Briella hanya bisa mengembuskan napas menghadapi kemarahan Sandera. Tidak salah apabila Sandera sampai memarahinya begitu, sebab Gietta sendiri adalah teman lamanya yang tidak pantas untuk dicurigai.
Namun juga bukan salah Briella yang memiliki ketakutan akan kehilangan Aden. Briella memandangi Sandera yang sedang memberikan nasihat kepadanya. Tampaknya tidak akan habis rasa amarah Sandera.
"Mama tidak mau kamu menjadi orang yang paranoid, Briel. Mama bilang begini juga demi kebaikanmu," kata Sandera.
"Iya, Ma. Aku juga tahu itu. Tapi bukan salahku jika aku takut kehilangan Aden," ujar Briella.
"Tetap saja tidak dibenarkan menuduh sahabat mengambil kekasih sendiri. Apalagi kalian berdua sudah bertunangan. Itu tidak mungkin," ucap Sandera.
"Terserah mama saja. Aku capek berdebat terus dengan mama," ujar Briella.
Setelah mengantar dokter pribadinya, Aden kembali. Dia berjalan masuk ke dalam rumah dan mendapati adanya Sandera di dekat Briella. Aden pun langsung menghampiri keduanya dan memasang senyum lebar.
"Apa kamu sudah baikan? Tadi adalah dokter Daniel, dokter pribadi keluargaku. Kuharap setelah diobati oleh beliau, kau baikan," ujar Aden.
"Ya, aku sudah agak mendingan. Terima kasih sudah mencemaskanku," balas Briella.
Briella mengembuskan napas setelah mencoba meyakinkan Aden bahwa kondisinya sudah lebih baik. Tetapi di luar dugaan, ekspresi Aden tidak lagi terlalu memperhatikan dirinya.
Aden kemudian memalingkan pandangannya. Dia menatap ke arah Sandera dan memperhatikan bahwa saat ini wanita paruh baya itu sedang bermasam muka. Aden pun meringis, mencoba menerka apa yang sedang terjadi.
"Apa ada yang terjadi saat aku pergi? Kenapa suasana di antara kalian terasa menegangkan begini," ujar Aden.
Sandera yang sama sekali tidak bisa menyembunyikan sesuatu, langsung berdiri. Ia bangkit dari duduknya, dan segera menghadap ke arah Aden. Pandangannya yang semula mengarah kepada Briella, kini ia alihkan ke arah Aden.
"Apalagi kalau bukan masalah Briella. Dia itu curiganya kebangetan. Malah sekarang pakai nuduh yang bukan-bukan ke Gietta," ujar Sandera.
Sontak kening Aden berkerut. Emosi Sandera yang meledak-ledak disertai penjelasan yang membuatnya kaget, membuat Aden tidak habis pikir. Aden menatap ke arah Briella yang sedang sayu. Kedua matanya bahkan tidak tegak sama sekali.
"Ada apa lagi, Briell? Kenapa kamu gemar sekali menuduh orang," kata Aden.
Dia kemudian duduk di depan Briella. Dielusnya lembut punggung dan puncak kepala Briella, sementara kedua mata Aden memandangi Briella dengan tatapan yang dalam. Sayangnya, belaian tangan Aden segera ditampik oleh Briella.
"Jangan pura-pura tidak tahu ya, Aden. Kamu tahu sendiri bahwa Gietta menaruh perhatian padamu. Tapi kamu masih saja abai akan hal itu," ujar Briella.
"Apa kamu merasa bahwa Gietta akan merebutku darimu?" tanya Aden.
Briella langsung terdiam tak menjawab. Pertanyaan Aden terasa menohok. Dirinya tertegun karena Aden bisa bertanya dengan kalimat yang begitu mengena.
"Apa kamu masih ragu dengan perasaanku, Briella? Apa kamu tidak percaya pada kesetiaanku?" tanya Aden.
Semua kalimat tanya yang dilontar Aden itu membuat lidah Briella kelu. Bibirnya bergetar seolah tak mampu memberikan jawaban.
"Aku menyayangimu, Briella. Kita ini sepasang tunangan yang sewajarnya saling percaya," ujar Aden.
