"Secepat ini mas move on dari aku, mas? Hanya setahunan?" tanya Astrid sembari menatap lekat wajah Leo.Leo menepak-nepak jasnya yang tadi digunakan Astrid untuk bersandar. "Memangnya berapa lama aku harus terus mengingatmu, As? Sakit rasanya hatiku akibat dari perbuatanmu. Kamu adalah salah satu orang yang membuat aku kehilangan Moza.""Jadi sebenarnya mas merasa lebih berat kehilangan Moza daripada aku?""Awalnya aku memang lebih mencintai kamu. Tapi begitu aku tau bahwa kamu itu wanita seperti apa, perasaan cinta itu sudah hilang. Kini tak ada sedikit pun rasa untukmu lagi, Astrid."Astrid terdiam dengan pandangan yang melayu. Sakit hati karena suami berniat menduakannya, dan sekarang dia juga merasakan sakit karena mantan juga sudah melupakan dirinya. "Sudahlah. Tidak perlu membahas masa lalu. Yang lalu biarkan saja berlalu. Aku pun sudah mengikhlaskannya. Lebih baik kamu lebih fokus dengan hidupmu ke depannya.""Tapi masa depanku juga sudah hancur, mas. Dion... berniat untuk men
"Kenapa mas mengatakan hal tabu itu di depan orang mas? Mas 'kan tahu kalau Mas Leo itu duda," tanya Moza lirih ketika mereka sedang berada di dalam lift.Arthur tersenyum, lalu berbalik. Kini posisinya ada di depan Moza dengan tangan kanan dan kiri berada di samping wajah Moza. "Tidak ada yang salah dengan yang telah aku ucapkan. Praktek membuat anak memang hal yang akan dilakukan oleh semua pasangan suami istri, sayang.""Aku tau itu mas. Tapi jangan dikatakan depan mereka. Kasihan Mas Leo yang seorang duda."Arthur memiringkan wajahnya. Dia menatap Moza penuh selidik. "Kamu sepertinya sangat perhatian sama Leo. Kamu masih menyimpan rasa kepadanya?"Mata Moza melebar mendengar tanya itu. Arthur sudah salah sangka. "Oh, eh, tidak mas. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kita menjaga perasaan orang-orang yang saat ini tidak punya pasangan. Apalagi orang itu Mas Leo. Aku dan dia pernah melakukan hub---" Moza menyetop ucapannya yang dirasa sudah kebablasan."Melakukan apa?" tanya Arthur
Arthur mengecup kening Moza yang berada di bawahnya sebelum akhirnya dia turun dari atas tubuh Moza. Sebenarnya dia masih ingin beristirahat setelah lelah bekerja keras membuat bayi, tapi dia mempunyai banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan."Sayang, kamu istirahat saja dulu. Aku mandi duluan ya," ucap Arthur lembut dan dengan tatapan penuh cinta.Moza mengangguk. "Iya, mas. Lagian kalau aku cepat bangun, takutnya punya mas cepat tumpah dan gagal jadi bayi."Arthur tersenyum. "Sepertinya itu tidak ada hubungannya deh. Tapi... tak apa. Kita coba." Athur mengusap perut bagian bawah Moza. "Spermaku, yang lincah ya di dalam. Terus masuk, seruduk, dan jadilah janin."Moza tersenyum geli. "Ada-ada saja mas ini. Masak sperma diajak bicara."Arthur mengalihkan pandang dari perut Moza ke wajah Moza. "Siapa tahu kalau kita ramah pada sperma, spermanya jadi semangat menembus sel telurmu, Moza.""Haha! Kita jadi seperti orang bodoh ya, mas."Arthur menatap Moza lekat. Senang sekali melihat Moza
Astrid begitu panas hati mendengar jawaban Dion. Mengakui apa yang dilakukan salah dan meminta maaf tapi tetap bersikeras akan menikah lagi dengan Putri. Astrid sudah benar-benar putus asa.Apakah dia harus marah-marah lagi atau mengamuk?Tidak. Dia sudah lelah. Dia ingin menemukan cara yang lebih efektif dari sekedar amukan saja. Dia ingin Dion mengurungkan niatnya menikahi Putri dengan cara yang lembut.Astrid mengambil duduk di samping Dion. "Dion aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."Dion mengangguk. "Ya, katakan saja. Aku tidak pernah melarangmu untuk itu.""Aku... aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadamu.""Ya, silahkan."Astrid menatap Dion lekat. "Aku ingin kamu tau, Dion. Bahwa hatiku sakit luar biasa ketika kamu memutuskan untuk menikah lagi. Rasanya hati ini tercabik-cabik. Apakah sedikit pun kamu tidak peka dengan perasaanku itu?"Dion menghela nafas berat. Tangan kanannya menggenggam tangan Astrid, sedang tangan kirinya mengusap kepada istrinya tersebut. "Tentu saja
