Sera duduk di kursi di ruangan dokter, meremas-remas jemarinya yang dingin. Hasil pengecekan menyeluruh yang dilakukan oleh Dokter Aryono baru saja disampaikan, dan perasaan lega bercampur dengan kecemasan memenuhi hatinya.
“Rahimmu subur, Sera. Saluran telurnya pun sehat dan terbuka,” ujar Dokter Aryono sambil melepaskan sarung tangannya. “Tidak ada masalah sama sekali. Kalian berdua dalam kondisi prima untuk memiliki anak."
Sera menggigit bibir bawahnya, merasakan campuran emosi yang rumit. Dia merasa lega karena rahimnya subur dan dia bisa mengandung anaknya sendiri. Namun, kecemasan menggerogoti hatinya, karena hal ini berarti kesepakatannya dengan Zayn akan terus berlanjut. Dia akan menikah dengan pria itu, mengandung anaknya, melahirkannya, dan menyerahkan anak itu pada istri pertama Zayn.
Waktu seakan berhenti di sekitarnya. Bayangan harus menyerahkan anaknya sendiri pada orang lain begitu nyata dan menyakitkan. Dia tidak tahu bagaimana perasaannya nanti.
Zayn menepuk pelan pundaknya, mengganggu lamunan Sera. “Bagaimana, Sera? Apakah kamu tetap pada keputusanmu?” tanyanya dengan suara tajam yang memecah keheningan.
Sera menatap Zayn, mata mereka saling bertaut dalam sebuah pertarungan batin. Dia merasakan tekanan yang begitu besar dari pria di depannya, tekanan untuk menyerahkan diri dan masa depannya sepenuhnya.
Dia menelan ludahnya, mengepalkan kedua tangannya di pangkuan. “Saya... saya akan tetap pada keputusan ini, Pak Zayn,” ucap Sera dengan suara yang hampir tercekat di tenggorokannya.
Zayn mengangguk pendek, ekspresinya tidak menunjukkan kelegaan atau kebahagiaan. Dia tampak seperti pria yang hanya menjalankan agenda bisnisnya. “Baiklah, kalau begitu,” katanya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. “Siapkan semua dokumen yang diperlukan. Saya ingin semuanya selesai hari ini,” perintahnya dengan suara tegas.
Sera hanya bisa duduk diam, menyaksikan semuanya berjalan begitu cepat. Setelah menutup telepon, Zayn menoleh ke arahnya lagi. “Kita akan menyelesaikan semuanya hari ini. Setelah itu, kita akan mulai proses pernikahan. Jangan khawatir, saya akan memastikan semuanya berjalan lancar.”
Sera hanya bisa mengangguk lemah, tak mampu menyembunyikan perasaan campur aduk yang melanda hatinya.
Setelah itu, Zayn mengakhiri pertemuan mereka dengan cepat. Dia meninggalkan Sera dalam keheningan ruangan, ditemani oleh perasaan campur aduk yang begitu sulit dipahami.
***
Zayn mengenakan setelan jas hitamnya dengan rapi saat penandatanganan surat nikah di kantor catatan sipil. Dia tampak begitu tampan dengan potongan jas yang pas di tubuh atletisnya, meski ekspresi wajahnya tak menunjukkan emosi, dingin dan datar seperti biasa.
Di kursi lain, duduk Sera dengan wajah penuh kegelisahan. Gaun putih sederhana yang dikenakannya, dipadukan dengan riasan tipis, membuatnya tampak anggun, namun tidak mampu menyembunyikan kecemasan yang meliputinya.
Sera datang seorang diri pada hari paling penting dalam hidupnya ini. Dengan tangan gemetar, dia menandatangani surat nikahnya, setiap goresan pena terasa berat. Pikiran-pikiran berkecamuk di benaknya, mempertanyakan langkah yang diambilnya. Benarkah keputusan ini? Menikah dengan lelaki yang tak dicintainya, yang bahkan belum dikenalnya dengan baik?
