Aku terjaga dengan rasa pusing yang teramat sangat. Samar bisa kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi. Kuraba perlahan ke arah samping, dan cepat beralih pada posisi duduk saat tak kutemukan Muffin di sebelahku. Rasa panik mendera seketika, tetapi langsung sirna saat tersadar bahwa aku tidak sedang berada di rumah Dipta.
Aku ingat, malam tadi sebelum tidur Bunda mengambil Muffin dari dekapanku. Beliau mempersilahkanku menangis semalaman tanpa harus memikirkan Muffin. Kata Bunda, biasanya setelah air mata tumpah ruah, hati kita akan terasa lebih cerah. Seminggu lalu, setelah satu jam berkeliling tanpa tujuan dalam taksi online yang kupesan, akhirnya kuputuskan untuk kembali saja ke rumah Ayah. Ide untuk melaju ke bandara dan terbang ke Palembang terpaksa kusingkirkan. Muffin masih terlampau kecil, aku pun tidak yakin bisa mengurusnya sendirian dalam kondisi labil. Aku tidak sedekat Livia pada Bunda, tetapi beliau segera tahu apa yang terjadi saat aku datang dengan menenteng sebuah tas besar. Aku jelas melihat Bunda memberi isyarat pada Ayah agar tidak menanyaiku apa pun. Ibu sambungku itu mengalihkan situasi dengan menyambut Muffin semeriah mungkin, seolah-oleh memang kedatangan kami telah ditunggu-tunggu sejak lama. Padahal baru sepuluh hari lalu aku dan Muffin berkunjung ke rumah ini saat Dipta berangkat tugas ke Jogja. Seminggu berlalu dan Dipta tidak sama sekali mencariku. Tidak satu pesan pun ia kirimkan untukku. Aku tahu yang kulakukan ini salah. Namun, tidak ada salahnya pula lelaki itu diberi pelajaran. Setidaknya ia tahu bahwa aku tidak bahagia selama menikah dengannya. Bisa jadi Livia juga tidak bahagia sehingga mempengaruhi kondisi kehamilannya. Bunda masuk ke kamarku setelah kutuntaskan salat dan dzikir subuh, menggendong Muffin dalam dekapan beliau. Bayi kecil itu sedang merengek, terus menolak botol susu yang diberikan Bunda. “Mungkin ia mencarimu,” ucap Bunda seraya menyerahkan Muffin padaku. “Ia rewel semalaman?” tanyaku sungkan. Kasihan Bunda jika tidurnya sampai terganggu. “Sedikit.” Bunda tersenyum sendu. “Tapi ia langsung tenang saat digendong Ayah.” Malam tadi, setelah enam hari aku pura-pura bersikap tidak terjadi apa-apa atas pernikahanku dengan Dipta, Bunda menemuiku menjelang tidur. Tidak pernah sebelumnya kami berbicara sedekat itu. Bunda membesarkan hatiku untuk tetap menjalani hubungan tanpa cinta. Dulu, saat baru menikah dengan Ayah, Bunda juga mengakui belum terbit perasaan suka di hati keduanya. Kondisi itu jelas tidak sama denganku. Aku sepenuh hati mencintai Dipta, sampai rela merendahkan egoku selama tiga bulan terakhir demi tetap bisa hidup bersamanya. Tangis yang kutahan berhari-hari, akhirnya pecah malam itu. Untuk pertama kalinya sejak Bunda memasuki kehidupan kami, kubiarkan perempuan itu memelukku, seperti dulu Ibu selalu mendekapku untuk menghibur saat aku dan Livia berselisih. “Dipta menelepon Bunda semalam,” ujar beliau sambil mengusap rambut Muffin yang sedang lahap menyusu dari botolnya. “Dia menanyakanmu.” “Bunda bilang apa?” tanyaku sedikit penasaran. “Bunda bilang kamu ada di sini.” Setelah hampir satu minggu dan ia baru menanyakan keberadaanku sekarang? Ke mana perginya Mahesa Dipta yang dulu selalu gigih mencari setiap aku bolos latihan basket di lapangan komplek? “Ia juga bilang akan datang menjemputmu pagi ini.” Bunda meraih kembali Muffin dari dekapanku. “Mandi dan berbedaklah sedikit. Wajahmu kelihatan muram