Aku tidak mengerti mengapa Muffin berubah gelisah malam ini. Aku mengira mungkin ia kurang nyaman harus tidur di kamar yang berbeda. Mungkin juga insting bayinya memberi isyarat bahwa sang pemilik kamar tidak benar-benar menerima kehadirannya. Berkali-kali ia terbangun saat kuletakkan dalam ranjang bayinya, dan kembali terlelap saat kubaringkan di sampingku. Memang salahku tidak membiasakannya tidur terpisah sejak lahir. Salah ayahnya juga mengapa tidak menyediakan tempat tidur untuk bayinya sedari awal kelahiran.
Sudah hampir pukul sebelas malam saat Dipta masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Pasti ia kesal mendengar rengekan Muffin yang berulang-ulang. Aku sempat merasa bersalah, tetapi cepat menyadari bahwa Dipta pun seharusnya ikut mengatasi kerewelan Muffin. “Ia tidak mau dipindahkan ke tempat tidurnya sendiri,” keluhku putus asa saat Dipta menatap aneh pada mahkluk kecil yang menguasai tengah ranjangnya. “Mungkin ia masih asing di kamar yang baru.” Dipta berdiri terpaku dengan mata tak lepas memandang Muffin. “Nanti juga terbiasa,” ujarnya. “Apa kami pindah kembali saja ke kamarku?” Aku meminta persetujuan Dipta. “Aku khawatir Kak Dipta terganggu.” “Kalian di sini aja,” ujar Dipta sembari mengambil selimut yang terlipat di ujung tempat tidur. “Biar aku di tempat lain.” Aku sudah terlalu letih untuk mendebatnya. Segera kubaringkan tubuh saat Dipta sudah menghilang di balik pintu. Entah mulai kapan aku terlelap hingga akhirnya dipaksa terjaga oleh tangis Muffin menjelang subuh. Bayi kecil itu haus. Aku segera beranjak keluar untuk menyeduh susu. Meski Dipta sudah menyiapkan meja perlengkapan di dalam kamar, aku memilih untuk meletakkan semuanya di luar. Aku terlalu sungkan jika aroma kopi dari pengharum ruangan otomatis di kamar Dipta akan berganti bau susu panas milik Muffin. Salah jika tadinya aku mengira bahwa Dipta akan bertukar kamar denganku. Ternyata lelaki itu memilih tidur di atas sofa di depan televisi. Tubuhnya yang tinggi terlipat tidak beraturan. Sebelah kakinya menjuntai dan sebelah lagi tertekuk. Selimut yang dipakainya tadi malam sudah terletak di lantai. Selama tiga bulan tinggal bersama, tak pernah sekali pun aku berkesempatan menatap wajah Dipta seleluasa ini. Kuabaikan sejenak keterdesakan untuk menyiapkan susu Muffin.Kuputuskan untuk berdiri di sisi sofa dan memandanginya. Terakhir kali aku menontonnya tertidur, itu saat Dipta menghabiskan hari terakhirnya di Jakarta sebelum berangkat ke Jogja untuk melanjutkan kuliah. Waktu itu Dipta meminta izin untuk menginap di rumahku, di kamar Lian. Semalaman kami berempat bermain kartu sampai larut dan puas tertawa dengan wajah serba putih penuh coretan dari bedak yang dicampur air. Menjelang tidur, Dipta meminjam salah satu buku novel petualangan milikku. Alasannya ia terbiasa membaca sesuatu untuk memancing kantuk. Kusuruh ia memilih sendiri dari belasan novel di rak buku. Namun, lima belas menit setelah Dipta berlalu, aku tersentak saat teringat dulu pernah menyimpan sebuah coretan tentang perasaanku terhadapnya dalam helai novel itu. Hampir kakiku terpeleset saat berlari tergesa menaiki tangga untuk mencapai kamar Lian. Untung saja Lian tidak pernah mengunci pintunya. Adik bungsuku itu sudah lebih dulu tertidur. Di samping Lian, Dipta juga sudah terlelap masih dengan buku novel dalam genggamannya. Susah payah kutarik agar tak sampai membuatnya terjaga. Aku terpaku ketika Dipta menggeliat. Dengan mata yang terpejam, wajahnya yang masih separuh bercoret garis putih menghadapku sepenuhnya. Seperti saat ini, rasanya tak percaya bahwa aku sedang memandangi