"SEGAMPANG ITU KAMU BICARA TENTANG HAL INI?!" teriak Astrid dengan emosi penuh. Dion sampai tersentak kaget melihat perangai Astrid yang tiba-tiba berubah."Astrid, kenapa kamu harus menjerit? Malu di dengar tetangga!"Astrid menatap Dion dengan rahang mengencang. Rasanya dia ingin mencekik leher suaminya itu saat ini. "Bagaimana aku tidak menjerit, Dion? Kamu telah menyakiti hati aku!""Mengapa kamu tidak mau mengerti? Aku tidak bermaksud untuk menyakiti hati kamu! Aku itu mencari solusi untuk masalah rumah tangga kita! Jadi tidak ada yang salah di sini!"Astrid menyeringai. "Tidak ada yang salah kamu bilang?! Jadi dengan keputusan kamu menduakan aku kamu anggap itu benar?!""Iya. Karena hanya itu satu-satunya solusi. Coba apa solusinya untuk rumah tangga kita ini jika tidak memakai cara seperti itu? Kalau kamu susah hamil, masih ada solusi lain yaitu bayi tabung. Tapi itu jika rahim kamu masih ada. Masalahnya rahim kamu sudah diangkat, As. Maka dari itu ini adalah satu-satunya solus
Astrid memandang ke seberang dengan pandangan marah. Kini dia sudah tahu dimana calon istri Dion yang baru bekerja. Ternyata satu tempat dengan mantan suaminya, Leo. Saat ini dia sedang melihat bagaimana romantisnya Leo melepas Putri masuk. Dion mengusap tangan putri penuh kelembutan lalu kemudian mengusap rambutnya wanita itu dengan penuh kasih. Astrid menggenggam kemudinya dengan kuat. Hatinya begitu panas. Bagaimana tidak, Dion memperlakukan Putri dengan penuh cinta. Dari melihat ini saja, Astrid sudah bisa membaca seperti apa perasaan Dion pada wanita itu. Dion menyayangi Putri sama besarnya dengan Dion menyayangi dirinya. Selama ini Dion memang memperlakukannya dengan sangat baik. Dan sekarang sikap yang sama juga ditunjukkan Dion pada Putri. Jadi ini bukan hanya soal anak tapi soal perasaan juga.Astrid memperhatikan semuanya. Sampai akhirnya mobil Dion bergerak meninggalkan tempat itu. Setelahnya, dia mengarahkan setir masuk ke dalam halaman perusahaan. Astrid bergerak sangat
"Secepat ini mas move on dari aku, mas? Hanya setahunan?" tanya Astrid sembari menatap lekat wajah Leo.Leo menepak-nepak jasnya yang tadi digunakan Astrid untuk bersandar. "Memangnya berapa lama aku harus terus mengingatmu, As? Sakit rasanya hatiku akibat dari perbuatanmu. Kamu adalah salah satu orang yang membuat aku kehilangan Moza.""Jadi sebenarnya mas merasa lebih berat kehilangan Moza daripada aku?""Awalnya aku memang lebih mencintai kamu. Tapi begitu aku tau bahwa kamu itu wanita seperti apa, perasaan cinta itu sudah hilang. Kini tak ada sedikit pun rasa untukmu lagi, Astrid."Astrid terdiam dengan pandangan yang melayu. Sakit hati karena suami berniat menduakannya, dan sekarang dia juga merasakan sakit karena mantan juga sudah melupakan dirinya. "Sudahlah. Tidak perlu membahas masa lalu. Yang lalu biarkan saja berlalu. Aku pun sudah mengikhlaskannya. Lebih baik kamu lebih fokus dengan hidupmu ke depannya.""Tapi masa depanku juga sudah hancur, mas. Dion... berniat untuk men
"Kenapa mas mengatakan hal tabu itu di depan orang mas? Mas 'kan tahu kalau Mas Leo itu duda," tanya Moza lirih ketika mereka sedang berada di dalam lift.Arthur tersenyum, lalu berbalik. Kini posisinya ada di depan Moza dengan tangan kanan dan kiri berada di samping wajah Moza. "Tidak ada yang salah dengan yang telah aku ucapkan. Praktek membuat anak memang hal yang akan dilakukan oleh semua pasangan suami istri, sayang.""Aku tau itu mas. Tapi jangan dikatakan depan mereka. Kasihan Mas Leo yang seorang duda."Arthur memiringkan wajahnya. Dia menatap Moza penuh selidik. "Kamu sepertinya sangat perhatian sama Leo. Kamu masih menyimpan rasa kepadanya?"Mata Moza melebar mendengar tanya itu. Arthur sudah salah sangka. "Oh, eh, tidak mas. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kita menjaga perasaan orang-orang yang saat ini tidak punya pasangan. Apalagi orang itu Mas Leo. Aku dan dia pernah melakukan hub---" Moza menyetop ucapannya yang dirasa sudah kebablasan."Melakukan apa?" tanya Arthur
