Zayn melangkah masuk ke dalam bar eksklusif itu. Langkahnya mantap dan penuh percaya diri, kontras dengan Sera yang tertinggal di belakang, berjuang dengan setiap langkahnya. Sepatu hak tinggi yang dipakainya seolah menjadi musuh terbesarnya malam ini.
Sera berusaha menyeimbangkan tubuhnya, napasnya terengah-engah. Dia melirik punggung Zayn yang semakin menjauh, berharap suaminya akan menoleh dan membantunya. Namun, harapan itu pupus seketika.
Sera berusaha menyeimbangkan diri, kakinya gemetar seperti anak rusa yang baru belajar berjalan. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas tali yang membentang di atas jurang. Sementara Zayn terus melangkah, seolah tak menyadari atau lebih tepatnya, tak peduli dengan kesulitan yang dihadapi istrinya.
"Bisa lebih cepat?" Suara Zayn akhirnya memecah keheningan di antara mereka. Namun, tidak ada kehangatan dalam nada bicaranya. Matanya menatap Sera dengan dingin, sedingin udara malam yang menusuk kulit.
"Maaf, Mas. Saya... saya masih belum terbiasa," jawab Sera lirih, masih terus berjuang menyeimbangkan diri.
"Belajarlah," desis Zayn tajam. Tangannya dengan sigap menangkap tubuh Sera yang nyaris mencium lantai. "Jangan mempermalukan saya."
Sera terdiam, menegakkan tubuhnya secepat mungkin. Rasa malu dan takut bercampur dalam dadanya. Sementara itu, Zayn kembali melangkah, meninggalkan istrinya yang masih berjuang dengan setiap langkahnya.
Ketika Sera akhirnya berhasil melewati pintu masuk, tatapan kagum sekaligus lapar dari penjaga bar nyaris tak bisa disembunyikan. Gaun merah menyala yang membalut tubuhnya bagai api yang menyala di tengah kegelapan. Potongannya yang pendek dan ketat mengekspos lekuk tubuhnya, menciptakan ilusi keindahan yang memikat sekaligus berbahaya.
Rambut hitam panjangnya yang digelung ke atas memamerkan leher jenjang yang terlihat rapuh namun menggoda. Meski wajah cantiknya tampak muram, Sera tetap terlihat bagai mutiara langka yang baru saja ditemukan dari kedalaman samudra. Setiap pasang mata seolah tertarik magnet, menoleh ke arahnya saat ia melangkah masuk dengan ragu.
Sera memandang sekelilingnya dengan gelisah. Aroma alkohol yang menyengat dan hiruk pikuk suara orang-orang yang tengah berpesta membuat kepalanya pusing. Ini bukanlah dunianya. Namun, di sisi lain, ia tak punya pilihan selain mengikuti keinginan suaminya.
"Duduklah di sini," perintah Zayn, menepuk pahanya saat Sera hendak duduk di sampingnya.
Sera terdiam, rasa tidak nyaman semakin menjalar di seluruh tubuhnya. Bukan hanya karena pakaiannya yang terlalu terbuka, tapi juga karena tatapan Zayn yang dingin dan merendahkan.
"Kenapa diam?" desis Zayn tak sabar. "Ayo sini!"
"Tapi, Mas...."
Belum sempat Sera menyelesaikan kalimatnya, Zayn menarik tangannya dengan kasar. Sera memekik kaget saat tubuhnya jatuh ke pangkuan suaminya.
"Tenanglah," bisik Zayn di telinga Sera. Napasnya yang hangat menyapu wajah istrinya. "Kamu sedang bersama suamimu, bukan pria lain."
Sera menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Untuk apa kita datang ke sini, Mas?"
Zayn seolah tuli. Ia justru memanggil pengawalnya, memesan minuman tanpa menghiraukan pertanyaan Sera.
"Mas...," desah Sera tertahan ketika tangan Zayn mulai menjelajahi pahanya.
"Ada apa?" tanya Zayn datar, tangannya terus bergerak tanpa henti.