sekali.” Aku melompat menuju cermin begitu Bunda keluar. Beliau benar, kelopak mataku hampir tidak terlihat tertutupi sembap. Area mataku membengkak seperti baru saja digigit serangga beracun. Bagaimana mungkin aku berhadapan dengan Dipta dengan wajah berantakan begini. Bahkan dalam penampilan paling sempurna pun aku masih kurang percaya diri saat berada di depannya. Akh, ke mana perginya rasa marahku kemarin, mengapa aku justru lebih mempermasalahkan perihal penampilan. Aku akan menemuinya dengan wajah apa adanya. Biar saja Dipta melihat hasil ulahnya. *** Bunda benar. Setelah selesai mandi dan berpakaian, kudapati Dipta sudah duduk di meja makan bersama Ayah sambil menyantap sarapannya. Lelaki itu mengobrol santai seperti tidak sedang punya masalah denganku. Ia dan Ayah membahas seru hasil pertandingan bola Liga Eropa yang berlangsung tadi malam. Aku mengambil nasi gorengku langsung dari wajan, lalu duduk menyuap di bangku kecil di dapur. Bunda memberi isyarat agar aku ikut bergabung dengan Dipta dan Ayah di meja makan, tetapi cepat kugelengkan kepala. Aku tidak ingin berbincang dengannya sebelum ia yang lebih dulu menegurku dan minta maaf. Dipta membawaku pulang tak lama setelahnya. Ia bilang pada Ayah ada seorang temannya yang berjanji akan berkunjung, sehingga tidak bisa tinggal lebih lama. Kalimat pertama yang Dipta ucapkan untukku hanya pada saat ia mengingatkanku untuk memakai sabuk pengaman di dalam mobil. Ia membantuku sejenak saat aku sedikit kesulitan untuk menarik tali dan mengancingnya. Sisanya aku hanya diam sepanjang perjalanan dalam jarak tempuh tak sampai lima kilometer itu. Dipta juga diam tak berusaha mengobrol apa pun denganku. Sekilas aku melihat meja kerja Dipta telah berpindah ke samping penyekat ruangan saat telah tiba di rumah. Padahal, kemarin aku berniat meletakkan satu buah pot tanaman di lokasi yang sama untuk memberi kesan ramai. Hanya saja pot itu telalu berat untuk diangkat seorang diri, dan aku terlampau sungkan untuk meminta bantuan Dipta. Rasa sedih menderaku saat melihat tak ada sehelai pun lagi pakaian Livia tersimpan di dalam lemari. Dipta benar-benar telah menyingkirkannya. Aku memutuskan untuk tidak lagi mempermasalahkan itu. Pertengkaran seminggu lalu benar-benar menyiksa batinku. Segera kuraih tas besar yang kubawa kemarin dan mulai menyusun ulang pakaianku dan pakaian Muffin ke dalam lemari yang menjadi sangat lapang ini. Suara dehaman di depan pintu membuatku menoleh. Dipta sudah berdiri bersandar dengan tangan bersedekap. Raut wajahnya sedikit terlihat serba salah. Beberapa saat kami hanya berpandangan sampai akhirnya dia berbicara. “Jangan pernah memakai pakaian Livia lagi,” ucapnya. “Itu akan membuatmu terlihat seperti dia.” Jadi, benar tebakanku. Dalam hati Dipta masih bersarang kenangan indah mereka. Aku mengangguk menyanggupi sambil terus menyusun. Andai kemarin Dipta menjelaskan dengan baik, pasti pertengkaran itu tak perlu terjadi. “Dan jangan lagi susun baju-bajumu di lemari itu,” lanjut Dipta datar. “Mulai hari ini kamu pindah ke kamarku.” Aku tertegun dengan pandangan tak percaya. Dipta mengabaikan keterkejutanku dan segera berlalu. Aku masih duduk bersimpuh di lantai sambil berusaha meyakini bahwa yang kudengar memang benar. Baru kuberanikan diri untuk beranjak keluar saat suara mobil Dipta terdengar menjauh dari halaman. Kini aku tahu mengapa meja kerjanya Dipta letakkan di samping kayu penyekat ruangan. Sebuah tempat tidur bayi