Ruangan ini satu jam yang lalu masih terlihat ramai. Orang-orang datang bergantian dengan mayoritas berpakaian hitam. Ada yang menangis, ada yang berempati seperlunya, ada pula yang berbincang dan tertawa di kursi-kursi di bawah tenda. Sebagian malah memanfaatkan suasana untuk bertemu kerabat lama.
Hari ini adalah hari penguburan Livia, perempuan yang lahir ke dunia sepuluh menit lebih cepat dariku. Livia wafat seminggu setelah proses persalinan bayinya, meninggalkan seorang makhluk mungil yang baru saja tertidur setelah berjam-jam kugendong dengan kain batik milik Ibu. Pandanganku berkeliling setelah kuletakkan bayi yang belum bernama itu di tempat tidur kecilnya. Di luar sana, Ayah sedang menegur beberapa orang anak lelaki yang mencoba mencabuti bunga-bunga plastik dari deretan papan ucapan duka di depan rumah. Bunda tengah mengutipi sisa gelas plastik yang berserakan di halaman. Lian, si bujang bungsu, kelihatan mengobrol dengan raut wajah terpaksa menanggapi ocehan salah seorang kerabat Ayah yang sudah lanjut usia. Semua orang berusaha mengatasi kesedihan masing-masing atas kepergian mendadak ini. Termasuk aku, juga lelaki muda yang duduk sendiri di sofa memandangi ponsel dalam genggamannya. Dia Mahesa Dipta teman masa remaja kami, cinta pertamaku, suami Livia. Satu-satunya yang aku tertawakan dari jalan hidupku selama dua puluh lima tahun terakhir. Dari sekian banyak kesempatan bagiku dan Livia untuk berebut hal yang sama, mengapa harus Dipta yang menjadi objeknya.Untuk ukuran seorang lelaki yang baru saja kehilangan istri yang dicintai, raut wajah Dipta terlampau datar. Meskipun sejak tadi kerutan di dahinya tidak kunjung hilang, tapi tak sekali pun aku melihat dia menangis. Tidak seperti Ayah, yang aku masih ingat jelas bagaimana beliau tersedu-sedu, menjelang pemakaman ibu kandung kami belasan tahun lalu. Namun, bukankah lelaki paling pintar menyembunyikan isi hati? Mungkin saja saat ini Dipta sedang berusaha keras menyimpan luka yang berdarah-darah jauh di dalam sana.“Aku belum melihat Kak Dipta makan apa pun sejak pagi.” Lelaki itu menengadah lalu mematikan layar ponselnya saat kuhampiri dengan sepiring kecil kue bolu di tangan. “Jangan sampai asam lambungnya naik.”“Thanks, Lira.” Ia mengambil sepotong dan mulai mengunyah pelan. “Selera makanku hilang.”“Aku seduhkan teh panas, ya,” tawarku tulus, masih tetap berdiri di sisi sofa menunggu persetujuannya. “Boleh,” jawabnya. “Tanpa gula, please.”Masih sempat kulihat Dipta merebahkan kepalanya pada sandaran sofa sebelum kutinggalkan ke dapur. Ponselnya tak lagi dipegang. Ia hanya menatap ke atas ke arah langit-langit ruang tamu. Pasti ia lelah. Kami semua lelah satu minggu ini, sejak Livia dinyatakan koma sampai pihak rumah sakit mencatat waktu kematiannya. Aku tidak dapat dengan cepat menemukan letak teh celup di tempat biasa. Dapur ini sudah banyak berubah sejak aku memilih pindah ke Palembang. Mungkin setelah aku dan Livia tidak lagi menetap di sini, Bunda lebih bebas untuk menata rumah sesuai keinginannya. Lian pun mulai indekos di Bandung sejak masuk kuliah.Dua tahun lalu saat Livia resmi menikah dengan Dipta, aku tanpa berpikir panjang memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan kontraktor di sana. Tetap berada di Jakarta akan semakin mengoyak sayatan di hatiku setelah gagal memenangkan Dipta dari Livia. Tidak, bukan memenangkan, karena kami tidak pernah bersaing untuk mendapatkan Dipta. Aku cukup tahu diri bahwa aku bukan pesaing yang pantas jika lawannya adalah Livia kembaranku. Sejak kepindahanku, baru kali ini aku kembali setelah Ayah mengabarkan kondisi Livia yang semakin memburuk. Mahesa Dipta hanya lebih tua tiga tahun dariku dan Livia. Aku mengenalnya sejak ia dan keluarganya menjadi penghuni baru di kawasan perumahan kami. Umurku masih tiga belas waktu itu. Belum cukup dewasa, tapi mata dan hatiku sudah cukup cerdas untuk mengerti bahwa yang aku rasakan pada Dipta adalah cinta pada pandangan pertama. Cinta yang juga berbalas, sayangnya panah itu mengarah pada seorang perempuan berwajah sama, yang menjiplak semua yang diriku punya.