Briella menatap ke arah binar mata Aden. Walau hanya sesaat namun hatinya sudah merasakan gelisah. Briella pun memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak lagi ia menatap pada Aden.
"Aku punya sesuatu untukmu. Siapa tahu kau akan suka," ucap Aden.
Barulah kemudian Briella menatap ke arah Aden kembali. Briella mengernyitkan dahinya seraya menaikkan sebelah alisnya. Terheran dengan apa yang dibawa oleh Aden.
"Tara! Aku bawakan bunga peony untukmu. Siapa tahu kau akan terhibur dengan adanya bunga ini," ujar Aden.
Kedua mata Briella membulat. Ia terkejut dengan keberadaan bunga peony merah muda di genggaman Aden. Briella pun tersenyum dengan miris.
"Dari mana kau dapat bunga sebagus itu?" tanya Briella.
Aden hanya tersenyum saat Briella memberikan pertanyaan semacam itu padanya. Tak ada kata-kata yang terucap dalam mulut Aden selain hanya senyum yang mengambang.
"Kau membelinya?" tanya Briella.
"Ya. Ini murah hanya lima belas. Tapi mekarnya tidak murah," kata Aden.
Aden kemudian memberikan bunga peony tersebut pada Briella. Sontak saja Briella menerimanya.
"Terima kasih. Aromanya harum," kata Briella.
"Kurasa ini akan menyegarkan suasana hatimu," ujar Aden.
Briella menggendik saat Aden mengujar demikian. Lantas pandangannya beralih ke arah bunga peony yang dibawanya. Sekuntum bunga yang masih segar dan belum layu.
"Istirahatlah, Sayang. Nanti sore akan aku ajak kau jalan-jalan," kata Aden.
Hening. Tiada jawaban dari Briella maupun Sandera. Aden pun hanya bisa tersenyum dan mengusap lembut dahi Briella.
"Apa perlu kutidurkan kau di kasur?" tanya Aden.
"Tidak perlu. Aku bisa jalan sendiri," kata Briella.
Sontak saja Sandera langsung tertawa. Ia tidak menyangka putri semata wayangnya masih berlagak kuat di depan Aden.
"Bagaimana mau jalan, berdiri saja kamu tidak bisa," ujar Sandera di sela-sela tawanya.
"Mama! Briella pasti bisa jalan sendiri ke kamar tanpa bantuan Aden," ujar Briella.
Pipinya memerah karena tersipu. Malu. Briella kemudian mengarahkan pandangannya ke arah Aden yang juga ikut tersenyum.
"Kamu tidak perlu memaksakan diri, Briel. Akan kubantu kalau kamu tidak bisa sendiri," kata Aden.
Briella menggeleng. Masih saja ia menolak bantuan dari Aden. Briella bersikukuh masih meyakini bahwa dirinya bisa berdiri sendiri.
"Aku bisa. Aku tidak perlu bantuanmu," ucap Briella.
Briella kemudian meraih tepian sofa. Ia merangkak turun dan mencoba untuk mensejajarkan kakinya. Saat hitungan ia akan berdiri, tiba-tiba Briella ambruk.
Untung saja Aden dengan sigap menggenggam tangannya. Jika tak ada Aden kemungkinan Briella sudah merasakan sakitnya terantuk lantai.
"Sudah kubilang jangan memaksakan diri. Masih saja kamu keras kepala, Briel," kata Aden.
"Aku hanya tidak ingin merepotkan kamu. Aku ingin berusaha sendiri," ujar Briella.
"Sudahlah, akan aku antarkan kamu ke kamar," tutur Aden.
Dengan cepatnya Aden segera menyelipkan tangannya di antara kaki dan punggung Briella. Dalam seketika Aden langsung mengangkat Briella ke atas. Digendongnya Briella menuju ke kamar.
Begitu sampai di dalam, Aden langsung meletakkan Briella di atas kasurnya. Diluruskannya kedua kaki Briella yang terkilir.
"Istirahat lah, Sayang. Kamu pasti lelah. Apalagi menahan sakit yang seperti itu," kata Aden.
