Arthur terhenyak oleh tonjolan yang ada di lengannya. Begitu terasa. Tapi, sedikitpun dia tidak tergoda dengan Elisa. Saat ini hati dan hasratnya sudah tertuju pada Moza saja.Spontan, Arthur menoleh pada Elisa dan mendorong pelan lengan Elisa. "Maaf nona El, sofanya masih luas. Bisakah anda bergeser sedikit. Aku merasa sempit dan tidak nyaman. Elisa terhenyak. Dia tidak menyangka kalau Arthur akan mengatakan itu. Dulu, meskipun Arthur tidak mau lanjut ke atas tempat tidur, duduk berpepetan seperti ini bukanlah masalah. Tapi sekarang Arthur terlihat begitu risih."Oh, maaf kalau begitu."Elisa langsung menggeser duduknya dengan hati dongkol. 'Ada apa dengan Arthur? Mengapa dia jadi begitu anti pati?'Seketika suasana jadi canggung. Arthur seperti ingin angkat kaki dari tempat ini. Tapi ditahannya mengingat Devgan belum kembali. Tidak sopan jika meninggalkan tamu begitu saja.Kegagalan barusan, tidak menyurutkan niat Elisa untuk membuat seorang Arthur bertekuk lutut. Dia sudah merenca
Tak bisa menguasai emosi dalam dirinya, Elisa berdiri dari duduknya dan menghampiri Moza. Hal yang pertama kali dilakukannya adalah mengetuk meja Moza agar mengalihkan perhatian wanita itu dari layar tipisnya. Menyadari kehadiran Elisa di sampingnya, Moza langsung berdiri. "Ya, nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Moza sopan. Dia sebenarnya sudah mengetahui kejahatan Elisa semalam dari Arthur. Tapi dia tidak bisa menghakimi karena itu urusan Arthur dan Elisa. Bukan urusannya. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tau, berapa lama kamu sudah bekerja di perusahaan ini sebagai sekretaris?" "Kalau bekerjanya sudah agak lama non. Saya mulai bekerja di perusahaan ini sekitar satu setengah tahun yang lalu. Tapi waktu itu hanya sebagai office girl. Saya menjadi sekretarisnya baru tiga hari." Mata Elisa melebar tidak percaya. "Oh, jadi kamu dulu hanya seorang office girl?" Moza mengangguk. "Iya, nona. Betul. Saya dulu hanya office girl." "Jadi kamu hanya tamatan SMA dong ya?" "Bet
Elisa dan Devgan tampak salah tingkah setelah mengetahui kalau Moza adalah istri Arthur. Pantas saja Moza memanggil Arthur dengan panggilan Mas dan pantas saja cara pandang Arthur pada Moza begitu mesra. Semua itu karena ternyata Moza adalah istrinya. "S-saya minta maaf untuk hal ini," ucap Elisa dengan tubuh gemetaran. "Simpan dulu maafmu untuk nanti!" Arthur berbalik dan langsung merangkul Moza. "Sayang, ayo kita ke dokter."Moza menoleh. "Ke dokter? Untuk apa?""Tentu saja untuk mengobati lukamu ini, sayang. Apa kamu mau jadi jelek selamanya?"Moza menggeleng. "Tidak.""Kalau begitu menurut padaku, ya?"Moza mengangguk. "Iya."Arthur menoleh pada Roby. "Rob, gantikan dulu diriku. Sekarang aku mau bawa Moza ke dokter."Roby mengangguk. "Baik, tuan."Dengan penuh kasih, Arthur lalu menggandeng tangan Moza menuju lift. Begitu pintu lift tertutup, Arthur langsung mengukung Moza dengan kedua tangan berada di sisi wajah kanan dan kiri. Di tatapnya lebam di pipi Moza dan luka di sudut b
Elisa menundukkan wajahnya ke bawah. Devgan tampak marah besar dengan apa yang sudah dia lakukan pada Moza. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Moza itu adalah istrinya Arthur. Dia sampai sekarang bingung kenapa bisa istri presiden direktur adalah mantan office girl. Apa istimewanya seorang Moza? Yang membedakan wanita itu dari wanita yang lain hanyalah hijabnya. 'Apakah karena Moza berhijab Arthur menyukai Moza? Kalau tahu itu, dari dulu dia akan berhijab demi mendapatkan cinta Arthur,' batin Elisa."Aku sampai sekarang masih tidak mengerti kenapa pria seperti Tuan Arthur menyukai, Moza," gerutu Elisa.Kening Devgan mengerut. "Maksud kamu apa, El?""Ya... tuan lihat saja, secara fisik aku lebih baik daripada Moza. Aku lebih cantik dan tubuhku lebih baik. Sedangkan dia? Paling-paling ukuran tiga dua."Devgan naik pitam mendengar ucapan Elisa. Dia baru saja terkena masalah gara-gara sektetaris pribadinya itu menghina dan menampar Moza dan sekerang masih belum jera juga menghina. Dev
"Kabur! Kabur! Memang aku bisa kabur dari dia? Kabur ke ujung dunia pun bakal dicari olehnya sampai ketemu," Moza menggerutu. Hari ini hatinya dongkol. Sudah dapat hinaan dan tamparan dari Elisa, kini Arthur pun berniat menghukumnya nanti malam.Mendengar gerutuan Moza, Mbok Wati tersenyum geli sembari memencet sedikit krim di ujung jari telunjuknya. "Ya, sudah kalau begitu, Nona. Pasrah saja pada Tuan Arthur. Karena non 'kan tidak pernah bisa kabur dari dia. Dulu juga sudah kabur tapi ujung-ujungnya dapat juga. Malah langsung dinikahi. Nona tidak bisa melawan bukan?""Bagaimana mau melawan, mbok. Majikan mbok itu licik. Dia menggunakan cara licik untuk mendapatkan aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, mbok. Bahkan sampai sekarang.""Tapi nona sudah suka bukan sama tuan sekarang ini?"Bola mata Moza bergulir ke samping. "Hmm, sedikit.""Sedikit apa banyak?""Sedikit mbok!" ucap Moza tegas setengah kesal. Pembantu Arthur satu ini kadang-kadang sama menjengkelkannya seperti majikannya.
