Kening Briella berkerut. Ia heran lantaran Aden malah memberikan sekotak brownies itu padanya.
"Kenapa malah kau berikan padaku?" ucap Briella.
"Aku tidak menyukainya. Jadi untukmu saja," kata Aden.
"Hei, jangan begitu. Kita makan ini bersama-sama," ujar Briella.
Aden pun berdecak. Dia lantas menggeleng dan merebut lagi sekotak brownies yang dipegang Briella. Begitu ada karyawan yang masuk, Aden lalu memberikan sekotak brownies tersebut kepada karyawannya. Karyawan itu pun berlalu.
"Mau makan siang denganku, Briel? Kita makan di kafe biasanya," kata Aden.
"Terserah kau saja. Aku akan ikut," jawab Briella.
"Keputusan yang bagus," ujar Aden.
Dia pun mengecup kening Briella dan menggenggam tangan Briella. Kini mereka berdua pergi menuju ke kantin bersama-sama.
Setibanya di kantin, Aden mempersilakan Briella duduk. Ditatapnya mata Briella untuk sementara waktu sebelum akhirnya Aden tersenyum.
"Mau kupesankan apa, Sayang?" tanya Aden.
"Sardinia dan jus melon saja," kata Briella.
"Baiklah, tunggu di sini. Aku akan ke sana," ujar Aden.
Anggukan dari kepala Briella membuat lengkung di bibir Aden semakin mengembang. Bukan main senangnya melihat Briella menurut padanya untuk saat ini.
Aden pun lekas berjalan menuju ke pelayan kafe. Memesankan dua piring sardinia dan dua gelas jus melon untuk mereka.
Aden pun lekas berjalan menuju ke pelayan kafe. Memesankan dua piring sardinia dan dua gelas jus melon untuk mereka. Dalam jajaran barisan menuju sang pelayan kafe itu Aden harus mengantre. Antrean sangat penuh dan sesak oleh pengunjung yang memesan makanan.
Bahkan beberapa kali Aden harus berdesakan dengan banyak kerumunan wanita. Kejadian ini terlihat jelas di mata Briella. Aden pun berhasil kembali setelah mendapatkan pesanan makanan dan minuman mereka.
Namun ketika Aden kembali, wajah Briella sudah tidak semanis yang tadi. Aden pun keheranan dan lekas duduk di depan Briella.
"Ada apa? Kenapa wajahmu kusut begitu?" tanya Aden.
"Kau jalan dengan siapa lagi? Baru saja aku melihatmu berdekatan dengan perempuan lain," kata Briella.
"Apa? Di mana?" tanya Aden yang tak mengerti.
Jelas saja dia tak mengerti. Hari ini saja dia tidak absen sedikitpun dari dekat Briella. Bahkan dia tak bersama wanita lain seharian ini. Tapi entah kenapa Briella malah menuduhnya.
"Aku tidak bersama perempuan manapun sehari ini," kata Aden membela diri.
"Jangan alasan, Aden! Aku melihatmu bersenggolan dengan perempuan-perempuan di sana. Mereka dekat-dekat denganmu. Masa iya kamu tidak sadar?" ucap Briella sambil menunjuk ke arah antrian di depan meja pelayan kafe.
"Ya ampun, Briella. Itu mereka sedang mengantri. Begitupula dengan aku. Kami tidak sengaja berdesakan," kata Aden.
"Tetap saja aku tidak suka mereka menempel di tubuhmu," ujar Briella.
Aden hanya bisa tercengang mendengar ujaran Briella. Belum sampai Aden mengucap kata, makanan mereka berdua datang. Segera saja sang pelayan menatakannya di atas meja.
"Aku tidak suka ya, Aden. Kamu ambil kesempatan untuk dekat-dekat dengan wanita lain," ucap Briella.
"Apa sih, Briel. Tadi itu nggak sengaja beneran. Kok kamu marah begini," kata Aden tidak terima.
"Kebiasaan genitmu itu yang aku tidak suka. Aku tidak mau ada kabar aneh lagi tentangmu di siang bolong begini," ujar Briella.
Aden menghela napas panjangnya. Tak disangka bahwa Briella benar sangat pencemburu. Aden hanya bisa berdecak setelah menatap Briella menyantap sardinia miliknya.
