"Mas terima kasih karena selama ini sudah meminjamkan rumah mas padaku." Moza menyodorkan sebuah kunci kepada Bayu. Bayu mengamati kunci itu lama sebelum akhirnya menatap Moza. "Mengapa harus dikembalikan? Kamu bisa terus menepati rumah itu.""Itu tidak mungkin, mas. Itu rumah mas. Jadi harus aku kembalikan lagi pada mas. Aku kebetulan sudah mendapat kontrakan tak jauh dari tempat tinggal mas."Bayu terdiam. Dia tidak suka Moza pindah dari rumahnya. Selama ini, Bayu selalu mempunyai alasan untuk datang ke rumah itu meski hanya untuk sekadar mengambil pakaian atau barang lainnya. Tapi jika Moza pindah, itu artinya dia kehilangan kesempatan untuk sering mendatangi tempat tinggal Moza.Bayu menghela nafas. "Kamu baru saja selesai mengurus perceraianmu dengan Leo, Moza. Jadi jangan berfikir untuk pindah dulu."Moza tersenyum. "Aku tau mas itu baik. Tapi aku tidak boleh menyusahkan, mas.""Kamu tidak menyusahkanku. Aku senang kamu tinggal di rumah itu.""Mas, butuh rumah itu. Nanti jika a
Moza menoleh. Dia mendapati Bayu-lah yang memegang tangannya. "Aku tidak akan membiarkanmu keluar sebelum kita membuat kesepakatan," ucap Bayu lirih tapi penuh ketegasan."Kesepakatan?" tanya Moza bingung. "Kesepakatan apa?" Bayu melirik Roby dan Aditya secara bergantian. Dia memberi kode agar kedua laki-laki itu keluar dari ruangan ini. Terbiasa mendapatkan kode dari Bayu karena selama ini tuannya itu dalam penyamaran, Roby dan Aditya langsung mengerti. Tanpa diisyaratkan untuk kedua kalinya, mereka berdua langsung keluar dari ruangan tersebut. Setelah sampai di luar ruangan, keduanya langsung menutup pintu ruangan kembali. Setelah keluarnya Roby dan Aditya, ruangan itu terasa sunyi. Seketika Moza menjadi takut. Bagaimana tidak, dia tengah berdua dengan pria seperti Bayu oh bukan, Arthur. Pria berkuasa yang penuh dengan siasat.Selama ini, berdua dengan Bayu bukanlah sesuatu yang menakutkan. Tapi sekarang dirasa lain. Dari dulu dia sudah mendengar cerita tentang Arthur dari Leo. A
"Leo! Melamun saja kamu! Tidak tau apa kalau di luar sedang heboh?" Hendra tiba-tiba masuk. Bahkan tanpa ketuk pintu. Pria itu menemukan Leo sedang melamun sembari memainkan bolpoin. Mendengar suara cempreng Hendra, Leo langsung menoleh. "Kamu buat orang kaget saja."Hendra tersenyum. Lalu mengambil duduk di kursi depan Leo. "Ada baiknya kamu keluar dulu dari ruangan. Orang se-perusahaan pada heboh tau."Kening Leo mengerut. "Heboh? Heboh kenapa?""Heboh karena Bayu. Ah, salah bicara tidak sih, aku. Apa aku harus ikut-ikutan Roby memanggilnya tuan?"Kerutan di kening Leo kian rapat. "Kamu bicara apa, Hen? Memangnya kenapa dengan Bayu? Dia mencuri? Atau merusak barang?""Lebih dari itu hebohnya.""Jadi dia kenapa?""Kamu tau, banyak orang yang melihat Pak Roby mengangguk hormat pada Bayu. Bahkan Pak Roby memanggilnya tuan."Deg.Leo tersentak kaget. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Kamu jangan bercanda!""Kenapa aku harus bercanda? Ini serius. Nah, sampai sekarang
"Aku pulang dulu. Kamu hati-hati di rumah sendirian. Nanti sebelum tidur, aku telpon kamu."Moza memaksakan senyum. "Iya." Hanya itu yang dia katakan. Dia tidak mau terlibat obrolan panjang dengan Arthur. Dia ingin Arthur cepat meninggalkan rumahnya. Dia sudah stress menghadapi Arthur hari ini."Baiklah. Kalau begitu aku pulang ya sayang. Daaa."Moza melambaikan tangan. "Daaa."Mobil Arthur pun bergerak meninggalkan tempat kediaman Moza. Dan itu membuat Moza sangat lega. Setelah mengunci pintu rumah, Moza langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Otot-ototnya yang terasa kaku langsung mengendur. Tapi itu tidak mengendurkan stressnya menghadapi Arthur.Moza menatap plafon kamar. Kedua mata bening indahnya tampak sayu. Dia benar-benar sudah menghadapi hari yang buruk. Dan kemungkinan, besok-besok juga begitu. Tak kalah buruknya.Arthur memang kaya raya. Banyak wanita yang mengidamkan pria itu. Tapi saat ini, tak sedikitpun Moza berkeinginan untuk menikah secepat ini. Kegagal
