Share

BAB 5 Surat Nikah

Sera duduk di kursi di ruangan dokter, meremas-remas jemarinya yang dingin. Hasil pengecekan menyeluruh yang dilakukan oleh Dokter Aryono baru saja disampaikan, dan perasaan lega bercampur dengan kecemasan memenuhi hatinya.

“Rahimmu subur, Sera. Saluran telurnya pun sehat dan terbuka,” ujar Dokter Aryono sambil melepaskan sarung tangannya. “Tidak ada masalah sama sekali. Kalian berdua dalam kondisi prima untuk memiliki anak."

Sera menggigit bibir bawahnya, merasakan campuran emosi yang rumit. Dia merasa lega karena rahimnya subur dan dia bisa mengandung anaknya sendiri. Namun, kecemasan menggerogoti hatinya, karena hal ini berarti kesepakatannya dengan Zayn akan terus berlanjut. Dia akan menikah dengan pria itu, mengandung anaknya, melahirkannya, dan menyerahkan anak itu pada istri pertama Zayn.

Waktu seakan berhenti di sekitarnya. Bayangan harus menyerahkan anaknya sendiri pada orang lain begitu nyata dan menyakitkan. Dia tidak tahu bagaimana perasaannya nanti.

Zayn menepuk pelan pundaknya, mengganggu lamunan Sera. “Bagaimana, Sera? Apakah kamu tetap pada keputusanmu?” tanyanya dengan suara tajam yang memecah keheningan.

Sera menatap Zayn, mata mereka saling bertaut dalam sebuah pertarungan batin. Dia merasakan tekanan yang begitu besar dari pria di depannya, tekanan untuk menyerahkan diri dan masa depannya sepenuhnya.

Dia menelan ludahnya, mengepalkan kedua tangannya di pangkuan. “Saya... saya akan tetap pada keputusan ini, Pak Zayn,” ucap Sera dengan suara yang hampir tercekat di tenggorokannya.

Zayn mengangguk pendek, ekspresinya tidak menunjukkan kelegaan atau kebahagiaan. Dia tampak seperti pria yang hanya menjalankan agenda bisnisnya.  “Baiklah, kalau begitu,” katanya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. “Siapkan semua dokumen yang diperlukan. Saya ingin semuanya selesai hari ini,” perintahnya dengan suara tegas.

Sera hanya bisa duduk diam, menyaksikan semuanya berjalan begitu cepat. Setelah menutup telepon, Zayn menoleh ke arahnya lagi. “Kita akan menyelesaikan semuanya hari ini. Setelah itu, kita akan mulai proses pernikahan. Jangan khawatir, saya akan memastikan semuanya berjalan lancar.”

Sera hanya bisa mengangguk lemah, tak mampu menyembunyikan perasaan campur aduk yang melanda hatinya.

Setelah itu, Zayn mengakhiri pertemuan mereka dengan cepat. Dia meninggalkan Sera dalam keheningan ruangan, ditemani oleh perasaan campur aduk yang begitu sulit dipahami. 

***

Zayn mengenakan setelan jas hitamnya dengan rapi saat penandatanganan surat nikah di kantor catatan sipil. Dia tampak begitu tampan dengan potongan jas yang pas di tubuh atletisnya, meski ekspresi wajahnya tak menunjukkan emosi, dingin dan datar seperti biasa. 

Di kursi lain, duduk Sera dengan wajah penuh kegelisahan. Gaun putih sederhana yang dikenakannya, dipadukan dengan riasan tipis, membuatnya tampak anggun, namun tidak mampu menyembunyikan kecemasan yang meliputinya.

Sera datang seorang diri pada hari paling penting dalam hidupnya ini. Dengan tangan gemetar, dia menandatangani surat nikahnya, setiap goresan pena terasa berat. Pikiran-pikiran berkecamuk di benaknya, mempertanyakan langkah yang diambilnya. Benarkah keputusan ini? Menikah dengan lelaki yang tak dicintainya, yang bahkan belum dikenalnya dengan baik?

Sesaat dia melirik ke arah Zayn. Tepat pada saat pria itu sedang menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Sekilas, ada kepuasan, penghinaan, dan ketajaman dalam sorot matanya, yang membuat Sera langsung mengalihkan pandangannya. Hatinya berdebar-debar, seperti hendak meledak.

"Sudah siap untuk pulang ke tempat barumu, Sera?" tanya Zayn dengan nada tajam.

Sera hanya bisa mengangguk pelan. Dia mengikuti langkah suaminya yang baru saja disahkan itu dengan patuh hingga ke dalam mobil mewah yang telah menunggu mereka. 

