Memang benar jika ada yang mengatakan wajah bayi akan terus berubah-ubah sampai ia menemukan parasnya sendiri. Saat pertama kali aku bertemu dengan mahluk mungil ini, aku bahkan tidak yakin ia adalah buah cinta Dipta dan Livia. Tak sedikit pun susunan di wajahnya yang tembam menjiplak hidung tinggi Dipta atau pun mata indah Livia. Namun, kemarin pagi saat memandikannya, aku terpana melihat betapa garis hidung dan dahinya sangat mirip Dipta. Dan pagi ini, usai memakaikan kain bedungnya, Muffin sempat membuka matanya sedikit. Saat kami bertatapan, aku seperti sedang menatap Livia yang sedang tersenyum kepadaku.
Ya, aku memanggilnya Muffin, kuambil dari nama kue buatan Ibu yang menjadi kesukaanku dan Livia. Hingga hari ini, belum ada satu orang pun berniat memberikannya sebuah nama. Semua orang masih terlalu larut dalam kesedihan masing-masing. Ayahnya hanya datang di sore hari selepas pulang dari kantor. Melihat sebentar, lalu kembali ke rumahnya sendiri. Aku pernah meminta Dipta mencoba menggendong Muffin, tetapi lelaki itu langsung menolak. Dipta bilang ia belum terbiasa memegang bayi kecil.Dulunya aku mengira Dipta akan menjadi seorang ayah yang berjiwa kebapakan. Ternyata tidak demikian. Meskipun sebenarnya aku berharap semoga dugaanku salah. Mungkin rasa sedih masih menguasai hati Dipta. Mungkin juga lelaki itu malah menyimpan dendam pada buah hatinya yang telah menjadi penyebab kematian sang istri tercinta. Aku memilih tidak memedulikan. Dipta sudah dewasa. Tanpa istri pun ia bisa mengurus dirinya sendiri. Yang aku khawatirkan justru Muffin. Jika cutiku habis, siapa yang nanti akan merawatnya? Bunda mungkin sudah tidak mungkin untuk dititipi menjaga bayi.Dua minggu tidur bersebelahan dengan makhluk kecil ini, membuatku mulai menikmati semua aroma unik yang dihasilkan tubuhnya. Aku paling suka mencium sudut bibirnya yang bercampur saliva, juga lipatan lehernya yang sangat memancing candu untuk dihidu. Sepertinya aku jatuh cinta pada Muffin, seperti cintaku pada ayahnya. Padahal, ketika patah hati dulu, pernah terbersit niat di hatiku untuk tidak pernah menikah, apalagi punya anak. Aku merasa tidak akan pernah bisa jatuh cinta pada lelaki lain selain Dipta. Dan benar saja, dua tahun menjauh ternyata tidak mengurangi porsi hatiku yang mencintainya. Meskipun sekarang terbagi sedikit untuk mahluk mungil darah dagingnya ini.Tak apa. Jika nanti tidak ada yang mau mengurusi Muffin, aku akan membawanya ke Palembang untuk tinggal bersamaku. ***Empat belas hari hanya ditugasi mengurus bayi kecil, sedikit memancing rasa bosan dan membuat jiwa aktifku meronta. Buku-buku koleksi lama yang tidak ikut dibawa pindah, kulahap habis berjam-jam. Juga beragam serial drama dari aplikasi film berlangganan, kutonton hingga larut malam saat menemani Muffin terjaga. Kami berdua lalu tidur nyenyak setelah subuh dan baru terbangun menjelang pukul sepuluh.Hari ini aku tergoda untuk melihat kembali tumpukan album lusuh koleksi Ibu yang sudah lama tak terbuka. Dulu, Ibu selalu mengajakku dan Livia untuk melihat-lihat kembali foto-foto kami semasa kecil. Sembari melihat, Ibu biasanya akan bercerita tentang kejadian yang mendasari foto tersebut. Sebagian besar adalah foto kami semasa bayi. Karena setelah Lian lahir, Ibu lebih sering memotret si bungsu itu dibandingkan aku dan Livia. Selain itu menurut Ibu, umur kami yang mulai beranjak remaja membuatku dan Livia sedikit