telah menggantikan meja itu. Berikut rak kecil yang Dipta sediakan untukku meletakkan perkakas Muffin. Meski tidak terucap, semua ini telah melebihi sebuah permintaan maaf dari seorang Mahesa Dipta.Aku tidak mengerti mengapa Muffin berubah gelisah malam ini. Aku mengira mungkin ia kurang nyaman harus tidur di kamar yang berbeda. Mungkin juga insting bayinya memberi isyarat bahwa sang pemilik kamar tidak benar-benar menerima kehadirannya. Berkali-kali ia terbangun saat kuletakkan dalam ranjang bayinya, dan kembali terlelap saat kubaringkan di sampingku. Memang salahku tidak membiasakannya tidur terpisah sejak lahir. Salah ayahnya juga mengapa tidak menyediakan tempat tidur untuk bayinya sedari awal kelahiran.Sudah hampir pukul sebelas malam saat Dipta masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Pasti ia kesal mendengar rengekan Muffin yang berulang-ulang. Aku sempat merasa bersalah, tetapi cepat menyadari bahwa Dipta pun seharusnya ikut mengatasi kerewelan Muffin.“Ia tidak mau dipindahkan ke tempat tidurnya sendiri,” keluhku putus asa saat Dipta menatap aneh pada mahkluk kecil yang menguasai tengah ranjangnya. “Mungkin ia masih asing di kamar yang baru.”Dipta berdiri terpaku denga
Aku mengira Dipta akan seterusnya bersedia menggendong Muffin setelah kejadian panas tinggi yang lalu, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, aku dapat merasakan cara Dipta memandang dan menanggapi semua aktivitas Muffin sudah lebih lunak dari sebelumnya. Tak sekali dua kali aku memergoki lelaki itu mengalihkan pandang dari ponselnya sekadar untuk memperhatikan Muffin.Si kecil Muffin sudah genap empat bulan hari ini, sudah bisa menelungkup sendiri dan mengangkat kepalanya. Ia juga sudah mulai mengoceh setiap kali diajak bicara. Semua perkembangan Muffin membuatku sangat senang. Aku juga tidak perlu selalu menggendongnya setiap saat. Muffin sudah mulai teralihkan dengan beragam mainan yang tersebar di sekitar matrasnya.Sejujurnya bukan hanya bertambahnya kepintaran Muffin yang menerbitkan rasa gembira. Perkembangan hubunganku dengan Dipta juga menumbuhkan benih-benih bahagia di hatiku. Jika dulu di setiap hari libur Dipta kerap berkeliaran, kini tidak demikian. Sudah dua kali hari Min
Ayah pernah mengingatkan, salah satu cara untuk mengatasi amarah–saat dirimu sedang dalam posisi duduk- adalah dengan berbaring. Ibu pernah mengatakan, jika dirimu sedang berusaha mengurai emosi, maka cobalah berhitung mulai dari angka 1 hingga 10. Apabila belum berhasil, lakukan terus hingga mencapai angka di mana rasa kesalmu sudah mereda.Dan, hal itulah yang sedang kulakukan sekarang, berbaring menatap langit-langit sambil melafalkan dalam hati angka 125. Syukurlah setelah melewati angka itu denyut nadiku sudah tak secepat tadi. Kucoba untuk menarik napas panjang, kemudian mengembusnya perlahan.Dipta masih memunggungiku. Aku yakin lelaki itu belum tidur. Dengkuran halusnya belum terdengar. Pasti ia masih berkutat dengan isi kepalanya persis sepertiku.“Aku sedang mengingat-ingat saat Kak Dipta melamarku.“ Kucoba mengajaknya berbincang setelah berpikir berulang. “Kak Dipta bilang kita melakukan ini untuk Muffin, bukan begitu?”Tidak ada jawaban. Dipta masih bergeming. Mungkin ia s