Aden pun mengelus rambut panjang Briella. Dengan segenap perhatian di dalam hatinya, Aden menatap ke arah Briella.
"Nanti aku kembali lagi untuk menjemput kamu. Semoga nanti sore keadaanmu sudah baik-baik saja," imbuh Aden.
Briella mengangguk. Aden lekas mengecup kening Briella dengan lembut. Tampaknya tidak ada laki-laki romantis lain selain Aden di sini. Briella pun tersenyum kecut.
"Aku pulang dulu ya, Sayang. Selamat istirahat," ujar Aden.
"Iya, hati-hati di jalan, Aden. Pulanglah. Aku akan baik-baik saja di sini," ucap Briella.
"Nyonya, Tuan, tolong. Ini nona Briella sesaknya kambuh lagi," teriak salah satu pelayan setelah mengetahui bahwa Briella memegangi dadanya.Kondisi napasnya sudah tidak beraturan, apalagi detak jantungnya. Adalah hal biasa bagi Briella untuk mengalami masa-masa seperti ini. Ia adalah perempuan yang mengidap penyakit langka. Aritmia. Yaitu sebuah kondisi di mana jantung akan memiliki detak yang tak karuan dan tak stabil."Dada Briella sakit, Bi," keluh Briella sambil terus memegangi bagian dadanya."Sabar ya, Non. Tunggu ini bibi lagi panggilin tuan dan nyonya," kata bibi Inem.Briella pun mengangguk pelan. Tak lama setelahnya, datanglah Nyonya Sandera dan Tuan Antonio. Mereka segera memapah Briella ke dalam mobil dan menuju ke rumah sakit terdekat. Seperti biasa, Briella akan diperiksa detak jantung dan denyut nadinya."Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Sandera."Anak Ibu napasnya tidak beraturan. Detak jantungnya melambat. Disarankan untuk segera minum obat dan beristirahat
Briella kemudian menatap ke arah mamanya. Dengan tatapan tajam, ia memandangi mamanya yang kini usianya tak lagi muda."Masih saja kamu membantah kata-kata Mama, Briella. Sudah jelas-jelas tidak berdaya, masih saja melawan," ucap Sandera.Briella hanya bisa menghela napas. Meladeni mamanya untuk bertengkar ternyata percuma. Sebab Sandera hanya akan menyanggah semua perkataannya."Sudahlah, Tante. Jangan berantem sama Briella. Sini, biar Aden yang bawa Briella jalan-jalan," sela Aden.Aden kemudian mengedipkan sebelah matanya pada Briella. Seolah mengisyaratkan kepada Briella untuk mengikuti arahnya pergi. Tidak punya pilihan lain, Briella pun mengikuti arah Aden pergi.Setelah jauh dari Sandera, Briella kemudian menghentikan langkah kakinya. Menyadari bahwa Briella berhenti, Aden langsung menoleh."Kenapa kau berhenti, Briella? Bukannya tujuan kita masih jauh," ucap Aden.Dengan sekali helaan napasnya, Briella menggeleng. Rupanya Briella sudah kehabisan tenaga untuk mengikuti langkah
Betapa terkejutnya Gietta saat membaca isi surat tersebut. Gietta benar-benar tidak menyangka bahwa bahasa yang digunakan dalam surat tersebut begitu menyentuh hatinya."Apa ini, Briell? Kenapa isinya begini," kata Gietta.Briella tersenyum dengan gamblang. Ia kemudian duduk di sebelah Gietta. Briella menyentuh tangan Gietta dan lekas digenggamnya."Itu tulisan dari sepupuku, Giett. Dia menyukaimu sejak lama," ucap Briella.Wajah Gietta langsung berubah seketika menjadi kaku. Ia menengok ke arah Briella dan memandanginya dengan datar."Apa kamu mau menerima dia sebagai pacarmu, Giett?" tanya Briella.Sontak saja pandangan mata Gietta langsung beralih ke arah Aden. Lelaki yang tadinya sempat membuat jantungnya berdebar itu kini sedang memasang wajah acuh."Bagaimana mungkin aku menerima sepupumu, Briell? Hatiku saja sudah tertambat pada seseorang," ujar Gietta.Dengan ekspresi yang terkejut, Briella menaikkan alisnya. Ia tak menyangka ternyata Gietta sudah jatuh hati kepada orang lain.
