"Leo! Melamun saja kamu! Tidak tau apa kalau di luar sedang heboh?" Hendra tiba-tiba masuk. Bahkan tanpa ketuk pintu. Pria itu menemukan Leo sedang melamun sembari memainkan bolpoin. Mendengar suara cempreng Hendra, Leo langsung menoleh. "Kamu buat orang kaget saja."Hendra tersenyum. Lalu mengambil duduk di kursi depan Leo. "Ada baiknya kamu keluar dulu dari ruangan. Orang se-perusahaan pada heboh tau."Kening Leo mengerut. "Heboh? Heboh kenapa?""Heboh karena Bayu. Ah, salah bicara tidak sih, aku. Apa aku harus ikut-ikutan Roby memanggilnya tuan?"Kerutan di kening Leo kian rapat. "Kamu bicara apa, Hen? Memangnya kenapa dengan Bayu? Dia mencuri? Atau merusak barang?""Lebih dari itu hebohnya.""Jadi dia kenapa?""Kamu tau, banyak orang yang melihat Pak Roby mengangguk hormat pada Bayu. Bahkan Pak Roby memanggilnya tuan."Deg.Leo tersentak kaget. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Kamu jangan bercanda!""Kenapa aku harus bercanda? Ini serius. Nah, sampai sekarang
"Aku pulang dulu. Kamu hati-hati di rumah sendirian. Nanti sebelum tidur, aku telpon kamu."Moza memaksakan senyum. "Iya." Hanya itu yang dia katakan. Dia tidak mau terlibat obrolan panjang dengan Arthur. Dia ingin Arthur cepat meninggalkan rumahnya. Dia sudah stress menghadapi Arthur hari ini."Baiklah. Kalau begitu aku pulang ya sayang. Daaa."Moza melambaikan tangan. "Daaa."Mobil Arthur pun bergerak meninggalkan tempat kediaman Moza. Dan itu membuat Moza sangat lega. Setelah mengunci pintu rumah, Moza langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Otot-ototnya yang terasa kaku langsung mengendur. Tapi itu tidak mengendurkan stressnya menghadapi Arthur.Moza menatap plafon kamar. Kedua mata bening indahnya tampak sayu. Dia benar-benar sudah menghadapi hari yang buruk. Dan kemungkinan, besok-besok juga begitu. Tak kalah buruknya.Arthur memang kaya raya. Banyak wanita yang mengidamkan pria itu. Tapi saat ini, tak sedikitpun Moza berkeinginan untuk menikah secepat ini. Kegagal
"Baiklah kalau itu mau kamu." Arthur mengambil kertas-kertas berisi gambar rancangan Adi Gunawan dan memperhatikan gambar di tangannya satu persatu. Penuh seksama dia memperhatikan gambar-gambar itu. Dia ingin Moza terlihat cantik jelita di hari pertunangan mereka. Itu sebabnya dia tidak mau sembarangan memilihkan gaun untuk Moza."Bagaimana kalau yang ini?" tanya Arthur kepada Adi Gunawan sang desainer. Adi Gunawan langsung melongokkan kepala ke kertas yang disodorkan Arthur. Matanya langsung membulat. "Ya, it's good. Aku juga sudah menebak kalau anda akan memilih ini. Gaun ini sangat pas dengan Non Moza yang cantik jelita.""Kalau begitu aku ambil yang ini untuk calon istriku.""Baik tuan. Sekarang saatnya mengukur." Adi Gunawan berdiri dari duduknya. Dia lalu melambai lentik pada Moza. "Ayo nona! Berdiri! Kita ukur mengukur dulu!"Tak membantah, Moza pun berdiri. Adi Gunawan langsung mengambil meteran."Ayo, nona! Rentangkan tangannya sedikit. Aku mau mengukur lingkar dadah nona d
