Astrid begitu panas hati mendengar jawaban Dion. Mengakui apa yang dilakukan salah dan meminta maaf tapi tetap bersikeras akan menikah lagi dengan Putri. Astrid sudah benar-benar putus asa.Apakah dia harus marah-marah lagi atau mengamuk?Tidak. Dia sudah lelah. Dia ingin menemukan cara yang lebih efektif dari sekedar amukan saja. Dia ingin Dion mengurungkan niatnya menikahi Putri dengan cara yang lembut.Astrid mengambil duduk di samping Dion. "Dion aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."Dion mengangguk. "Ya, katakan saja. Aku tidak pernah melarangmu untuk itu.""Aku... aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadamu.""Ya, silahkan."Astrid menatap Dion lekat. "Aku ingin kamu tau, Dion. Bahwa hatiku sakit luar biasa ketika kamu memutuskan untuk menikah lagi. Rasanya hati ini tercabik-cabik. Apakah sedikit pun kamu tidak peka dengan perasaanku itu?"Dion menghela nafas berat. Tangan kanannya menggenggam tangan Astrid, sedang tangan kirinya mengusap kepada istrinya tersebut. "Tentu saja
Sambil melangkah masuk ke dalam ruangan presiden direktur, Elisa melirik sinis pada Moza. Dia memang mengakui kalau Moza cantik. Tapi hijab yang menutupi kepala wanita itu amat sangat tidak pantas dengan kegenitannya. Elisa tidak setuju jika Arthur suka dengan wanita seperti Moza. Menurutnya, dirinya jauh lebih baik daripada Moza."Silahkan duduk!" Arthur mempersilahkan kedua tamunya duduk di sofa yang ada di ruangan itu dengan ramah."Baik, terima kasih," jawab Devgan sembari mengambil duduk di samping Elisa, menghadap Arthur yang duduk di depannya."Baik, sambil menunggu minuman yang sedang dibuatkan oleh sekretarisku, sekarang kita mulai diskusikan masalah bisnis yang anda rencanakan Mister Dev."Devgan tersenyum. "Baik kita mulai sekarang. Devgan lalu mengulurkan tangan ke arah Elisa. "Berikan Tuan Arthur berkas yang sudah kita siapkan, Nona El."Elisa mengangguk. "Baik tuan." Elisa menyodorkan berkas yang sudah dari awal dia persiapkan. "Ini! Silahkan Anda lihat-lihat dulu dan ba
Sesudah maghrib, Arthur bersiap-siap untuk berangkat ke hotel dimana Devgan dan Elisa menginap. Mereka bertiga sudah berjanji untuk bertemu sekitar pukul tujuh. Kali ini Arthur berpenampilan santai dengan baju kaos putih dan jaket berwarna coklat muda. Penampilannya itu, membuatnya tampak lebih muda.Arthur menoleh pada Moza yang sejak tadi memperhatikannya di tepi tempat tidur. Lalu dia mendekati istrinya tersebut dan duduk di sampingnya. "Sayang, kamu tidak apa-apa bukan aku tinggal?"Moza tersenyum. "Tidak apa-apa kok mas. Tapi pulangnya jangan terlalu malam, ya.""Kamu takut ya ditinggal sendirian?""Tidak juga. Aku hanya merasa sedikit khawatir saja.""Khawatir kenapa?"Moza menghela nafas berat. "Eee, entahlah. Tapi cara pandang Nona Elisa pada mas berbeda. Sepertinya dia menyukai mas."Arthur tersenyum. "Oh, itu. Dari dulu memang dia seperti itu. Tapi aku tidak pernah meladeninya secara serius. Aku menghormatinya karena dia adalah sekretaris dari Tuan Devgan. Itu saja.""Itu ar
Arthur terhenyak oleh tonjolan yang ada di lengannya. Begitu terasa. Tapi, sedikitpun dia tidak tergoda dengan Elisa. Saat ini hati dan hasratnya sudah tertuju pada Moza saja.Spontan, Arthur menoleh pada Elisa dan mendorong pelan lengan Elisa. "Maaf nona El, sofanya masih luas. Bisakah anda bergeser sedikit. Aku merasa sempit dan tidak nyaman. Elisa terhenyak. Dia tidak menyangka kalau Arthur akan mengatakan itu. Dulu, meskipun Arthur tidak mau lanjut ke atas tempat tidur, duduk berpepetan seperti ini bukanlah masalah. Tapi sekarang Arthur terlihat begitu risih."Oh, maaf kalau begitu."Elisa langsung menggeser duduknya dengan hati dongkol. 'Ada apa dengan Arthur? Mengapa dia jadi begitu anti pati?'Seketika suasana jadi canggung. Arthur seperti ingin angkat kaki dari tempat ini. Tapi ditahannya mengingat Devgan belum kembali. Tidak sopan jika meninggalkan tamu begitu saja.Kegagalan barusan, tidak menyurutkan niat Elisa untuk membuat seorang Arthur bertekuk lutut. Dia sudah merenca
