Ruangan ini satu jam yang lalu masih terlihat ramai. Orang-orang datang bergantian dengan mayoritas berpakaian hitam. Ada yang menangis, ada yang berempati seperlunya, ada pula yang berbincang dan tertawa di kursi-kursi di bawah tenda. Sebagian malah memanfaatkan suasana untuk bertemu kerabat lama.
Hari ini adalah hari penguburan Livia, perempuan yang lahir ke dunia sepuluh menit lebih cepat dariku. Livia wafat seminggu setelah proses persalinan bayinya, meninggalkan seorang makhluk mungil yang baru saja tertidur setelah berjam-jam kugendong dengan kain batik milik Ibu. Pandanganku berkeliling setelah kuletakkan bayi yang belum bernama itu di tempat tidur kecilnya. Di luar sana, Ayah sedang menegur beberapa orang anak lelaki yang mencoba mencabuti bunga-bunga plastik dari deretan papan ucapan duka di depan rumah. Bunda tengah mengutipi sisa gelas plastik yang berserakan di halaman. Lian, si bujang bungsu, kelihatan mengobrol dengan raut wajah terpaksa menanggapi ocehan salah seorang kerabat Ayah yang sudah lanjut usia. Semua orang berusaha mengatasi kesedihan masing-masing atas kepergian mendadak ini. Termasuk aku, juga lelaki muda yang duduk sendiri di sofa memandangi ponsel dalam genggamannya. Dia Mahesa Dipta teman masa remaja kami, cinta pertamaku, suami Livia. Satu-satunya yang aku tertawakan dari jalan hidupku selama dua puluh lima tahun terakhir. Dari sekian banyak kesempatan bagiku dan Livia untuk berebut hal yang sama, mengapa harus Dipta yang menjadi objeknya.Untuk ukuran seorang lelaki yang baru saja kehilangan istri yang dicintai, raut wajah Dipta terlampau datar. Meskipun sejak tadi kerutan di dahinya tidak kunjung hilang, tapi tak sekali pun aku melihat dia menangis. Tidak seperti Ayah, yang aku masih ingat jelas bagaimana beliau tersedu-sedu, menjelang pemakaman ibu kandung kami belasan tahun lalu. Namun, bukankah lelaki paling pintar menyembunyikan isi hati? Mungkin saja saat ini Dipta sedang berusaha keras menyimpan luka yang berdarah-darah jauh di dalam sana.“Aku belum melihat Kak Dipta makan apa pun sejak pagi.” Lelaki itu menengadah lalu mematikan layar ponselnya saat kuhampiri dengan sepiring kecil kue bolu di tangan. “Jangan sampai asam lambungnya naik.”“Thanks, Lira.” Ia mengambil sepotong dan mulai mengunyah pelan. “Selera makanku hilang.”“Aku seduhkan teh panas, ya,” tawarku tulus, masih tetap berdiri di sisi sofa menunggu persetujuannya. “Boleh,” jawabnya. “Tanpa gula, please.”Masih sempat kulihat Dipta merebahkan kepalanya pada sandaran sofa sebelum kutinggalkan ke dapur. Ponselnya tak lagi dipegang. Ia hanya menatap ke atas ke arah langit-langit ruang tamu. Pasti ia lelah. Kami semua lelah satu minggu ini, sejak Livia dinyatakan koma sampai pihak rumah sakit mencatat waktu kematiannya. Aku tidak dapat dengan cepat menemukan letak teh celup di tempat biasa. Dapur ini sudah banyak berubah sejak aku memilih pindah ke Palembang. Mungkin setelah aku dan Livia tidak lagi menetap di sini, Bunda lebih bebas untuk menata rumah sesuai keinginannya. Lian pun mulai indekos di Bandung sejak masuk kuliah.Dua tahun lalu saat Livia resmi menikah dengan Dipta, aku tanpa berpikir panjang memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan kontraktor di sana. Tetap berada di Jakarta akan semakin mengoyak sayatan di hatiku setelah gagal memenangkan Dipta dari Livia. Tidak, bukan memenangkan, karena kami tidak pernah bersaing untuk mendapatkan Dipta. Aku