"Tidak ada kabar tentangku lagi hari ini, Briel. Kau bisa tenang," kata Aden.
Briella menggendikkan bahunya. Ia kemudian menatap ke arah Aden dengan pandangan yang kaku.
"Memang seharusnya tidak ada pemberitaan apapun tentangmu," kata Briella.
Aden pun menahan tawanya melihat sungutan di wajah Briella. Tunangannya yang satu ini memang sangat menggemaskan.
"Ingin rasa aku mencubit pipimu, Briell," ucap Aden.
"Jangan aneh-aneh di sini," tukas Briella.
Pandangan Briella kemudian tertuju ke arah sardinia milik Aden yang belum disentuhnya sama sekali. Menyaksikan itu, Briella hanya bisa menghela.
"Sebaiknya kamu makan makananmu. Nanti keburu dingin," kata Briella.
"Iya, Sayang. Jangan galak-galak begitu jadi orang," ucap Aden.
"Aku bukannya galak. Hanya saja kelakuanmu itu masih seperti anak kecil. Manja," ujar Briella.
"Sudahlah. Aku tidak ingin berdebat denganmu di sini," kata Aden.
Aden pun segera menyantap sardinia yang ada di depannya. Menyaksikan Aden yang sedang lahap makan, Briella lekas mengalihkan pandangan.
Ia kembali menyantap sardinia-nya. Tak ada lagi obrolan di antara Briella dan Aden saat ini. Keduanya sama-sama asyik menyantap makanannya masing-masing.
Hingga sampai sardinia masing-masing habis, Briella dan Aden sama-sama menegak jus melonnya sendiri-sendiri. Aden kemudian memandang ke arah Briella.
"Biar aku saja yang bayar, Briel. Kau tunggu saja di sini," ucap Aden.
Briella membalas ucapan Aden dengan sekali anggukan. Usai melihat senyum di bibir Briella, Aden pun lekas pergi membayar pesanan mereka di kasir.
Tak lama, Aden pun kembali dan mengajak Briella untuk menuju ke ruangannya lagi. Namun sialnya, belum sampai mereka di ruangan Aden, Briella sudah tersandung kakinya.
Hal ini membuat Briella tidak bisa berdiri. Aden berusaha untuk membantu Briella, namun sepertinya kaki Briella terkilir.
"Kau bisa jalan, Briel?" tanya Aden.
Namun tak ada jawaban dari Briella. Ia hanya meringis menahan kesakitan yang ia rasakan di kaki kanannya.
"Jangan dipaksa kalau tidak bisa," kata Aden.
Dengan sigap Aden langsung menggendong Briella. Dia membawa Briella untuk segera masuk ke dalam ruangan kerjanya. Aden meletakkan Briella ke kursi dan mensejajarkan kaki Briella.
"Apa kita pulang saja? Sepertinya kau butuh perawatan segera," kata Aden.
Dalam sekejap Briella langsung menggeleng. Ia menatap ke arah Aden dan lekas menjawab perkataannya.
"Pekerjaanmu bagaimana? Bukannya kita kemari untuk menyelesaikannya," ujar Briella.
"Kesehatanmu lebih penting bagiku, Briel. Bisa-bisa aku dimarahi tante Sandera karena tidak bisa menjagamu dengan baik," ucap Aden.
Usai berkata demikian, Aden memandang wajah Briella. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Hingga akhirnya Aden berjalan menghampiri Briella.
"Akan kubawa kau pulang saja. Masalah pekerjaan bisa diselesaikan nanti," kata Aden.
Aden segera menyelipkan tangannya di bawah lutut dan punggung Briella. Dalam hitungan ketiga, Aden segera menggendong Briella. Dia meletakkan Briella persis di dalam gendongannya agar tak jatuh.
"Aden, aku malu!" lirih Briella.
Briella menyadari bahwa sepanjang lorong kantor, ia dipandangi oleh karyawan lain. Utamanya bagi para karyawati yang memandanginya dengan sinis.
"Sudahlah, abaikan saja. Mau bagaimana lagi kakimu terkilir," ujar Aden.
Sesampainya di depan mobil, Aden segera membuka pintunya dan menaruh Briella di dalam. Aden segera berjalan memutar dan memasuki mobilnya lewat pintu lain.
