Aden pun pergi meninggalkan Briella. Setelah menatap Briella untuk yang terakhir, akhirnya Aden keluar dari kamar Briella. Di luar kamar Briella, Aden bertemu dengan Sandera. Sontak saja Aden menghentikan langkah kakinya.
"Apa dia sudah tidur?" tanya Sandera.
"Tadi kutinggal, kedua matanya sudah terpejam," kata Aden.
Sandera manggut-manggut. Lantas ia mengedarkan pandangan ke arah Aden. Ditatapnya calon menantunya itu dengan tatapan yang datar.
"Lalu sekarang kau mau ke mana?" tanya Sandera.
"Tentu saja aku mau pulang. Briella sudah tidur. Ada kerjaan di kantor yang harus aku selesaikan," ucap Aden.
"Ya sudahlah. Pulang saja," kata Sandera.
"Tapi tidak usah khawatir. Nanti sore aku akan kembali lagi ke sini," ujar Aden.
Seketika itu pula kening Sandera mengerut. Terheran dengan apa yang dikatakan oleh Aden. Tidak menyangka kalau nantinya Aden akan kembali lagi.
"Untuk menjemput Briella. Kami akan jalan-jalan seperti biasa," kata Aden.
"Begitu rupanya. Jangan pulang larut malam," ucap Sandera.
"Baik, Tante. Seperti biasa, saya minta izinnya," kata Aden.
Setelah mendapat anggukan dari Sandera, Aden langsung berlalu pergi. Ia kembali menuju mobilnya dan lekas masuk ke dalam. Aden mengendarai mobilnya hingga tiba di kantor.
Aden lekas keluar dari mobil dan berjalan menuju ke dalam ruangannya. Dia lekas mendorong pintu yang terbuat dari kayu tersebut. Seolah mengabaikan tatapan dari para karyawannya, Aden segera duduk di kursinya.
Baru saja Aden membuka macbook miliknya, dia hendak memeriksa beberapa data kantor. Namun sayangnya seorang sekretaris pribadinya masuk ke dalam.
"Permisi, Pak Aden. Saya bawakan berkas tulisan untuk ditanda tangani," kata sekretaris pribadi tersebut.
"Taruh saja di situ, Win. Nanti saya tanda tangani," balas Aden kepada sekretaris pribadinya.
Sekretaris pribadi yang bernama Wina itupun langsung meletakkan berkas di atas meja Aden. Sesekali curi-curi pandang ke arah Aden yang tampan, Wina tersenyum.
"Saya sedang menunggu loh, Pak. Tidak baik membiarkan saya menunggu terlalu lama di sini," kata Wina.
Mendengar suara lemah lembut Wina, Aden langsung mengalihkan perhatiannya. Dia memandang ke arah Wina sembari menelan ludahnya sendiri.
Tidak punya banyak pilihan, Aden segera menandatangani berkas yang diletakkan Wina. Setelah Aden membaca dan menandatangani semua surat, Wina pun segera mengambil berkasnya.
"Nanti sore apa bapak ada acara? Saya ingin pergi bersama Bapak. Untuk menangani urusan projek bersama perusahaan Absee," kata Wina.
Sementara itu pandangan mata Wina mengarah tepat kepada mata Aden. Membuat jantung Aden sedikit berdesir lantaran tatapan indah Wina.
"Bagaimana, Pak? Apa bisa?" tanya Wina.
"Sore ini saya tidak bisa. Saya harus menemani tunangan saya. Bagaimana kalau kita ganti jadi sekarang saja?" tanya Aden.
Aden lalu melihat ke arah jam tangannya. Kebetulan masih jam satu siang. Kesempatan bagi Aden dan Wina untuk pergi bersama.
"Baiklah, Pak. Saya bisa," ujar Wina.
Aden mengangguk. Dia segera menutup macbook-nya dan beranjak berdiri. Aden segera melangkah lebih dahulu dari Wina. Diikuti oleh Wina di belakang. Mereka berjalan menuju ke kafe dekat kantor. Di sanalah mereka akan membicarakan urusan projek dengan perusahaan Absee.
"Jadi apa yang ingin kamu bicarakan, Win?" tanya Aden.