Selama perjalanan, Sera hanya diam, sementara Zayn sibuk dengan urusan bisnisnya melalui sambungan telepon yang seolah tidak ada habisnya. Pria itu tidak tampak seperti mempelai baru. Dia lebih terlihat seperti seorang pebisnis yang baru saja menandatangani kontrak bisnis lainnya.

"Istirahatlah kalau kamu bosan. Saya akan membangunkanmu saat sampai nanti," ujar Zayn dengan dingin, tanpa sedikit pun menunjukkan kelembutan.

Sera mencoba memejamkan matanya, namun pikirannya tetap berkelana tanpa henti. Dia memikirkan masa depan yang akan dihadapinya bersama Zayn, bagaimana hari-hari yang akan dihabiskannya dengan pria itu demi memenuhi kesepakatan mereka.

Namun, semuanya sangat berbeda dari apa yang pernah Sera bayangkan. Zayn sama sekali tidak menyentuhnya di malam pertama mereka. Pria itu malah bersikap lebih dingin dari sebelumnya.

"Ini kamarmu," kata Zayn dengan nada datar.

Sera memandang kamar itu dengan cermat. Ruangan itu tampak tidak terlalu mewah dibandingkan dengan bagian rumah lainnya yang besar dan megah. Letak kamarnya berada di ujung lorong, cukup jauh dari ruang utama, tetapi ukurannya jauh lebih besar dari kamar yang pernah dia tempati selama ini. Meskipun sederhana, kamar itu terasa nyaman dengan perabotan minimalis dan ranjang sedang yang terlihat empuk.

"Kenapa? Kamu tidak suka dengan kamarnya?" tanya Zayn dengan tajam, memecah keheningan.

Sera menggeleng dengan cepat. "Saya menyukainya," jawabnya jujur sambil duduk dan menepuk ranjang yang empuk itu, mencoba mencari kenyamanan dalam situasi yang serba aneh ini.

Zayn mengangguk dengan sorot mata tajam dan senyum penuh makna yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. "Kalau begitu, istirahatlah," ujarnya singkat, lalu berbalik meninggalkan kamar.

Sera meremas tangannya, bingung dengan apa yang harus dilakukannya. "Mas tidur di mana?" tanyanya dengan ragu, suaranya hampir tak terdengar.

Zayn berbalik dan menoleh, tatapannya menusuk. Sekilas, dia bisa melihat kegelisahan di wajah Sera. Dengan langkah perlahan, dia mendekati wanita itu. "Ada apa? Kamu takut tidur sendiri?" tanyanya, nada suaranya terdengar mengejek.

Sera menahan napasnya. Ditatap sedekat itu oleh Zayn membuat jantungnya berdebar tak karuan. Pria itu memiliki aura yang begitu kuat, memabukkan dan menakutkan sekaligus.

"Ah, t-tidak, Mas. Saya... Saya...." Sera tergagap, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

Zayn semakin mendekat. Dia sangat menikmati reaksi Sera, melihat bagaimana wanita itu berusaha menenangkan diri namun gagal total. Ditariknya pinggang gadis itu, mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka bersentuhan.

Sera merasakan dadanya berdebar aneh saat bibir mereka bersentuhan. Sensasi ganjil yang belum pernah dirasakannya menjalar dari bibirnya ke seluruh tubuhnya. Perlahan, sensasi itu berubah menjadi kehangatan dan kenikmatan yang membuatnya terbuai. Sera memasrahkan dirinya sepenuhnya pada Zayn, mencoba menikmati momen singkat itu.

Namun sangat tidak disangka, tubuh Zayn tiba-tiba menegang. Dia menjauhkan dirinya seperti baru saja tersengat listrik. Ada sorot jijik dan marah yang bisa Sera lihat dalam tatapannya, membuatnya merasa tertolak.

"Masih ada hari-hari lainnya. Sekarang istirahatlah," kata Zayn dengan suara rendah, penuh dengan nada dingin. Dia langsung berbalik dan melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya dengan cukup kasar. 

Sera duduk terpaku di ranjang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.  Mungkinkah pria itu menghindarinya karena teringat pada istri pertamanya? Atau mungkin dia sudah menyesal telah menikah dengannya? pikir Sera dengan penuh keraguan dan ketidakpastian. 

Dengan lembut, dia menyentuh bibirnya yang masih berdenyut setelah ciuman tadi. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya, antara bingung, marah, dan entah kenapa ada sedikit rasa kecewa. Ini semua terasa seperti mimpi buruk yang nyata dan Sera tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status