enggan untuk diajak berfoto. Saat itu diriku memang terlalu malas untuk diminta berpose, dan Ibu pun terlalu malas untuk terus membujuk. Satunya-satunya foto kami saat remaja adalah saat lingkungan perumahan mengadakan acara buka puasa bersama di taman komplek. Waktu itu Ibu memotret kami beserta anak-anak tetangga lainnya. Aku ingat, foto itu dibuat seminggu setelah Mahesa Dipta menjadi penghuni baru di lingkungan perumahan kami. Kabar itu sudah beberapa hari sebelumnya aku dengar dari Ibu bahwa kami akan kedatangan tetangga baru. Livia sangat antusias, sementara aku menanggapinya terlalu biasa. Buatku satu atau dua teman sudah lebih dari cukup. Tidak seperti Livia yang hampir separuh warga komplek pasti mengenal namanya, dan tentu saja sering salah memanggilku dengan namanya. Aku tidak akan memenuhi memori otakku hanya untuk menghapal nama-nama tetangga beserta anak-anak mereka. Aku lebih suka mengisinya dengan rumus matematika, atau mungkin kosa kata Bahasa Inggris yang lebih menantang. Sampai di hari itu, saat pertama kali aku mengenal Mahesa Dipta, aku bersumpah akan mengeluarkan hafalan rumus konversi satuan volume dari otakku agar muat untuk memasukkan perihal mahluk tampan itu di dalamnya. Mahesa Dipta menghipnotisku di umurku yang baru mencapai tiga belas tahun empat bulan. Bertahun-tahun hingga akhirnya aku sadar bahwa mustahil untuk bisa mengalihkannya dari Livia.***Sore ini Dipta datang lebih awal dari biasanya. Lelaki itu duduk berbincang dengan Ayah di taman belakang. Mungkin membahas perihal cutiku yang dua hari lagi akan habis. Ayah memang menanyakan hal itu padaku malam tadi. Ayah juga meminta pendapatku mengenai pemakaian jasa pengasuh bayi untuk merawat Muffin.Muffin masih nyaman dengan lelapnya, padahal sudah kuusik berulang kali agar bayi kecil itu terbangun dan mengurangi porsi tidurnya. Dua minggu terjaga sampai menjelang pagi membuat tubuhku terasa kurang sehat hari ini. Seketika aku merindukan kamar indekosku yang nyaman di Palembang sana.“Dia masih sering tidur larut malam?” Kudengar sebuah suara menyapaku dari belakang. Dipta sudah berdiri di sisi ranjang bayi saat aku menengadah. Wajahnya tidak tersenyum. Ia menatap Muffin dengan sorot mata datar.“Tadi malam kami menonton serial Flash hingga menjelang subuh,” kelakarku. Dipta tertawa. Suara tawanya pun sedatar wajahnya. “Nanti kita bisa bergantian menjaganya setelah kamu ikut ke rumahku,” ujar Dipta sambil terus memandangi Muffin yang kini sedang menggeliat.“Aku nggak bisa bekerja menjaga Muffin untuk Kak Dipta,” tolakku bingung. “Lusa sudah harus kembali masuk kantor.”“Muffin?” Kuabaikan dahi Dipta yang berkerut. “Atau bila tidak ada yang menjaga, bagaimana kalau kubawa saja dia ke Palembang?” putusku dengan solusi terakhir.Entah apa yang terdengar lucu, tetapi Dipta tertawa lepas kali ini. Ia memandangku sejenak sambil melesakkan kedua tangan di saku celana katunnya. “Tidak ada yang akan kemana-mana, Lira,” ucapnya dengan tenang. “Kalian berdua akan ikut denganku.”“Tolong jangan bercanda, Kak,” protesku tegas. “Hidup Muffin bukan untuk dijadikan kelakar.”“Aku memang tidak sedang bercanda,” sahutnya. “Atau Ayah belum mengatakannya padamu?”Aku bangkit dari duduk agar seluruh tubuhku bisa menghadap Dipta. “Ayah bilang apa sama Kak Dipta?”Lelaki itu memejam sejenak. Dan saat matanya terbuka, apa yang terucap dari bibirnya membuat pijakan kakiku melemah saat itu juga.