sosok yang bertahun-tahun kurindukan. Biarlah dulu seperti ini. Setidaknya raganya milikku meskipun hatinya belum bisa kupastikan milik siapa. *** Sudah lewat dua minggu sejak Muffin terbiasa tidur di ranjangnya sendiri, baru malam ini bayi kecil itu bertingkah gelisah. Aku terpaksa menggendongnya terus menerus. Tidak ada yang salah dengan Muffin, badannya pun tidak panas. Entah apa yang membuatnya berulang kali merengek. Jangan tanyakan bagaimana reaksi Dipta. Lelaki itu tidur tanpa terganggu, baik itu atas keberadaanku di sampingnya, atau pun tangis Muffin yang terjaga karena haus. Dipta selalu bangun menjelang subuh dan kembali ke kamar hanya saat tiba waktunya akan mandi setelah sarapan. Tidak banyak beda sebenarnya kepindahanku ke kamar Dipta, karena tetap saja aku mengurus Muffin sendirian. Aku sedikit lega karena setelah selesai subuh, Muffin kembali tenang dan terlelap. Mataku sangat mengantuk, sehingga kuputuskan untuk tidur sebentar dengan alarm terpasang. Tiga puluh menit kuperkirakan cukup sebelum aku harus kembali bangun untuk menyiapkan sarapan Dipta. Sayangnya tidak. Tidurku terlampau nyenyak, sampai baru tersentak saat Muffin menangis pada pukul delapan pagi. Sekali lagi kulirik tampilan penunjuk waktu di ponsel, dan mataku memang tidak salah. Sekarang sudah mencapai pukul delapan lewat tujuh menit. Kuharap Dipta tidak marah karena bahkan kopi untuknya pun belum sempat kuseduh. Kuraih Muffin cepat untuk keluar mencari Dipta. Benar saja, lelaki itu sudah lebih dulu berangkat kerja. Aku harus memikirkan beragam cara untuk mengambil hatinya kembali saat ia pulang nanti atau … mungkin tidak. Karena saat aku terduduk lunglai di meja makan, kudapati segelas susu coklat yang masih hangat beserta sepiring mie goreng terhidang dengan sederhana. Senyumku terbit perlahan. Bersama Muffin yang menyusu dari botolnya, kusuap satu per satu isi piring hingga tuntas seluruhnya. Hei, Muffin, ayahmu mulai memperhatikanku. Selanjutnya kita akan membuatnya memperhatikanmu. Aku butuh kerjasamamu untuk membuat suasana rumah lebih hangat agar mampu melelehkan hatinya. *** Kuakui seharian ini memang ada yang semakin hangat, tapi bukan suasana melainkan suhu tubuhku dan suhu tubuh Muffin. Rencanaku untuk membuat sedikit cemilan demi membalas sepiring sarapan yang disiapkan Dipta, pupus karena Muffin kembali rewel. Kukirimkan pesan pada Dipta bahwa Muffin sakit dan aku juga tidak enak badan. Kuminta agar lelaki itu bersedia membeli lauk untuk makan malam karena aku tidak sempat memasak apa pun. Seperti biasa, pesanku hanya dibaca tanpa dibalas. Aku memutuskan untuk menunda memberikan Muffin obat demam saat alat pengukur suhu tubuh menunjukkan angka 38 derajat. Dokter anak pernah menyampaikan, cukup memakai plester pereda panas dan memberinya minum yang cukup. Tenggorokanku juga terasa sedikit perih, sayangnya tidak tersisa satu tablet demam pun di tempat Dipta menyimpan obat-obatan. Kuikuti Muffin tidur siang setelah seharian berdiri menggendongnya tanpa jeda. Lelapku terganggu saat Muffin menangis. Bukan itu saja sebenarnya. Sebuah sentuhan di dahi dan leherku membuatku sontak membuka mata. Dipta duduk di tepi ranjang, sudah berganti pakaian. Entah sejak kapan lelaki itu tiba di rumah. “Kamu demam,” gumamnya pelan. “Sudah minum obat?” Aku menggeleng dan memaksa untuk duduk. Kepalaku berdenyut, embusan napasku juga terasa panas. “Sudah makan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk kali ini. Kuraih alat pengukur suhu tubuh untuk memeriksa perkembangan Muffin. Sudah hampir delapan jam dan panasnya belum juga turun. Tidak ada