"Ikutlah dengan saya malam ini," ujar Zayn dengan nada yang lebih mirip perintah daripada ajakan. Matanya yang tajam menatap Sera, seolah menuntut kepatuhan tanpa pertanyaan.
Sera, yang sedang mengoleskan selai kacang di atas roti, menghentikan gerakannya sejenak. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. "Ke mana, Mas?" tanyanya dengan suara selembut mungkin, berusaha tidak menunjukkan kegelisahan yang mulai merayap di hatinya.
"Nanti juga kamu tahu," sahut Zayn dingin, tanpa repot-repot menoleh ke arah istrinya. Dia sibuk membolak-balik koran pagi, seolah pertanyaan Sera tak lebih penting dari berita hari ini.
Sera hanya bisa menghela napas pasrah. Sudah hampir satu minggu mereka menikah, tapi sikap Zayn tak pernah berubah. Dingin, kaku, dan penuh misteri. Namun Sera telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi istri yang baik, meski pernikahan ini hanya berdasarkan kontrak.
"Saya jemput kamu jam tujuh," tambah Zayn dengan nada datar. Tiba-tiba, dia mengalihkan pandangannya dari koran, matanya menyapu tubuh Sera dari atas sampai bawah dengan tatapan penuh penilaian. "Dan nanti akan ada juga orang yang datang untuk membantumu berhias."
Sera merasakan pipinya memanas di bawah tatapan intens suaminya. Namun, dia berusaha tetap tenang, menampilkan senyum terbaiknya. "Baiklah, Mas," jawabnya patuh, meski dalam hati ribuan pertanyaan berkecamuk.
Sore itu, ketika tim rias yang dikirim Zayn tiba, Sera mulai merasakan gelombang kecemasan. Namun, tak ada yang bisa menyiapkannya untuk apa yang akan dia lihat selanjutnya.
"S-saya harus memakai... gaun ini?" Sera terbata-bata, matanya membelalak melihat gaun berpotongan rendah yang disodorkan padanya.
Sam, seorang penata rias dengan gestur gemulai, tersenyum lebar. "Semua gaun ini, Tuan Zayn sendiri yang memilihnya. Jadi, you nggak usah kecewa," ucapnya dengan nada mendayu-dayu.
Sera menelan ludah dengan susah payah. Jemarinya gemetar saat menyentuh kain halus gaun itu. "Tapi... tapi gaun ini…."
"Terlalu seksi? Terlalu menggoda?" Sam berbisik, mendekatkan wajahnya ke telinga Sera. "Nggak usah takut. You pakai gaun ini kan untuk memuaskan pandangan suami," lanjutnya, jemarinya yang lentik menyentuh pundak Sera yang bergetar.
Sera terdiam, matanya tak lepas dari gaun itu. Pikirannya berkecamuk. Pantaskah dia mengenakan gaun seperti ini? Apa yang direncanakan Zayn?
"Cobalah gaunnya sekarang. Kita lihat yang mana yang paling cocok di tubuh you ini." Suara Sam membuyarkan lamunan Sera.
Dengan langkah berat, Sera mengambil gaun itu dan masuk ke kamar ganti. Setiap detik terasa seperti selamanya saat dia mencoba mengenakan gaun seksi itu. Ketika akhirnya dia keluar, kepalanya tertunduk, tangannya berusaha menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terekspos.
"A-apa tidak ada gaun lain yang lebih...."
"Wow! So beautifull!" Sam memotong ucapan Sera, matanya berbinar-binar. Dengan gerakan anggun, dia memutar tubuh Sera, mengamati dari segala sisi.
Sera merasa seperti boneka yang dipajang. Dia terus meremas ujung gaunnya, berusaha menutupi sebanyak mungkin kulit yang terekspos.
Sam menghela napas, sedikit kesal melihat sikap Sera. "You look gorgeous, Darling. Kenapa harus you tutupi kesempurnaan ini dengan wajah yang nggak percaya diri?" Dia meletakkan jarinya di bawah dagu Sera, memaksa wanita itu untuk menatap matanya.
Sera menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca. "Gaun ini terlalu terbuka," ujarnya jujur, suaranya nyaris berbisik.
Sam tertawa kecil, ada kilatan pemahaman di matanya. "Menyenangkan suami itu bukan suatu kejahatan. You nggak perlu takut," sahutnya dengan nada menggoda.