cukup tahu diri bahwa aku bukan pesaing yang pantas jika lawannya adalah Livia kembaranku. Sejak kepindahanku, baru kali ini aku kembali setelah Ayah mengabarkan kondisi Livia yang semakin memburuk. Mahesa Dipta hanya lebih tua tiga tahun dariku dan Livia. Aku mengenalnya sejak ia dan keluarganya menjadi penghuni baru di kawasan perumahan kami. Umurku masih tiga belas waktu itu. Belum cukup dewasa, tapi mata dan hatiku sudah cukup cerdas untuk mengerti bahwa yang aku rasakan pada Dipta adalah cinta pada pandangan pertama. Cinta yang juga berbalas, sayangnya panah itu mengarah pada seorang perempuan berwajah sama, yang menjiplak semua yang diriku punya.“Kak Dipta, tehnya sudah siap.” Dipta membenahi posisi duduknya saat menyadari kehadiranku.“Thank you, Lira.” Suara itu terdengar parau.Sudah kata terima kasih yang entah ke berapa kali ia ucapkan untukku hari ini. Terima kasih telah mengambil cuti panjang untuk pulang ke Jakarta, terima kasih telah menjaga bayinya yang masih merah, terima kasih telah terus berada di sisi Livia hingga akhir hayatnya.“Pegang di sisi ini, cangkirnya panas sekali,” ujarku mengingatkan.Sengaja kuputar badan cangkir agar Dipta dapat meraih sisi pegangannya. Ia menyeruput perlahan, mengulangi dua kali, lalu meletakkan cangkir teh di atas meja di depan sofa. Aku merasa sangat bodoh mengapa masih berdiri, menunggui, dan memandangi lelaki itu seperti ada sebuah kewajiban yang mengharuskan. “Istirahatlah dulu, Kak,” saranku karena terlalu iba melihat kondisi Dipta saat ini. “Kak Dipta juga butuh tidur.”Lingkaran hitam di bawah matanya cukup menjelaskan kualitas tidur Dipta yang kurang seminggu ini. Kelopak matanya juga menebal, pasti karena menahan kantuk berhari-hari. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, lalu tersenyum getir saat sepasang matanya mengarah padaku. “Aku akan pulang.” Dipta memandangku dengan tatapan sangat letih. “Kenapa harus pulang?” cegahku. “Kak Dipta bisa istirahat di sini, di kamar Lian.”“Rumahku dan Livia tidak terlalu jauh dari sini,” jelasnya dengan sopan. “Aku istirahat di rumah saja, di sini terlalu ramai. Mudah-mudahan Ayah mengizinkan.”Memang Ayah yang meminta agar jenazah Livia di bawa ke sini sebagai rumah duka. Bukan tanpa pertimbangan. Melihat kondisi Dipta yang begitu terpuruk, rasanya tak mungkin lelaki itu sanggup mengurus semua keperluan penguburan. Dipta anak tunggal, orang tuanya pun sudah tidak ada. Keluarga besarnya juga tidak berdomisili di Jakarta. Rumah yang mereka tempati saat baru pindah ke lingkungan ini, sudah lama dijual sejak papanya meninggal“Aku titip bayi itu, Lira.” Dipta mengangguk padaku saat ia bangkit dan berpamitan. “Besok pagi aku datang lagi.”Kupandangi punggung Dipta yang berjalan lunglai sampai ia berhenti saat berpapasan dengan Ayah. Beliau menepuk-nepuk bahu Dipta dan memeluknya, Entah apa yang keduanya bicarakan. Dua lelaki yang sama-sama pernah kehilangan istri tercinta. Butuh bertahun-tahun bagi Ayah sampai beliau mau membuka hatinya lagi pada wanita lain, hingga akhirnya Bunda hadir di keluarga kami.Aku sempat punya pikiran ini dulu ketika aku tahu bahwa Dipta melamar Livia. Apakah jika Livia tidak ada, apakah jika aku tidak terlahir kembar, maka Dipta akan jatuh cinta padaku? Pikiran yang sempat menghantuiku selama setahun sejak pernikahan mereka itu, kini terpampang di depan mata. Namun, andai takdir dapat diubah, aku ingin Livia tetap hidup untuk mengurusi