Aku memilih untuk menutup kotak milik Dipta tanpa berani mencari tahu lebih lanjut tentang apa-apa yang ia simpan. Hasratku untuk meneruskan pencarian bukti musnah sudah. Kenangan-kenangan masa lalu kami bersama Mahesa Dipta malah terus-menerus bermain di kepalaku. Mungkin lain waktu akan aku lanjutkan lagi, setelah perasaan-perasaan sedih di hatiku pergi.Salah satu kenangan yang terus membekas dalam ingatanku adalah ketika pertama kali aku bertemu Mahesa Dipta. Saat itu tugas sekolahku sedang tidak berada dalam level manusiawi. Hafalan juga sedang menumpuk. Berkali-kali kucoba untuk menyimpan di dalam memori otak beragam angka tahun perjanjian pasca kemerdekaan dari buku sejarah. Namun, bagaimana bisa berhasil jika di depanku Livia sedang berlenggak-lenggok menari mengikuti irama lagu sambil berkaca. Jika ini menyangkut angka-angka pertidaksamaan linear, aku tidak peduli Livia akan berjingkrak diiringi musik sekeras apa pun. Semua dapat kuselesaikan dengan mudah.Kuputuskan untuk pi
Setiap orang yang pertama kali bertemu denganku, pasti akan menganggapku cantik. Wajahku oval dengan kulit kuning langsat. Tulang hidungku tinggi, terlihat seimbang dengan bentuk pipiku. Bibirku proporsional, dengan gigi-gigi yang terlihat rapi saat aku tersenyum. Rambutku hitam panjang tergerai. Bulu mataku lebat meskipun tidak terlalu lentik.Sayangnya, pendapat itu akan terbantahkan saat Livia muncul di saat yang sama. Orang-orang akan mulai membandingkan bibir Livia yang lebih mungil dariku, alis Livia yang lebih rapi, hidung Livia yang lebih mancung, dan bulu matanya yang lebih lentik. Mereka juga bilang, saat Livia tersenyum seolah-olah apa saja yang berada di sekitarnya pun turut tersenyum.Orang-orang lain berpendapat seperti itu, tetapi tidak dengan Ibu.Sejak umurku menginjak sepuluh tahun dan aku mulai mengerti apa artinya cantik, aku mulai kehilangan percaya diri setiap harus berdampingan dengan Livia. Ibu selalu memelukku setiap aku berkeluh kesah seperti itu. Menurut Ibu
Dipta akan pulang hari ini dari Surabaya. Pagi tadi setelah subuh ia mengabariku sekaligus menanyakan apakah aku ingin dibawakan sesuatu dari sana. Dulu setiap ia akan kembali ke Jakarta pada libur semester, Dipta juga rajin membelikanku jajanan serta pernak-pernik lucu. Bukan hanya untukku sebenarnya, karena Livia juga selalu dapat bagiannya. Aku pernah menolak pemberian Dipta dengan alasan pemborosan, tetapi ia bilang tak mengapa. Upahnya dari hasil kerja sampingan sengaja ia kumpulkan untuk hal tersebut. Lagi pula uang saku yang ia terima dari ayahnya sudah lebih dari cukup.Saat-saat menunggunya pulang liburan adalah saat yang mendebarkan. Penampilannya jadi banyak berubah. Lebih santai dan semakin dewasa. Rambutnya yang biasanya terpangkas pendek, dibiarkan memanjang sembarangan saat pertama kali ia pulang. Tubuhnya sedikit terlihat lebih kurus. Dipta bilang itu karena ia banyak bergaul dengan kelompok pecinta alam dan sering pergi mendaki gunung saat akhir pekan.Kami mulai seri
Isi buku harian Livia membuatku terus gelisah. Niatku untuk istirahat lebih awal agar tidak mengantuk saat Dipta tiba, buyar sudah. Kutidurkan Muffin lebih cepat agar bisa melahap setiap lembar buku itu sambil berharap menemukan titik terang lebih lanjut.Dadaku terasa teriris-iris saat membaca kalimat demi kalimat yang Livia tuliskan di setiap lembar. Dipta yang Livia kira sangat mencintainya, ternyata salah. Lelaki itu menyimpan perempuan lain di hatinya. Dan Livia menyimpan rasa sakit itu tanpa bisa berbuat banyak. Livia menyebutkan bahwa Dipta tanpa sengaja salah menyebutkan sebuah nama saat mereka sedang berdua. Aku bisa membayangkan betapa dingin hubungan mereka dulu. Tidak jauh berbeda dengan hubunganku dan Dipta selama empat bulan ini.Aku dulu mengira Dipta menikahi Livia karena memang mencintainya. Ternyata dugaanku salah. Lantas alasan apa yang membuat Dipta memutuskan untuk memilih Livia jika ia menyimpan cintanya untuk perempuan lain. Akh, aku benci menduga-duga seperti i