"Tapi kenapa dia harus mengajak saya keluar?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Sera, menyuarakan kegelisahan yang sejak tadi menghantui pikirannya.
Senyum di bibir Sam semakin lebar. Dia mendekatkan wajahnya, berbisik di telinga Sera. "Karena bercinta juga perlu suasana," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Kata-kata itu membuat wajah Sera merah padam. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara malu dan antisipasi. Meski sudah menikah, Zayn belum pernah menyentuhnya. Apakah malam ini...?
Saat jam menunjukkan pukul tujuh, Zayn muncul di ambang pintu. Matanya melebar sesaat melihat penampilan Sera, sebelum kembali ke ekspresi datarnya yang biasa. "Kamu sudah siap?" tanyanya, suaranya dalam dan sedikit serak.
Sera mengangguk pelan, tak mampu berkata-kata. Zayn mengulurkan tangannya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Sera merasakan sentuhan hangat suaminya.
Sepanjang perjalanan, keheningan menyelimuti mereka. Sera sibuk dengan pikirannya sendiri, bertanya-tanya ke mana mereka akan pergi dan apa yang akan terjadi malam ini. Sementara Zayn, seperti biasa, tetap fokus pada jalanan di depannya.
Ketika mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bar, Sera merasakan jantungnya berdebar kencang. Inikah saatnya? Apakah malam ini akan mengubah segalanya di antara mereka?
Zayn melangkah masuk ke dalam bar eksklusif itu. Langkahnya mantap dan penuh percaya diri, kontras dengan Sera yang tertinggal di belakang, berjuang dengan setiap langkahnya. Sepatu hak tinggi yang dipakainya seolah menjadi musuh terbesarnya malam ini.Sera berusaha menyeimbangkan tubuhnya, napasnya terengah-engah. Dia melirik punggung Zayn yang semakin menjauh, berharap suaminya akan menoleh dan membantunya. Namun, harapan itu pupus seketika.Sera berusaha menyeimbangkan diri, kakinya gemetar seperti anak rusa yang baru belajar berjalan. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas tali yang membentang di atas jurang. Sementara Zayn terus melangkah, seolah tak menyadari atau lebih tepatnya, tak peduli dengan kesulitan yang dihadapi istrinya."Bisa lebih cepat?" Suara Zayn akhirnya memecah keheningan di antara mer
Denyut sakit yang berdentam di kepala Sera menyambutnya kembali ketika dia membuka matanya. Perlahan, dia mencoba memfokuskan pandangan dalam remang-remang kamar yang asing.Sera merasakan lembut seprai di kulitnya yang telanjang, terselimuti hingga leher. Kebingungan dan rasa takut mulai merayap dalam dirinya saat kesadaran perlahan kembali. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya yang terasa lemah dan kaku, seolah baru saja melalui badai hebat.Dengan tangan gemetar, Sera menyentuh kepalanya yang berdenyut. Potongan-potongan ingatan berkelebat dalam benaknya, namun tak satu pun membentuk gambaran utuh tentang apa yang telah terjadi.Tiba-tiba, matanya menangkap bayangan di sudut ruangan, jeritan tertahan lolos dari bibirnya.Jantung Sera seakan berhenti ber
"Kenapa kamu mengusir semua orang yang ingin melayanimu?" Suara Zayn memecah keheningan, nadanya sedingin es.Sera membisu. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Dia tidak berusaha menyembunyikannya, membiarkan kesedihannya terlihat jelas di hadapan suaminya.Zayn duduk di tepi ranjang, jarak mereka begitu dekat hingga Sera bisa merasakan napasnya yang hangat dan tatapan tajam yang terpancar dari matanya. "Kamu ingin keluar dengan tampilan seperti ini?" desisnya geram, kesabarannya mulai menipis.Masih tak ada jawaban. Sera memalingkan wajah, menghindari tatapan Zayn yang terasa membakar. Hatinya seolah tercabik-cabik setiap kali dia memandang wajah pria yang kini menjadi suaminya itu.Amarah mulai menguasai Zayn. Dia mengepalkan tangan hingga b