"Begini, Pak. Anggaran untuk melakukan projek kerja sama dengan perusahaan Absee sangat besar jumlahnya. Saya khawatir perusahaan kita tidak akan mampu," kata Wina.
"Kau tidak perlu khawatir soal itu. Ada dana segar yang akan mengucur di perusahaan kita," balas Aden.
Kening Wina lantas berkerut. Terdengar sedikit heran dengan balasan dari Aden. Wina pun terkejut dengan suara Aden yang terdengar santai, namun membicarakan hal-hal di luar dugaan.
"Dana segar? Dari mana, Pak?" tanya Wina.
"Ada investor dari perusahaan lain yang mau bergabung dengan kita. Untuk bekerja sama menyelesaikan projek dengan perusahaan Absee," jelas Aden.
Wina pun manggut-manggut. Menyaksikan hal tersebut, Aden hanya tersenyum puas. Merasa senang karena urusan kantornya berjalan dengan lancar.
"Kau sudah pesan makanan, Win?" tanya Aden.
"Saya pesan saja sendiri, Pak," kata Wina.
Aden dan Wina pun akhirnya memesan makanan secara terpisah. Saat itulah Aden menyadari adanya keberadaan Gietta. Ternyata Gietta juga sedang berada di kafe yang sama.
"Aden?" ucap Gietta dengan kening yang berkerut.
Tanpa sengaja Gietta melihat Aden yang sedang memesan makanan. Tidak banyak basa-basi lagi akhirnya Gietta menghampiri Aden.
"Kau di sini juga?" tanya Gietta.
"Ya. Kau sendiri sedang apa di sini?" ujar Aden.
"Aku sedang ada pertemuan dengan klienku. Tidak sangka kita akan bertemu lagi di sini," ucap Gietta.
Terang saja Gietta tersenyum lebar. Ia sangat senang bisa melihat wajah Aden yang tampan. Lagi, ini adalah kesempatan bagi Gietta untuk mendekati Aden. Tanpa adanya Briella di samping Aden.
"Tampaknya kau sibuk sekali ya. Sampai tidak sempat mengurus dirimu sendiri," sambung Gietta setelah menyadari rambut Aden yang sedikit berantakan.
"Apa maksudmu?" tanya Aden.
Gietta hanya menyeringai saat mendapati pertanyaan dari Aden. Gietta lalu menyentuh rambut Aden dan merapikannya dengan penuh rasa. Sontak dalam sekejap, Aden langsung menampik tangan Gietta.
"Terima kasih. Tapi tidak perlu," ucap Aden.
Aden kemudian meninggalkan Gietta. Dia kembali lagi menuju meja tempat Wina memakan makanannya. Melihat Aden yang kembali dengan wajah bersungut, Wina langsung tertawa.
"Ada apa, Pak Aden? Kenapa wajahnya kesal begitu?" tanya Wina.
"Tidak apa-apa. Habiskan saja makananmu itu dan kita balik," ujar Aden.
"Jangan buru-buru, Pak. Urusan kita belum selesai," kata Wina.
Aden pun melahap makanannya dengan kesal. Terpaksa dirinya ada di sana. Berada dalam satu kafe dengan Gietta. Aden ingin segera buru-buru pulang, namun tampaknya pembicaraannya dengan Wina belum selesai.
Sepanjang waktu yang dihabiskan di kafe, Aden dan Wina tampak berdiskusi. Topik yang mereka bicarakan pun tidak ringan. Terkesan berat dan cukup memeras isi kepala. Tampak keringat mengalir di dahi Aden. Wina yang menyadari itu pun langsung tersenyum senang.
"Baiklah, Pak. Karena hari sudah sore, sebaiknya kita sudahi percakapan kita," kata Wina.
"Bagus! Saya pun harus buru-buru menjemput tunangan saya. Saya tinggal duluan ya," ujar Aden.
Tanpa menunggu jawaban dari Wina, Aden lekas pergi. Dia masuk ke dalam mobil dan menyetir dengan kecepatan penuh menuju rumah Briella. Di depan, Aden sudah menyaksikan Briella berdiri menyiram tanaman-tanamannya.
"Kau sudah baikan, Briel? Sudah bisa jalan?" tanya Aden.
"Sudah," jawab Briella.