pilihan lain selain memberinya dosis paracematol. “Mau ke mana?” cegah Dipta saat aku menggeser kaki untuk turun dari ranjang. “Ambil obat Muffin,” jawabku. “Di mana obatnya?” Ia sudah lebih dulu berdiri menggantikanku. “Di rak kayu, dekat kaleng susu,” jawabku lagi. “Kak, biar aku saja—“ Dipta sudah berlalu sebelum kalimatku selesai. Tak lama ia kembali membawa obat Muffin, segelas air putih hangat, dan obat untukku. Ponselnya menempel di telinga, entah sedang menelepon siapa. Sambil terus memberi respon pada lawan bicara, Dipta menyobek kemasan obat dan memberi isyarat padaku untuk meminumnya. Ini pertama kalinya aku memberi obat untuk Muffin, untunglah bayi kecil itu tidak menolak. Aku juga bersyukur selera menyusunya pun tidak berkurang. Kuharap esok demamnya sudah mereda. “Lepaskan bajunya.” Dipta menunjuk Muffin setelah selesai dengan ponselnya. Aku terdiam sesaat. Pandanganku sedikit terbelalak karena lelaki di depanku pun melepas begitu saja kaus tanpa kerah yang ia kenakan. Dipta lalu mengambil alih melepaskan kancing depan baju Muffin saat aku tak juga bertindak. Dengan cekatan Dipta meraih Muffin dari dekapanku, menggendongnya tanpa ragu seolah hal itu sudah berkali-kali ia lakukan. “Bunda bilang ini cara terbaik untuk menurunkan suhu tubuhnya,” jelas Dipta tanpa kutanya. Ah, ternyata Bunda yang ia hubungi. Benar, aku ingat itu. Dulu pun aku sering melihat Ayah mendekap Lian kecil bertelanjang dada setiap si bungsu itu panas tinggi. Pemandangan di hadapanku seketika memancing haru. Kualihkan tatapan agar tidak terus berantuk pada sosok Dipta yang mondar-mandir dengan canggung menggendong Muffin. Sebaiknya aku beranjak ke dapur dan menyeduh secangkir kopi untuk lelaki yang hari ini menjelma baik hati. “Obat kamu sudah diminum?” Dipta bertanya saat melihatku hendak bangkit. Aku tidak terbiasa menelan obat hanya dengan air putih. Sejak dulu selalu begitu. Harus ada sesuatu untuk dikunyah agar bisa bersamaan meluncur ke tenggorokan. Sewaktu kecil, aku pernah mencoba menelannya hanya dengan air. Yang terjadi selanjutnya adalah obat tersebut tersangkut di langit-langit dan menimbulkan rasa pahit. Sebutir pisang di meja makan mungkin bisa membantu. Kuraih gelas air hangat dan tablet obat untuk kuminum di dapur. Namun, aku kembali duduk saat mendengar teguran Dipta. “Minum sekarang.” Lelaki itu menatapku penuh perintah. “Jika satu jam ke depan panas badanmu pun tidak turun, aku terpaksa melepas bajumu dan memperlakukanmu seperti ini.” Entah dari mana keberanianku muncul, cepat-cepat kulemparkan tablet kecil itu ke dalam mulut dan menenggak air sampai habis. Tak lagi kuhiraukan trauma akan rasa pahit dan tenggorokanku yang seperti tercekat. Semua terabaikan saat kudapati Dipta tersenyum selama memperhatikanku. Tersenyum, meskipun tipis sekali.Aku mengira Dipta akan seterusnya bersedia menggendong Muffin setelah kejadian panas tinggi yang lalu, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, aku dapat merasakan cara Dipta memandang dan menanggapi semua aktivitas Muffin sudah lebih lunak dari sebelumnya. Tak sekali dua kali aku memergoki lelaki itu mengalihkan pandang dari ponselnya sekadar untuk memperhatikan Muffin.Si kecil Muffin sudah genap empat bulan hari ini, sudah bisa menelungkup sendiri dan mengangkat kepalanya. Ia juga sudah mulai mengoceh setiap kali diajak bicara. Semua perkembangan Muffin membuatku sangat senang. Aku juga tidak perlu selalu menggendongnya setiap saat. Muffin sudah mulai teralihkan dengan beragam mainan yang tersebar di sekitar matrasnya.Sejujurnya bukan hanya bertambahnya kepintaran Muffin yang menerbitkan rasa gembira. Perkembangan hubunganku dengan Dipta juga menumbuhkan benih-benih bahagia di hatiku. Jika dulu di setiap hari libur Dipta kerap berkeliaran, kini tidak demikian. Sudah dua kali hari Min