Arthur mengecup kening Moza yang berada di bawahnya sebelum akhirnya dia turun dari atas tubuh Moza. Sebenarnya dia masih ingin beristirahat setelah lelah bekerja keras membuat bayi, tapi dia mempunyai banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan."Sayang, kamu istirahat saja dulu. Aku mandi duluan ya," ucap Arthur lembut dan dengan tatapan penuh cinta.Moza mengangguk. "Iya, mas. Lagian kalau aku cepat bangun, takutnya punya mas cepat tumpah dan gagal jadi bayi."Arthur tersenyum. "Sepertinya itu tidak ada hubungannya deh. Tapi... tak apa. Kita coba." Athur mengusap perut bagian bawah Moza. "Spermaku, yang lincah ya di dalam. Terus masuk, seruduk, dan jadilah janin."Moza tersenyum geli. "Ada-ada saja mas ini. Masak sperma diajak bicara."Arthur mengalihkan pandang dari perut Moza ke wajah Moza. "Siapa tahu kalau kita ramah pada sperma, spermanya jadi semangat menembus sel telurmu, Moza.""Haha! Kita jadi seperti orang bodoh ya, mas."Arthur menatap Moza lekat. Senang sekali melihat Moza
Astrid begitu panas hati mendengar jawaban Dion. Mengakui apa yang dilakukan salah dan meminta maaf tapi tetap bersikeras akan menikah lagi dengan Putri. Astrid sudah benar-benar putus asa.Apakah dia harus marah-marah lagi atau mengamuk?Tidak. Dia sudah lelah. Dia ingin menemukan cara yang lebih efektif dari sekedar amukan saja. Dia ingin Dion mengurungkan niatnya menikahi Putri dengan cara yang lembut.Astrid mengambil duduk di samping Dion. "Dion aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."Dion mengangguk. "Ya, katakan saja. Aku tidak pernah melarangmu untuk itu.""Aku... aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadamu.""Ya, silahkan."Astrid menatap Dion lekat. "Aku ingin kamu tau, Dion. Bahwa hatiku sakit luar biasa ketika kamu memutuskan untuk menikah lagi. Rasanya hati ini tercabik-cabik. Apakah sedikit pun kamu tidak peka dengan perasaanku itu?"Dion menghela nafas berat. Tangan kanannya menggenggam tangan Astrid, sedang tangan kirinya mengusap kepada istrinya tersebut. "Tentu saja
Sambil melangkah masuk ke dalam ruangan presiden direktur, Elisa melirik sinis pada Moza. Dia memang mengakui kalau Moza cantik. Tapi hijab yang menutupi kepala wanita itu amat sangat tidak pantas dengan kegenitannya. Elisa tidak setuju jika Arthur suka dengan wanita seperti Moza. Menurutnya, dirinya jauh lebih baik daripada Moza."Silahkan duduk!" Arthur mempersilahkan kedua tamunya duduk di sofa yang ada di ruangan itu dengan ramah."Baik, terima kasih," jawab Devgan sembari mengambil duduk di samping Elisa, menghadap Arthur yang duduk di depannya."Baik, sambil menunggu minuman yang sedang dibuatkan oleh sekretarisku, sekarang kita mulai diskusikan masalah bisnis yang anda rencanakan Mister Dev."Devgan tersenyum. "Baik kita mulai sekarang. Devgan lalu mengulurkan tangan ke arah Elisa. "Berikan Tuan Arthur berkas yang sudah kita siapkan, Nona El."Elisa mengangguk. "Baik tuan." Elisa menyodorkan berkas yang sudah dari awal dia persiapkan. "Ini! Silahkan Anda lihat-lihat dulu dan ba
Sesudah maghrib, Arthur bersiap-siap untuk berangkat ke hotel dimana Devgan dan Elisa menginap. Mereka bertiga sudah berjanji untuk bertemu sekitar pukul tujuh. Kali ini Arthur berpenampilan santai dengan baju kaos putih dan jaket berwarna coklat muda. Penampilannya itu, membuatnya tampak lebih muda.Arthur menoleh pada Moza yang sejak tadi memperhatikannya di tepi tempat tidur. Lalu dia mendekati istrinya tersebut dan duduk di sampingnya. "Sayang, kamu tidak apa-apa bukan aku tinggal?"Moza tersenyum. "Tidak apa-apa kok mas. Tapi pulangnya jangan terlalu malam, ya.""Kamu takut ya ditinggal sendirian?""Tidak juga. Aku hanya merasa sedikit khawatir saja.""Khawatir kenapa?"Moza menghela nafas berat. "Eee, entahlah. Tapi cara pandang Nona Elisa pada mas berbeda. Sepertinya dia menyukai mas."Arthur tersenyum. "Oh, itu. Dari dulu memang dia seperti itu. Tapi aku tidak pernah meladeninya secara serius. Aku menghormatinya karena dia adalah sekretaris dari Tuan Devgan. Itu saja.""Itu ar