Sesaat dia melirik ke arah Zayn. Tepat pada saat pria itu sedang menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Sekilas, ada kepuasan, penghinaan, dan ketajaman dalam sorot matanya, yang membuat Sera langsung mengalihkan pandangannya. Hatinya berdebar-debar, seperti hendak meledak.
"Sudah siap untuk pulang ke tempat barumu, Sera?" tanya Zayn dengan nada tajam.
Sera hanya bisa mengangguk pelan. Dia mengikuti langkah suaminya yang baru saja disahkan itu dengan patuh hingga ke dalam mobil mewah yang telah menunggu mereka.
Selama perjalanan, Sera hanya diam, sementara Zayn sibuk dengan urusan bisnisnya melalui sambungan telepon yang seolah tidak ada habisnya. Pria itu tidak tampak seperti mempelai baru. Dia lebih terlihat seperti seorang pebisnis yang baru saja menandatangani kontrak bisnis lainnya.
"Istirahatlah kalau kamu bosan. Saya akan membangunkanmu saat sampai nanti," ujar Zayn dengan dingin, tanpa sedikit pun menunjukkan kelembutan.
Sera mencoba memejamkan matanya, namun pikirannya tetap berkelana tanpa henti. Dia memikirkan masa depan yang akan dihadapinya bersama Zayn, bagaimana hari-hari yang akan dihabiskannya dengan pria itu demi memenuhi kesepakatan mereka.
Namun, semuanya sangat berbeda dari apa yang pernah Sera bayangkan. Zayn sama sekali tidak menyentuhnya di malam pertama mereka. Pria itu malah bersikap lebih dingin dari sebelumnya.
"Ini kamarmu," kata Zayn dengan nada datar.
Sera memandang kamar itu dengan cermat. Ruangan itu tampak tidak terlalu mewah dibandingkan dengan bagian rumah lainnya yang besar dan megah. Letak kamarnya berada di ujung lorong, cukup jauh dari ruang utama, tetapi ukurannya jauh lebih besar dari kamar yang pernah dia tempati selama ini. Meskipun sederhana, kamar itu terasa nyaman dengan perabotan minimalis dan ranjang sedang yang terlihat empuk.
"Kenapa? Kamu tidak suka dengan kamarnya?" tanya Zayn dengan tajam, memecah keheningan.
Sera menggeleng dengan cepat. "Saya menyukainya," jawabnya jujur sambil duduk dan menepuk ranjang yang empuk itu, mencoba mencari kenyamanan dalam situasi yang serba aneh ini.
Zayn mengangguk dengan sorot mata tajam dan senyum penuh makna yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. "Kalau begitu, istirahatlah," ujarnya singkat, lalu berbalik meninggalkan kamar.
Sera meremas tangannya, bingung dengan apa yang harus dilakukannya. "Mas tidur di mana?" tanyanya dengan ragu, suaranya hampir tak terdengar.
Zayn berbalik dan menoleh, tatapannya menusuk. Sekilas, dia bisa melihat kegelisahan di wajah Sera. Dengan langkah perlahan, dia mendekati wanita itu. "Ada apa? Kamu takut tidur sendiri?" tanyanya, nada suaranya terdengar mengejek.
Sera menahan napasnya. Ditatap sedekat itu oleh Zayn membuat jantungnya berdebar tak karuan. Pria itu memiliki aura yang begitu kuat, memabukkan dan menakutkan sekaligus.
"Ah, t-tidak, Mas. Saya... Saya...." Sera tergagap, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Zayn semakin mendekat. Dia sangat menikmati reaksi Sera, melihat bagaimana wanita itu berusaha menenangkan diri namun gagal total. Ditariknya pinggang gadis itu, mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka bersentuhan.
Sera merasakan dadanya berdebar aneh saat bibir mereka bersentuhan. Sensasi ganjil yang belum pernah dirasakannya menjalar dari bibirnya ke seluruh tubuhnya. Perlahan, sensasi itu berubah menjadi kehangatan dan kenikmatan yang membuatnya terbuai. Sera memasrahkan dirinya sepenuhnya pada Zayn, mencoba menikmati momen singkat itu.