Leo kembali tertunduk mendengar jawaban dari Arthur. Dalam hati dia sangat berharap Arthur memaafkannya karena jika tidak hidupnya akan hancur. Perusahaan ini sangat berpengaruh sehingga staf yang dipecat dari perusahaan ini akan sulit diterima di perusahaan manapun. Image jeleknya akan tersebar kemana-mana dan di dengar oleh semua perusahaan. Itulah sebabnya mengapa orang yang diberhentikan secara tidak hormat dari perusahaan ini benar-benar bernasib buruk."Jika aku bisa mempertanggungjawabkannya, maka akan aku pertanggungjawabkan. Tapi tolong jangan pecat aku dari perusahaan ini tuan. Aku mohon tuan."Arthur terdiam. Dia mencoba merenungi sesuatu. Dia mengakui kalau Leo adalah pria yang cerdas. Itu sebabnya, Leo bisa menyembunyikan kecurangan dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, justru kecerdasan Leo itulah yang mengkhawatirkan perusahaan. Arthur bimbang. Namun dia adalah tipe orang yang tidak mau menunda pekerjaan apalagi menunda untuk mengambil sebuah keputusan. Menurutny
'As, kamu lagi apa? Anak kita baik-baik saja bukan?'Sebuah chat dari Dion mengusik Astrid yang sedang membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. 'Aku baik-baik saja. Tapi soal bayi yang sedang aku kandung, jangan pernah menganggapnya sebagai anak kamu, ya.''Bagaimana kamu bisa bilang begitu sementara anak itu memang anakku? Sebagai papanya, tentu aku menginginkan anak itu.''Aku tidak akan pernah menganggap kamu sebagai papanya.''Terserah kepadamu. Tapi aku akan tetap berusaha untuk mendapatkan anakku bagaimana pun caranya. Kalau perlu aku menemui Leo dan mengatakan kebenaran itu.'Mata Astrid melebar. 'Kamu jangan main-main dengan suamiku, Dion.''Kenapa tidak? Aku menginginkan anakku. Kebetulan aku sudah mendapatkan nomor ponsel Leo, jadi aku akan mengajaknya ketemuan dan mengatakan kebenaran ini.'Astrid menggeram. Dion benar-benar sulit untuk dihadapi. 'Mau kamu sebenarnya apa, Dion?''Akhirnya kamu menanyakan itu juga.''Ya, terus mau kamu apa?''Temui aku di apartemenku. K
"As! Astrid!" Dion membangunkan Astrid. Saat ini jam menunjukkan pukul 23. 05. "Ya," jawab Astrid dengan mata yang masih terpejam. "Bangunlah. Bukankah kamu harus pulang?""Tapi aku sangat mengantuk. Aku tidak mungkin bisa menyetir dengan baik jika dalam keadaan mengantuk begini. Jadi izinkan aku tidur di sini ya?""Aku sih tidak masalah. Tapi aku takut ini jadi masalah buat kamu. Bagaimana kalau Leo curiga?""Kamu 'kan tau Leo tidak ada. Dia tidur di rumah orangtuanya.""Iya, aku tahu kalau soal itu. Akan tetapi, di rumahmu ada pembantumu bukan? Dia bisa curiga.""Kalau soal pembantu itu gampang. Aku bisa mengatasinya. Jadi jangan ganggu aku tidur."Mendengar itu, Dion tersenyum. Tentu saja dia sangat suka jika Astrid memutuskan untuk tidur di sini. Dengan semangat, dia memeluk tubuh polos Astrid yang berada di bawah selimut. "Oke, terserah kamu saja. Kalau perlu kamu tidak kembali lagi ke rumah kamu. Aku senang kamu ada bersamaku." Dion memejamkan matanya kembali. ***Pagi-pagi
