingin saya sampaikan.""Sampaikanlah saja."Roby mendekati Arthur dan membisiki sesuatu. Arthur angguk-angguk. Dia tampak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Roby."Bagus itu. Aku setuju jika kamu mau melakukan itu. Aku akan mendukungnya. Kerjakan sekarang juga dan
"Kamu keterlaluan Ar! Bisa-bisanya kamu menolak keinginan terakhir Oma! Kamu debat keinginan oma dan kakek kamu sendiri hanya demi seorang wanita! Kami ini keluargamu! Harusnya kamu mendengarkan keinginan kami juga! Lihat, Yana kamu buat tersinggung! Dan sekarang Oma jadi tidak sadarkan diri gara-gara kamu! Puas kamu!"Kalimat penuh amarah Haris terus berdengung di telinganya. Dia tidak menyangka kalau gara-gara penolakannya, Rebeca akhirnya tidak sadarkan diri. Semua keluarga sekarang menyalahkan dirinya. Mereka menganggap bahwa dirinya terlalu keras karena mempertahankan pendapatnya untuk tidak menyakiti istrinya dengan menikah lagi tapi menganggap tak punya hati kepada oma-nya sendiri.Akhirnya karena perdebatan itu, Rebeca pingsan dan akhirnya tidak sadarkan diri."Tuan masih memikirkan kejadian di rumah sakit tadi?" tanya Roby yang sejak tadi memperhatikan Arthur dari kaca tengah mobil."Ya, tentu saja aku memikirkannya. Kamu tau bukan kalau aku tidak mungkin mengingkari janjiku
Arthur mengalihkan pandangan dari layar tipisnya ke Candra yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Setiap kali melihat orang-orang Rebeca, hatinya langsung merasa tidak enak. "Maaf tuan saya mengganggu," ucap Candra setelah mengangguk hormat. Arthur menatap tajam pada Candra. "Ada perlu apa kamu datang kemari? Apa kamu dapat perintah dari Oma untuk membujukku bertunangan dengan Isyana?""Tidak tuan. Saya tidak datang untuk itu.""Lalu?""Saya datang untuk memberi kabar yang kurang baik kepada anda."Kening Arthur mengerut. "Memangnya kabar apa?"Candra menunduk seolah sedih. "Nyonya...nyonya Rebeca drop. Dia sekarang terbaring di rumah sakit. Dia ingin bertemu dengan cucu-cucunya. Karena itu saya datang kesini tuan. Saya harap secepatnya anda mengunjungi Nyonya Rebeca. Karena walaupun anda tidak menyukainya, dia tetaplah nenek anda yang harus anda hargai dan hormati. Apalagi saat ini keadaan Nyonya sangat memprihatikan."Arthur terdiam. Selama ini setahunya Rebeca memang kerap drop.
Seperti biasa, Moza akan membersihkan dirinya sebelum tidur. Begitu pun dengan malam ini. Kebiasaan itu sudah dia terapkan sejak remaja. Moza tidak suka dengan make up tebal tapi membersihkan diri adalah kewajiban baginya.Setelah membersihkan diri dan menggosok gigi, Moza keluar dari dalam kamar mandi. Tak langsung naik ke atas tempay tidur, wanita itu melakukan perawatan wajah sebelum tidur yang rutin dia lakukan. Perawatannya simpen kok. Hanya meneteskan beberapa tetes serum ke kulit wajahnya. Sudah itu saja. Menurutnya, serum baik untuk menjaga kesehatan kulit wajah agar tetap sehat dan kenyal. Setelah perawatan wajahnya yang simpel itu selesai, Moza mematikan lampu kamar dan hanya membiarkan lampu tidur untuk tetap menyala. Tidur dalam keadaan gelap membuat tidur lebih nyenyak dan berkualitas. Paginya, biasanya tubuhnya akan terasa fit dan semangat pergi bekerja.Usai kamar agak gelap dan hanya remang-remang saja, Moza naik ke atas tempat tidur. Dia membaringkan tubuhnya di atas
Pagi ini Moza senang sekali karena bisa ke perusahaan lagi. Dia sengaja berangkat pagi dan tidak pamitan pada Arthur karena takut dilarang oleh suaminya itu. Jadi daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik dia pergi sendiri menggunakan taksi. Sehari Moza tidak bekerja saja, Aditya merasa ada yang kurang. Dia kehilangan orang yang bisa dia ganggu. Akhirnya, ketika melihat Moza berangkat, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bercengkrama dengan wanita itu. Dia bercerita mengenai masa kecilnya yang dikejar-kejar induk ayam lantaran mengganggu anak-anaknya. Karena merasa ceritanya sangata lucu, Moza pun tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua tidak sadar kalau Arthur sudah berdiri di dekat mereka."Ehem! Ehem!" Arthur berdehem kencang sekali. Jelas sekali itu adalah deheman yang dibuat-buat dan bukan karena batuk. Mereka berdua langsung menoleh dan terkesiap begitu tahu kalau Arthur telah berdiri di dekat mereka. Wajah pria itu tampak tidak senang.Tawa Moza dan
Mendengar Arthur menyetujui dirinya untuk pisah kamar, Moza langsung berdiri dan menyodorkan tangan kanannya pada Arthur. "Kalau begitu mana kuncinya?"Alis Arthur terangkat ke atas. "Semangat sekali sih untuk pisah kamar sama aku.""Aku mau cepat makan, mas. Aku lapar.""Lalu apa hubungannya makan dengan kunci kamar?""Aku tidak mau makan kalau mas belum beri kunci kamar tamu. Aku takut mas mengingkari janji mas untuk meminjamkan kamar kalau aku makan duluan."Arthur tersenyum. Pria itu langsung berdiri. "Kalau aku mengingkari janji aku, ya sudah. Tidur di kamar ini saja. Begitu saja kok repot.""Oh, oke. Kalau begitu aku tidak akan makan. Biar saja aku dan anakku sama-sama kelaparan."Arthur menipiskan bibir. Sepertinya bayi dalam perut dijadikan senjata bagi Moza untuk mengancamnya. Dasar."Ya, sudah. Aku ambil kunci dulu."Arthur beranjak dari duduknya dan langsung keluar kamar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah kunci. Kedatangan Arthur sudah ditunggu-tunggu ol