“Ayah memintaku melamarmu, Lira. Aku ingin kita menikah secepatnya.”Mahesa Dipta melamarku. Lelaki yang kerap hadir dalam mimpi-mimpiku itu, baru saja memintaku menikahinya. Bertahun-tahun aku membayangkan dan mengharapkan agar kesempatan ini terjadi. Aku tidak tahu apakah harus merasa senang atau sedih. Tentu saja telingaku tidak salah mengartikan ucapannya. Aku juga tidak salah dengar saat ia menegaskan bahwa Ayah yang mengusulkan. “Tapi ini terlalu cepat,” bisikku dengan perasaan bingung. Baru berselang dua minggu sejak pemakaman Livia. Apa yang akan dikatakan orang-orang? “Jangan salah sangka, Lira. Aku melakukannya semata-mata untuk anak ini.” Dipta menatapku dan Muffin bergantian. Anak ini katanya? Tidak bisakah ia menyebutnya anakku? Kemarin juga ia memanggil Muffin dengan sebutan bayi itu. “Andai Livia meninggalkanku tanpa anak, mungkin aku tidak harus segera menikah lagi.” Dipta mulai menjelaskan alasan yang mungkin sedang berantuk di kepalanya. “Aku tidak mungkin membawa perempuan yang buka
Bayangan yang terpantul pada cermin di depanku tidak mirip aku. Perempuan itu berkebaya putih dengan balutan kain batik bermotif parang kusuma bernuansa coklat tua. Sedikit riasan di wajahnya membuatnya tampil lebih dewasa. Rambutnya yang biasa diikat satu, hari ini digelung rapi dengan hiasan kembang melati. Empat tahun lalu, dalam balutan kebaya putih yang hampir sama, Livia meyakinkanku agar tidak menghapus perona pipi yang ia sapukan di wajahku. Hari itu adalah hari wisuda kami. Setelah pulang dari auditorium, Livia bahkan tetap memakai kebayanya saat beberapa tamu datang untuk menghadiri acara syukuran yang diadakan Ayah. Aku segera berganti dengan kostum kebanggaanku, baju kaus dan celana denim. Sebelum kemudian kembali ke kamar untuk menukar baju kausku dengan kemeja setelah melihat Bunda mendelik dari ruang tamu.Jika Livia masih ada, ia pasti akan menertawaiku karena memutuskan untuk memakai kebaya wisuda kami dalam acara sesakral ini. Dan, aku seperti bi
Dipta sama sekali tidak keluar kamar setelah kemarin sore ia membanting pintu dengan kerasnya. Padahal aku sudah menunggunya di meja makan. Terpaksa kusimpan kembali dalam lemari pendingin sepanci sup ayam yang susah payah kusiapkan seharian tadi. Kerupuk emping yang sudah terlanjur digoreng, kuhabiskan semuanya sambil memandangi televisi. Kapan lagi bisa kukuasai benda itu tanpa harus berbagi tayangan dengan pemiliknya yang hanya gemar memutar siaran berita. Pagi ini aku berdiri di depan pintu kamar Dipta dengan jemari kanan yang siap mengetuk. Sinar matahari sudah hampir mencapai jendela dapur dan ia belum juga bangun. Biasanya lelaki itu sudah duduk untuk sarapan bahkan sebelum pukul tujuh.Wajah Dipta muncul setelah kuputuskan untuk membangunkannya dengan resiko apa pun. Hanya ada dua kemungkinan yang akan kuhadapi. Jika aku tidak membangunkannya, kemungkinan besar ia akan marah karena pasti terlambat untuk berangkat kerja. Jika aku membangunkannya, kemungkina