Orang-orang kantor menatap Leo dengan tatapan yang merendahkan. Mereka hampir tak percaya kalau Leo turun jabatan dari manager menjadi staf biasa. Mereka seperti diingatkan kalau pepatah roda pasti berputar itu benar adanya dan hukum karma itu memang berlaku."Begitu tuh kalau rakus. Makanya kalau jadi manusia itu harus banyak-banyak mensyukuri apa yang sudah didapatkannya. Kalau memang sudah menjadi manager, jadilah manager yang jujur dan kalau sudah punya istri yang baik, jangan menikah lagi. Sekarang istrinya mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada dirinya.""Itu betul. Makanya kamu kalau jadi laki-laki itu jangan banyak tingkah.""Banyak tingkah apa? Aku tidak ada niat untuk menambah istri lagi kok. Istri satu saja kebutuhan banyak yang belum terpenuhi apalagi istri dua atau tiga. Bisa tidak kebeli beras lagi aku.""Hahaha... iya juga. Tapi kalau tiba-tiba kamu diangkat menjadi manager, apa kamu tidak tertarik untuk menikah lagi?""Tidaklah. Belajar dari pengalaman Pak Leo,
Astrid berjalan sembari bergelayut manja pada lengan Leo. Saat ini dia sudah agak kesusahan untuk berjalan karena kandungannya sudah berusia 7 bulan. Leo sendiri tampak begitu perhatian pada Astrid. Dia berjalan dengan pelan-pelan menyeimbangi Astrid yang sudah tidak bisa melangkah dengan cepat.Di tangan Leo sudah ada dua paper bag. Semuanya berisi peralatan bayi. Tapi sampai sekarang mereka belum menemukan hadiah untuk Astrid sendiri. "Aku mau minta dibelikan tas ya mas sebagai hadiah ulang tahun." Leo tersenyum kecil. "Iya. Beli saja.""Aku boleh pilih sendiri 'kan?""Boleh kok.""Beli mana yang kamu mau ya."Astrid tersenyum lebar. "Makasih ya mas. Mas baik deh.""Apa sih yang tidak aku lakukan untuk kamu. Aku pasti akan lakukan."Keduanya lalu memasuki sebuah outlet tas bermerek. Begitu masuk ke dalam, Astrid langsung tertarik dengan sebuah tas berwarna coksu. Sederhana tapi elegan."Mas aku mau yang di etalase itu," tunjuk Astrid. Leo mengarah pandang pada yang ditunjuk Astri
"Maksud kamu apa sih?" tanya Haris dengan tatapan penuh selidik. Arthur tersenyum geli. Dia merasa lucu dengan drama ini. Dia lalu mencondongkan wajahnya pada Haris. "Paman mau tau apa yang sebenarnya sudah terjadi?"Haris tidak bereaksi. "Oke, lihat apa yang aku lakukan ya?"Dengan angkuhnya, Arthur mendekati tempat pembaringan Rebeca. Dia lalu duduk di samping Rebeca dekat kepala wanita itu. Dia menatap wajah Rebeca yang tampak lesu tidak berdaya."Oma," Arthur mulai berbisik di dekat telinga Rebeca. Tapi suaranya bisa di dengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu. "Kenapa Oma tidak bangun saja? Memangnya Oma tidak pegal berpura-pura sakit?"Deg.Saat itu juga, jantung Rebeca berdegup kencang. Apa maksud dari ucapan Arthur? Mungkinkah pria itu sudah mengetahui kepura-puraannya?"Sudahlah, Oma. Aku sudah tau kok kalau Oma itu sehat walafiat. Dan sakit Oma ini hanyalah sandiwara saja agar aku mengikuti keinginan Oma untuk menikah dengan Isyana."Melihat itu, Haris geram.