Jantungku tidak berdetak dengar benar. Kakiku tidak berpijak dengan benar. Otakku juga tidak berpikir dengan benar. Semua reaksi itu berpadu menjadi satu saat kebenaran yang disampaikan Dipta terdengar sangat tidak benar di telingaku.Dipta keliru menyebut namaku di depan Livia saat mereka sedang berdua. Itu artinya akulah perempuan yang dimaksud Livia. Akulah penyebab keretakan rumah tangga keduanya. Betapa aku merasa sangat bersalah padanya selama ini. Ah, entah bagaimana caranya aku meminta maaf pada ibumu, Muffin.Sejak Dipta mengungkapkan kebenaran versinya, aku sama sekali tidak berani berkomentar apa pun hingga kami akhirnya tiba di rumah Ayah. Dipta yang mengajak aku dan Muffin berkunjung ke mari. Ia bilang sedang rindu bermain catur dengan Ayah, sekalian menyampaikan oleh-oleh yang ia bawa dari Jogja.Look, Muffin. Tidak ada sama sekali raut canggung di wajah ayahmu setelah pernyataannya tadi. Sikapnya terlalu biasa. Membuatku berkubang tanya, membiarkanku bingung mengira. Is
Rasanya aku tidak ingin percaya pada apa yang baru saja diucapkan Dipta. Bagaimana mungkin Ayah yang memintanya. Tega sekali beliau melakukan itu, menganaktirikan aku dan memprioritaskan Livia bahkan sampai pada perihal memilihkan jodoh untuk kami berdua. Aku perlu tahu alasannya kali ini.“Livia menderita sebuah penyakit yang sulit untuk disembuhkan,” ucap Dipta masih dengan raut wajah tersiksa. “Ayah bilang hanya aku lelaki yang bisa ia percaya untuk menitipkan Livia.”“Penyakit apa?” desakku tidak sabar. Aku tidak yakin hanya karena alasan itu. Aku tahu sejak dulu hanya ada Livia di hati Ayah.“Sebaiknya kamu menanyakan langsung pada Ayah,” lanjut Dipta. “Aku tidak berhak menjelaskannya, lebih tepatnya tidak ingin mendahului Ayah.”“I can’t believe this,” bisikku kalut. “Apakah Mas Dipta tidak mencoba membantah Ayah saat itu?”Dipta menggeleng lemah. “Ayah menangis panik. Aku tidak punya pilihan.”“Bahkan untuk mengatakan siapa yang sebenarnya Mas Dipta cintai?” tanyaku tak percaya
Dipta benar-benar tidak menyia-nyiakan perbincangan masa subur yang ia tanyakan sore tadi. Di balik sikapnya yang manis dan lembut, selalu tersimpan tanya di hatiku, bagaimana lelaki ini bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Apakah semua lelaki dikarunia cinta yang begitu besar sehingga cukup untuk dibagi.“Benar begitu?” Tanpa kusadari apa yang terpikir, ternyata terucap di bibir.“Apanya yang benar, Sayang?” Dipta merenggangkan peluknya agar bisa memandang wajahku. “Bahwa aku mencintaimu, itu benar.”“Dan tetap bisa mencintai yang lain di saat yang sama?” lanjutku dengan kelancangan yang kusengaja.“Aku tidak pernah mencintaimu dan Livia di saat yang sama jika itu yang kamu maksud,” jawabnya lugas. “Kalian berada di tempat yang sama, di waktu yang berbeda, dengan kadar yang berbeda.” Dipta meraih jemariku untuk ia letakkan di dadanya.“Maaf jika aku harus mengungkit ini kembali, Mas,” bisikku sedih. “Pikiran itu selalu datang dan pergi berulang-ulang sesuka hatinya.”“Pikiran yang