Namun sangat tidak disangka, tubuh Zayn tiba-tiba menegang. Dia menjauhkan dirinya seperti baru saja tersengat listrik. Ada sorot jijik dan marah yang bisa Sera lihat dalam tatapannya, membuatnya merasa tertolak.
"Masih ada hari-hari lainnya. Sekarang istirahatlah," kata Zayn dengan suara rendah, penuh dengan nada dingin. Dia langsung berbalik dan melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya dengan cukup kasar.
Sera duduk terpaku di ranjang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Mungkinkah pria itu menghindarinya karena teringat pada istri pertamanya? Atau mungkin dia sudah menyesal telah menikah dengannya? pikir Sera dengan penuh keraguan dan ketidakpastian.
Dengan lembut, dia menyentuh bibirnya yang masih berdenyut setelah ciuman tadi. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya, antara bingung, marah, dan entah kenapa ada sedikit rasa kecewa. Ini semua terasa seperti mimpi buruk yang nyata dan Sera tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
"Ikutlah dengan saya malam ini," ujar Zayn dengan nada yang lebih mirip perintah daripada ajakan. Matanya yang tajam menatap Sera, seolah menuntut kepatuhan tanpa pertanyaan.Sera, yang sedang mengoleskan selai kacang di atas roti, menghentikan gerakannya sejenak. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. "Ke mana, Mas?" tanyanya dengan suara selembut mungkin, berusaha tidak menunjukkan kegelisahan yang mulai merayap di hatinya."Nanti juga kamu tahu," sahut Zayn dingin, tanpa repot-repot menoleh ke arah istrinya. Dia sibuk membolak-balik koran pagi, seolah pertanyaan Sera tak lebih penting dari berita hari ini.Sera hanya bisa menghela napas pasrah. Sudah hampir satu minggu mereka menikah, tapi sikap Zayn tak pernah berubah. Dingin, kaku, dan penuh misteri. Namun Sera
Zayn melangkah masuk ke dalam bar eksklusif itu. Langkahnya mantap dan penuh percaya diri, kontras dengan Sera yang tertinggal di belakang, berjuang dengan setiap langkahnya. Sepatu hak tinggi yang dipakainya seolah menjadi musuh terbesarnya malam ini.Sera berusaha menyeimbangkan tubuhnya, napasnya terengah-engah. Dia melirik punggung Zayn yang semakin menjauh, berharap suaminya akan menoleh dan membantunya. Namun, harapan itu pupus seketika.Sera berusaha menyeimbangkan diri, kakinya gemetar seperti anak rusa yang baru belajar berjalan. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas tali yang membentang di atas jurang. Sementara Zayn terus melangkah, seolah tak menyadari atau lebih tepatnya, tak peduli dengan kesulitan yang dihadapi istrinya."Bisa lebih cepat?" Suara Zayn akhirnya memecah keheningan di antara mer
Denyut sakit yang berdentam di kepala Sera menyambutnya kembali ketika dia membuka matanya. Perlahan, dia mencoba memfokuskan pandangan dalam remang-remang kamar yang asing.Sera merasakan lembut seprai di kulitnya yang telanjang, terselimuti hingga leher. Kebingungan dan rasa takut mulai merayap dalam dirinya saat kesadaran perlahan kembali. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya yang terasa lemah dan kaku, seolah baru saja melalui badai hebat.Dengan tangan gemetar, Sera menyentuh kepalanya yang berdenyut. Potongan-potongan ingatan berkelebat dalam benaknya, namun tak satu pun membentuk gambaran utuh tentang apa yang telah terjadi.Tiba-tiba, matanya menangkap bayangan di sudut ruangan, jeritan tertahan lolos dari bibirnya.Jantung Sera seakan berhenti ber