Namun tak lama kemudian, Briella terkekeh. Ada perasaan lucu saat ia menatap ke arah Aden yang dahinya penuh dengan keringat. Sontak saja Briella segera mengusapnya dengan sapu tangan yang dia bawa dalam dompet.
"Sebegitu capeknya kah dirimu bekerja? Sampai dahimu berkeringat begitu banyak," ujar Briella setelah berhenti terkekeh.
Aden tertegun sejenak melihat perhatian Briella yang romantis. Jarang-jarang terlihat kalau Briella bisa bersikap seperti ini padanya. Briella bahkan bisa sangat hangat pada dirinya, membuat Aden terkesima."Kalau kau capek, kita batalkan saja jalan-jalannya," ujar Briella.Seketika itu juga Aden langsung menggeleng keras-keras. Dia bersikukuh ingin mengajak Briella jalan-jalan keluar."Tidak. Tadinya aku sudah berniat untuk mengajakmu jalan-jalan. Masa iya tidak jadi," ujar Aden."Barangkali saja kau kecapekan. Aku kan tidak ingin membuat tunanganku sendiri kerepotan," kata Briella."Kau ini menyindirku ya, Briell," ujar Aden.Briella tertawa begitu mendengar ujaran sengit dari Aden. Apalagi jika melihat wajah Aden yang sudah kesal, makin menjadilah tawa Briella."Ada apa, Sayang? Apa ada yang terjadi di kantor?" tanya Briella."Nanti saja akan kuceritakan. Sekarang bersiaplah, akan kuajak kamu pergi," kata Aden.Briella berdeham. Ia tidak langsung menjawab perkataan Aden. Sengaja me
Briella langsung menaikkan kedua alisnya ke atas. Ia benar-benar kaget dengan pemberitaan yang ada. Lagi-lagi Aden bersama dengan wanita lain, selain dirinya. Terang saja itu membuat Briella marah."Kamu sama Wina tadi?" tanya Briella.Kening Aden mengerut. Dia menatap Briella dengan keheranan. Semenit kemudian, Aden mengangguk."Ya. Dari mana kau tahu tentang itu?" tanya Aden.Briella berdecak. Sebal lantaran Aden masih saja berhubungan dengan Wina. Briella pun memasang wajah yang sebal di depan Aden.Seketika itu pula Aden langsung melihat ke bawah. Searah genggaman tangan Briella yang memegang handphone.Barulah Aden sadar bahwa Briella pasti telah melihat kabar terbaru tentang dirinya."Aku heran dari mana wartawan bisa memfotoku dengan Wina? Perasaan tadi siang masih aman-aman saja," terang Aden."Sudah tahu kalau kehidupanmu disorot. Masih saja kamu sembarangan dalam bersikap," kata Briella."Bukannya begitu, Briel. Kau kan tahu aku ini memang populer. Pasti di mana-mana akan ad
"Briel, jangan mendiamkan aku," kata Aden.Briella menoleh. Ia lalu memasang senyum kecut. Kedua matanya memandang ke arah Aden dengan malas."Aku sedang malas bicara, Aden," ujar Briella."Ya sudah. Kita langsung pulang atau ingin mampir ke tempat makan dulu?" tanya Aden."Terserah kau saja, Aden. Aku ikut denganmu," kata Briella."Baiklah, kita mampir ke tempat makan dulu. Perutku sudah lapar sekali," ujar Aden.Seusai berkata begitu, Aden langsung menjalankan mobilnya. Mereka akan menuju ke sebuah restoran. Dengan kecepatan yang di atas rata-rata, akhirnya mereka sampai.Aden dan Briella pun turun dari dalam mobil. Mereka berdua berjalan bersama menuju ke dalam restoran. Sembari bergandengan tangan, Aden mengajak Briella untuk jalan lebih cepat. Mereka berdua akhirnya duduk di sebuah tempat duduk yang dekat dengan jendela. Aden mempersilakan Briella duduk dan lekas diambilnya buku menu."Kau ingin pesan apa, Briel?" tanya Aden."Wagyu grilled with garlic dan segelas coconut water