"Wajar jika aku cemburu, Aden! Aku ini calon istrimu," ujar Briella."Tapi, Briell. Dia adikku. Masa iya kamu cemburu ke adik perempuanku," kata Aden.Briella lantas terdiam seketika usai mendengar perkataan Aden. Ia kemudian memandang ke arah wanita yang ada di depannya tersebut. Menurut informasi dari Aden, wanita yang ada di depannya itu adalah Arunika."Jadi kau yang bernama Arunika?" tanya Briella."Benar. Kakak ini apa tunangannya kak Aden?"Kini giliran Arunika yang bertanya. Arunika mengernyitkan dahi. Sepertinya baru pertama kali ini mereka saling ketemu. Briella pun lekas mengangguk."Ya. Aku adalah calon istrinya Aden," jawab Briella.Bukan main senangnya Arunika bertemu dengan calon istri Aden. Ia langsung memagut senyum culas di bibirnya. Arunika segera mengulur tangannya, mengajak Briella untuk bersalaman."Arunika Darma. Adik perempuan Aden Sandero," kata Arunika.Tanpa ragu-ragu lagi Briella menjabat tangan Arunika. Ia membalas uluran tangan Arunika dan mengayun-ayunka
Kening Briella berkerut. Ia heran lantaran Aden malah memberikan sekotak brownies itu padanya."Kenapa malah kau berikan padaku?" ucap Briella."Aku tidak menyukainya. Jadi untukmu saja," kata Aden."Hei, jangan begitu. Kita makan ini bersama-sama," ujar Briella.Aden pun berdecak. Dia lantas menggeleng dan merebut lagi sekotak brownies yang dipegang Briella. Begitu ada karyawan yang masuk, Aden lalu memberikan sekotak brownies tersebut kepada karyawannya. Karyawan itu pun berlalu."Mau makan siang denganku, Briel? Kita makan di kafe biasanya," kata Aden."Terserah kau saja. Aku akan ikut," jawab Briella."Keputusan yang bagus," ujar Aden.Dia pun mengecup kening Briella dan menggenggam tangan Briella. Kini mereka berdua pergi menuju ke kantin bersama-sama.Setibanya di kantin, Aden mempersilakan Briella duduk. Ditatapnya mata Briella untuk sementara waktu sebelum akhirnya Aden tersenyum."Mau kupesankan apa, Sayang?" tanya Aden."Sardinia dan jus melon saja," kata Briella."Baiklah,
Sandera berkacak pinggang memandang ke arah Briella yang digendong oleh Aden. Keningnya berkerut menyaksikan kejadian itu."Apa Briella membuat kekacauan lagi di kantormu, Aden?" tanya Sandera.Briella mengerucutkan bibirnya. Pasalnya Sandera selalu seenaknya menuduh dirinya. Padahal Briella mengalami ini semua secara tidak sengaja.Kakinya benar-benar terkilir!"Tidak kok, Ma. Briella tidak sengaja jatuh lalu kakinya sakit," ujar Aden."Ya ampun. Kamu ini benar-benar ceroboh ya, Briella! Bisa-bisanya jatuh begitu," kata Sandera.Sandera lalu melihat ke arah Briella. Ditatapnya anak perempuannya yang sedang digendong oleh Aden. Sandera kemudian menurunkan kacak pinggangnya dan menghampiri Briella."Kasihan Aden menggendongmu sampai seperti itu," lanjut Sandera.Sandera kemudian menilik kaki Briella yang tampak bengkak. Dilihatnya dengan cermat kondisi kaki Briella yang saat ini lebam."Turunkan saja, Aden. Biarkan Briella berjalan sendiri," kata Sandera.Aden terkejut seketika. Kening