"Kita pulang sekarang, Briell. Tidak usah dipikirkan soal di kantor tadi," ujar Aden.
Aden segera menghidupkan mobilnya. Setelah itu, Aden menjalankan mobilnya dan mengarahkannya menuju rumah Briella. Sekitar satu jam kemudian, mereka telah sampai.
Aden keluar dari dalam mobil dan menggendong Briella kembali. Menyaksikan kedatangan Aden yang menggendong Briella dengan heroic, Sandera hanya bisa berdecak.
"Ada apa lagi ini? Kenapa dengan Briella?" tanya Sandera.
Sandera berkacak pinggang memandang ke arah Briella yang digendong oleh Aden. Keningnya berkerut menyaksikan kejadian itu."Apa Briella membuat kekacauan lagi di kantormu, Aden?" tanya Sandera.Briella mengerucutkan bibirnya. Pasalnya Sandera selalu seenaknya menuduh dirinya. Padahal Briella mengalami ini semua secara tidak sengaja.Kakinya benar-benar terkilir!"Tidak kok, Ma. Briella tidak sengaja jatuh lalu kakinya sakit," ujar Aden."Ya ampun. Kamu ini benar-benar ceroboh ya, Briella! Bisa-bisanya jatuh begitu," kata Sandera.Sandera lalu melihat ke arah Briella. Ditatapnya anak perempuannya yang sedang digendong oleh Aden. Sandera kemudian menurunkan kacak pinggangnya dan menghampiri Briella."Kasihan Aden menggendongmu sampai seperti itu," lanjut Sandera.Sandera kemudian menilik kaki Briella yang tampak bengkak. Dilihatnya dengan cermat kondisi kaki Briella yang saat ini lebam."Turunkan saja, Aden. Biarkan Briella berjalan sendiri," kata Sandera.Aden terkejut seketika. Kening
Briella hanya bisa mengembuskan napas menghadapi kemarahan Sandera. Tidak salah apabila Sandera sampai memarahinya begitu, sebab Gietta sendiri adalah teman lamanya yang tidak pantas untuk dicurigai.Namun juga bukan salah Briella yang memiliki ketakutan akan kehilangan Aden. Briella memandangi Sandera yang sedang memberikan nasihat kepadanya. Tampaknya tidak akan habis rasa amarah Sandera."Mama tidak mau kamu menjadi orang yang paranoid, Briel. Mama bilang begini juga demi kebaikanmu," kata Sandera."Iya, Ma. Aku juga tahu itu. Tapi bukan salahku jika aku takut kehilangan Aden," ujar Briella."Tetap saja tidak dibenarkan menuduh sahabat mengambil kekasih sendiri. Apalagi kalian berdua sudah bertunangan. Itu tidak mungkin," ucap Sandera."Terserah mama saja. Aku capek berdebat terus dengan mama," ujar Briella.Setelah mengantar dokter pribadinya, Aden kembali. Dia berjalan masuk ke dalam rumah dan mendapati adanya Sandera di dekat Briella. Aden pun langsung menghampiri keduanya dan m
Aden pun pergi meninggalkan Briella. Setelah menatap Briella untuk yang terakhir, akhirnya Aden keluar dari kamar Briella. Di luar kamar Briella, Aden bertemu dengan Sandera. Sontak saja Aden menghentikan langkah kakinya."Apa dia sudah tidur?" tanya Sandera."Tadi kutinggal, kedua matanya sudah terpejam," kata Aden.Sandera manggut-manggut. Lantas ia mengedarkan pandangan ke arah Aden. Ditatapnya calon menantunya itu dengan tatapan yang datar."Lalu sekarang kau mau ke mana?" tanya Sandera."Tentu saja aku mau pulang. Briella sudah tidur. Ada kerjaan di kantor yang harus aku selesaikan," ucap Aden."Ya sudahlah. Pulang saja," kata Sandera."Tapi tidak usah khawatir. Nanti sore aku akan kembali lagi ke sini," ujar Aden.Seketika itu pula kening Sandera mengerut. Terheran dengan apa yang dikatakan oleh Aden. Tidak menyangka kalau nantinya Aden akan kembali lagi."Untuk menjemput Briella. Kami akan jalan-jalan seperti biasa," kata Aden."Begitu rupanya. Jangan pulang larut malam," ucap