Dipta dan bayi mereka.Jangan kuatirkan aku, karena aku bisa bertahan dengan lukaku. Raut terpuruk di wajah Dipta lebih terasa perih dibandingkan goresan di hatiku yang entah sampai kapan akan sembuh.Memang benar jika ada yang mengatakan wajah bayi akan terus berubah-ubah sampai ia menemukan parasnya sendiri. Saat pertama kali aku bertemu dengan mahluk mungil ini, aku bahkan tidak yakin ia adalah buah cinta Dipta dan Livia. Tak sedikit pun susunan di wajahnya yang tembam menjiplak hidung tinggi Dipta atau pun mata indah Livia. Namun, kemarin pagi saat memandikannya, aku terpana melihat betapa garis hidung dan dahinya sangat mirip Dipta. Dan pagi ini, usai memakaikan kain bedungnya, Muffin sempat membuka matanya sedikit. Saat kami bertatapan, aku seperti sedang menatap Livia yang sedang tersenyum kepadaku.Ya, aku memanggilnya Muffin, kuambil dari nama kue buatan Ibu yang menjadi kesukaanku dan Livia. Hingga hari ini, belum ada satu orang pun berniat memberikannya sebuah nama. Semua orang masih terlalu larut dalam kesedihan masing-masing. Ayahnya hanya datang di sore hari selepas pulang dari kantor. Melihat sebentar, lalu kembali ke rumahnya sendiri. Aku pernah meminta D
Mahesa Dipta melamarku. Lelaki yang kerap hadir dalam mimpi-mimpiku itu, baru saja memintaku menikahinya. Bertahun-tahun aku membayangkan dan mengharapkan agar kesempatan ini terjadi. Aku tidak tahu apakah harus merasa senang atau sedih. Tentu saja telingaku tidak salah mengartikan ucapannya. Aku juga tidak salah dengar saat ia menegaskan bahwa Ayah yang mengusulkan. “Tapi ini terlalu cepat,” bisikku dengan perasaan bingung. Baru berselang dua minggu sejak pemakaman Livia. Apa yang akan dikatakan orang-orang? “Jangan salah sangka, Lira. Aku melakukannya semata-mata untuk anak ini.” Dipta menatapku dan Muffin bergantian. Anak ini katanya? Tidak bisakah ia menyebutnya anakku? Kemarin juga ia memanggil Muffin dengan sebutan bayi itu. “Andai Livia meninggalkanku tanpa anak, mungkin aku tidak harus segera menikah lagi.” Dipta mulai menjelaskan alasan yang mungkin sedang berantuk di kepalanya. “Aku tidak mungkin membawa perempuan yang buka
Bayangan yang terpantul pada cermin di depanku tidak mirip aku. Perempuan itu berkebaya putih dengan balutan kain batik bermotif parang kusuma bernuansa coklat tua. Sedikit riasan di wajahnya membuatnya tampil lebih dewasa. Rambutnya yang biasa diikat satu, hari ini digelung rapi dengan hiasan kembang melati. Empat tahun lalu, dalam balutan kebaya putih yang hampir sama, Livia meyakinkanku agar tidak menghapus perona pipi yang ia sapukan di wajahku. Hari itu adalah hari wisuda kami. Setelah pulang dari auditorium, Livia bahkan tetap memakai kebayanya saat beberapa tamu datang untuk menghadiri acara syukuran yang diadakan Ayah. Aku segera berganti dengan kostum kebanggaanku, baju kaus dan celana denim. Sebelum kemudian kembali ke kamar untuk menukar baju kausku dengan kemeja setelah melihat Bunda mendelik dari ruang tamu.Jika Livia masih ada, ia pasti akan menertawaiku karena memutuskan untuk memakai kebaya wisuda kami dalam acara sesakral ini. Dan, aku seperti bi