Sera memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. "J-jangan di sini, Mas," pintanya dengan suara bergetar saat tangan Zayn mulai menyentuh titik sensitifnya.
"Kenapa?" Zayn tersenyum penuh arti. "Kamu malu?"
Anggukan pelan Sera justru membuat mata Zayn semakin berkilat berbahaya. Senyum misterius tersungging di bibirnya, menyimpan rahasia yang hanya ia sendiri yang tahu.
"Minumlah," perintah Zayn tegas saat minuman pesanannya tiba.
Sera menggeleng lemah. "S-saya tidak minum, Mas."
"Memangnya kamu sudah pernah mencobanya?"
Lagi-lagi Sera menggeleng.
"Cobalah kalau begitu!"
Nada suara Zayn tidak menyisakan ruang untuk bantahan. Dengan tangan gemetar, Sera meraih gelas itu. Namun sebelum dia sempat meminumnya, pria itu dengan tak sabar merebut gelas tersebut.
Dalam sekejap, Zayn memasukkan minuman itu ke dalam mulutnya sendiri, lalu tanpa peringatan membungkam bibir Sera dengan ciumannya yang kasar. Sera terkesiap, merasakan cairan itu mengalir ke dalam tenggorokannya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Zayn setelah melepaskan ciumannya.
Sera terdiam, masih terlalu terkejut untuk bereaksi. Ada rasa aneh yang mulai menjalar di tubuhnya.
"Kamu menyukainya?"
Sera masih tak mampu menjawab. Tiba-tiba, dia merasakan sensasi asing yang mulai menguasai dirinya.
"Minuman apa itu, Mas?" tanya Sera panik, tangannya mencengkeram kerah kemeja Zayn.
Zayn hanya tersenyum sinis, senyumnya semakin lebar seiring waktu berlalu. “Tenanglah, Sera," bisiknya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya.
Jantung Sera berdegup kencang. Entah karena efek minuman atau karena kedekatan tubuh mereka, dia merasakan panas yang aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Matanya mulai berkabut, dan dunia di sekelilingnya seolah berputar.
"M-mas... apa yang..." Sera mencoba berbicara, tapi lidahnya terasa kelu.
Zayn hanya tersenyum, tangannya kini bergerak lebih berani menyusuri tubuh Sera. "Ssst... nikmati saja, sayang. Malam masih panjang."
Sera ingin protes, ingin menghentikan semua ini, tapi tubuhnya seolah tak mau menuruti perintah otaknya. Dia merasa panas, gelisah, dan... entah mengapa, menginginkan lebih.
"Mas... tolong..." Sera berusaha bicara, tapi kata-katanya terputus-putus.
Zayn mendekatkan bibirnya ke telinga Sera. "Kamu ingin pulang?" bisiknya menggoda.
Sera mengangguk lemah, berharap bisa keluar dari situasi ini.
Namun, senyum Zayn malah semakin melebar. "Sayang sekali, malam masih panjang, Sera. Dan permainan kita baru saja dimulai."
Sera merasakan jantungnya berdegup kencang. Apa yang dimaksud Zayn dengan 'permainan'? Dan apa yang sebenarnya ada dalam minuman itu?
Tiba-tiba, lampu-lampu bar berkedip, musik berhenti sejenak sebelum berganti menjadi irama yang lebih intens. Sera merasakan tubuhnya mulai bereaksi aneh terhadap sentuhan Zayn, sensitivitasnya meningkat sepuluh kali lipat.
"M-mas... ada apa ini?" tanya Sera, suaranya bergetar antara takut dan... gairah?
Zayn tidak menjawab. Dia berdiri, mengangkat Sera dalam gendongannya dengan mudah. "Kita pindah ke tempat yang lebih... pribadi," ujarnya dengan suara rendah yang penuh janji.
Saat pria itu membawanya melalui lorong gelap di belakang bar, Sera merasakan campuran antara ketakutan dan antisipasi yang aneh. Apa yang menunggu mereka di balik pintu yang Zayn buka?