“Kak Dipta, tehnya sudah siap.” Dipta membenahi posisi duduknya saat menyadari kehadiranku.“Thank you, Lira.” Suara itu terdengar parau.Sudah kata terima kasih yang entah ke berapa kali ia ucapkan untukku hari ini. Terima kasih telah mengambil cuti panjang untuk pulang ke Jakarta, terima kasih telah menjaga bayinya yang masih merah, terima kasih telah terus berada di sisi Livia hingga akhir hayatnya.“Pegang di sisi ini, cangkirnya panas sekali,” ujarku mengingatkan.Sengaja kuputar badan cangkir agar Dipta dapat meraih sisi pegangannya. Ia menyeruput perlahan, mengulangi dua kali, lalu meletakkan cangkir teh di atas meja di depan sofa. Aku merasa sangat bodoh mengapa masih berdiri, menunggui, dan memandangi lelaki itu seperti ada sebuah kewajiban yang mengharuskan. “Istirahatlah dulu, Kak,” saranku karena terlalu iba melihat kondisi Dipta saat ini. “Kak Dipta juga butuh tidur.”Lingkaran hitam di bawah matanya cukup menjelaskan kualitas tidur Dipta yang kurang seminggu ini. Kelopak matanya juga menebal, pasti karena menahan kantuk berhari-hari. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, lalu tersenyum getir saat sepasang matanya mengarah padaku. “Aku akan pulang.” Dipta memandangku dengan tatapan sangat letih. “Kenapa harus pulang?” cegahku. “Kak Dipta bisa istirahat di sini, di kamar Lian.”“Rumahku dan Livia tidak terlalu jauh dari sini,” jelasnya dengan sopan. “Aku istirahat di rumah saja, di sini terlalu ramai. Mudah-mudahan Ayah mengizinkan.”Memang Ayah yang meminta agar jenazah Livia di bawa ke sini sebagai rumah duka. Bukan tanpa pertimbangan. Melihat kondisi Dipta yang begitu terpuruk, rasanya tak mungkin lelaki itu sanggup mengurus semua keperluan penguburan. Dipta anak tunggal, orang tuanya pun sudah tidak ada. Keluarga besarnya juga tidak berdomisili di Jakarta. Rumah yang mereka tempati saat baru pindah ke lingkungan ini, sudah lama dijual sejak papanya meninggal“Aku titip bayi itu, Lira.” Dipta mengangguk padaku saat ia bangkit dan berpamitan. “Besok pagi aku datang lagi.”Kupandangi punggung Dipta yang berjalan lunglai sampai ia berhenti saat berpapasan dengan Ayah. Beliau menepuk-nepuk bahu Dipta dan memeluknya, Entah apa yang keduanya bicarakan. Dua lelaki yang sama-sama pernah kehilangan istri tercinta. Butuh bertahun-tahun bagi Ayah sampai beliau mau membuka hatinya lagi pada wanita lain, hingga akhirnya Bunda hadir di keluarga kami.Aku sempat punya pikiran ini dulu ketika aku tahu bahwa Dipta melamar Livia. Apakah jika Livia tidak ada, apakah jika aku tidak terlahir kembar, maka Dipta akan jatuh cinta padaku? Pikiran yang sempat menghantuiku selama setahun sejak pernikahan mereka itu, kini terpampang di depan mata. Namun, andai takdir dapat diubah, aku ingin Livia tetap hidup untuk mengurusi Dipta dan bayi mereka.Jangan kuatirkan aku, karena aku bisa bertahan dengan lukaku. Raut terpuruk di wajah Dipta lebih terasa perih dibandingkan goresan di hatiku yang entah sampai kapan akan sembuh.Memang benar jika ada yang mengatakan wajah bayi akan terus berubah-ubah sampai ia menemukan parasnya sendiri. Saat pertama kali aku bertemu dengan mahluk mungil ini, aku bahkan tidak yakin ia adalah buah cinta Dipta dan Livia. Tak sedikit pun susunan di wajahnya yang tembam menjiplak hidung tinggi Dipta atau pun mata indah Livia. Namun, kemarin pagi saat memandikannya, aku terpana melihat betapa garis hidung dan dahinya sangat mirip Dipta. Dan pagi ini, usai memakaikan kain bedungnya, Muffin sempat membuka matanya sedikit. Saat kami bertatapan, aku seperti sedang menatap Livia yang sedang tersenyum kepadaku.Ya, aku memanggilnya Muffin, kuambil dari nama kue buatan Ibu yang menjadi kesukaanku dan Livia. Hingga hari ini, belum ada satu orang pun berniat memberikannya sebuah nama. Semua orang masih terlalu larut dalam kesedihan masing-masing. Ayahnya hanya datang di sore hari selepas pulang dari kantor. Melihat sebentar, lalu kembali ke rumahnya sendiri. Aku pernah meminta D