Aden tertegun sejenak melihat perhatian Briella yang romantis. Jarang-jarang terlihat kalau Briella bisa bersikap seperti ini padanya. Briella bahkan bisa sangat hangat pada dirinya, membuat Aden terkesima."Kalau kau capek, kita batalkan saja jalan-jalannya," ujar Briella.Seketika itu juga Aden langsung menggeleng keras-keras. Dia bersikukuh ingin mengajak Briella jalan-jalan keluar."Tidak. Tadinya aku sudah berniat untuk mengajakmu jalan-jalan. Masa iya tidak jadi," ujar Aden."Barangkali saja kau kecapekan. Aku kan tidak ingin membuat tunanganku sendiri kerepotan," kata Briella."Kau ini menyindirku ya, Briell," ujar Aden.Briella tertawa begitu mendengar ujaran sengit dari Aden. Apalagi jika melihat wajah Aden yang sudah kesal, makin menjadilah tawa Briella."Ada apa, Sayang? Apa ada yang terjadi di kantor?" tanya Briella."Nanti saja akan kuceritakan. Sekarang bersiaplah, akan kuajak kamu pergi," kata Aden.Briella berdeham. Ia tidak langsung menjawab perkataan Aden. Sengaja me
Briella langsung menaikkan kedua alisnya ke atas. Ia benar-benar kaget dengan pemberitaan yang ada. Lagi-lagi Aden bersama dengan wanita lain, selain dirinya. Terang saja itu membuat Briella marah."Kamu sama Wina tadi?" tanya Briella.Kening Aden mengerut. Dia menatap Briella dengan keheranan. Semenit kemudian, Aden mengangguk."Ya. Dari mana kau tahu tentang itu?" tanya Aden.Briella berdecak. Sebal lantaran Aden masih saja berhubungan dengan Wina. Briella pun memasang wajah yang sebal di depan Aden.Seketika itu pula Aden langsung melihat ke bawah. Searah genggaman tangan Briella yang memegang handphone.Barulah Aden sadar bahwa Briella pasti telah melihat kabar terbaru tentang dirinya."Aku heran dari mana wartawan bisa memfotoku dengan Wina? Perasaan tadi siang masih aman-aman saja," terang Aden."Sudah tahu kalau kehidupanmu disorot. Masih saja kamu sembarangan dalam bersikap," kata Briella."Bukannya begitu, Briel. Kau kan tahu aku ini memang populer. Pasti di mana-mana akan ad
"Briel, jangan mendiamkan aku," kata Aden.Briella menoleh. Ia lalu memasang senyum kecut. Kedua matanya memandang ke arah Aden dengan malas."Aku sedang malas bicara, Aden," ujar Briella."Ya sudah. Kita langsung pulang atau ingin mampir ke tempat makan dulu?" tanya Aden."Terserah kau saja, Aden. Aku ikut denganmu," kata Briella."Baiklah, kita mampir ke tempat makan dulu. Perutku sudah lapar sekali," ujar Aden.Seusai berkata begitu, Aden langsung menjalankan mobilnya. Mereka akan menuju ke sebuah restoran. Dengan kecepatan yang di atas rata-rata, akhirnya mereka sampai.Aden dan Briella pun turun dari dalam mobil. Mereka berdua berjalan bersama menuju ke dalam restoran. Sembari bergandengan tangan, Aden mengajak Briella untuk jalan lebih cepat. Mereka berdua akhirnya duduk di sebuah tempat duduk yang dekat dengan jendela. Aden mempersilakan Briella duduk dan lekas diambilnya buku menu."Kau ingin pesan apa, Briel?" tanya Aden."Wagyu grilled with garlic dan segelas coconut water
Aden segera merengkuh tangan Briella. Setelah berhasil menggenggam tangan Briella, Aden segera menariknya."Tunggu aku. Kenapa kau tidak mendengarkan aku tadi," kata Aden."Kau lama. Dan aku bosan menunggu," ujar Briella."Tetap saja jangan meninggalkan aku," ucap Aden.Briella memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia mencebik dan kemudian menatap kepada Aden. Briella lalu memasang senyum lebar."Kau saja yang lamban jalannya," kata Briella.Pandangan Aden lalu beralih. Tatapannya turun menuju jari jemari Briella. Cincin emas itu masih melingkar anggun di jari manis Briella. Aden pun lantas tersenyum."Kau masih memakai cincin tunangan kita, Briel?" tanya Aden.Briella yang semula memagut senyum lebar pun lantas meredup. Bibir Briella pun terdiam. Mengatup rapat. Sementara tatapan Briella tidak lepas dari mata Aden."Sama sekali tidak pernah kau lepas?" tanya Aden."Cincin ini istimewa, Aden. Tidak mungkin aku melepasnya," kata Briella."Sama sekali?" tanya Aden.Briella pun mengan