Dipta sama sekali tidak keluar kamar setelah kemarin sore ia membanting pintu dengan kerasnya. Padahal aku sudah menunggunya di meja makan. Terpaksa kusimpan kembali dalam lemari pendingin sepanci sup ayam yang susah payah kusiapkan seharian tadi. Kerupuk emping yang sudah terlanjur digoreng, kuhabiskan semuanya sambil memandangi televisi. Kapan lagi bisa kukuasai benda itu tanpa harus berbagi tayangan dengan pemiliknya yang hanya gemar memutar siaran berita. Pagi ini aku berdiri di depan pintu kamar Dipta dengan jemari kanan yang siap mengetuk. Sinar matahari sudah hampir mencapai jendela dapur dan ia belum juga bangun. Biasanya lelaki itu sudah duduk untuk sarapan bahkan sebelum pukul tujuh.Wajah Dipta muncul setelah kuputuskan untuk membangunkannya dengan resiko apa pun. Hanya ada dua kemungkinan yang akan kuhadapi. Jika aku tidak membangunkannya, kemungkinan besar ia akan marah karena pasti terlambat untuk berangkat kerja. Jika aku membangunkannya, kemungkina
Aku terjaga dengan rasa pusing yang teramat sangat. Samar bisa kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi. Kuraba perlahan ke arah samping, dan cepat beralih pada posisi duduk saat tak kutemukan Muffin di sebelahku. Rasa panik mendera seketika, tetapi langsung sirna saat tersadar bahwa aku tidak sedang berada di rumah Dipta.Aku ingat, malam tadi sebelum tidur Bunda mengambil Muffin dari dekapanku. Beliau mempersilahkanku menangis semalaman tanpa harus memikirkan Muffin. Kata Bunda, biasanya setelah air mata tumpah ruah, hati kita akan terasa lebih cerah.Seminggu lalu, setelah satu jam berkeliling tanpa tujuan dalam taksi online yang kupesan, akhirnya kuputuskan untuk kembali saja ke rumah Ayah. Ide untuk melaju ke bandara dan terbang ke Palembang terpaksa kusingkirkan. Muffin masih terlampau kecil, aku pun tidak yakin bisa mengurusnya sendirian dalam kondisi labil.Aku tidak sedekat Livia pada Bunda, tetapi beliau segera tahu apa yang terjadi saat aku datang dengan menenteng s
Aku tidak mengerti mengapa Muffin berubah gelisah malam ini. Aku mengira mungkin ia kurang nyaman harus tidur di kamar yang berbeda. Mungkin juga insting bayinya memberi isyarat bahwa sang pemilik kamar tidak benar-benar menerima kehadirannya. Berkali-kali ia terbangun saat kuletakkan dalam ranjang bayinya, dan kembali terlelap saat kubaringkan di sampingku. Memang salahku tidak membiasakannya tidur terpisah sejak lahir. Salah ayahnya juga mengapa tidak menyediakan tempat tidur untuk bayinya sedari awal kelahiran.Sudah hampir pukul sebelas malam saat Dipta masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Pasti ia kesal mendengar rengekan Muffin yang berulang-ulang. Aku sempat merasa bersalah, tetapi cepat menyadari bahwa Dipta pun seharusnya ikut mengatasi kerewelan Muffin.“Ia tidak mau dipindahkan ke tempat tidurnya sendiri,” keluhku putus asa saat Dipta menatap aneh pada mahkluk kecil yang menguasai tengah ranjangnya. “Mungkin ia masih asing di kamar yang baru.”Dipta berdiri terpaku denga
Aku mengira Dipta akan seterusnya bersedia menggendong Muffin setelah kejadian panas tinggi yang lalu, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, aku dapat merasakan cara Dipta memandang dan menanggapi semua aktivitas Muffin sudah lebih lunak dari sebelumnya. Tak sekali dua kali aku memergoki lelaki itu mengalihkan pandang dari ponselnya sekadar untuk memperhatikan Muffin.Si kecil Muffin sudah genap empat bulan hari ini, sudah bisa menelungkup sendiri dan mengangkat kepalanya. Ia juga sudah mulai mengoceh setiap kali diajak bicara. Semua perkembangan Muffin membuatku sangat senang. Aku juga tidak perlu selalu menggendongnya setiap saat. Muffin sudah mulai teralihkan dengan beragam mainan yang tersebar di sekitar matrasnya.Sejujurnya bukan hanya bertambahnya kepintaran Muffin yang menerbitkan rasa gembira. Perkembangan hubunganku dengan Dipta juga menumbuhkan benih-benih bahagia di hatiku. Jika dulu di setiap hari libur Dipta kerap berkeliaran, kini tidak demikian. Sudah dua kali hari Min
