Melihat makhluk cantik yang sedang tertidur dengan bertekuk lutut di dalam lemari, Arthur langsung terduduk lemas. Antara syok karena takut kehilangan dan senang karena senang karena sudah ditemukan bercampur aduk menjadi satu. Untuk sesaat Arthur bahkan tidak bisa berkata apa-apa."Ya Tuhan Moza, apa sih yang ada dalam pikiranmu hingga membuat orang gempar?" Arthur berbicara di depan wajah Moza yang tertidur. "Kamu mau aku mati karena serangan jantung? Aku yang hendak menghukummu tapi jadi kamu yang menghukumku. Aku hampir mati ketakutan karena kehilangan kamu."Tentu saja tidak ada jawaban. Moza masih tertidur cantik.Arthur menghela nafas panjang mencoba menetralkan jantung yang masih berdegup kencang. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum geli. Seumur-umur baru kali ini mengalami kejadian lucu seperti ini. Moza memang memberikan warna pada hidupnya yang sudah lama hampa."Apa kamu tidak capek tidur seperti ini selama berjam-jam? Heh?" Arthur menyentil hidung Moza yang mancung. Tapi
"Nona semalam bersembunyi di mana sampai tuan tidak tau?" tanya Aditya usil. Moza melirik Aditya. "Menurutmu di mana tempat di rumah yang tidak mudah ditemukan?"Bola mata Aditya bergerak ke atas. "Hm, di kolong tempat tidur?""Salah.""Kamar mandi.""Salah juga.""Ah, di lemari.""Yap. Betul.""Hah, jadi nona di dalam lemari sementara aku harus menyudahi mimpiku dengan gadis cantik hanya karena diperintah mencari nona?"Moza tersenyum geli. "Kenapa tidak cari istri saja daripada sebatas mimpi?""Belum dapat.""Padahal kamu lumayan."Aditya menyisir rambutnya dengan jari begitu mendengar ucapan Moza. "Lumayan ganteng ya?""Lumayan jelek maksudku. Hihi..."Aditya merengut. "Ternyata benar kata Tuan Arthur kalau nona mulai nakal."Moza hanya tersenyum menanggapi ucapan Aditya. Menurutnya wajar kalau dirinya mulai nakal karena suaminya juga nakal. Istri adalah cerminan suami bukan?Ting!Pintu lift terbuka. Dari baliknya Devgan muncul seorang diri. Tidak lagi bersama Elisa karena wanita
Moza membasuh mulutnya dengan air. Rasanya lumayan lega meskipun mualnya masih bersisa."Moza kamu kenapa?" Arthur hendak menuntun Moza tapi didorong oleh istrinya itu. "Ini gara-gara, Mas!" ucap Moza kesal.Kening Arthur mengerut. "Kok gara-gara aku, Moz?""Jelas gara-gara, mas! Tadi 'kan aku minta mas jangan pakai parfum mas karena baunya menyengat! Tapi mas tetap nekad pakai! Bau menyengat itu membuat perutku mual, mas." Moza lalu melangkah keluar kamar mandi dengan diikuti Arthur dari belakang."Tapi 'kan biasanya aku memang pakai parfum itu dan kamu tidak apa-apa, Moz.""Aku tidak tau. Tiba-tiba saja aku benci bau parfum mas itu."Moza membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur untuk menghilangkan mualnya. Arthur mengambil duduk di samping Moza, lalu menempelkan tangannya di kening istrinya tersebut. "Mungkin kamu masuk angin, Moz. Keningnya agak hangat.""Entahlah. Tapi masih terasa mual, mas.""Mas minta tolong Mbok Wati buatkan teh hangat saja ya. Siapa tau mualnya menghila
"Ananda Leonardo Wijaya bin Malik Wijaya saya nikahkan engkau dengan putri saya Astrid Kumala Sari bin Ismail Perdana dengan seperangkat perhiasan lengkap dibayar tunai!" "Saya terima nikahnya dan kawinnya Astrid Kumala Sari binti Ismail Perdana dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!" "Bagaimana saksi? Sah?" "Sah." "Sah." Lafadz hamdalah berkumandang ke seluruh ruang pesta yang kemudian di susul dengan doa barokah untuk kedua mempelai yang dipimpin oleh sang penghulu. Semua wajah yang ada di ruangan itu terlihat bahagia dan berseri-seri. Kecuali satu orang wanita berhijab yang duduk di belakang mempelai pria bersebelahan dengan Susan, ibu dari mempelai pria. Pasalnya, wanita itu adalah istri dari Leo sang mempelai pengantin pria. Moza, itulah namanya. Sungguh sakit hatinya menyaksikan pernikahan suaminya sendiri. Hatinya seperti tercabik-cabik hingga tak berbentuk lagi. Dia juga seperti ingin menjerit menguarkan rasa sakitnya. Tapi semua dia tahan sehingga yang keluar dari sep