Ruangan itu gelap gulita saat mereka masuk. Sera bisa merasakan Zayn menurunkannya ke atas sesuatu yang lembut - mungkin ranjang? Jantungnya berdegup kencang, efek minuman tadi semakin terasa.
"Mas... apa yang-"
Kata-kata Sera terpotong oleh suara pintu yang dikunci. Dalam kegelapan, dia bisa merasakan Zayn mendekat, napasnya yang hangat menyapu kulitnya.
"Sekarang, Sera," bisik Zayn, suaranya penuh dengan hasrat yang tertahan, "kita akan memulai permainan yang sesungguhnya."
Tiba-tiba, lampu menyala, membutakan Sera sejenak. Ketika matanya menyesuaikan diri, dia terkesiap melihat pemandangan di hadapannya. Ruangan itu bukan kamar biasa, melainkan...
Denyut sakit yang berdentam di kepala Sera menyambutnya kembali ketika dia membuka matanya. Perlahan, dia mencoba memfokuskan pandangan dalam remang-remang kamar yang asing.Sera merasakan lembut seprai di kulitnya yang telanjang, terselimuti hingga leher. Kebingungan dan rasa takut mulai merayap dalam dirinya saat kesadaran perlahan kembali. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya yang terasa lemah dan kaku, seolah baru saja melalui badai hebat.Dengan tangan gemetar, Sera menyentuh kepalanya yang berdenyut. Potongan-potongan ingatan berkelebat dalam benaknya, namun tak satu pun membentuk gambaran utuh tentang apa yang telah terjadi.Tiba-tiba, matanya menangkap bayangan di sudut ruangan, jeritan tertahan lolos dari bibirnya.Jantung Sera seakan berhenti ber
"Kenapa kamu mengusir semua orang yang ingin melayanimu?" Suara Zayn memecah keheningan, nadanya sedingin es.Sera membisu. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Dia tidak berusaha menyembunyikannya, membiarkan kesedihannya terlihat jelas di hadapan suaminya.Zayn duduk di tepi ranjang, jarak mereka begitu dekat hingga Sera bisa merasakan napasnya yang hangat dan tatapan tajam yang terpancar dari matanya. "Kamu ingin keluar dengan tampilan seperti ini?" desisnya geram, kesabarannya mulai menipis.Masih tak ada jawaban. Sera memalingkan wajah, menghindari tatapan Zayn yang terasa membakar. Hatinya seolah tercabik-cabik setiap kali dia memandang wajah pria yang kini menjadi suaminya itu.Amarah mulai menguasai Zayn. Dia mengepalkan tangan hingga b
"Saya ingin bercerai, Mas."Kata-kata itu meluncur dari bibir Sera, bergetar namun penuh tekad. Tiga hari menunggu dalam ketidakpastian telah memberinya waktu untuk mengumpulkan keberanian ini. Sementara Zayn, yang baru saja kembali entah dari mana, menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Sera meremas tangannya kuat-kuat, berusaha menguatkan diri untuk melanjutkan. "Tidak peduli meski saya harus membayarnya dengan bekerja seumur hidup. Saya pasti akan membayar hutang saya."Mata Zayn yang tajam menusuk langsung ke jiwa Sera, seolah hendak menelanjangi setiap pikiran dan niatnya. "Kamu tahu kan berapa kali lipat jumlah keseluruhan yang harus kamu bayar jika membatalkan kontrak ini secara sepihak?" Suaranya dingin dan kasar.Sera menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusah
Sera menatap Zayn dengan mata membulat, kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba bersedia mengantarnya pulang terasa begitu ganjil."M-mas mau mengantar saya?" tanyanya ragu-ragu saat Zayn memasuki mobil dan duduk di sampingnya.Zayn hanya melirik sekilas sebelum memerintah sopirnya, "Jalan, Pak." Nada suaranya datar, tak memberikan petunjuk apa pun tentang apa yang ada dalam pikirannya.Selama perjalanan, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Zayn, seperti biasa, tenggelam dalam percakapan bisnis di teleponnya. Sementara Sera, pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib yang menanti di ujung perjalanan ini.Ketika mobil berbelok ke arah yang asing, alarm internal Sera mulai berbunyi nyaring. "K-kita mau pergi ke mana, Mas?" tanyanya
