Elisa menundukkan wajahnya ke bawah. Devgan tampak marah besar dengan apa yang sudah dia lakukan pada Moza. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Moza itu adalah istrinya Arthur. Dia sampai sekarang bingung kenapa bisa istri presiden direktur adalah mantan office girl. Apa istimewanya seorang Moza? Yang membedakan wanita itu dari wanita yang lain hanyalah hijabnya. 'Apakah karena Moza berhijab Arthur menyukai Moza? Kalau tahu itu, dari dulu dia akan berhijab demi mendapatkan cinta Arthur,' batin Elisa."Aku sampai sekarang masih tidak mengerti kenapa pria seperti Tuan Arthur menyukai, Moza," gerutu Elisa.Kening Devgan mengerut. "Maksud kamu apa, El?""Ya... tuan lihat saja, secara fisik aku lebih baik daripada Moza. Aku lebih cantik dan tubuhku lebih baik. Sedangkan dia? Paling-paling ukuran tiga dua."Devgan naik pitam mendengar ucapan Elisa. Dia baru saja terkena masalah gara-gara sektetaris pribadinya itu menghina dan menampar Moza dan sekerang masih belum jera juga menghina. Dev
"Kabur! Kabur! Memang aku bisa kabur dari dia? Kabur ke ujung dunia pun bakal dicari olehnya sampai ketemu," Moza menggerutu. Hari ini hatinya dongkol. Sudah dapat hinaan dan tamparan dari Elisa, kini Arthur pun berniat menghukumnya nanti malam.Mendengar gerutuan Moza, Mbok Wati tersenyum geli sembari memencet sedikit krim di ujung jari telunjuknya. "Ya, sudah kalau begitu, Nona. Pasrah saja pada Tuan Arthur. Karena non 'kan tidak pernah bisa kabur dari dia. Dulu juga sudah kabur tapi ujung-ujungnya dapat juga. Malah langsung dinikahi. Nona tidak bisa melawan bukan?""Bagaimana mau melawan, mbok. Majikan mbok itu licik. Dia menggunakan cara licik untuk mendapatkan aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, mbok. Bahkan sampai sekarang.""Tapi nona sudah suka bukan sama tuan sekarang ini?"Bola mata Moza bergulir ke samping. "Hmm, sedikit.""Sedikit apa banyak?""Sedikit mbok!" ucap Moza tegas setengah kesal. Pembantu Arthur satu ini kadang-kadang sama menjengkelkannya seperti majikannya.
Urusan lampu taman sudah selesai. Besok Rudi akan membeli lampu baru yang bentuknya sama untuk mengganti yang rusak. Jika tidak ditemukan yang sama, terpaksa semua harus diganti agar sama. Aneh rasanya kalau berbeda-beda. Arthur menyukai sesuatu yang tertata rapi.Arthur melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 22.02. Ternyata tak terasa lama juga dia mengurus masalah lampu di taman itu. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah; apakah Moza belum tidur? Bukankah dia akan memberi 'hukuman' dalam tanda kutip pada istrinya tersebut?Ah, Arthur hanya ingin hubungan suami istri kali ini terasa berbeda saja. Dia tidak punya niat untuk menghukum Moza dalam artian sebenarnya.Klak!Arthur membuka pintu kamar. "Moza sayang, aku datang!"Tak ada jawaban. Bahkan Moza tidak terlihat di dalam kamar."Moza! Moza!" Arthur masuk lebih ke dalam sembari terus menyebutkan nama Moza. Tapi tak ada balasan. Moza tak terlihat di luasnya kamar Arthur yang megah. "Kamu dimana sih, Moza?" Arthur
Melihat makhluk cantik yang sedang tertidur dengan bertekuk lutut di dalam lemari, Arthur langsung terduduk lemas. Antara syok karena takut kehilangan dan senang karena senang karena sudah ditemukan bercampur aduk menjadi satu. Untuk sesaat Arthur bahkan tidak bisa berkata apa-apa."Ya Tuhan Moza, apa sih yang ada dalam pikiranmu hingga membuat orang gempar?" Arthur berbicara di depan wajah Moza yang tertidur. "Kamu mau aku mati karena serangan jantung? Aku yang hendak menghukummu tapi jadi kamu yang menghukumku. Aku hampir mati ketakutan karena kehilangan kamu."Tentu saja tidak ada jawaban. Moza masih tertidur cantik.Arthur menghela nafas panjang mencoba menetralkan jantung yang masih berdegup kencang. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum geli. Seumur-umur baru kali ini mengalami kejadian lucu seperti ini. Moza memang memberikan warna pada hidupnya yang sudah lama hampa."Apa kamu tidak capek tidur seperti ini selama berjam-jam? Heh?" Arthur menyentil hidung Moza yang mancung. Tapi