Astrid mengurai pelukannya. Dia tersenyum manis pada Moza meski dalam hati merasa penuh kemenangan.'Malam ini kamu akan menangis, Moza. Karena Leo akan tidur denganku dan akan kubuat dia selalu tidur denganku. Dulu aku yang terluka dan sekarang kau yang akan terluka,' ucap hati Astrid.Moza pun membalas senyum Astrid dengan perasaan berkecamuk. Tapi dia ingin terlihat menerima kehadiran madunya itu dalam kehidupan pernikahannya.Setelah sungkem-sungkeman, acara langsung dilanjutkan dengan acara resepsi. Tamu undangan tidak begitu banyak, tapi juga tidak begitu sedikit. Sedang-sedang saja. Susan dan Malik hanya mengundang orang-orang yang sangat dikenalnya saja mengingat ini bukanlah pernikahan pertama Leo.Acara resepsi digelar sampai malam tiba dengan segala riuh rentaknya dan gelak tawa tamu undangan, memojokkan Moza yang duduk di meja VIP di ballroom Red Hotel itu sembari memandang sedih ke pelaminan. Dia berusaha untuk ikhlas dan menerima Moza sebagai madunya. Tapi kenapa hatinya
Acara resepsi pernikahan Leo dan Astrid pun selesai. Para tamu undangan sudah meninggalkan ruangan pesta sejak beberapa menit yang lalu. Kini yang masih tinggal dalam ruangan itu adalah keluarga dekat Leo dan Astrid, tentunya juga dengan kedua mempelai.Sementara itu, Moza tampak bingung di kursi VIPnya. Bayu masih berada di sampingnya tanpa mau beranjak meninggalkan meja VIP sejak mendekati. Selama ini, Moza selalu tidur satu kamar dan satu tidur dengan Leo. Jadi dia merasa aneh jika harus pulang sendiri meninggalkan Leo di hotel ini bersama Astrid.Seperti membaca kebingungan Moza, Leo mendekati istri pertamanya itu dengan diikuti Astrid di samping. Astrid terus saja memeluk tangan Leo seolah tidak ingin melepaskannya. Itu sengaja dilakukannya terutama di depan Moza agar istri pertama Leo itu menjadi cemburu."Moza..." sapa Leo setelah berada di dekat Moza.Moza menoleh. "Ya mas.""Kamu pulang saja, ya.""Tapi bagaimana dengan mas?""Tentu saja aku tidak pulang. Malam ini 'kan malam
Bayu menghela nafas berat. Bagaimana dia harus menjelaskan tentang apa yang dikatakannya tadi. Sungguh, dia tidak bisa menahan diri. Sangat tidak bisa. Dia sudah geram dengan apa yang dilakukan Leo pada Moza. Dengan tenangnya, Leo memadu Moza. Leo tidak memikirkan bagaimana perasaan Moza."Maaf Nona. Saya tidak mengajari anda hal yang buruk. Saya hanya ingin anda mengenal diri anda sendiri. Anda itu memiliki sebongkah daging yang bernama hati. Jika hati itu merasa disakiti, maka anda tidak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidup anda. Begitu pun jika hati merasa senang. Maka hidup anda akan bahagia."Moza terdiam. Kata-kata yang diucapkan Bayu begitu mengena di hatinya. Dia membenarkan ucapan Bayu, tapi juga tidak bisa menelannya bulat-bulat. Hidup ini ada aturan dan tidak bisa selamanya mengikuti kata hati. Ada saat dimana perasaan kita adalah salah, lalu perceraian adalah salah satu halal yang dibenci oleh Allah. "Terima kasih untuk masukanmu, mas. Akan tetapi aku tidak ingin berc
Sementara itu di Red's Hotel, Leo membaringkan Astrid yang berada dalam gendongannya ke atas tempat tidur sebelum akhirnya tubuhnya sendiri berada di atas tubuh wanita itu dengan tangan sebagai penyangga. Leo menatap wajah cantik Astrid dengan penuh seksama. Tapi entah mengapa dia justru melihat wajah Moza. Leo mengedipkan matanya berkali-kali untuk menghilangkan bayangan Moza itu. 'Kenapa ini? Kenapa aku melihat wajah Moza?' batinnya tidak terima. Astrid yang melihat itu, menyipitkan matanya tajam. "Kenapa sayang? Apa ada yang salah dengan wajahku?" Leo menggeleng. "Tidak. Tidak ada yang salah dengan wajahmu. Akan tetapi aneh sekali. Aku melihat wajah Moza di wajah kamu." Astrid menipiskan bibir. Apa yang diucapkan Leo barusan jelas melukainya. Bagaimana bisa saat sedang bersamanya seperti ini, Leo malah melihat wajah Moza. Jangan-jangan Leo sudah mencintai Moza melebihi cinta Leo kepadanya. "Mungkin itu karena kamu belum terbiasa denganku, Leo. Bukankah selama bertahun-tahun k