Ayah pernah mengingatkan, salah satu cara untuk mengatasi amarah–saat dirimu sedang dalam posisi duduk- adalah dengan berbaring. Ibu pernah mengatakan, jika dirimu sedang berusaha mengurai emosi, maka cobalah berhitung mulai dari angka 1 hingga 10. Apabila belum berhasil, lakukan terus hingga mencapai angka di mana rasa kesalmu sudah mereda.Dan, hal itulah yang sedang kulakukan sekarang, berbaring menatap langit-langit sambil melafalkan dalam hati angka 125. Syukurlah setelah melewati angka itu denyut nadiku sudah tak secepat tadi. Kucoba untuk menarik napas panjang, kemudian mengembusnya perlahan.Dipta masih memunggungiku. Aku yakin lelaki itu belum tidur. Dengkuran halusnya belum terdengar. Pasti ia masih berkutat dengan isi kepalanya persis sepertiku.“Aku sedang mengingat-ingat saat Kak Dipta melamarku.“ Kucoba mengajaknya berbincang setelah berpikir berulang. “Kak Dipta bilang kita melakukan ini untuk Muffin, bukan begitu?”Tidak ada jawaban. Dipta masih bergeming. Mungkin ia s
Aku memilih untuk menutup kotak milik Dipta tanpa berani mencari tahu lebih lanjut tentang apa-apa yang ia simpan. Hasratku untuk meneruskan pencarian bukti musnah sudah. Kenangan-kenangan masa lalu kami bersama Mahesa Dipta malah terus-menerus bermain di kepalaku. Mungkin lain waktu akan aku lanjutkan lagi, setelah perasaan-perasaan sedih di hatiku pergi.Salah satu kenangan yang terus membekas dalam ingatanku adalah ketika pertama kali aku bertemu Mahesa Dipta. Saat itu tugas sekolahku sedang tidak berada dalam level manusiawi. Hafalan juga sedang menumpuk. Berkali-kali kucoba untuk menyimpan di dalam memori otak beragam angka tahun perjanjian pasca kemerdekaan dari buku sejarah. Namun, bagaimana bisa berhasil jika di depanku Livia sedang berlenggak-lenggok menari mengikuti irama lagu sambil berkaca. Jika ini menyangkut angka-angka pertidaksamaan linear, aku tidak peduli Livia akan berjingkrak diiringi musik sekeras apa pun. Semua dapat kuselesaikan dengan mudah.Kuputuskan untuk pi
Setiap orang yang pertama kali bertemu denganku, pasti akan menganggapku cantik. Wajahku oval dengan kulit kuning langsat. Tulang hidungku tinggi, terlihat seimbang dengan bentuk pipiku. Bibirku proporsional, dengan gigi-gigi yang terlihat rapi saat aku tersenyum. Rambutku hitam panjang tergerai. Bulu mataku lebat meskipun tidak terlalu lentik.Sayangnya, pendapat itu akan terbantahkan saat Livia muncul di saat yang sama. Orang-orang akan mulai membandingkan bibir Livia yang lebih mungil dariku, alis Livia yang lebih rapi, hidung Livia yang lebih mancung, dan bulu matanya yang lebih lentik. Mereka juga bilang, saat Livia tersenyum seolah-olah apa saja yang berada di sekitarnya pun turut tersenyum.Orang-orang lain berpendapat seperti itu, tetapi tidak dengan Ibu.Sejak umurku menginjak sepuluh tahun dan aku mulai mengerti apa artinya cantik, aku mulai kehilangan percaya diri setiap harus berdampingan dengan Livia. Ibu selalu memelukku setiap aku berkeluh kesah seperti itu. Menurut Ibu