Aku terjaga dengan rasa pusing yang teramat sangat. Samar bisa kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi. Kuraba perlahan ke arah samping, dan cepat beralih pada posisi duduk saat tak kutemukan Muffin di sebelahku. Rasa panik mendera seketika, tetapi langsung sirna saat tersadar bahwa aku tidak sedang berada di rumah Dipta.Aku ingat, malam tadi sebelum tidur Bunda mengambil Muffin dari dekapanku. Beliau mempersilahkanku menangis semalaman tanpa harus memikirkan Muffin. Kata Bunda, biasanya setelah air mata tumpah ruah, hati kita akan terasa lebih cerah.Seminggu lalu, setelah satu jam berkeliling tanpa tujuan dalam taksi online yang kupesan, akhirnya kuputuskan untuk kembali saja ke rumah Ayah. Ide untuk melaju ke bandara dan terbang ke Palembang terpaksa kusingkirkan. Muffin masih terlampau kecil, aku pun tidak yakin bisa mengurusnya sendirian dalam kondisi labil.Aku tidak sedekat Livia pada Bunda, tetapi beliau segera tahu apa yang terjadi saat aku datang dengan menenteng s
Aku tidak mengerti mengapa Muffin berubah gelisah malam ini. Aku mengira mungkin ia kurang nyaman harus tidur di kamar yang berbeda. Mungkin juga insting bayinya memberi isyarat bahwa sang pemilik kamar tidak benar-benar menerima kehadirannya. Berkali-kali ia terbangun saat kuletakkan dalam ranjang bayinya, dan kembali terlelap saat kubaringkan di sampingku. Memang salahku tidak membiasakannya tidur terpisah sejak lahir. Salah ayahnya juga mengapa tidak menyediakan tempat tidur untuk bayinya sedari awal kelahiran.Sudah hampir pukul sebelas malam saat Dipta masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Pasti ia kesal mendengar rengekan Muffin yang berulang-ulang. Aku sempat merasa bersalah, tetapi cepat menyadari bahwa Dipta pun seharusnya ikut mengatasi kerewelan Muffin.“Ia tidak mau dipindahkan ke tempat tidurnya sendiri,” keluhku putus asa saat Dipta menatap aneh pada mahkluk kecil yang menguasai tengah ranjangnya. “Mungkin ia masih asing di kamar yang baru.”Dipta berdiri terpaku denga
Aku mengira Dipta akan seterusnya bersedia menggendong Muffin setelah kejadian panas tinggi yang lalu, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, aku dapat merasakan cara Dipta memandang dan menanggapi semua aktivitas Muffin sudah lebih lunak dari sebelumnya. Tak sekali dua kali aku memergoki lelaki itu mengalihkan pandang dari ponselnya sekadar untuk memperhatikan Muffin.Si kecil Muffin sudah genap empat bulan hari ini, sudah bisa menelungkup sendiri dan mengangkat kepalanya. Ia juga sudah mulai mengoceh setiap kali diajak bicara. Semua perkembangan Muffin membuatku sangat senang. Aku juga tidak perlu selalu menggendongnya setiap saat. Muffin sudah mulai teralihkan dengan beragam mainan yang tersebar di sekitar matrasnya.Sejujurnya bukan hanya bertambahnya kepintaran Muffin yang menerbitkan rasa gembira. Perkembangan hubunganku dengan Dipta juga menumbuhkan benih-benih bahagia di hatiku. Jika dulu di setiap hari libur Dipta kerap berkeliaran, kini tidak demikian. Sudah dua kali hari Min
Ayah pernah mengingatkan, salah satu cara untuk mengatasi amarah–saat dirimu sedang dalam posisi duduk- adalah dengan berbaring. Ibu pernah mengatakan, jika dirimu sedang berusaha mengurai emosi, maka cobalah berhitung mulai dari angka 1 hingga 10. Apabila belum berhasil, lakukan terus hingga mencapai angka di mana rasa kesalmu sudah mereda.Dan, hal itulah yang sedang kulakukan sekarang, berbaring menatap langit-langit sambil melafalkan dalam hati angka 125. Syukurlah setelah melewati angka itu denyut nadiku sudah tak secepat tadi. Kucoba untuk menarik napas panjang, kemudian mengembusnya perlahan.Dipta masih memunggungiku. Aku yakin lelaki itu belum tidur. Dengkuran halusnya belum terdengar. Pasti ia masih berkutat dengan isi kepalanya persis sepertiku.“Aku sedang mengingat-ingat saat Kak Dipta melamarku.“ Kucoba mengajaknya berbincang setelah berpikir berulang. “Kak Dipta bilang kita melakukan ini untuk Muffin, bukan begitu?”Tidak ada jawaban. Dipta masih bergeming. Mungkin ia s