Aden segera merengkuh tangan Briella. Setelah berhasil menggenggam tangan Briella, Aden segera menariknya."Tunggu aku. Kenapa kau tidak mendengarkan aku tadi," kata Aden."Kau lama. Dan aku bosan menunggu," ujar Briella."Tetap saja jangan meninggalkan aku," ucap Aden.Briella memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia mencebik dan kemudian menatap kepada Aden. Briella lalu memasang senyum lebar."Kau saja yang lamban jalannya," kata Briella.Pandangan Aden lalu beralih. Tatapannya turun menuju jari jemari Briella. Cincin emas itu masih melingkar anggun di jari manis Briella. Aden pun lantas tersenyum."Kau masih memakai cincin tunangan kita, Briel?" tanya Aden.Briella yang semula memagut senyum lebar pun lantas meredup. Bibir Briella pun terdiam. Mengatup rapat. Sementara tatapan Briella tidak lepas dari mata Aden."Sama sekali tidak pernah kau lepas?" tanya Aden."Cincin ini istimewa, Aden. Tidak mungkin aku melepasnya," kata Briella."Sama sekali?" tanya Aden.Briella pun mengan
Alarm jam berdering. Briella membuka kedua matanya. Diedarkannya pandangan matanya ke arah sekeliling. Barulah ia sadar bahwa hari sudah pagi.Ia menguap lantaran badannya masih pegal-pegal. Setelah mematikan alarm jam, Briella beranjak turun dari ranjang. Kakinya menapak di lantai. Ia segera menatap diri ke cermin untuk bercermin.Wajah yang kusut. Kedua mata yang masih menyipit dengan sorot mata yang sayu. Briella berdecak dan mengambil sisir. Baru saja ia menyisir rambutnya, bunyi ketukan terdengar."Ya, sebentar," sahut Briella.Bergegaslah ia meletakkan sisirnya. Briella menghampiri pintu dan membuka gagangnya. Briella tidak kaget lagi saat mendapati bi Inem berdiri di depannya."Ada apa, Bi? Kenapa sepagi ini sudah mengetuk pintu kamar Briella?" tanya Briella."Anu, Non. Disuruh tuan dan nyonya untuk segera sarapan. Kedatangan Non sudah ditunggu," kata bi Inem."Baik, Bi. Aku akan segera ke sana," ujar Briella.Briella menutup pintu kamarnya. Ia bergegas menuju ke ruang makan. B
"Jangan lupa untuk tetap menenangkan pikiran. Jangan panik mendadak dan jangan kebanyakan yang dipikir ya," imbuh dokter."Baik, Dok," ujar Briella.Sandera melirik ke arah Briella. Ditatapnya putri semata wayangnya itu dengan pandangan yang tak mengenakkan hati."Lalu untuk makannya sendiri, tolong dijaga. Jangan sampai makan junk food, ya. Karena itu tak baik untuk jantung," kata dokter.Briella menyengguk. Setelah memberikan penjelasan pada Briella dan Sandera, sang dokter segera beralih pandang."Ini adalah obat yang harus ditebus. Apa obat lama sudah rutin diminum?" tanya dokter."Anak saya rutin minum kok, Dok," jawab Sandera."Bagus. Memang sebaiknya diimbangi dengan konsumsi obat. Saya sarankan obat segera dihentikan begitu kondisinya membaik ya," jelas dokter.Sandera mengangguk. Ia lekas mengambil resep obat yang diberikan oleh dokter. Setelah membaca resep obat sekilas, Sandera langsung mengajak sang dokter bersalaman."Terima kasih untuk waktunya, Dok," kata Sandera."Sama
"Bagaimana rasanya, Aden?" tanya Briella.Aden hanya mengunyah roti yang terlanjur masuk ke dalam mulutnya. Tak lama setelah rotinya tertelan, Aden lekas menoleh ke arah Briella. Dipandangnya wajah kekasihnya itu dengan binar yang menyala."Enak. Gurih dan empuk. Teksturnya juga tidak lengket di gigi," kata Aden."Jadi kau suka dengan resep baru ini?" tanya Briella."Terang saja suka, Briel. Rasanya juga ramah sekali di lidah," ucap Aden.Briella lekas memandang ke arah karyawati yang ada di depannya. Lantas diberikannya seraut senyum kepada karyawati tersebut."Menurut tunangan saya juga enak. Lanjutkan saja. Saya yakin pasti banyak yang minat dengan roti baru ini," sanjung Briella."Baik, Nona," ujar si karyawati.Briella kemudian mengalihkan pandangannya. Ia berbalik menghadap ke arah Aden. Dielusnya lembut rambut Aden yang berantakan."Sudah puas kamu mengecek toko rotimu, Briel?" tanya Aden."Sebenarnya belum. Masih ada yang harus kuperiksa," kata Briella.Kening Aden lantas berk