Ayah pernah mengingatkan, salah satu cara untuk mengatasi amarah–saat dirimu sedang dalam posisi duduk- adalah dengan berbaring. Ibu pernah mengatakan, jika dirimu sedang berusaha mengurai emosi, maka cobalah berhitung mulai dari angka 1 hingga 10. Apabila belum berhasil, lakukan terus hingga mencapai angka di mana rasa kesalmu sudah mereda.Dan, hal itulah yang sedang kulakukan sekarang, berbaring menatap langit-langit sambil melafalkan dalam hati angka 125. Syukurlah setelah melewati angka itu denyut nadiku sudah tak secepat tadi. Kucoba untuk menarik napas panjang, kemudian mengembusnya perlahan.Dipta masih memunggungiku. Aku yakin lelaki itu belum tidur. Dengkuran halusnya belum terdengar. Pasti ia masih berkutat dengan isi kepalanya persis sepertiku.“Aku sedang mengingat-ingat saat Kak Dipta melamarku.“ Kucoba mengajaknya berbincang setelah berpikir berulang. “Kak Dipta bilang kita melakukan ini untuk Muffin, bukan begitu?”Tidak ada jawaban. Dipta masih bergeming. Mungkin ia s
Rasanya aku tidak ingin percaya pada apa yang baru saja diucapkan Dipta. Bagaimana mungkin Ayah yang memintanya. Tega sekali beliau melakukan itu, menganaktirikan aku dan memprioritaskan Livia bahkan sampai pada perihal memilihkan jodoh untuk kami berdua. Aku perlu tahu alasannya kali ini.“Livia menderita sebuah penyakit yang sulit untuk disembuhkan,” ucap Dipta masih dengan raut wajah tersiksa. “Ayah bilang hanya aku lelaki yang bisa ia percaya untuk menitipkan Livia.”“Penyakit apa?” desakku tidak sabar. Aku tidak yakin hanya karena alasan itu. Aku tahu sejak dulu hanya ada Livia di hati Ayah.“Sebaiknya kamu menanyakan langsung pada Ayah,” lanjut Dipta. “Aku tidak berhak menjelaskannya, lebih tepatnya tidak ingin mendahului Ayah.”“I can’t believe this,” bisikku kalut. “Apakah Mas Dipta tidak mencoba membantah Ayah saat itu?”Dipta menggeleng lemah. “Ayah menangis panik. Aku tidak punya pilihan.”“Bahkan untuk mengatakan siapa yang sebenarnya Mas Dipta cintai?” tanyaku tak percaya
Dipta benar-benar tidak menyia-nyiakan perbincangan masa subur yang ia tanyakan sore tadi. Di balik sikapnya yang manis dan lembut, selalu tersimpan tanya di hatiku, bagaimana lelaki ini bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Apakah semua lelaki dikarunia cinta yang begitu besar sehingga cukup untuk dibagi.“Benar begitu?” Tanpa kusadari apa yang terpikir, ternyata terucap di bibir.“Apanya yang benar, Sayang?” Dipta merenggangkan peluknya agar bisa memandang wajahku. “Bahwa aku mencintaimu, itu benar.”“Dan tetap bisa mencintai yang lain di saat yang sama?” lanjutku dengan kelancangan yang kusengaja.“Aku tidak pernah mencintaimu dan Livia di saat yang sama jika itu yang kamu maksud,” jawabnya lugas. “Kalian berada di tempat yang sama, di waktu yang berbeda, dengan kadar yang berbeda.” Dipta meraih jemariku untuk ia letakkan di dadanya.“Maaf jika aku harus mengungkit ini kembali, Mas,” bisikku sedih. “Pikiran itu selalu datang dan pergi berulang-ulang sesuka hatinya.”“Pikiran yang