Alarm jam berdering. Briella membuka kedua matanya. Diedarkannya pandangan matanya ke arah sekeliling. Barulah ia sadar bahwa hari sudah pagi.Ia menguap lantaran badannya masih pegal-pegal. Setelah mematikan alarm jam, Briella beranjak turun dari ranjang. Kakinya menapak di lantai. Ia segera menatap diri ke cermin untuk bercermin.Wajah yang kusut. Kedua mata yang masih menyipit dengan sorot mata yang sayu. Briella berdecak dan mengambil sisir. Baru saja ia menyisir rambutnya, bunyi ketukan terdengar."Ya, sebentar," sahut Briella.Bergegaslah ia meletakkan sisirnya. Briella menghampiri pintu dan membuka gagangnya. Briella tidak kaget lagi saat mendapati bi Inem berdiri di depannya."Ada apa, Bi? Kenapa sepagi ini sudah mengetuk pintu kamar Briella?" tanya Briella."Anu, Non. Disuruh tuan dan nyonya untuk segera sarapan. Kedatangan Non sudah ditunggu," kata bi Inem."Baik, Bi. Aku akan segera ke sana," ujar Briella.Briella menutup pintu kamarnya. Ia bergegas menuju ke ruang makan. B
Gietta mengangguk, tetapi dalam hatinya enggan untuk menggubris kata-kata Briella. Kedua matanya menjelajah ke seisi ruangan, seolah tidak bisa diam."Padahal aku sangat menantikan kedatangan Aden, Briel," kata Gietta."Kamu tunggu saja. Pasti nanti dia datang kemari," balas Briella.Gietta kemudian menunduk. Tangannya lekas menyodorkan sebungkus oleh-oleh yang sedari tadi dibawanya."Ini ada kue krim keju untukmu, Briel. Aku tadi sengaja mampir ke toko kue untuk membelikan ini," kata Gietta.Briella memandang ke arah bungkusan kue yang disodorkan Gietta. Tanpa banyak bicara, Briella pun lekas menerima bingkisan kue tersebut."Duduklah, Giet. Akan aku buatkan teh lemon untukmu," kata Briella.Gietta mengangguk setuju. Ia lantas duduk di sofa yang berada tidak jauh di belakangnya. Briella tersenyum, sesaat kemudian ia mulai berjalan menuju dapur.Ketika sampai di dapur, Briella membuka lemari pendingin dan mengambil racikan teh. Tangannya yang ramping dengan terampil meracik semua baha
Mata Sandera mengekor pada kepergian Briella yang langsung masuk ke dalam kamar. Sandera hanya bisa menghela dengan kasar. Masih saja anak gadisnya satu itu tidak terketuk hati untuk segera melangsungkan pernikahan.Sandera berdiri dan menyusul Briella. Setelah tiba di depan pintu kamar Briella yang tertutup, Sandera mengetuk pintunya."Bukakanlah, Briel. Jangan membantah mama seperti ini," kata Sandera setengah berteriak agar Briella mendengar.Sandera masih mengetuk pintu kamar Briella. Hingga beberapa menit berlalu, Briella pun terusik dan membuka pintu kamarnya."Mari kita bicara. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan berdua," ujar Sandera.Meskipun awalnya Briella keberatan dan ingin menolak ajakan mamanya, tetapi Sandera langsung menarik lengan Briella. Inilah yang membuat Briella tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan mamanya.Sandera mengajak Briella untuk duduk di tepi ranjang. Meskipun tampaknya wajah Sandera sangat tegas dan terlihat seolah akan membicarakan h