Alis Briella hampir saling bertautan saat menatap wajah optimis Aden. Briella pun menggeleng, tak percaya."Ke kantormu? Denganku?" tanya Briella.Spontan saja Aden langsung mengangguk. Kedua matanya memandangi wajah Briella yang kelihatan ragu."Apa yang bisa kulakukan di sana?" tanya Briella.Aden tertawa. Dia lekas memegangi dahinya dan berhenti tertawa. Kini Aden memandang ke arah Briella yang sedang lugu menatap dirinya."Kamu kan bisa menemaniku bekerja, Briel. Ada di sampingku saja itu sudah cukup," kata Aden."Masa bekerja saja kau minta ditemani, Aden?" tanya Briella."Tentu saja, Sayang. Aku akan sangat senang bila kau ada di sebelahku," kata Aden.Briella tertegun sejenak saat melihat Aden tersenyum. Tak biasanya lelakinya itu memperlihatkan senyum yang menawan. Briella pun berdecak."Baiklah, aku akan ikut denganmu ke kantor," ucap Briella.Mendengar ucapan Briella seketika Aden tersenyum senang. Aden segera merangkul Briella dan mendekatkan Briella pada wajahnya. Segera s
Gietta mengangguk, tetapi dalam hatinya enggan untuk menggubris kata-kata Briella. Kedua matanya menjelajah ke seisi ruangan, seolah tidak bisa diam."Padahal aku sangat menantikan kedatangan Aden, Briel," kata Gietta."Kamu tunggu saja. Pasti nanti dia datang kemari," balas Briella.Gietta kemudian menunduk. Tangannya lekas menyodorkan sebungkus oleh-oleh yang sedari tadi dibawanya."Ini ada kue krim keju untukmu, Briel. Aku tadi sengaja mampir ke toko kue untuk membelikan ini," kata Gietta.Briella memandang ke arah bungkusan kue yang disodorkan Gietta. Tanpa banyak bicara, Briella pun lekas menerima bingkisan kue tersebut."Duduklah, Giet. Akan aku buatkan teh lemon untukmu," kata Briella.Gietta mengangguk setuju. Ia lantas duduk di sofa yang berada tidak jauh di belakangnya. Briella tersenyum, sesaat kemudian ia mulai berjalan menuju dapur.Ketika sampai di dapur, Briella membuka lemari pendingin dan mengambil racikan teh. Tangannya yang ramping dengan terampil meracik semua baha
Mata Sandera mengekor pada kepergian Briella yang langsung masuk ke dalam kamar. Sandera hanya bisa menghela dengan kasar. Masih saja anak gadisnya satu itu tidak terketuk hati untuk segera melangsungkan pernikahan.Sandera berdiri dan menyusul Briella. Setelah tiba di depan pintu kamar Briella yang tertutup, Sandera mengetuk pintunya."Bukakanlah, Briel. Jangan membantah mama seperti ini," kata Sandera setengah berteriak agar Briella mendengar.Sandera masih mengetuk pintu kamar Briella. Hingga beberapa menit berlalu, Briella pun terusik dan membuka pintu kamarnya."Mari kita bicara. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan berdua," ujar Sandera.Meskipun awalnya Briella keberatan dan ingin menolak ajakan mamanya, tetapi Sandera langsung menarik lengan Briella. Inilah yang membuat Briella tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan mamanya.Sandera mengajak Briella untuk duduk di tepi ranjang. Meskipun tampaknya wajah Sandera sangat tegas dan terlihat seolah akan membicarakan h