Aku memilih untuk menutup kotak milik Dipta tanpa berani mencari tahu lebih lanjut tentang apa-apa yang ia simpan. Hasratku untuk meneruskan pencarian bukti musnah sudah. Kenangan-kenangan masa lalu kami bersama Mahesa Dipta malah terus-menerus bermain di kepalaku. Mungkin lain waktu akan aku lanjutkan lagi, setelah perasaan-perasaan sedih di hatiku pergi.Salah satu kenangan yang terus membekas dalam ingatanku adalah ketika pertama kali aku bertemu Mahesa Dipta. Saat itu tugas sekolahku sedang tidak berada dalam level manusiawi. Hafalan juga sedang menumpuk. Berkali-kali kucoba untuk menyimpan di dalam memori otak beragam angka tahun perjanjian pasca kemerdekaan dari buku sejarah. Namun, bagaimana bisa berhasil jika di depanku Livia sedang berlenggak-lenggok menari mengikuti irama lagu sambil berkaca. Jika ini menyangkut angka-angka pertidaksamaan linear, aku tidak peduli Livia akan berjingkrak diiringi musik sekeras apa pun. Semua dapat kuselesaikan dengan mudah.Kuputuskan untuk pi
Rasanya aku tidak ingin percaya pada apa yang baru saja diucapkan Dipta. Bagaimana mungkin Ayah yang memintanya. Tega sekali beliau melakukan itu, menganaktirikan aku dan memprioritaskan Livia bahkan sampai pada perihal memilihkan jodoh untuk kami berdua. Aku perlu tahu alasannya kali ini.“Livia menderita sebuah penyakit yang sulit untuk disembuhkan,” ucap Dipta masih dengan raut wajah tersiksa. “Ayah bilang hanya aku lelaki yang bisa ia percaya untuk menitipkan Livia.”“Penyakit apa?” desakku tidak sabar. Aku tidak yakin hanya karena alasan itu. Aku tahu sejak dulu hanya ada Livia di hati Ayah.“Sebaiknya kamu menanyakan langsung pada Ayah,” lanjut Dipta. “Aku tidak berhak menjelaskannya, lebih tepatnya tidak ingin mendahului Ayah.”“I can’t believe this,” bisikku kalut. “Apakah Mas Dipta tidak mencoba membantah Ayah saat itu?”Dipta menggeleng lemah. “Ayah menangis panik. Aku tidak punya pilihan.”“Bahkan untuk mengatakan siapa yang sebenarnya Mas Dipta cintai?” tanyaku tak percaya
Dipta benar-benar tidak menyia-nyiakan perbincangan masa subur yang ia tanyakan sore tadi. Di balik sikapnya yang manis dan lembut, selalu tersimpan tanya di hatiku, bagaimana lelaki ini bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Apakah semua lelaki dikarunia cinta yang begitu besar sehingga cukup untuk dibagi.“Benar begitu?” Tanpa kusadari apa yang terpikir, ternyata terucap di bibir.“Apanya yang benar, Sayang?” Dipta merenggangkan peluknya agar bisa memandang wajahku. “Bahwa aku mencintaimu, itu benar.”“Dan tetap bisa mencintai yang lain di saat yang sama?” lanjutku dengan kelancangan yang kusengaja.“Aku tidak pernah mencintaimu dan Livia di saat yang sama jika itu yang kamu maksud,” jawabnya lugas. “Kalian berada di tempat yang sama, di waktu yang berbeda, dengan kadar yang berbeda.” Dipta meraih jemariku untuk ia letakkan di dadanya.“Maaf jika aku harus mengungkit ini kembali, Mas,” bisikku sedih. “Pikiran itu selalu datang dan pergi berulang-ulang sesuka hatinya.”“Pikiran yang