Mahesa Dipta melamarku. Lelaki yang kerap hadir dalam mimpi-mimpiku itu, baru saja memintaku menikahinya. Bertahun-tahun aku membayangkan dan mengharapkan agar kesempatan ini terjadi. Aku tidak tahu apakah harus merasa senang atau sedih. Tentu saja telingaku tidak salah mengartikan ucapannya. Aku juga tidak salah dengar saat ia menegaskan bahwa Ayah yang mengusulkan. “Tapi ini terlalu cepat,” bisikku dengan perasaan bingung. Baru berselang dua minggu sejak pemakaman Livia. Apa yang akan dikatakan orang-orang? “Jangan salah sangka, Lira. Aku melakukannya semata-mata untuk anak ini.” Dipta menatapku dan Muffin bergantian. Anak ini katanya? Tidak bisakah ia menyebutnya anakku? Kemarin juga ia memanggil Muffin dengan sebutan bayi itu. “Andai Livia meninggalkanku tanpa anak, mungkin aku tidak harus segera menikah lagi.” Dipta mulai menjelaskan alasan yang mungkin sedang berantuk di kepalanya. “Aku tidak mungkin membawa perempuan yang buka
Bayangan yang terpantul pada cermin di depanku tidak mirip aku. Perempuan itu berkebaya putih dengan balutan kain batik bermotif parang kusuma bernuansa coklat tua. Sedikit riasan di wajahnya membuatnya tampil lebih dewasa. Rambutnya yang biasa diikat satu, hari ini digelung rapi dengan hiasan kembang melati. Empat tahun lalu, dalam balutan kebaya putih yang hampir sama, Livia meyakinkanku agar tidak menghapus perona pipi yang ia sapukan di wajahku. Hari itu adalah hari wisuda kami. Setelah pulang dari auditorium, Livia bahkan tetap memakai kebayanya saat beberapa tamu datang untuk menghadiri acara syukuran yang diadakan Ayah. Aku segera berganti dengan kostum kebanggaanku, baju kaus dan celana denim. Sebelum kemudian kembali ke kamar untuk menukar baju kausku dengan kemeja setelah melihat Bunda mendelik dari ruang tamu.Jika Livia masih ada, ia pasti akan menertawaiku karena memutuskan untuk memakai kebaya wisuda kami dalam acara sesakral ini. Dan, aku seperti bi
Dipta sama sekali tidak keluar kamar setelah kemarin sore ia membanting pintu dengan kerasnya. Padahal aku sudah menunggunya di meja makan. Terpaksa kusimpan kembali dalam lemari pendingin sepanci sup ayam yang susah payah kusiapkan seharian tadi. Kerupuk emping yang sudah terlanjur digoreng, kuhabiskan semuanya sambil memandangi televisi. Kapan lagi bisa kukuasai benda itu tanpa harus berbagi tayangan dengan pemiliknya yang hanya gemar memutar siaran berita. Pagi ini aku berdiri di depan pintu kamar Dipta dengan jemari kanan yang siap mengetuk. Sinar matahari sudah hampir mencapai jendela dapur dan ia belum juga bangun. Biasanya lelaki itu sudah duduk untuk sarapan bahkan sebelum pukul tujuh.Wajah Dipta muncul setelah kuputuskan untuk membangunkannya dengan resiko apa pun. Hanya ada dua kemungkinan yang akan kuhadapi. Jika aku tidak membangunkannya, kemungkinan besar ia akan marah karena pasti terlambat untuk berangkat kerja. Jika aku membangunkannya, kemungkina