Dipta akan pulang hari ini dari Surabaya. Pagi tadi setelah subuh ia mengabariku sekaligus menanyakan apakah aku ingin dibawakan sesuatu dari sana. Dulu setiap ia akan kembali ke Jakarta pada libur semester, Dipta juga rajin membelikanku jajanan serta pernak-pernik lucu. Bukan hanya untukku sebenarnya, karena Livia juga selalu dapat bagiannya. Aku pernah menolak pemberian Dipta dengan alasan pemborosan, tetapi ia bilang tak mengapa. Upahnya dari hasil kerja sampingan sengaja ia kumpulkan untuk hal tersebut. Lagi pula uang saku yang ia terima dari ayahnya sudah lebih dari cukup.Saat-saat menunggunya pulang liburan adalah saat yang mendebarkan. Penampilannya jadi banyak berubah. Lebih santai dan semakin dewasa. Rambutnya yang biasanya terpangkas pendek, dibiarkan memanjang sembarangan saat pertama kali ia pulang. Tubuhnya sedikit terlihat lebih kurus. Dipta bilang itu karena ia banyak bergaul dengan kelompok pecinta alam dan sering pergi mendaki gunung saat akhir pekan.Kami mulai seri
Isi buku harian Livia membuatku terus gelisah. Niatku untuk istirahat lebih awal agar tidak mengantuk saat Dipta tiba, buyar sudah. Kutidurkan Muffin lebih cepat agar bisa melahap setiap lembar buku itu sambil berharap menemukan titik terang lebih lanjut.Dadaku terasa teriris-iris saat membaca kalimat demi kalimat yang Livia tuliskan di setiap lembar. Dipta yang Livia kira sangat mencintainya, ternyata salah. Lelaki itu menyimpan perempuan lain di hatinya. Dan Livia menyimpan rasa sakit itu tanpa bisa berbuat banyak. Livia menyebutkan bahwa Dipta tanpa sengaja salah menyebutkan sebuah nama saat mereka sedang berdua. Aku bisa membayangkan betapa dingin hubungan mereka dulu. Tidak jauh berbeda dengan hubunganku dan Dipta selama empat bulan ini.Aku dulu mengira Dipta menikahi Livia karena memang mencintainya. Ternyata dugaanku salah. Lantas alasan apa yang membuat Dipta memutuskan untuk memilih Livia jika ia menyimpan cintanya untuk perempuan lain. Akh, aku benci menduga-duga seperti i
Jantungku tidak berdetak dengar benar. Kakiku tidak berpijak dengan benar. Otakku juga tidak berpikir dengan benar. Semua reaksi itu berpadu menjadi satu saat kebenaran yang disampaikan Dipta terdengar sangat tidak benar di telingaku.Dipta keliru menyebut namaku di depan Livia saat mereka sedang berdua. Itu artinya akulah perempuan yang dimaksud Livia. Akulah penyebab keretakan rumah tangga keduanya. Betapa aku merasa sangat bersalah padanya selama ini. Ah, entah bagaimana caranya aku meminta maaf pada ibumu, Muffin.Sejak Dipta mengungkapkan kebenaran versinya, aku sama sekali tidak berani berkomentar apa pun hingga kami akhirnya tiba di rumah Ayah. Dipta yang mengajak aku dan Muffin berkunjung ke mari. Ia bilang sedang rindu bermain catur dengan Ayah, sekalian menyampaikan oleh-oleh yang ia bawa dari Jogja.Look, Muffin. Tidak ada sama sekali raut canggung di wajah ayahmu setelah pernyataannya tadi. Sikapnya terlalu biasa. Membuatku berkubang tanya, membiarkanku bingung mengira. Is
Aku salah jika berpikir Dipta akan marah akibat ulahku yang mungkin sangat keterlaluan saat memindahkan Muffin dari gendonganku ke pangkuannya. Ternyata tidak. Lelaki itu malah mengucapkan terima kasih saat kubawakan sekotak tisu untuk membersihkan bekas gigitan gusi Muffin di jemarinya. Meskipun ekspresinya terlihat kurang bersahabat, tetapi tidak ada emosi yang tersimpan di sorot matanya.Juga ketika dalam perjalanan pulang, Dipta bersenandung hampir di separuh waktu tempuh, mengikuti syair lagu-lagu lama yang diputar di salah satu saluran radio. Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya bernyanyi. Dulu, aku sering mengintip lewat tirai kamar, hanya untuk melihatnya bermain gitar membawakan lagu-lagu yang populer di masa remaja kami.Saat tiba, tanpa kuminta Dipta lebih dulu mengangkat tas perkakas Muffin dari bagasi. Ia juga menyempatkan melindungi kepalaku dengan telapak tangan saat akan keluar dari mobil, lalu membantu menutup pintu setelah memastikan aku dan Muffin beranjak. Mani