"Kenapa kamu mengusir semua orang yang ingin melayanimu?" Suara Zayn memecah keheningan, nadanya sedingin es.Sera membisu. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Dia tidak berusaha menyembunyikannya, membiarkan kesedihannya terlihat jelas di hadapan suaminya.Zayn duduk di tepi ranjang, jarak mereka begitu dekat hingga Sera bisa merasakan napasnya yang hangat dan tatapan tajam yang terpancar dari matanya. "Kamu ingin keluar dengan tampilan seperti ini?" desisnya geram, kesabarannya mulai menipis.Masih tak ada jawaban. Sera memalingkan wajah, menghindari tatapan Zayn yang terasa membakar. Hatinya seolah tercabik-cabik setiap kali dia memandang wajah pria yang kini menjadi suaminya itu.Amarah mulai menguasai Zayn. Dia mengepalkan tangan hingga b
"Saya ingin bercerai, Mas."Kata-kata itu meluncur dari bibir Sera, bergetar namun penuh tekad. Tiga hari menunggu dalam ketidakpastian telah memberinya waktu untuk mengumpulkan keberanian ini. Sementara Zayn, yang baru saja kembali entah dari mana, menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Sera meremas tangannya kuat-kuat, berusaha menguatkan diri untuk melanjutkan. "Tidak peduli meski saya harus membayarnya dengan bekerja seumur hidup. Saya pasti akan membayar hutang saya."Mata Zayn yang tajam menusuk langsung ke jiwa Sera, seolah hendak menelanjangi setiap pikiran dan niatnya. "Kamu tahu kan berapa kali lipat jumlah keseluruhan yang harus kamu bayar jika membatalkan kontrak ini secara sepihak?" Suaranya dingin dan kasar.Sera menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusah
Sera menatap Zayn dengan mata membulat, kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba bersedia mengantarnya pulang terasa begitu ganjil."M-mas mau mengantar saya?" tanyanya ragu-ragu saat Zayn memasuki mobil dan duduk di sampingnya.Zayn hanya melirik sekilas sebelum memerintah sopirnya, "Jalan, Pak." Nada suaranya datar, tak memberikan petunjuk apa pun tentang apa yang ada dalam pikirannya.Selama perjalanan, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Zayn, seperti biasa, tenggelam dalam percakapan bisnis di teleponnya. Sementara Sera, pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib yang menanti di ujung perjalanan ini.Ketika mobil berbelok ke arah yang asing, alarm internal Sera mulai berbunyi nyaring. "K-kita mau pergi ke mana, Mas?" tanyanya
"Sekarang kamu sudah menikah, Sera," kata Sari dengan suara lembut, jemarinya yang mulai keriput membelai rambut hitam putrinya yang panjang. "Nggak baik meninggalkan suamimu terlalu lama."Sera merasakan jantungnya berdebar kencang. Kalimat sederhana ibunya membawa gelombang emosi yang bergejolak dalam dirinya. 'Aduh Ibu! Kalau saja Ibu tahu pria macam apa dia. Masih sanggupkah Ibu mengeluarkan kata-kata ini!' keluhnya dalam hati. Namun, bibirnya tetap terkatup rapat, tak sanggup mengungkapkan keresahan yang menggerogoti batinnya."Ingat, Sera. Seberat dan sebesar apa pun masalah kalian. Kamu nggak boleh sampai menghindar," pesan Sari lagi, matanya memancarkan harapan yang membuat Sera semakin terpuruk dalam dilema. "Karena pernikahan itu bukan main-main. Kalian sudah berjanji di hadapan Tuhan."Sera tersenyum geti
Lampu-lampu neon berkedip liar, memantulkan bayangan-bayangan menari di dinding bar yang remang. Sera berdiri di balik meja konter, jemarinya dengan lincah meracik minuman demi minuman. Sudah dua minggu berlalu sejak dia menerima tawaran Mia, dan sejauh ini, semuanya berjalan lancar. Bartender senior mengajarinya dengan sabar, dan dia mulai merasa nyaman dengan pekerjaannya yang baru.Malam itu, bar mulai ramai. Aroma parfum mahal bercampur asap rokok mengambang di udara. Sera menghela napas lega saat menyelesaikan pesanan terakhir. Namun, kelegaan itu tak bertahan lama.Sebuah tangan kekar tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya. Sera tersentak, matanya bertemu dengan sepasang mata yang dipenuhi nafsu. Seorang pria paruh baya, dengan setelan mahal dan jam tangan berkilau, menyeringai padanya."Hei, canti