"Perihal nikahan kalian berdua," ucap Sandera.Sekejap saja Aden membelalakkan matanya. Tiada angin tak ada hujan, tiba-tiba Sandera menanyakan tentang pernikahan mereka.Wajar saja jika Aden kaget. Dia lantas menatap kaku ke arah Briella yang sama kagetnya dengan dirinya."Pernikahan kami, Ma?" tanya Briella."Ya. Nikahan kalian. Bagaimana? Apa sudah terencana?" tanya Sandera.Briella spontan langsung terdiam. Ia menoleh ke arah Aden dan menatap calon suaminya tersebut. Briella menggeleng pelan."Kami masih belum ada rencana ke sana, Tante," ucap Aden."Bagaimana bisa? Kalian kan sudah lama bertunangan. Masa iya belum merencanakan pernikahan sama sekali," kata Sandera.Aden langsung terdiam seketika. Bibirnya menutup rapat sama seperti Briella. Tampaknya Aden dan Briella sama sekali tidak menyangka jika Sandera akan menanyakan tentang hal ini."Kalau kalian belum merencanakannya, mari kita bicarakan. Kebetulan Mama ada waktu senggang untuk kalian," kata Sandera.Aden menggaruk kepala
Briella menyadari bahwa Gietta sudah tidak seramah biasanya. Briella pun tersenyum kecut."Lantas kenapa masih di sini?" tanya Briella.Gietta mengulas senyum miring. Ia melihat ke arah Aden sekilas lalu mengalihkan pandangannya kepada Briella."Aku sedang menunggu temanku datang menjemputku," kata Gietta.Gietta lalu beringsut memandang ke arah Aden. Merasa dipandang, Aden segera menggendik dan mengarahkan pandangannya kepada Gietta."Kalau kamu mau menunggu, sebaiknya tunggu di lobi saja. Jangan di ruanganku karena nanti akan kukunci," ujar Aden.Mendengar ucapan Aden, Gietta semakin sebal. Ia sudah kesal karena diabaikan oleh Aden, malah ditambah dengan sikap Aden yang tidak ramah."Kamu mengerti dengan ucapanku, kan?" tanya Aden."Tentu. Tentu aku tahu," kata Gietta.Ia kemudian menatap ke arah Briella. Bibirnya menunjukkan seulas senyum yang dipaksakan. Hatinya tampak tidak senang melihat Briella dan Aden berdekatan."Aku akan tunggu di lobi. Kalian kunci saja ruangannya. Aku aka
"Sayang, jam berapa sekarang?" tanya Aden.Aden menatap pada Briella yang sedang berdiri menghadap ke arahnya. Seketika Aden langsung menghampiri Briella dan mendekapnya."Bukankah sudah waktunya untuk bekerja?" ujar Aden.Bahu Briella menggendik. Tatapan matanya kemudian beralih menuju ke arah jam dinding. Briella tersenyum miring."Ini sudah jam dua, Sayang. Semestinya kita sudah memulai pekerjaan kita," kata Briella.Aden mengalihkan pandangannya. Aden menatap Gietta yang sedang fokus memandang ke arah dirinya."Sudah jam dua. Berarti sisa satu jam lagi kau harus bisa menyelesaikan semua tugas ini," kata Aden."Tidak masalah. Aku bisa mengerjakannya dengan cepat," balas Gietta.Aden menyunggar rambutnya ke samping. Setelahnya, Aden beralih pandangan. Dia berbalik dan berjalan menuju ke kursi kerjanya."Kita mulai kerja sekarang. Tidak ada banyak waktu lagi yang tersisa," perintah Aden.Briella mengangguk yang disertai dengan anggukan dari Gietta. Selepas itu, mereka berdua menghada
Menyadari bahwa dirinya ditatap oleh Gietta, Aden segera berpaling. Dia merasa risih dan canggung dengan tatapan Gietta yang selalu memandang kepada dirinya."Kenapa, Aden? Apa ada yang salah?" tanya Briella setelah menyadari bahwa tunangannya itu bertingkah aneh.Briella memandangi Aden yang segera berpindah posisi, sedikit agak menjauhi Gietta. Menyadari keanehan sikap Aden, Briella menghela napas."Kamu kenapa kok kayak nggak nyaman begitu?" tanya Briella lagi."Tidak apa-apa, Giet. Aku hanya tak nyaman kau pandangi," ujar Aden salah menyebut nama.Sontak saja kening Briella mengerut. Ia menyadari bahwa Aden salah mengucapkan namanya. Sekejap saja Briella langsung menoleh ke arah Gietta."Kau menyebut Gietta?" ujar Briella.Aden yang menyadari kekeliruannya, segera mencebik. Refleks, dirinya memegang tangan Briella dan berniat untuk meminta maaf."Aku tidak sengaja, Briel. Tolong maafkan aku," pinta Aden.Briella memandang Aden dengan kecewa. Bola matanya penuh dan membulat menatap