Briella hanya bisa mengembuskan napas menghadapi kemarahan Sandera. Tidak salah apabila Sandera sampai memarahinya begitu, sebab Gietta sendiri adalah teman lamanya yang tidak pantas untuk dicurigai.Namun juga bukan salah Briella yang memiliki ketakutan akan kehilangan Aden. Briella memandangi Sandera yang sedang memberikan nasihat kepadanya. Tampaknya tidak akan habis rasa amarah Sandera."Mama tidak mau kamu menjadi orang yang paranoid, Briel. Mama bilang begini juga demi kebaikanmu," kata Sandera."Iya, Ma. Aku juga tahu itu. Tapi bukan salahku jika aku takut kehilangan Aden," ujar Briella."Tetap saja tidak dibenarkan menuduh sahabat mengambil kekasih sendiri. Apalagi kalian berdua sudah bertunangan. Itu tidak mungkin," ucap Sandera."Terserah mama saja. Aku capek berdebat terus dengan mama," ujar Briella.Setelah mengantar dokter pribadinya, Aden kembali. Dia berjalan masuk ke dalam rumah dan mendapati adanya Sandera di dekat Briella. Aden pun langsung menghampiri keduanya dan m
Sandera berkacak pinggang memandang ke arah Briella yang digendong oleh Aden. Keningnya berkerut menyaksikan kejadian itu."Apa Briella membuat kekacauan lagi di kantormu, Aden?" tanya Sandera.Briella mengerucutkan bibirnya. Pasalnya Sandera selalu seenaknya menuduh dirinya. Padahal Briella mengalami ini semua secara tidak sengaja.Kakinya benar-benar terkilir!"Tidak kok, Ma. Briella tidak sengaja jatuh lalu kakinya sakit," ujar Aden."Ya ampun. Kamu ini benar-benar ceroboh ya, Briella! Bisa-bisanya jatuh begitu," kata Sandera.Sandera lalu melihat ke arah Briella. Ditatapnya anak perempuannya yang sedang digendong oleh Aden. Sandera kemudian menurunkan kacak pinggangnya dan menghampiri Briella."Kasihan Aden menggendongmu sampai seperti itu," lanjut Sandera.Sandera kemudian menilik kaki Briella yang tampak bengkak. Dilihatnya dengan cermat kondisi kaki Briella yang saat ini lebam."Turunkan saja, Aden. Biarkan Briella berjalan sendiri," kata Sandera.Aden terkejut seketika. Kening
Kening Briella berkerut. Ia heran lantaran Aden malah memberikan sekotak brownies itu padanya."Kenapa malah kau berikan padaku?" ucap Briella."Aku tidak menyukainya. Jadi untukmu saja," kata Aden."Hei, jangan begitu. Kita makan ini bersama-sama," ujar Briella.Aden pun berdecak. Dia lantas menggeleng dan merebut lagi sekotak brownies yang dipegang Briella. Begitu ada karyawan yang masuk, Aden lalu memberikan sekotak brownies tersebut kepada karyawannya. Karyawan itu pun berlalu."Mau makan siang denganku, Briel? Kita makan di kafe biasanya," kata Aden."Terserah kau saja. Aku akan ikut," jawab Briella."Keputusan yang bagus," ujar Aden.Dia pun mengecup kening Briella dan menggenggam tangan Briella. Kini mereka berdua pergi menuju ke kantin bersama-sama.Setibanya di kantin, Aden mempersilakan Briella duduk. Ditatapnya mata Briella untuk sementara waktu sebelum akhirnya Aden tersenyum."Mau kupesankan apa, Sayang?" tanya Aden."Sardinia dan jus melon saja," kata Briella."Baiklah,
"Wajar jika aku cemburu, Aden! Aku ini calon istrimu," ujar Briella."Tapi, Briell. Dia adikku. Masa iya kamu cemburu ke adik perempuanku," kata Aden.Briella lantas terdiam seketika usai mendengar perkataan Aden. Ia kemudian memandang ke arah wanita yang ada di depannya tersebut. Menurut informasi dari Aden, wanita yang ada di depannya itu adalah Arunika."Jadi kau yang bernama Arunika?" tanya Briella."Benar. Kakak ini apa tunangannya kak Aden?"Kini giliran Arunika yang bertanya. Arunika mengernyitkan dahi. Sepertinya baru pertama kali ini mereka saling ketemu. Briella pun lekas mengangguk."Ya. Aku adalah calon istrinya Aden," jawab Briella.Bukan main senangnya Arunika bertemu dengan calon istri Aden. Ia langsung memagut senyum culas di bibirnya. Arunika segera mengulur tangannya, mengajak Briella untuk bersalaman."Arunika Darma. Adik perempuan Aden Sandero," kata Arunika.Tanpa ragu-ragu lagi Briella menjabat tangan Arunika. Ia membalas uluran tangan Arunika dan mengayun-ayunka