"Perihal nikahan kalian berdua," ucap Sandera.Sekejap saja Aden membelalakkan matanya. Tiada angin tak ada hujan, tiba-tiba Sandera menanyakan tentang pernikahan mereka.Wajar saja jika Aden kaget. Dia lantas menatap kaku ke arah Briella yang sama kagetnya dengan dirinya."Pernikahan kami, Ma?" tanya Briella."Ya. Nikahan kalian. Bagaimana? Apa sudah terencana?" tanya Sandera.Briella spontan langsung terdiam. Ia menoleh ke arah Aden dan menatap calon suaminya tersebut. Briella menggeleng pelan."Kami masih belum ada rencana ke sana, Tante," ucap Aden."Bagaimana bisa? Kalian kan sudah lama bertunangan. Masa iya belum merencanakan pernikahan sama sekali," kata Sandera.Aden langsung terdiam seketika. Bibirnya menutup rapat sama seperti Briella. Tampaknya Aden dan Briella sama sekali tidak menyangka jika Sandera akan menanyakan tentang hal ini."Kalau kalian belum merencanakannya, mari kita bicarakan. Kebetulan Mama ada waktu senggang untuk kalian," kata Sandera.Aden menggaruk kepala
Briella menyadari bahwa Gietta sudah tidak seramah biasanya. Briella pun tersenyum kecut."Lantas kenapa masih di sini?" tanya Briella.Gietta mengulas senyum miring. Ia melihat ke arah Aden sekilas lalu mengalihkan pandangannya kepada Briella."Aku sedang menunggu temanku datang menjemputku," kata Gietta.Gietta lalu beringsut memandang ke arah Aden. Merasa dipandang, Aden segera menggendik dan mengarahkan pandangannya kepada Gietta."Kalau kamu mau menunggu, sebaiknya tunggu di lobi saja. Jangan di ruanganku karena nanti akan kukunci," ujar Aden.Mendengar ucapan Aden, Gietta semakin sebal. Ia sudah kesal karena diabaikan oleh Aden, malah ditambah dengan sikap Aden yang tidak ramah."Kamu mengerti dengan ucapanku, kan?" tanya Aden."Tentu. Tentu aku tahu," kata Gietta.Ia kemudian menatap ke arah Briella. Bibirnya menunjukkan seulas senyum yang dipaksakan. Hatinya tampak tidak senang melihat Briella dan Aden berdekatan."Aku akan tunggu di lobi. Kalian kunci saja ruangannya. Aku aka
"Sayang, jam berapa sekarang?" tanya Aden.Aden menatap pada Briella yang sedang berdiri menghadap ke arahnya. Seketika Aden langsung menghampiri Briella dan mendekapnya."Bukankah sudah waktunya untuk bekerja?" ujar Aden.Bahu Briella menggendik. Tatapan matanya kemudian beralih menuju ke arah jam dinding. Briella tersenyum miring."Ini sudah jam dua, Sayang. Semestinya kita sudah memulai pekerjaan kita," kata Briella.Aden mengalihkan pandangannya. Aden menatap Gietta yang sedang fokus memandang ke arah dirinya."Sudah jam dua. Berarti sisa satu jam lagi kau harus bisa menyelesaikan semua tugas ini," kata Aden."Tidak masalah. Aku bisa mengerjakannya dengan cepat," balas Gietta.Aden menyunggar rambutnya ke samping. Setelahnya, Aden beralih pandangan. Dia berbalik dan berjalan menuju ke kursi kerjanya."Kita mulai kerja sekarang. Tidak ada banyak waktu lagi yang tersisa," perintah Aden.Briella mengangguk yang disertai dengan anggukan dari Gietta. Selepas itu, mereka berdua menghada