Sudah berkali aku mencari, tetapi memang tidak ada identitas apa pun yang ditinggalkan si pengirim di dalam kotak tersebut selain tulisan yang memuat tanda tangannya pada kartu ucapan. Harusnya tadi aku menahan sebentar si kurir pengantar. Aku baru sadar setelah ia terlanjur beranjak, bahwa kurir tersebut bukanlah seperti petugas ekspedisi yang selama ini sering datang. Sepertinya ia memang ditugasi hanya untuk mengantar kotak itu.Aku tidak mengira Livia bisa senekat itu, pergi sendiri tanpa ditemani untuk menemui laki-laki lain. Dipta pasti sudah lebih dulu mencium gelagat perselingkuhan ini. Menyedihkan kalau itu yang benar terjadi. Entah apakah aku harus memberi tahu Dipta mengenai foto-foto ini.Sedikit ragu merasuki hatiku saat melihat Dipta pulang dengan wajah letih, meskipun begitu ia masih sempat menggodaku dengan kecanggunganku menyebutnya dengan panggilan baru kami. Panggilan baru untuknya sebenarnya.“Tadi kebetulan lewat,” jelasnya saat kutanyakan di mana ia membeli singk
Harusnya bisa jika aku lanjut bertanya, seperti sejak kapan Dipta mencintai Livia, alasan apa yang membuatnya bisa mencintai kami berdua sekaligus, atau mungkin siapa yang lebih ia cintai, aku atau Livia. Namun, entah mengapa timbul rasa tidak tega saat raut wajah lelaki yang sebelah lengannya masih memelukku itu seperti sedang mengemban beban yang sangat berat. Dahinya berkerut hebat, menandakan ia tidak bahagia saat menyatakan kejujuran-kejujuran lain yang kupaksa terlontar.“Aku tidak mampu menceritakan secara lengkap, tetapi jika kamu ingin bertanya, tanyalah satu per satu,” lanjutnya perlahan. “Sebisa mungkin aku jelaskan.”Menanyakan satu per satu dan harus merangkai benang merahnya sendiri pasti akan semakin memancing kecewa. Bagaimana jika nanti ia mengakui lebih mencintai Livia ketimbang aku? Hatiku bisa berdarah-darah mendengarnya.“Mungkin tidak sekarang,” putusku akhirnya. “Tapi pasti suatu saat aku akan bertanya tentang hal itu.”“Anytime, Dear.” Dipta mengurai anak rambu
Rasa lega yang awalnya menyelimuti hatiku mendadak berubah kecewa saat kudapati aplikasi percakapan dan sosial media pada ponsel Livia ternyata tetap dilindungi oleh sederetan kata kunci. Bersamaan dengan itu, kecurigaan yang kerap diutarakan Mahesa Dipta mengenai isu perselingkuhan Livia perlahan merebak di pikiranku. Jarang sekali pengguna ponsel mengunci aplikasinya apabila telah memasang kunci layar. Dan, menemukan kombinasi angka itu bukanlah hal yang mudah untuk ditelusuri dalam waktu singkat. Aku terpaksa menyelamatkan ponsel ini sementara waktu.Lian memahami saat kuberitahu banyak akun yang harus dilakukan pelaporan terkait wafatnya Livia. Si bungsu itu tertawa semringah saat kuizinkan memilih ponsel baru yang ia sukai pada aplikasi toko online. Satu hal yang aku kagumi dari Lian. Meskipun ia anak lelaki bungsu, tetapi sikapnya tidak manja dan selalu menghormati aku dan Livia sejak dulu. Mungkin karena sedari kecil ia sudah merasakan bagaimana sedihnya ditinggal Ibu.Jemariku
Semua opsi yang ditawarkan Mahesa Dipta ternyata hanya berakhir di tempat yang sama hingga hampir tengah hari. Meskipun sedikit berbeda dengan semalam yang lebih banyak menguras aktivitas, sepanjang pagi ini hingga menjelang siang kami lebih sering berpelukan dan bercerita. Seolah tiada habis lembar demi lembar yang selama ini tersimpan, satu per satu terlontar untuk disampaikan.Aku yang lebih banyak berbicara, menanyakan apa-apa yang selama ini tertahan. Dipta lebih banyak tersenyum dan tertawa, menjawab dengan sabar hampir semua yang kuminta penjelasan. Termasuk saat kutanyakan mengapa ia pernah mengatakan akan secepatnya mencari perempuan lain andai waktu itu aku menolak menikah dengannya.“It was just a trick, actually,” ujarnya santai. “Aku sudah kehabisan cara untuk mengirim sinyal ke hatimu.”“Cerdas sekali.” Aku pura-pura merengut kesal. “Termasuk semua sikap dingin Kak Dipta padaku di awal kita menikah?” tanyaku.“Termasuk itu.” Ia membenarkan sambil tersenyum tipis. “Entah