Sudah berkali aku mencari, tetapi memang tidak ada identitas apa pun yang ditinggalkan si pengirim di dalam kotak tersebut selain tulisan yang memuat tanda tangannya pada kartu ucapan. Harusnya tadi aku menahan sebentar si kurir pengantar. Aku baru sadar setelah ia terlanjur beranjak, bahwa kurir tersebut bukanlah seperti petugas ekspedisi yang selama ini sering datang. Sepertinya ia memang ditugasi hanya untuk mengantar kotak itu.Aku tidak mengira Livia bisa senekat itu, pergi sendiri tanpa ditemani untuk menemui laki-laki lain. Dipta pasti sudah lebih dulu mencium gelagat perselingkuhan ini. Menyedihkan kalau itu yang benar terjadi. Entah apakah aku harus memberi tahu Dipta mengenai foto-foto ini.Sedikit ragu merasuki hatiku saat melihat Dipta pulang dengan wajah letih, meskipun begitu ia masih sempat menggodaku dengan kecanggunganku menyebutnya dengan panggilan baru kami. Panggilan baru untuknya sebenarnya.“Tadi kebetulan lewat,” jelasnya saat kutanyakan di mana ia membeli singk
Harusnya bisa jika aku lanjut bertanya, seperti sejak kapan Dipta mencintai Livia, alasan apa yang membuatnya bisa mencintai kami berdua sekaligus, atau mungkin siapa yang lebih ia cintai, aku atau Livia. Namun, entah mengapa timbul rasa tidak tega saat raut wajah lelaki yang sebelah lengannya masih memelukku itu seperti sedang mengemban beban yang sangat berat. Dahinya berkerut hebat, menandakan ia tidak bahagia saat menyatakan kejujuran-kejujuran lain yang kupaksa terlontar.“Aku tidak mampu menceritakan secara lengkap, tetapi jika kamu ingin bertanya, tanyalah satu per satu,” lanjutnya perlahan. “Sebisa mungkin aku jelaskan.”Menanyakan satu per satu dan harus merangkai benang merahnya sendiri pasti akan semakin memancing kecewa. Bagaimana jika nanti ia mengakui lebih mencintai Livia ketimbang aku? Hatiku bisa berdarah-darah mendengarnya.“Mungkin tidak sekarang,” putusku akhirnya. “Tapi pasti suatu saat aku akan bertanya tentang hal itu.”“Anytime, Dear.” Dipta mengurai anak rambu
Rasa lega yang awalnya menyelimuti hatiku mendadak berubah kecewa saat kudapati aplikasi percakapan dan sosial media pada ponsel Livia ternyata tetap dilindungi oleh sederetan kata kunci. Bersamaan dengan itu, kecurigaan yang kerap diutarakan Mahesa Dipta mengenai isu perselingkuhan Livia perlahan merebak di pikiranku. Jarang sekali pengguna ponsel mengunci aplikasinya apabila telah memasang kunci layar. Dan, menemukan kombinasi angka itu bukanlah hal yang mudah untuk ditelusuri dalam waktu singkat. Aku terpaksa menyelamatkan ponsel ini sementara waktu.Lian memahami saat kuberitahu banyak akun yang harus dilakukan pelaporan terkait wafatnya Livia. Si bungsu itu tertawa semringah saat kuizinkan memilih ponsel baru yang ia sukai pada aplikasi toko online. Satu hal yang aku kagumi dari Lian. Meskipun ia anak lelaki bungsu, tetapi sikapnya tidak manja dan selalu menghormati aku dan Livia sejak dulu. Mungkin karena sedari kecil ia sudah merasakan bagaimana sedihnya ditinggal Ibu.Jemariku
Semua opsi yang ditawarkan Mahesa Dipta ternyata hanya berakhir di tempat yang sama hingga hampir tengah hari. Meskipun sedikit berbeda dengan semalam yang lebih banyak menguras aktivitas, sepanjang pagi ini hingga menjelang siang kami lebih sering berpelukan dan bercerita. Seolah tiada habis lembar demi lembar yang selama ini tersimpan, satu per satu terlontar untuk disampaikan.Aku yang lebih banyak berbicara, menanyakan apa-apa yang selama ini tertahan. Dipta lebih banyak tersenyum dan tertawa, menjawab dengan sabar hampir semua yang kuminta penjelasan. Termasuk saat kutanyakan mengapa ia pernah mengatakan akan secepatnya mencari perempuan lain andai waktu itu aku menolak menikah dengannya.“It was just a trick, actually,” ujarnya santai. “Aku sudah kehabisan cara untuk mengirim sinyal ke hatimu.”“Cerdas sekali.” Aku pura-pura merengut kesal. “Termasuk semua sikap dingin Kak Dipta padaku di awal kita menikah?” tanyaku.“Termasuk itu.” Ia membenarkan sambil tersenyum tipis. “Entah