"Nona semalam bersembunyi di mana sampai tuan tidak tau?" tanya Aditya usil. Moza melirik Aditya. "Menurutmu di mana tempat di rumah yang tidak mudah ditemukan?"Bola mata Aditya bergerak ke atas. "Hm, di kolong tempat tidur?""Salah.""Kamar mandi.""Salah juga.""Ah, di lemari.""Yap. Betul.""Hah, jadi nona di dalam lemari sementara aku harus menyudahi mimpiku dengan gadis cantik hanya karena diperintah mencari nona?"Moza tersenyum geli. "Kenapa tidak cari istri saja daripada sebatas mimpi?""Belum dapat.""Padahal kamu lumayan."Aditya menyisir rambutnya dengan jari begitu mendengar ucapan Moza. "Lumayan ganteng ya?""Lumayan jelek maksudku. Hihi..."Aditya merengut. "Ternyata benar kata Tuan Arthur kalau nona mulai nakal."Moza hanya tersenyum menanggapi ucapan Aditya. Menurutnya wajar kalau dirinya mulai nakal karena suaminya juga nakal. Istri adalah cerminan suami bukan?Ting!Pintu lift terbuka. Dari baliknya Devgan muncul seorang diri. Tidak lagi bersama Elisa karena wanita
Moza membasuh mulutnya dengan air. Rasanya lumayan lega meskipun mualnya masih bersisa."Moza kamu kenapa?" Arthur hendak menuntun Moza tapi didorong oleh istrinya itu. "Ini gara-gara, Mas!" ucap Moza kesal.Kening Arthur mengerut. "Kok gara-gara aku, Moz?""Jelas gara-gara, mas! Tadi 'kan aku minta mas jangan pakai parfum mas karena baunya menyengat! Tapi mas tetap nekad pakai! Bau menyengat itu membuat perutku mual, mas." Moza lalu melangkah keluar kamar mandi dengan diikuti Arthur dari belakang."Tapi 'kan biasanya aku memang pakai parfum itu dan kamu tidak apa-apa, Moz.""Aku tidak tau. Tiba-tiba saja aku benci bau parfum mas itu."Moza membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur untuk menghilangkan mualnya. Arthur mengambil duduk di samping Moza, lalu menempelkan tangannya di kening istrinya tersebut. "Mungkin kamu masuk angin, Moz. Keningnya agak hangat.""Entahlah. Tapi masih terasa mual, mas.""Mas minta tolong Mbok Wati buatkan teh hangat saja ya. Siapa tau mualnya menghila
"Ananda Leonardo Wijaya bin Malik Wijaya saya nikahkan engkau dengan putri saya Astrid Kumala Sari bin Ismail Perdana dengan seperangkat perhiasan lengkap dibayar tunai!" "Saya terima nikahnya dan kawinnya Astrid Kumala Sari binti Ismail Perdana dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!" "Bagaimana saksi? Sah?" "Sah." "Sah." Lafadz hamdalah berkumandang ke seluruh ruang pesta yang kemudian di susul dengan doa barokah untuk kedua mempelai yang dipimpin oleh sang penghulu. Semua wajah yang ada di ruangan itu terlihat bahagia dan berseri-seri. Kecuali satu orang wanita berhijab yang duduk di belakang mempelai pria bersebelahan dengan Susan, ibu dari mempelai pria. Pasalnya, wanita itu adalah istri dari Leo sang mempelai pengantin pria. Moza, itulah namanya. Sungguh sakit hatinya menyaksikan pernikahan suaminya sendiri. Hatinya seperti tercabik-cabik hingga tak berbentuk lagi. Dia juga seperti ingin menjerit menguarkan rasa sakitnya. Tapi semua dia tahan sehingga yang keluar dari sep
Astrid mengurai pelukannya. Dia tersenyum manis pada Moza meski dalam hati merasa penuh kemenangan.'Malam ini kamu akan menangis, Moza. Karena Leo akan tidur denganku dan akan kubuat dia selalu tidur denganku. Dulu aku yang terluka dan sekarang kau yang akan terluka,' ucap hati Astrid.Moza pun membalas senyum Astrid dengan perasaan berkecamuk. Tapi dia ingin terlihat menerima kehadiran madunya itu dalam kehidupan pernikahannya.Setelah sungkem-sungkeman, acara langsung dilanjutkan dengan acara resepsi. Tamu undangan tidak begitu banyak, tapi juga tidak begitu sedikit. Sedang-sedang saja. Susan dan Malik hanya mengundang orang-orang yang sangat dikenalnya saja mengingat ini bukanlah pernikahan pertama Leo.Acara resepsi digelar sampai malam tiba dengan segala riuh rentaknya dan gelak tawa tamu undangan, memojokkan Moza yang duduk di meja VIP di ballroom Red Hotel itu sembari memandang sedih ke pelaminan. Dia berusaha untuk ikhlas dan menerima Moza sebagai madunya. Tapi kenapa hatinya