Pelukan dari lelaki yang berbaring di sampingku merenggang seiring dengan sorot matanya yang meredup. Aku sadar baru saja merusak suasana dengan pertanyaanku yang mungkin tidak pada tempatnya. Bagaimana lagi, apa yang diungkapkan Mahesa Dipta sungguh tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan aku berhak menanyakannya, bukan?“Haruskah aku jawab sekarang?” ucapnya sambil menarik lengannya yang sejak tadi kupakai sebagai alas berbaring. “Karena penjelasanku pasti akan membuat kita berdua sedih.”Aku terdiam sejenak. Perlahan tapi pasti semuanya mulai menuju titik terang. Bukan hanya aku yang ternyata harus menggadaikan rasa cinta. Juga dia, lelaki yang terpaksa meminggirkan rasa sayang yang ia simpan untukku bertahun-tahun.“Ada hal yang sebenarnya lebih baik untuk tidak kita ketahui, Lira,” lanjutnya. “Jika aku jadi kamu, maka aku akan memilih itu.”Meski tidak sepenuhnya setuju, paling tidak saat ini Dipta sudah berniat baik untuk menjelaskan. Aku pun sebenarnya meragukan ketegaran h
Sudah hampir pukul sepuluh malam saat mobil Dipta akhirnya terparkir di garasi. Seperti biasa aku langsung bersiap turun. Pintu yang sudah terlanjur terbuka, akhirnya kututup kembali saat melihat Dipta malah menurunkan sedikit sandaran kursi dan mengatur posisi jok agak menjauh dari arah pijakan pedal.“Mau ke mana buru-buru?” tegurnya sambil melirik ke samping.“Menghubungi Bunda dari telepon rumah,” jawabku. “Ponselku tertinggal di tas perlengkapan Muffin.”“Mau bilang apa?” Ia mengulurkan ponselnya dari saku. “Pakai ini saja.”“Mau bilang maaf kalau tidak bisa menjemput Muffin malam ini,” ujarku sedikit bingung.“Tidak perlu kalau soal itu,” ujarnya cepat. “Sebelum berangkat tadi aku sudah berpesan pada Bunda bahwa kita pulang larut dan tidak akan menjemput.”Aku kembali duduk bersandar. Dipta sudah merencanakan semuanya sampai sejauh ini. Ia bahkan sengaja mengatur agar hanya ada kami berdua di rumah malam ini. Menyesal sekali tak kusempatkan benar-benar membersihkan diri. Waktuku
Tak pernah sebelumnya kulihat Dipta memandangku seperti itu. Tepatnya menatapku seperti sedang menahan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Aku jadi bingung untuk bersikap, suasana di sekitarku yang tadinya terasa gembira, kini berubah mencekam saat ia muncul.“Teman lama?” tebaknya seolah memberiku isyarat agar aku mengenalkannya pada Fahmi. “Mahesa Dipta,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.“Ini Fahmi, anak Pak Kemas atasanku dulu di kantor,” jelasku berusaha tersenyum. “Dulu pernah satu kali bertemu sewaktu Fahmi pulang ke Palembang.”“Saya juga lupa-lupa ingat wajah Lira, makanya tadi saya sapa untuk memastikan.” Fahmi menjelaskan bagaimana awalnya kami bisa terlibat obrolan akrab.Masih dengan rupa yang dihiasi senyum ketat, Dipta menarik sebuah kursi dari sebelahku dan meletakkannya di antara aku dan Fahmi. Sebelah lengannya Dipta letakkan di sandaran kursiku, bagai ingin mengirim sinyal pada Fahmi bahwa tidak ada celah bagi pria itu untuk mengajakku berbincang seperti sebelu