Sudah berkali aku mencari, tetapi memang tidak ada identitas apa pun yang ditinggalkan si pengirim di dalam kotak tersebut selain tulisan yang memuat tanda tangannya pada kartu ucapan. Harusnya tadi aku menahan sebentar si kurir pengantar. Aku baru sadar setelah ia terlanjur beranjak, bahwa kurir tersebut bukanlah seperti petugas ekspedisi yang selama ini sering datang. Sepertinya ia memang ditugasi hanya untuk mengantar kotak itu.Aku tidak mengira Livia bisa senekat itu, pergi sendiri tanpa ditemani untuk menemui laki-laki lain. Dipta pasti sudah lebih dulu mencium gelagat perselingkuhan ini. Menyedihkan kalau itu yang benar terjadi. Entah apakah aku harus memberi tahu Dipta mengenai foto-foto ini.Sedikit ragu merasuki hatiku saat melihat Dipta pulang dengan wajah letih, meskipun begitu ia masih sempat menggodaku dengan kecanggunganku menyebutnya dengan panggilan baru kami. Panggilan baru untuknya sebenarnya.“Tadi kebetulan lewat,” jelasnya saat kutanyakan di mana ia membeli singk
Harusnya bisa jika aku lanjut bertanya, seperti sejak kapan Dipta mencintai Livia, alasan apa yang membuatnya bisa mencintai kami berdua sekaligus, atau mungkin siapa yang lebih ia cintai, aku atau Livia. Namun, entah mengapa timbul rasa tidak tega saat raut wajah lelaki yang sebelah lengannya masih memelukku itu seperti sedang mengemban beban yang sangat berat. Dahinya berkerut hebat, menandakan ia tidak bahagia saat menyatakan kejujuran-kejujuran lain yang kupaksa terlontar.“Aku tidak mampu menceritakan secara lengkap, tetapi jika kamu ingin bertanya, tanyalah satu per satu,” lanjutnya perlahan. “Sebisa mungkin aku jelaskan.”Menanyakan satu per satu dan harus merangkai benang merahnya sendiri pasti akan semakin memancing kecewa. Bagaimana jika nanti ia mengakui lebih mencintai Livia ketimbang aku? Hatiku bisa berdarah-darah mendengarnya.“Mungkin tidak sekarang,” putusku akhirnya. “Tapi pasti suatu saat aku akan bertanya tentang hal itu.”“Anytime, Dear.” Dipta mengurai anak rambu
Rasa lega yang awalnya menyelimuti hatiku mendadak berubah kecewa saat kudapati aplikasi percakapan dan sosial media pada ponsel Livia ternyata tetap dilindungi oleh sederetan kata kunci. Bersamaan dengan itu, kecurigaan yang kerap diutarakan Mahesa Dipta mengenai isu perselingkuhan Livia perlahan merebak di pikiranku. Jarang sekali pengguna ponsel mengunci aplikasinya apabila telah memasang kunci layar. Dan, menemukan kombinasi angka itu bukanlah hal yang mudah untuk ditelusuri dalam waktu singkat. Aku terpaksa menyelamatkan ponsel ini sementara waktu.Lian memahami saat kuberitahu banyak akun yang harus dilakukan pelaporan terkait wafatnya Livia. Si bungsu itu tertawa semringah saat kuizinkan memilih ponsel baru yang ia sukai pada aplikasi toko online. Satu hal yang aku kagumi dari Lian. Meskipun ia anak lelaki bungsu, tetapi sikapnya tidak manja dan selalu menghormati aku dan Livia sejak dulu. Mungkin karena sedari kecil ia sudah merasakan bagaimana sedihnya ditinggal Ibu.Jemariku
Semua opsi yang ditawarkan Mahesa Dipta ternyata hanya berakhir di tempat yang sama hingga hampir tengah hari. Meskipun sedikit berbeda dengan semalam yang lebih banyak menguras aktivitas, sepanjang pagi ini hingga menjelang siang kami lebih sering berpelukan dan bercerita. Seolah tiada habis lembar demi lembar yang selama ini tersimpan, satu per satu terlontar untuk disampaikan.Aku yang lebih banyak berbicara, menanyakan apa-apa yang selama ini tertahan. Dipta lebih banyak tersenyum dan tertawa, menjawab dengan sabar hampir semua yang kuminta penjelasan. Termasuk saat kutanyakan mengapa ia pernah mengatakan akan secepatnya mencari perempuan lain andai waktu itu aku menolak menikah dengannya.“It was just a trick, actually,” ujarnya santai. “Aku sudah kehabisan cara untuk mengirim sinyal ke hatimu.”“Cerdas sekali.” Aku pura-pura merengut kesal. “Termasuk semua sikap dingin Kak Dipta padaku di awal kita menikah?” tanyaku.“Termasuk itu.” Ia membenarkan sambil tersenyum tipis. “Entah