Menyadari bahwa dirinya ditatap oleh Gietta, Aden segera berpaling. Dia merasa risih dan canggung dengan tatapan Gietta yang selalu memandang kepada dirinya."Kenapa, Aden? Apa ada yang salah?" tanya Briella setelah menyadari bahwa tunangannya itu bertingkah aneh.Briella memandangi Aden yang segera berpindah posisi, sedikit agak menjauhi Gietta. Menyadari keanehan sikap Aden, Briella menghela napas."Kamu kenapa kok kayak nggak nyaman begitu?" tanya Briella lagi."Tidak apa-apa, Giet. Aku hanya tak nyaman kau pandangi," ujar Aden salah menyebut nama.Sontak saja kening Briella mengerut. Ia menyadari bahwa Aden salah mengucapkan namanya. Sekejap saja Briella langsung menoleh ke arah Gietta."Kau menyebut Gietta?" ujar Briella.Aden yang menyadari kekeliruannya, segera mencebik. Refleks, dirinya memegang tangan Briella dan berniat untuk meminta maaf."Aku tidak sengaja, Briel. Tolong maafkan aku," pinta Aden.Briella memandang Aden dengan kecewa. Bola matanya penuh dan membulat menatap
Alis Briella hampir saling bertautan saat menatap wajah optimis Aden. Briella pun menggeleng, tak percaya."Ke kantormu? Denganku?" tanya Briella.Spontan saja Aden langsung mengangguk. Kedua matanya memandangi wajah Briella yang kelihatan ragu."Apa yang bisa kulakukan di sana?" tanya Briella.Aden tertawa. Dia lekas memegangi dahinya dan berhenti tertawa. Kini Aden memandang ke arah Briella yang sedang lugu menatap dirinya."Kamu kan bisa menemaniku bekerja, Briel. Ada di sampingku saja itu sudah cukup," kata Aden."Masa bekerja saja kau minta ditemani, Aden?" tanya Briella."Tentu saja, Sayang. Aku akan sangat senang bila kau ada di sebelahku," kata Aden.Briella tertegun sejenak saat melihat Aden tersenyum. Tak biasanya lelakinya itu memperlihatkan senyum yang menawan. Briella pun berdecak."Baiklah, aku akan ikut denganmu ke kantor," ucap Briella.Mendengar ucapan Briella seketika Aden tersenyum senang. Aden segera merangkul Briella dan mendekatkan Briella pada wajahnya. Segera s
"Bagaimana rasanya, Aden?" tanya Briella.Aden hanya mengunyah roti yang terlanjur masuk ke dalam mulutnya. Tak lama setelah rotinya tertelan, Aden lekas menoleh ke arah Briella. Dipandangnya wajah kekasihnya itu dengan binar yang menyala."Enak. Gurih dan empuk. Teksturnya juga tidak lengket di gigi," kata Aden."Jadi kau suka dengan resep baru ini?" tanya Briella."Terang saja suka, Briel. Rasanya juga ramah sekali di lidah," ucap Aden.Briella lekas memandang ke arah karyawati yang ada di depannya. Lantas diberikannya seraut senyum kepada karyawati tersebut."Menurut tunangan saya juga enak. Lanjutkan saja. Saya yakin pasti banyak yang minat dengan roti baru ini," sanjung Briella."Baik, Nona," ujar si karyawati.Briella kemudian mengalihkan pandangannya. Ia berbalik menghadap ke arah Aden. Dielusnya lembut rambut Aden yang berantakan."Sudah puas kamu mengecek toko rotimu, Briel?" tanya Aden."Sebenarnya belum. Masih ada yang harus kuperiksa," kata Briella.Kening Aden lantas berk
"Jangan lupa untuk tetap menenangkan pikiran. Jangan panik mendadak dan jangan kebanyakan yang dipikir ya," imbuh dokter."Baik, Dok," ujar Briella.Sandera melirik ke arah Briella. Ditatapnya putri semata wayangnya itu dengan pandangan yang tak mengenakkan hati."Lalu untuk makannya sendiri, tolong dijaga. Jangan sampai makan junk food, ya. Karena itu tak baik untuk jantung," kata dokter.Briella menyengguk. Setelah memberikan penjelasan pada Briella dan Sandera, sang dokter segera beralih pandang."Ini adalah obat yang harus ditebus. Apa obat lama sudah rutin diminum?" tanya dokter."Anak saya rutin minum kok, Dok," jawab Sandera."Bagus. Memang sebaiknya diimbangi dengan konsumsi obat. Saya sarankan obat segera dihentikan begitu kondisinya membaik ya," jelas dokter.Sandera mengangguk. Ia lekas mengambil resep obat yang diberikan oleh dokter. Setelah membaca resep obat sekilas, Sandera langsung mengajak sang dokter bersalaman."Terima kasih untuk waktunya, Dok," kata Sandera."Sama