Tak bisa menguasai emosi dalam dirinya, Elisa berdiri dari duduknya dan menghampiri Moza. Hal yang pertama kali dilakukannya adalah mengetuk meja Moza agar mengalihkan perhatian wanita itu dari layar tipisnya. Menyadari kehadiran Elisa di sampingnya, Moza langsung berdiri. "Ya, nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Moza sopan. Dia sebenarnya sudah mengetahui kejahatan Elisa semalam dari Arthur. Tapi dia tidak bisa menghakimi karena itu urusan Arthur dan Elisa. Bukan urusannya. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tau, berapa lama kamu sudah bekerja di perusahaan ini sebagai sekretaris?" "Kalau bekerjanya sudah agak lama non. Saya mulai bekerja di perusahaan ini sekitar satu setengah tahun yang lalu. Tapi waktu itu hanya sebagai office girl. Saya menjadi sekretarisnya baru tiga hari." Mata Elisa melebar tidak percaya. "Oh, jadi kamu dulu hanya seorang office girl?" Moza mengangguk. "Iya, nona. Betul. Saya dulu hanya office girl." "Jadi kamu hanya tamatan SMA dong ya?" "Bet
Elisa dan Devgan tampak salah tingkah setelah mengetahui kalau Moza adalah istri Arthur. Pantas saja Moza memanggil Arthur dengan panggilan Mas dan pantas saja cara pandang Arthur pada Moza begitu mesra. Semua itu karena ternyata Moza adalah istrinya. "S-saya minta maaf untuk hal ini," ucap Elisa dengan tubuh gemetaran. "Simpan dulu maafmu untuk nanti!" Arthur berbalik dan langsung merangkul Moza. "Sayang, ayo kita ke dokter."Moza menoleh. "Ke dokter? Untuk apa?""Tentu saja untuk mengobati lukamu ini, sayang. Apa kamu mau jadi jelek selamanya?"Moza menggeleng. "Tidak.""Kalau begitu menurut padaku, ya?"Moza mengangguk. "Iya."Arthur menoleh pada Roby. "Rob, gantikan dulu diriku. Sekarang aku mau bawa Moza ke dokter."Roby mengangguk. "Baik, tuan."Dengan penuh kasih, Arthur lalu menggandeng tangan Moza menuju lift. Begitu pintu lift tertutup, Arthur langsung mengukung Moza dengan kedua tangan berada di sisi wajah kanan dan kiri. Di tatapnya lebam di pipi Moza dan luka di sudut b
Elisa menundukkan wajahnya ke bawah. Devgan tampak marah besar dengan apa yang sudah dia lakukan pada Moza. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Moza itu adalah istrinya Arthur. Dia sampai sekarang bingung kenapa bisa istri presiden direktur adalah mantan office girl. Apa istimewanya seorang Moza? Yang membedakan wanita itu dari wanita yang lain hanyalah hijabnya. 'Apakah karena Moza berhijab Arthur menyukai Moza? Kalau tahu itu, dari dulu dia akan berhijab demi mendapatkan cinta Arthur,' batin Elisa."Aku sampai sekarang masih tidak mengerti kenapa pria seperti Tuan Arthur menyukai, Moza," gerutu Elisa.Kening Devgan mengerut. "Maksud kamu apa, El?""Ya... tuan lihat saja, secara fisik aku lebih baik daripada Moza. Aku lebih cantik dan tubuhku lebih baik. Sedangkan dia? Paling-paling ukuran tiga dua."Devgan naik pitam mendengar ucapan Elisa. Dia baru saja terkena masalah gara-gara sektetaris pribadinya itu menghina dan menampar Moza dan sekerang masih belum jera juga menghina. Dev
"Kabur! Kabur! Memang aku bisa kabur dari dia? Kabur ke ujung dunia pun bakal dicari olehnya sampai ketemu," Moza menggerutu. Hari ini hatinya dongkol. Sudah dapat hinaan dan tamparan dari Elisa, kini Arthur pun berniat menghukumnya nanti malam.Mendengar gerutuan Moza, Mbok Wati tersenyum geli sembari memencet sedikit krim di ujung jari telunjuknya. "Ya, sudah kalau begitu, Nona. Pasrah saja pada Tuan Arthur. Karena non 'kan tidak pernah bisa kabur dari dia. Dulu juga sudah kabur tapi ujung-ujungnya dapat juga. Malah langsung dinikahi. Nona tidak bisa melawan bukan?""Bagaimana mau melawan, mbok. Majikan mbok itu licik. Dia menggunakan cara licik untuk mendapatkan aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, mbok. Bahkan sampai sekarang.""Tapi nona sudah suka bukan sama tuan sekarang ini?"Bola mata Moza bergulir ke samping. "Hmm, sedikit.""Sedikit apa banyak?""Sedikit mbok!" ucap Moza tegas setengah kesal. Pembantu Arthur satu ini kadang-kadang sama menjengkelkannya seperti majikannya.