Akhirnya setelah dipikirkan dan setelah meminta pendapat Amelia, Moza ikut pulang bersama Arthur meski hatinya masih berkecamuk. Tapi dia memberi penegasan kapada suaminya itu bahwa di rumah nanti, dia ingin berpisah kamar dulu seperti yang pernah dia lakukan sampai tiga hari sesuai dengan kesepakan mereka. Arthur setuju dan akan secepatnya menyelesaikan masalah ini tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Kamu tenang saja, ya. Masalah ini pasti akan selesai dengan baik. Aku butuh dukungan kamu untuk sabar dan jangan lagi melarikan diri. Kamu boleh marah padaku. Marah saja. Tapi jangan lagi melarikan diri. Aku sedang mencari jalan yang terbaik," ucap Athur sembari menggenggam tangan Moza. Moza mengangguk. "Iya, mas. Tapi waktu itu ketika aku marah dan tidak mau dikecup sama mas, mas balik marah sama aku dan langsung memaksaku."Glek.Arthur menelan salivanya. "Oh, kalau yang waktu itu sih aku sedang khilaf. Aku syok karena tiba-tiba kamu menolak.""Tapi tetap saja namanya mas tidak te
"Aku lelah hidup seperti ini, Mel. Mengapa masalahku selalu ada orang ketiga? Mas Arthur memang berkata bahwa dia tidak akan menduakan aku dan lebih memilih diriku daripada keluarganya. Akan tetapi aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku tidak mau dia berdosa mengabaikan keinginan almarhum kakek dan oma-nya. Gara-gara kehadiranku, oma-nya sampai sakit. Aku sepertinya jadi beban keluarganya."Amelia menghela nafas panjang. "Aku bingung mau memberi solusi apa, Moz. Aku merasa pendapat kalian berdua sama-sama benar. Kamu yang tidak nyaman di posisi ini lalu merasa lelah dan Mas Arthur yang lebih memilih kamu daripada keluarganya. Dia tidak mau dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia cinta.""Iya, bagaimana kalau oma-nya meninggal gara-gara ini? Aku merasa serba salah. Aku sudah capek dengan yang terjadi. Karena itu, aku merasa ingin menyerah saja. Aku tidak apa-apa kok hidup tanpa Mas Arthur.""Yakin kamu bisa hidup tanpa dia? Kamu itu sedang hamil anak dia. Jadi tentu saja kamu me
Di ruangannya Arthur tampak gelisah. Apa yang terjadi semalam membuatnya tidak lagi fokus dengan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan saat ini. Rasanya pikirannya yang ruwet ini tidak bisa di ajak untuk bekerja. Roby yang sejak tadi ada bersama Arthur, sejak tadi memperhatikan atasannya tersebut. Dia ikut prihatin dengan masalah pelik yang menimpa Arthur. Dia ingin membantu jika memang memiliki cara yang tepat. Tiba-tiba saja, dia berfikir tentang sesuatu. Ini memang bukan untuk menyelesaikan masalah. Tapi ini adalah sesuatu yang membuat masalah menjadi jelas dan Arthur bisa mengambil keputusan dengan baik."Tuan." Panggilan itu cukup mengejutkan Arthur. Pria itu langsung menoleh pada Roby. "Ya, ada apa?""Ada yang ingin saya sampaikan.""Sampaikanlah saja."Roby mendekati Arthur dan membisiki sesuatu. Arthur angguk-angguk. Dia tampak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Roby."Bagus itu. Aku setuju jika kamu mau melakukan itu. Aku akan mendukungnya. Kerjakan sekarang juga dan
"Kamu keterlaluan Ar! Bisa-bisanya kamu menolak keinginan terakhir Oma! Kamu debat keinginan oma dan kakek kamu sendiri hanya demi seorang wanita! Kami ini keluargamu! Harusnya kamu mendengarkan keinginan kami juga! Lihat, Yana kamu buat tersinggung! Dan sekarang Oma jadi tidak sadarkan diri gara-gara kamu! Puas kamu!"Kalimat penuh amarah Haris terus berdengung di telinganya. Dia tidak menyangka kalau gara-gara penolakannya, Rebeca akhirnya tidak sadarkan diri. Semua keluarga sekarang menyalahkan dirinya. Mereka menganggap bahwa dirinya terlalu keras karena mempertahankan pendapatnya untuk tidak menyakiti istrinya dengan menikah lagi tapi menganggap tak punya hati kepada oma-nya sendiri.Akhirnya karena perdebatan itu, Rebeca pingsan dan akhirnya tidak sadarkan diri."Tuan masih memikirkan kejadian di rumah sakit tadi?" tanya Roby yang sejak tadi memperhatikan Arthur dari kaca tengah mobil."Ya, tentu saja aku memikirkannya. Kamu tau bukan kalau aku tidak mungkin mengingkari janjiku
Arthur mengalihkan pandangan dari layar tipisnya ke Candra yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Setiap kali melihat orang-orang Rebeca, hatinya langsung merasa tidak enak. "Maaf tuan saya mengganggu," ucap Candra setelah mengangguk hormat. Arthur menatap tajam pada Candra. "Ada perlu apa kamu datang kemari? Apa kamu dapat perintah dari Oma untuk membujukku bertunangan dengan Isyana?""Tidak tuan. Saya tidak datang untuk itu.""Lalu?""Saya datang untuk memberi kabar yang kurang baik kepada anda."Kening Arthur mengerut. "Memangnya kabar apa?"Candra menunduk seolah sedih. "Nyonya...nyonya Rebeca drop. Dia sekarang terbaring di rumah sakit. Dia ingin bertemu dengan cucu-cucunya. Karena itu saya datang kesini tuan. Saya harap secepatnya anda mengunjungi Nyonya Rebeca. Karena walaupun anda tidak menyukainya, dia tetaplah nenek anda yang harus anda hargai dan hormati. Apalagi saat ini keadaan Nyonya sangat memprihatikan."Arthur terdiam. Selama ini setahunya Rebeca memang kerap drop.