"Baiklah kalau itu mau kamu." Arthur mengambil kertas-kertas berisi gambar rancangan Adi Gunawan dan memperhatikan gambar di tangannya satu persatu. Penuh seksama dia memperhatikan gambar-gambar itu. Dia ingin Moza terlihat cantik jelita di hari pertunangan mereka. Itu sebabnya dia tidak mau sembarangan memilihkan gaun untuk Moza."Bagaimana kalau yang ini?" tanya Arthur kepada Adi Gunawan sang desainer. Adi Gunawan langsung melongokkan kepala ke kertas yang disodorkan Arthur. Matanya langsung membulat. "Ya, it's good. Aku juga sudah menebak kalau anda akan memilih ini. Gaun ini sangat pas dengan Non Moza yang cantik jelita.""Kalau begitu aku ambil yang ini untuk calon istriku.""Baik tuan. Sekarang saatnya mengukur." Adi Gunawan berdiri dari duduknya. Dia lalu melambai lentik pada Moza. "Ayo nona! Berdiri! Kita ukur mengukur dulu!"Tak membantah, Moza pun berdiri. Adi Gunawan langsung mengambil meteran."Ayo, nona! Rentangkan tangannya sedikit. Aku mau mengukur lingkar dadah nona d
Leo kembali tertunduk mendengar jawaban dari Arthur. Dalam hati dia sangat berharap Arthur memaafkannya karena jika tidak hidupnya akan hancur. Perusahaan ini sangat berpengaruh sehingga staf yang dipecat dari perusahaan ini akan sulit diterima di perusahaan manapun. Image jeleknya akan tersebar kemana-mana dan di dengar oleh semua perusahaan. Itulah sebabnya mengapa orang yang diberhentikan secara tidak hormat dari perusahaan ini benar-benar bernasib buruk."Jika aku bisa mempertanggungjawabkannya, maka akan aku pertanggungjawabkan. Tapi tolong jangan pecat aku dari perusahaan ini tuan. Aku mohon tuan."Arthur terdiam. Dia mencoba merenungi sesuatu. Dia mengakui kalau Leo adalah pria yang cerdas. Itu sebabnya, Leo bisa menyembunyikan kecurangan dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, justru kecerdasan Leo itulah yang mengkhawatirkan perusahaan. Arthur bimbang. Namun dia adalah tipe orang yang tidak mau menunda pekerjaan apalagi menunda untuk mengambil sebuah keputusan. Menurutny
'As, kamu lagi apa? Anak kita baik-baik saja bukan?'Sebuah chat dari Dion mengusik Astrid yang sedang membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. 'Aku baik-baik saja. Tapi soal bayi yang sedang aku kandung, jangan pernah menganggapnya sebagai anak kamu, ya.''Bagaimana kamu bisa bilang begitu sementara anak itu memang anakku? Sebagai papanya, tentu aku menginginkan anak itu.''Aku tidak akan pernah menganggap kamu sebagai papanya.''Terserah kepadamu. Tapi aku akan tetap berusaha untuk mendapatkan anakku bagaimana pun caranya. Kalau perlu aku menemui Leo dan mengatakan kebenaran itu.'Mata Astrid melebar. 'Kamu jangan main-main dengan suamiku, Dion.''Kenapa tidak? Aku menginginkan anakku. Kebetulan aku sudah mendapatkan nomor ponsel Leo, jadi aku akan mengajaknya ketemuan dan mengatakan kebenaran ini.'Astrid menggeram. Dion benar-benar sulit untuk dihadapi. 'Mau kamu sebenarnya apa, Dion?''Akhirnya kamu menanyakan itu juga.''Ya, terus mau kamu apa?''Temui aku di apartemenku. K
"As! Astrid!" Dion membangunkan Astrid. Saat ini jam menunjukkan pukul 23. 05. "Ya," jawab Astrid dengan mata yang masih terpejam. "Bangunlah. Bukankah kamu harus pulang?""Tapi aku sangat mengantuk. Aku tidak mungkin bisa menyetir dengan baik jika dalam keadaan mengantuk begini. Jadi izinkan aku tidur di sini ya?""Aku sih tidak masalah. Tapi aku takut ini jadi masalah buat kamu. Bagaimana kalau Leo curiga?""Kamu 'kan tau Leo tidak ada. Dia tidur di rumah orangtuanya.""Iya, aku tahu kalau soal itu. Akan tetapi, di rumahmu ada pembantumu bukan? Dia bisa curiga.""Kalau soal pembantu itu gampang. Aku bisa mengatasinya. Jadi jangan ganggu aku tidur."Mendengar itu, Dion tersenyum. Tentu saja dia sangat suka jika Astrid memutuskan untuk tidur di sini. Dengan semangat, dia memeluk tubuh polos Astrid yang berada di bawah selimut. "Oke, terserah kamu saja. Kalau perlu kamu tidak kembali lagi ke rumah kamu. Aku senang kamu ada bersamaku." Dion memejamkan matanya kembali. ***Pagi-pagi