Sambil melangkah masuk ke dalam ruangan presiden direktur, Elisa melirik sinis pada Moza. Dia memang mengakui kalau Moza cantik. Tapi hijab yang menutupi kepala wanita itu amat sangat tidak pantas dengan kegenitannya. Elisa tidak setuju jika Arthur suka dengan wanita seperti Moza. Menurutnya, dirinya jauh lebih baik daripada Moza."Silahkan duduk!" Arthur mempersilahkan kedua tamunya duduk di sofa yang ada di ruangan itu dengan ramah."Baik, terima kasih," jawab Devgan sembari mengambil duduk di samping Elisa, menghadap Arthur yang duduk di depannya."Baik, sambil menunggu minuman yang sedang dibuatkan oleh sekretarisku, sekarang kita mulai diskusikan masalah bisnis yang anda rencanakan Mister Dev."Devgan tersenyum. "Baik kita mulai sekarang. Devgan lalu mengulurkan tangan ke arah Elisa. "Berikan Tuan Arthur berkas yang sudah kita siapkan, Nona El."Elisa mengangguk. "Baik tuan." Elisa menyodorkan berkas yang sudah dari awal dia persiapkan. "Ini! Silahkan Anda lihat-lihat dulu dan ba
Sesudah maghrib, Arthur bersiap-siap untuk berangkat ke hotel dimana Devgan dan Elisa menginap. Mereka bertiga sudah berjanji untuk bertemu sekitar pukul tujuh. Kali ini Arthur berpenampilan santai dengan baju kaos putih dan jaket berwarna coklat muda. Penampilannya itu, membuatnya tampak lebih muda.Arthur menoleh pada Moza yang sejak tadi memperhatikannya di tepi tempat tidur. Lalu dia mendekati istrinya tersebut dan duduk di sampingnya. "Sayang, kamu tidak apa-apa bukan aku tinggal?"Moza tersenyum. "Tidak apa-apa kok mas. Tapi pulangnya jangan terlalu malam, ya.""Kamu takut ya ditinggal sendirian?""Tidak juga. Aku hanya merasa sedikit khawatir saja.""Khawatir kenapa?"Moza menghela nafas berat. "Eee, entahlah. Tapi cara pandang Nona Elisa pada mas berbeda. Sepertinya dia menyukai mas."Arthur tersenyum. "Oh, itu. Dari dulu memang dia seperti itu. Tapi aku tidak pernah meladeninya secara serius. Aku menghormatinya karena dia adalah sekretaris dari Tuan Devgan. Itu saja.""Itu ar
Arthur terhenyak oleh tonjolan yang ada di lengannya. Begitu terasa. Tapi, sedikitpun dia tidak tergoda dengan Elisa. Saat ini hati dan hasratnya sudah tertuju pada Moza saja.Spontan, Arthur menoleh pada Elisa dan mendorong pelan lengan Elisa. "Maaf nona El, sofanya masih luas. Bisakah anda bergeser sedikit. Aku merasa sempit dan tidak nyaman. Elisa terhenyak. Dia tidak menyangka kalau Arthur akan mengatakan itu. Dulu, meskipun Arthur tidak mau lanjut ke atas tempat tidur, duduk berpepetan seperti ini bukanlah masalah. Tapi sekarang Arthur terlihat begitu risih."Oh, maaf kalau begitu."Elisa langsung menggeser duduknya dengan hati dongkol. 'Ada apa dengan Arthur? Mengapa dia jadi begitu anti pati?'Seketika suasana jadi canggung. Arthur seperti ingin angkat kaki dari tempat ini. Tapi ditahannya mengingat Devgan belum kembali. Tidak sopan jika meninggalkan tamu begitu saja.Kegagalan barusan, tidak menyurutkan niat Elisa untuk membuat seorang Arthur bertekuk lutut. Dia sudah merenca
Tak bisa menguasai emosi dalam dirinya, Elisa berdiri dari duduknya dan menghampiri Moza. Hal yang pertama kali dilakukannya adalah mengetuk meja Moza agar mengalihkan perhatian wanita itu dari layar tipisnya. Menyadari kehadiran Elisa di sampingnya, Moza langsung berdiri. "Ya, nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Moza sopan. Dia sebenarnya sudah mengetahui kejahatan Elisa semalam dari Arthur. Tapi dia tidak bisa menghakimi karena itu urusan Arthur dan Elisa. Bukan urusannya. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tau, berapa lama kamu sudah bekerja di perusahaan ini sebagai sekretaris?" "Kalau bekerjanya sudah agak lama non. Saya mulai bekerja di perusahaan ini sekitar satu setengah tahun yang lalu. Tapi waktu itu hanya sebagai office girl. Saya menjadi sekretarisnya baru tiga hari." Mata Elisa melebar tidak percaya. "Oh, jadi kamu dulu hanya seorang office girl?" Moza mengangguk. "Iya, nona. Betul. Saya dulu hanya office girl." "Jadi kamu hanya tamatan SMA dong ya?" "Bet