Seperti biasa, Moza akan membersihkan dirinya sebelum tidur. Begitu pun dengan malam ini. Kebiasaan itu sudah dia terapkan sejak remaja. Moza tidak suka dengan make up tebal tapi membersihkan diri adalah kewajiban baginya.Setelah membersihkan diri dan menggosok gigi, Moza keluar dari dalam kamar mandi. Tak langsung naik ke atas tempay tidur, wanita itu melakukan perawatan wajah sebelum tidur yang rutin dia lakukan. Perawatannya simpen kok. Hanya meneteskan beberapa tetes serum ke kulit wajahnya. Sudah itu saja. Menurutnya, serum baik untuk menjaga kesehatan kulit wajah agar tetap sehat dan kenyal. Setelah perawatan wajahnya yang simpel itu selesai, Moza mematikan lampu kamar dan hanya membiarkan lampu tidur untuk tetap menyala. Tidur dalam keadaan gelap membuat tidur lebih nyenyak dan berkualitas. Paginya, biasanya tubuhnya akan terasa fit dan semangat pergi bekerja.Usai kamar agak gelap dan hanya remang-remang saja, Moza naik ke atas tempat tidur. Dia membaringkan tubuhnya di atas
Pagi ini Moza senang sekali karena bisa ke perusahaan lagi. Dia sengaja berangkat pagi dan tidak pamitan pada Arthur karena takut dilarang oleh suaminya itu. Jadi daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik dia pergi sendiri menggunakan taksi. Sehari Moza tidak bekerja saja, Aditya merasa ada yang kurang. Dia kehilangan orang yang bisa dia ganggu. Akhirnya, ketika melihat Moza berangkat, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bercengkrama dengan wanita itu. Dia bercerita mengenai masa kecilnya yang dikejar-kejar induk ayam lantaran mengganggu anak-anaknya. Karena merasa ceritanya sangata lucu, Moza pun tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua tidak sadar kalau Arthur sudah berdiri di dekat mereka."Ehem! Ehem!" Arthur berdehem kencang sekali. Jelas sekali itu adalah deheman yang dibuat-buat dan bukan karena batuk. Mereka berdua langsung menoleh dan terkesiap begitu tahu kalau Arthur telah berdiri di dekat mereka. Wajah pria itu tampak tidak senang.Tawa Moza dan
Mendengar Arthur menyetujui dirinya untuk pisah kamar, Moza langsung berdiri dan menyodorkan tangan kanannya pada Arthur. "Kalau begitu mana kuncinya?"Alis Arthur terangkat ke atas. "Semangat sekali sih untuk pisah kamar sama aku.""Aku mau cepat makan, mas. Aku lapar.""Lalu apa hubungannya makan dengan kunci kamar?""Aku tidak mau makan kalau mas belum beri kunci kamar tamu. Aku takut mas mengingkari janji mas untuk meminjamkan kamar kalau aku makan duluan."Arthur tersenyum. Pria itu langsung berdiri. "Kalau aku mengingkari janji aku, ya sudah. Tidur di kamar ini saja. Begitu saja kok repot.""Oh, oke. Kalau begitu aku tidak akan makan. Biar saja aku dan anakku sama-sama kelaparan."Arthur menipiskan bibir. Sepertinya bayi dalam perut dijadikan senjata bagi Moza untuk mengancamnya. Dasar."Ya, sudah. Aku ambil kunci dulu."Arthur beranjak dari duduknya dan langsung keluar kamar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah kunci. Kedatangan Arthur sudah ditunggu-tunggu ol