Betapa terkejutnya Gietta saat membaca isi surat tersebut. Gietta benar-benar tidak menyangka bahwa bahasa yang digunakan dalam surat tersebut begitu menyentuh hatinya."Apa ini, Briell? Kenapa isinya begini," kata Gietta.Briella tersenyum dengan gamblang. Ia kemudian duduk di sebelah Gietta. Briella menyentuh tangan Gietta dan lekas digenggamnya."Itu tulisan dari sepupuku, Giett. Dia menyukaimu sejak lama," ucap Briella.Wajah Gietta langsung berubah seketika menjadi kaku. Ia menengok ke arah Briella dan memandanginya dengan datar."Apa kamu mau menerima dia sebagai pacarmu, Giett?" tanya Briella.Sontak saja pandangan mata Gietta langsung beralih ke arah Aden. Lelaki yang tadinya sempat membuat jantungnya berdebar itu kini sedang memasang wajah acuh."Bagaimana mungkin aku menerima sepupumu, Briell? Hatiku saja sudah tertambat pada seseorang," ujar Gietta.Dengan ekspresi yang terkejut, Briella menaikkan alisnya. Ia tak menyangka ternyata Gietta sudah jatuh hati kepada orang lain.
Briella kemudian menatap ke arah mamanya. Dengan tatapan tajam, ia memandangi mamanya yang kini usianya tak lagi muda."Masih saja kamu membantah kata-kata Mama, Briella. Sudah jelas-jelas tidak berdaya, masih saja melawan," ucap Sandera.Briella hanya bisa menghela napas. Meladeni mamanya untuk bertengkar ternyata percuma. Sebab Sandera hanya akan menyanggah semua perkataannya."Sudahlah, Tante. Jangan berantem sama Briella. Sini, biar Aden yang bawa Briella jalan-jalan," sela Aden.Aden kemudian mengedipkan sebelah matanya pada Briella. Seolah mengisyaratkan kepada Briella untuk mengikuti arahnya pergi. Tidak punya pilihan lain, Briella pun mengikuti arah Aden pergi.Setelah jauh dari Sandera, Briella kemudian menghentikan langkah kakinya. Menyadari bahwa Briella berhenti, Aden langsung menoleh."Kenapa kau berhenti, Briella? Bukannya tujuan kita masih jauh," ucap Aden.Dengan sekali helaan napasnya, Briella menggeleng. Rupanya Briella sudah kehabisan tenaga untuk mengikuti langkah
"Nyonya, Tuan, tolong. Ini nona Briella sesaknya kambuh lagi," teriak salah satu pelayan setelah mengetahui bahwa Briella memegangi dadanya.Kondisi napasnya sudah tidak beraturan, apalagi detak jantungnya. Adalah hal biasa bagi Briella untuk mengalami masa-masa seperti ini. Ia adalah perempuan yang mengidap penyakit langka. Aritmia. Yaitu sebuah kondisi di mana jantung akan memiliki detak yang tak karuan dan tak stabil."Dada Briella sakit, Bi," keluh Briella sambil terus memegangi bagian dadanya."Sabar ya, Non. Tunggu ini bibi lagi panggilin tuan dan nyonya," kata bibi Inem.Briella pun mengangguk pelan. Tak lama setelahnya, datanglah Nyonya Sandera dan Tuan Antonio. Mereka segera memapah Briella ke dalam mobil dan menuju ke rumah sakit terdekat. Seperti biasa, Briella akan diperiksa detak jantung dan denyut nadinya."Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Sandera."Anak Ibu napasnya tidak beraturan. Detak jantungnya melambat. Disarankan untuk segera minum obat dan beristirahat