"Saya ingin bercerai, Mas."Kata-kata itu meluncur dari bibir Sera, bergetar namun penuh tekad. Tiga hari menunggu dalam ketidakpastian telah memberinya waktu untuk mengumpulkan keberanian ini. Sementara Zayn, yang baru saja kembali entah dari mana, menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Sera meremas tangannya kuat-kuat, berusaha menguatkan diri untuk melanjutkan. "Tidak peduli meski saya harus membayarnya dengan bekerja seumur hidup. Saya pasti akan membayar hutang saya."Mata Zayn yang tajam menusuk langsung ke jiwa Sera, seolah hendak menelanjangi setiap pikiran dan niatnya. "Kamu tahu kan berapa kali lipat jumlah keseluruhan yang harus kamu bayar jika membatalkan kontrak ini secara sepihak?" Suaranya dingin dan kasar.Sera menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusah
Sera menatap Zayn dengan mata membulat, kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba bersedia mengantarnya pulang terasa begitu ganjil."M-mas mau mengantar saya?" tanyanya ragu-ragu saat Zayn memasuki mobil dan duduk di sampingnya.Zayn hanya melirik sekilas sebelum memerintah sopirnya, "Jalan, Pak." Nada suaranya datar, tak memberikan petunjuk apa pun tentang apa yang ada dalam pikirannya.Selama perjalanan, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Zayn, seperti biasa, tenggelam dalam percakapan bisnis di teleponnya. Sementara Sera, pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib yang menanti di ujung perjalanan ini.Ketika mobil berbelok ke arah yang asing, alarm internal Sera mulai berbunyi nyaring. "K-kita mau pergi ke mana, Mas?" tanyanya
"Sekarang kamu sudah menikah, Sera," kata Sari dengan suara lembut, jemarinya yang mulai keriput membelai rambut hitam putrinya yang panjang. "Nggak baik meninggalkan suamimu terlalu lama."Sera merasakan jantungnya berdebar kencang. Kalimat sederhana ibunya membawa gelombang emosi yang bergejolak dalam dirinya. 'Aduh Ibu! Kalau saja Ibu tahu pria macam apa dia. Masih sanggupkah Ibu mengeluarkan kata-kata ini!' keluhnya dalam hati. Namun, bibirnya tetap terkatup rapat, tak sanggup mengungkapkan keresahan yang menggerogoti batinnya."Ingat, Sera. Seberat dan sebesar apa pun masalah kalian. Kamu nggak boleh sampai menghindar," pesan Sari lagi, matanya memancarkan harapan yang membuat Sera semakin terpuruk dalam dilema. "Karena pernikahan itu bukan main-main. Kalian sudah berjanji di hadapan Tuhan."Sera tersenyum geti
Lampu-lampu neon berkedip liar, memantulkan bayangan-bayangan menari di dinding bar yang remang. Sera berdiri di balik meja konter, jemarinya dengan lincah meracik minuman demi minuman. Sudah dua minggu berlalu sejak dia menerima tawaran Mia, dan sejauh ini, semuanya berjalan lancar. Bartender senior mengajarinya dengan sabar, dan dia mulai merasa nyaman dengan pekerjaannya yang baru.Malam itu, bar mulai ramai. Aroma parfum mahal bercampur asap rokok mengambang di udara. Sera menghela napas lega saat menyelesaikan pesanan terakhir. Namun, kelegaan itu tak bertahan lama.Sebuah tangan kekar tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya. Sera tersentak, matanya bertemu dengan sepasang mata yang dipenuhi nafsu. Seorang pria paruh baya, dengan setelan mahal dan jam tangan berkilau, menyeringai padanya."Hei, canti
Detak jantung Sera berpacu liar, mengalahkan suara gaduh yang semakin mendekat dari luar kamar. Matanya terpejam erat, seolah berusaha menghalau kenyataan pahit yang menghimpitnya.Namun, di tengah ketakutannya, sebuah tekad muncul. Dia tidak akan menyerah begitu saja.Dengan gerakan secepat kilat, tangan Sera meraih vas bunga di meja samping. Jemarinya mencengkeram erat benda itu, seolah nyawanya bergantung padanya."Saya bukan barang yang bisa diperjualbelikan!" teriaknya lantang, suaranya bergetar penuh amarah.Vas itu meluncur di udara, sebelum akhirnya pecah berkeping-keping saat menghantam kepala pria tua itu. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, berpadu dengan teriakan kesakitan yang memekakkan telinga.Tanpa membuang waktu, Sera melompat dari ranjang. Kakinya yang gemetar membawanya berlari sekencang mungkin menuju pintu. Harapan untuk bebas dari mimpi buruk ini memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya."Dasar jalang s