Api menjilat-jilat tirai hotel dengan rakus, menari-nari dalam kegelapan malam yang mencekam. Zayn terpaku di tengah kamar, matanya nanar menatap lidah-lidah merah yang kini merambat ke langit-langit. Napasnya tertahan, bukan karena asap yang mulai mengepul—tetapi karena kenangan yang tiba-tiba menyeruak, menghantamnya dengan kekuatan yang membuatnya gemetar.Lima belas tahun yang lalu. Malam itu juga bermula dengan api—api yang dia sulut sendiri dengan tangan gemetar dan hati yang membara oleh kebencian.Anak muda itu berdiri di sana, tangannya gemetar memegang korek api. Matanya berkaca-kaca, campuran antara amarah dan ketakutan yang begitu mencekik. Bayangan wajah ibunya yang terluka, mata sembab yang selalu menyimpan kesedihan mendalam, dan tubuh rapuh yang menderita dalam diam – semuanya berputar dalam benaknya seperti film rusak yang ter
Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y
Kesadaran menyeruak perlahan, membawa Arneta kembali ke dunia nyata yang lebih menyakitkan dari mimpi terburuknya. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ribuan palu menghantam tanpa henti. Matanya terbuka, mengerjap lemah, hanya untuk bertemu dengan sepasang mata tajam yang menatapnya lekat - mata Gilang, pria yang kini menjadi sumber dari segala deritanya."Kamu sudah bangun?" Suara Gilang terdengar tenang, namun bagi Arneta, setiap kata yang keluar dari mulut pria itu bagaikan racun yang menyebar ke seluruh tubuhnya."Hampir saja mematahkan tangan dokter itu kalau kamu masih belum bangun juga," lanjut Gilang santai, seolah membicarakan cuaca. Kenyataan menghantam Arneta bagai ombak ganas - ini bukan mimpi. Ia telah kembali ke sangkar emasnya yang terkutuk, tempat di mana ia tak lebih dari boneka dalam genggaman Gilang.
Rintik hujan perlahan mereda, meninggalkan aroma basah yang mengambang di udara. Di hadapan rumah yang dulu penuh kehangatan, Arneta berdiri terpaku, seolah waktu membeku di sekelilingnya. Air mata mengalir tanpa henti, setiap tetesnya membawa serpihan kenangan indah yang kini terasa begitu jauh dan mustahil untuk diraih kembali.Bangunan yang dulu bernapas dengan tawa dan canda, kini berdiri sunyi, seakan ikut berkabung atas tragedi yang menimpa penghuninya. Arneta merasakan setiap detik yang berlalu bagaikan pisau yang mengiris jiwanya."Ayo, Ma. Ana pasti ketakutan di dalam," suara Adjie memecah keheningan, menarik Arneta kembali ke realita yang kejam.Nama putrinya bagaikan cambuk yang menghantam kesadaran Arneta. Dengan langkah tergesa, dia menghampiri pintu, jantungnya berdebar kencang. Namun, pintu terkunci r
Kesunyian yang mencekam merayap di sudut-sudut kamar, seolah menelan seluruh kehidupan yang tersisa. Di tengah ruangan itu, Arneta terduduk kaku, tatapannya kosong menembus jendela, menerawang jauh ke cakrawala yang tak terjangkau. Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Adjie, namun bagi Arneta, waktu seakan berhenti, membeku dalam keputusasaan yang mencengkeram.Wajahnya yang dulunya berseri kini tampak pucat dan tirus. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang sayu, saksi bisu dari malam-malam tanpa tidur yang dilaluinya. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya.Suara ketukan lembut di pintu memecah keheningan, diikuti derit engsel yang membuka perlahan. Astuti, dengan langkah hati-hati, memasuki kamar membawa nampan berisi hidangan yang aromanya menguar menggoda. Namun bagi Ar