Pelukan dari lelaki yang berbaring di sampingku merenggang seiring dengan sorot matanya yang meredup. Aku sadar baru saja merusak suasana dengan pertanyaanku yang mungkin tidak pada tempatnya. Bagaimana lagi, apa yang diungkapkan Mahesa Dipta sungguh tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan aku berhak menanyakannya, bukan?“Haruskah aku jawab sekarang?” ucapnya sambil menarik lengannya yang sejak tadi kupakai sebagai alas berbaring. “Karena penjelasanku pasti akan membuat kita berdua sedih.”Aku terdiam sejenak. Perlahan tapi pasti semuanya mulai menuju titik terang. Bukan hanya aku yang ternyata harus menggadaikan rasa cinta. Juga dia, lelaki yang terpaksa meminggirkan rasa sayang yang ia simpan untukku bertahun-tahun.“Ada hal yang sebenarnya lebih baik untuk tidak kita ketahui, Lira,” lanjutnya. “Jika aku jadi kamu, maka aku akan memilih itu.”Meski tidak sepenuhnya setuju, paling tidak saat ini Dipta sudah berniat baik untuk menjelaskan. Aku pun sebenarnya meragukan ketegaran h
Sudah hampir pukul sepuluh malam saat mobil Dipta akhirnya terparkir di garasi. Seperti biasa aku langsung bersiap turun. Pintu yang sudah terlanjur terbuka, akhirnya kututup kembali saat melihat Dipta malah menurunkan sedikit sandaran kursi dan mengatur posisi jok agak menjauh dari arah pijakan pedal.“Mau ke mana buru-buru?” tegurnya sambil melirik ke samping.“Menghubungi Bunda dari telepon rumah,” jawabku. “Ponselku tertinggal di tas perlengkapan Muffin.”“Mau bilang apa?” Ia mengulurkan ponselnya dari saku. “Pakai ini saja.”“Mau bilang maaf kalau tidak bisa menjemput Muffin malam ini,” ujarku sedikit bingung.“Tidak perlu kalau soal itu,” ujarnya cepat. “Sebelum berangkat tadi aku sudah berpesan pada Bunda bahwa kita pulang larut dan tidak akan menjemput.”Aku kembali duduk bersandar. Dipta sudah merencanakan semuanya sampai sejauh ini. Ia bahkan sengaja mengatur agar hanya ada kami berdua di rumah malam ini. Menyesal sekali tak kusempatkan benar-benar membersihkan diri. Waktuku
Tak pernah sebelumnya kulihat Dipta memandangku seperti itu. Tepatnya menatapku seperti sedang menahan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Aku jadi bingung untuk bersikap, suasana di sekitarku yang tadinya terasa gembira, kini berubah mencekam saat ia muncul.“Teman lama?” tebaknya seolah memberiku isyarat agar aku mengenalkannya pada Fahmi. “Mahesa Dipta,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.“Ini Fahmi, anak Pak Kemas atasanku dulu di kantor,” jelasku berusaha tersenyum. “Dulu pernah satu kali bertemu sewaktu Fahmi pulang ke Palembang.”“Saya juga lupa-lupa ingat wajah Lira, makanya tadi saya sapa untuk memastikan.” Fahmi menjelaskan bagaimana awalnya kami bisa terlibat obrolan akrab.Masih dengan rupa yang dihiasi senyum ketat, Dipta menarik sebuah kursi dari sebelahku dan meletakkannya di antara aku dan Fahmi. Sebelah lengannya Dipta letakkan di sandaran kursiku, bagai ingin mengirim sinyal pada Fahmi bahwa tidak ada celah bagi pria itu untuk mengajakku berbincang seperti sebelu