Pelukan dari lelaki yang berbaring di sampingku merenggang seiring dengan sorot matanya yang meredup. Aku sadar baru saja merusak suasana dengan pertanyaanku yang mungkin tidak pada tempatnya. Bagaimana lagi, apa yang diungkapkan Mahesa Dipta sungguh tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan aku berhak menanyakannya, bukan?“Haruskah aku jawab sekarang?” ucapnya sambil menarik lengannya yang sejak tadi kupakai sebagai alas berbaring. “Karena penjelasanku pasti akan membuat kita berdua sedih.”Aku terdiam sejenak. Perlahan tapi pasti semuanya mulai menuju titik terang. Bukan hanya aku yang ternyata harus menggadaikan rasa cinta. Juga dia, lelaki yang terpaksa meminggirkan rasa sayang yang ia simpan untukku bertahun-tahun.“Ada hal yang sebenarnya lebih baik untuk tidak kita ketahui, Lira,” lanjutnya. “Jika aku jadi kamu, maka aku akan memilih itu.”Meski tidak sepenuhnya setuju, paling tidak saat ini Dipta sudah berniat baik untuk menjelaskan. Aku pun sebenarnya meragukan ketegaran h
Sudah hampir pukul sepuluh malam saat mobil Dipta akhirnya terparkir di garasi. Seperti biasa aku langsung bersiap turun. Pintu yang sudah terlanjur terbuka, akhirnya kututup kembali saat melihat Dipta malah menurunkan sedikit sandaran kursi dan mengatur posisi jok agak menjauh dari arah pijakan pedal.“Mau ke mana buru-buru?” tegurnya sambil melirik ke samping.“Menghubungi Bunda dari telepon rumah,” jawabku. “Ponselku tertinggal di tas perlengkapan Muffin.”“Mau bilang apa?” Ia mengulurkan ponselnya dari saku. “Pakai ini saja.”“Mau bilang maaf kalau tidak bisa menjemput Muffin malam ini,” ujarku sedikit bingung.“Tidak perlu kalau soal itu,” ujarnya cepat. “Sebelum berangkat tadi aku sudah berpesan pada Bunda bahwa kita pulang larut dan tidak akan menjemput.”Aku kembali duduk bersandar. Dipta sudah merencanakan semuanya sampai sejauh ini. Ia bahkan sengaja mengatur agar hanya ada kami berdua di rumah malam ini. Menyesal sekali tak kusempatkan benar-benar membersihkan diri. Waktuku
Tak pernah sebelumnya kulihat Dipta memandangku seperti itu. Tepatnya menatapku seperti sedang menahan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Aku jadi bingung untuk bersikap, suasana di sekitarku yang tadinya terasa gembira, kini berubah mencekam saat ia muncul.“Teman lama?” tebaknya seolah memberiku isyarat agar aku mengenalkannya pada Fahmi. “Mahesa Dipta,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.“Ini Fahmi, anak Pak Kemas atasanku dulu di kantor,” jelasku berusaha tersenyum. “Dulu pernah satu kali bertemu sewaktu Fahmi pulang ke Palembang.”“Saya juga lupa-lupa ingat wajah Lira, makanya tadi saya sapa untuk memastikan.” Fahmi menjelaskan bagaimana awalnya kami bisa terlibat obrolan akrab.Masih dengan rupa yang dihiasi senyum ketat, Dipta menarik sebuah kursi dari sebelahku dan meletakkannya di antara aku dan Fahmi. Sebelah lengannya Dipta letakkan di sandaran kursiku, bagai ingin mengirim sinyal pada Fahmi bahwa tidak ada celah bagi pria itu untuk mengajakku berbincang seperti sebelu