Urusan lampu taman sudah selesai. Besok Rudi akan membeli lampu baru yang bentuknya sama untuk mengganti yang rusak. Jika tidak ditemukan yang sama, terpaksa semua harus diganti agar sama. Aneh rasanya kalau berbeda-beda. Arthur menyukai sesuatu yang tertata rapi.Arthur melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 22.02. Ternyata tak terasa lama juga dia mengurus masalah lampu di taman itu. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah; apakah Moza belum tidur? Bukankah dia akan memberi 'hukuman' dalam tanda kutip pada istrinya tersebut?Ah, Arthur hanya ingin hubungan suami istri kali ini terasa berbeda saja. Dia tidak punya niat untuk menghukum Moza dalam artian sebenarnya.Klak!Arthur membuka pintu kamar. "Moza sayang, aku datang!"Tak ada jawaban. Bahkan Moza tidak terlihat di dalam kamar."Moza! Moza!" Arthur masuk lebih ke dalam sembari terus menyebutkan nama Moza. Tapi tak ada balasan. Moza tak terlihat di luasnya kamar Arthur yang megah. "Kamu dimana sih, Moza?" Arthur
Melihat makhluk cantik yang sedang tertidur dengan bertekuk lutut di dalam lemari, Arthur langsung terduduk lemas. Antara syok karena takut kehilangan dan senang karena senang karena sudah ditemukan bercampur aduk menjadi satu. Untuk sesaat Arthur bahkan tidak bisa berkata apa-apa."Ya Tuhan Moza, apa sih yang ada dalam pikiranmu hingga membuat orang gempar?" Arthur berbicara di depan wajah Moza yang tertidur. "Kamu mau aku mati karena serangan jantung? Aku yang hendak menghukummu tapi jadi kamu yang menghukumku. Aku hampir mati ketakutan karena kehilangan kamu."Tentu saja tidak ada jawaban. Moza masih tertidur cantik.Arthur menghela nafas panjang mencoba menetralkan jantung yang masih berdegup kencang. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum geli. Seumur-umur baru kali ini mengalami kejadian lucu seperti ini. Moza memang memberikan warna pada hidupnya yang sudah lama hampa."Apa kamu tidak capek tidur seperti ini selama berjam-jam? Heh?" Arthur menyentil hidung Moza yang mancung. Tapi
"Nona semalam bersembunyi di mana sampai tuan tidak tau?" tanya Aditya usil. Moza melirik Aditya. "Menurutmu di mana tempat di rumah yang tidak mudah ditemukan?"Bola mata Aditya bergerak ke atas. "Hm, di kolong tempat tidur?""Salah.""Kamar mandi.""Salah juga.""Ah, di lemari.""Yap. Betul.""Hah, jadi nona di dalam lemari sementara aku harus menyudahi mimpiku dengan gadis cantik hanya karena diperintah mencari nona?"Moza tersenyum geli. "Kenapa tidak cari istri saja daripada sebatas mimpi?""Belum dapat.""Padahal kamu lumayan."Aditya menyisir rambutnya dengan jari begitu mendengar ucapan Moza. "Lumayan ganteng ya?""Lumayan jelek maksudku. Hihi..."Aditya merengut. "Ternyata benar kata Tuan Arthur kalau nona mulai nakal."Moza hanya tersenyum menanggapi ucapan Aditya. Menurutnya wajar kalau dirinya mulai nakal karena suaminya juga nakal. Istri adalah cerminan suami bukan?Ting!Pintu lift terbuka. Dari baliknya Devgan muncul seorang diri. Tidak lagi bersama Elisa karena wanita