"Sekarang kamu sudah menikah, Sera," kata Sari dengan suara lembut, jemarinya yang mulai keriput membelai rambut hitam putrinya yang panjang. "Nggak baik meninggalkan suamimu terlalu lama."Sera merasakan jantungnya berdebar kencang. Kalimat sederhana ibunya membawa gelombang emosi yang bergejolak dalam dirinya. 'Aduh Ibu! Kalau saja Ibu tahu pria macam apa dia. Masih sanggupkah Ibu mengeluarkan kata-kata ini!' keluhnya dalam hati. Namun, bibirnya tetap terkatup rapat, tak sanggup mengungkapkan keresahan yang menggerogoti batinnya."Ingat, Sera. Seberat dan sebesar apa pun masalah kalian. Kamu nggak boleh sampai menghindar," pesan Sari lagi, matanya memancarkan harapan yang membuat Sera semakin terpuruk dalam dilema. "Karena pernikahan itu bukan main-main. Kalian sudah berjanji di hadapan Tuhan."Sera tersenyum geti
Lampu-lampu neon berkedip liar, memantulkan bayangan-bayangan menari di dinding bar yang remang. Sera berdiri di balik meja konter, jemarinya dengan lincah meracik minuman demi minuman. Sudah dua minggu berlalu sejak dia menerima tawaran Mia, dan sejauh ini, semuanya berjalan lancar. Bartender senior mengajarinya dengan sabar, dan dia mulai merasa nyaman dengan pekerjaannya yang baru.Malam itu, bar mulai ramai. Aroma parfum mahal bercampur asap rokok mengambang di udara. Sera menghela napas lega saat menyelesaikan pesanan terakhir. Namun, kelegaan itu tak bertahan lama.Sebuah tangan kekar tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya. Sera tersentak, matanya bertemu dengan sepasang mata yang dipenuhi nafsu. Seorang pria paruh baya, dengan setelan mahal dan jam tangan berkilau, menyeringai padanya."Hei, canti
Detak jantung Sera berpacu liar, mengalahkan suara gaduh yang semakin mendekat dari luar kamar. Matanya terpejam erat, seolah berusaha menghalau kenyataan pahit yang menghimpitnya.Namun, di tengah ketakutannya, sebuah tekad muncul. Dia tidak akan menyerah begitu saja.Dengan gerakan secepat kilat, tangan Sera meraih vas bunga di meja samping. Jemarinya mencengkeram erat benda itu, seolah nyawanya bergantung padanya."Saya bukan barang yang bisa diperjualbelikan!" teriaknya lantang, suaranya bergetar penuh amarah.Vas itu meluncur di udara, sebelum akhirnya pecah berkeping-keping saat menghantam kepala pria tua itu. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, berpadu dengan teriakan kesakitan yang memekakkan telinga.Tanpa membuang waktu, Sera melompat dari ranjang. Kakinya yang gemetar membawanya berlari sekencang mungkin menuju pintu. Harapan untuk bebas dari mimpi buruk ini memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya."Dasar jalang s
"Atau..." Zayn melangkah mendekat, matanya menatap dalam ke mata Sera. "Ada alasan lain?"Jantung Sera berdegup kencang, debarannya terasa hingga ke tenggorokan. Ada sesuatu dalam nada suara Zayn yang membuatnya gelisah, seolah pria itu bisa membaca pikirannya yang paling tersembunyi."Ya," jawab Sera akhirnya, meski hatinya berteriak hal yang sebaliknya.Zayn mengambil napas dalam, matanya terpejam sejenak sebelum kembali menatap Sera. "Kamu yakin? Ini bukan keputusan yang bisa diambil main-main, Sera."Sera mengangguk mantap, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari meyakinkan Zayn. "Saya yakin, Mas."Sesuatu berkilat di mata Zayn - entah itu kelegaan, atau mungkin... kemenangan? Sera tak bisa memastikan. Namun, ada p