Alis Briella hampir saling bertautan saat menatap wajah optimis Aden. Briella pun menggeleng, tak percaya."Ke kantormu? Denganku?" tanya Briella.Spontan saja Aden langsung mengangguk. Kedua matanya memandangi wajah Briella yang kelihatan ragu."Apa yang bisa kulakukan di sana?" tanya Briella.Aden tertawa. Dia lekas memegangi dahinya dan berhenti tertawa. Kini Aden memandang ke arah Briella yang sedang lugu menatap dirinya."Kamu kan bisa menemaniku bekerja, Briel. Ada di sampingku saja itu sudah cukup," kata Aden."Masa bekerja saja kau minta ditemani, Aden?" tanya Briella."Tentu saja, Sayang. Aku akan sangat senang bila kau ada di sebelahku," kata Aden.Briella tertegun sejenak saat melihat Aden tersenyum. Tak biasanya lelakinya itu memperlihatkan senyum yang menawan. Briella pun berdecak."Baiklah, aku akan ikut denganmu ke kantor," ucap Briella.Mendengar ucapan Briella seketika Aden tersenyum senang. Aden segera merangkul Briella dan mendekatkan Briella pada wajahnya. Segera s
"Bagaimana rasanya, Aden?" tanya Briella.Aden hanya mengunyah roti yang terlanjur masuk ke dalam mulutnya. Tak lama setelah rotinya tertelan, Aden lekas menoleh ke arah Briella. Dipandangnya wajah kekasihnya itu dengan binar yang menyala."Enak. Gurih dan empuk. Teksturnya juga tidak lengket di gigi," kata Aden."Jadi kau suka dengan resep baru ini?" tanya Briella."Terang saja suka, Briel. Rasanya juga ramah sekali di lidah," ucap Aden.Briella lekas memandang ke arah karyawati yang ada di depannya. Lantas diberikannya seraut senyum kepada karyawati tersebut."Menurut tunangan saya juga enak. Lanjutkan saja. Saya yakin pasti banyak yang minat dengan roti baru ini," sanjung Briella."Baik, Nona," ujar si karyawati.Briella kemudian mengalihkan pandangannya. Ia berbalik menghadap ke arah Aden. Dielusnya lembut rambut Aden yang berantakan."Sudah puas kamu mengecek toko rotimu, Briel?" tanya Aden."Sebenarnya belum. Masih ada yang harus kuperiksa," kata Briella.Kening Aden lantas berk
"Jangan lupa untuk tetap menenangkan pikiran. Jangan panik mendadak dan jangan kebanyakan yang dipikir ya," imbuh dokter."Baik, Dok," ujar Briella.Sandera melirik ke arah Briella. Ditatapnya putri semata wayangnya itu dengan pandangan yang tak mengenakkan hati."Lalu untuk makannya sendiri, tolong dijaga. Jangan sampai makan junk food, ya. Karena itu tak baik untuk jantung," kata dokter.Briella menyengguk. Setelah memberikan penjelasan pada Briella dan Sandera, sang dokter segera beralih pandang."Ini adalah obat yang harus ditebus. Apa obat lama sudah rutin diminum?" tanya dokter."Anak saya rutin minum kok, Dok," jawab Sandera."Bagus. Memang sebaiknya diimbangi dengan konsumsi obat. Saya sarankan obat segera dihentikan begitu kondisinya membaik ya," jelas dokter.Sandera mengangguk. Ia lekas mengambil resep obat yang diberikan oleh dokter. Setelah membaca resep obat sekilas, Sandera langsung mengajak sang dokter bersalaman."Terima kasih untuk waktunya, Dok," kata Sandera."Sama