Aku terjaga dengan rasa pusing yang teramat sangat. Samar bisa kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi. Kuraba perlahan ke arah samping, dan cepat beralih pada posisi duduk saat tak kutemukan Muffin di sebelahku. Rasa panik mendera seketika, tetapi langsung sirna saat tersadar bahwa aku tidak sedang berada di rumah Dipta.Aku ingat, malam tadi sebelum tidur Bunda mengambil Muffin dari dekapanku. Beliau mempersilahkanku menangis semalaman tanpa harus memikirkan Muffin. Kata Bunda, biasanya setelah air mata tumpah ruah, hati kita akan terasa lebih cerah.Seminggu lalu, setelah satu jam berkeliling tanpa tujuan dalam taksi online yang kupesan, akhirnya kuputuskan untuk kembali saja ke rumah Ayah. Ide untuk melaju ke bandara dan terbang ke Palembang terpaksa kusingkirkan. Muffin masih terlampau kecil, aku pun tidak yakin bisa mengurusnya sendirian dalam kondisi labil.Aku tidak sedekat Livia pada Bunda, tetapi beliau segera tahu apa yang terjadi saat aku datang dengan menenteng s
Aku tidak mengerti mengapa Muffin berubah gelisah malam ini. Aku mengira mungkin ia kurang nyaman harus tidur di kamar yang berbeda. Mungkin juga insting bayinya memberi isyarat bahwa sang pemilik kamar tidak benar-benar menerima kehadirannya. Berkali-kali ia terbangun saat kuletakkan dalam ranjang bayinya, dan kembali terlelap saat kubaringkan di sampingku. Memang salahku tidak membiasakannya tidur terpisah sejak lahir. Salah ayahnya juga mengapa tidak menyediakan tempat tidur untuk bayinya sedari awal kelahiran.Sudah hampir pukul sebelas malam saat Dipta masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Pasti ia kesal mendengar rengekan Muffin yang berulang-ulang. Aku sempat merasa bersalah, tetapi cepat menyadari bahwa Dipta pun seharusnya ikut mengatasi kerewelan Muffin.“Ia tidak mau dipindahkan ke tempat tidurnya sendiri,” keluhku putus asa saat Dipta menatap aneh pada mahkluk kecil yang menguasai tengah ranjangnya. “Mungkin ia masih asing di kamar yang baru.”Dipta berdiri terpaku denga
Aku mengira Dipta akan seterusnya bersedia menggendong Muffin setelah kejadian panas tinggi yang lalu, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, aku dapat merasakan cara Dipta memandang dan menanggapi semua aktivitas Muffin sudah lebih lunak dari sebelumnya. Tak sekali dua kali aku memergoki lelaki itu mengalihkan pandang dari ponselnya sekadar untuk memperhatikan Muffin.Si kecil Muffin sudah genap empat bulan hari ini, sudah bisa menelungkup sendiri dan mengangkat kepalanya. Ia juga sudah mulai mengoceh setiap kali diajak bicara. Semua perkembangan Muffin membuatku sangat senang. Aku juga tidak perlu selalu menggendongnya setiap saat. Muffin sudah mulai teralihkan dengan beragam mainan yang tersebar di sekitar matrasnya.Sejujurnya bukan hanya bertambahnya kepintaran Muffin yang menerbitkan rasa gembira. Perkembangan hubunganku dengan Dipta juga menumbuhkan benih-benih bahagia di hatiku. Jika dulu di setiap hari libur Dipta kerap berkeliaran, kini tidak demikian. Sudah dua kali hari Min
Ayah pernah mengingatkan, salah satu cara untuk mengatasi amarah–saat dirimu sedang dalam posisi duduk- adalah dengan berbaring. Ibu pernah mengatakan, jika dirimu sedang berusaha mengurai emosi, maka cobalah berhitung mulai dari angka 1 hingga 10. Apabila belum berhasil, lakukan terus hingga mencapai angka di mana rasa kesalmu sudah mereda.Dan, hal itulah yang sedang kulakukan sekarang, berbaring menatap langit-langit sambil melafalkan dalam hati angka 125. Syukurlah setelah melewati angka itu denyut nadiku sudah tak secepat tadi. Kucoba untuk menarik napas panjang, kemudian mengembusnya perlahan.Dipta masih memunggungiku. Aku yakin lelaki itu belum tidur. Dengkuran halusnya belum terdengar. Pasti ia masih berkutat dengan isi kepalanya persis sepertiku.“Aku sedang mengingat-ingat saat Kak Dipta melamarku.“ Kucoba mengajaknya berbincang setelah berpikir berulang. “Kak Dipta bilang kita melakukan ini untuk Muffin, bukan begitu?”Tidak ada jawaban. Dipta masih bergeming. Mungkin ia s