Aku terjaga dengan rasa pusing yang teramat sangat. Samar bisa kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi. Kuraba perlahan ke arah samping, dan cepat beralih pada posisi duduk saat tak kutemukan Muffin di sebelahku. Rasa panik mendera seketika, tetapi langsung sirna saat tersadar bahwa aku tidak sedang berada di rumah Dipta.
Aku ingat, malam tadi sebelum tidur Bunda mengambil Muffin dari dekapanku. Beliau mempersilahkanku menangis semalaman tanpa harus memikirkan Muffin. Kata Bunda, biasanya setelah air mata tumpah ruah, hati kita akan terasa lebih cerah. Seminggu lalu, setelah satu jam berkeliling tanpa tujuan dalam taksi online yang kupesan, akhirnya kuputuskan untuk kembali saja ke rumah Ayah. Ide untuk melaju ke bandara dan terbang ke Palembang terpaksa kusingkirkan. Muffin masih terlampau kecil, aku pun tidak yakin bisa mengurusnya sendirian dalam kondisi labil. Aku tidak sedekat Livia pada Bunda, tetapi beliau segera tahu apa yang terjadi saat aku datang dengan menenteng sebuah tas besar. Aku jelas melihat Bunda memberi isyarat pada Ayah agar tidak menanyaiku apa pun. Ibu sambungku itu mengalihkan situasi dengan menyambut Muffin semeriah mungkin, seolah-oleh memang kedatangan kami telah ditunggu-tunggu sejak lama. Padahal baru sepuluh hari lalu aku dan Muffin berkunjung ke rumah ini saat Dipta berangkat tugas ke Jogja. Seminggu berlalu dan Dipta tidak sama sekali mencariku. Tidak satu pesan pun ia kirimkan untukku. Aku tahu yang kulakukan ini salah. Namun, tidak ada salahnya pula lelaki itu diberi pelajaran. Setidaknya ia tahu bahwa aku tidak bahagia selama menikah dengannya. Bisa jadi Livia juga tidak bahagia sehingga mempengaruhi kondisi kehamilannya. Bunda masuk ke kamarku setelah kutuntaskan salat dan dzikir subuh, menggendong Muffin dalam dekapan beliau. Bayi kecil itu sedang merengek, terus menolak botol susu yang diberikan Bunda. “Mungkin ia mencarimu,” ucap Bunda seraya menyerahkan Muffin padaku. “Ia rewel semalaman?” tanyaku sungkan. Kasihan Bunda jika tidurnya sampai terganggu. “Sedikit.” Bunda tersenyum sendu. “Tapi ia langsung tenang saat digendong Ayah.” Malam tadi, setelah enam hari aku pura-pura bersikap tidak terjadi apa-apa atas pernikahanku dengan Dipta, Bunda menemuiku menjelang tidur. Tidak pernah sebelumnya kami berbicara sedekat itu. Bunda membesarkan hatiku untuk tetap menjalani hubungan tanpa cinta. Dulu, saat baru menikah dengan Ayah, Bunda juga mengakui belum terbit perasaan suka di hati keduanya. Kondisi itu jelas tidak sama denganku. Aku sepenuh hati mencintai Dipta, sampai rela merendahkan egoku selama tiga bulan terakhir demi tetap bisa hidup bersamanya. Tangis yang kutahan berhari-hari, akhirnya pecah malam itu. Untuk pertama kalinya sejak Bunda memasuki kehidupan kami, kubiarkan perempuan itu memelukku, seperti dulu Ibu selalu mendekapku untuk menghibur saat aku dan Livia berselisih. “Dipta menelepon Bunda semalam,” ujar beliau sambil mengusap rambut Muffin yang sedang lahap menyusu dari botolnya. “Dia menanyakanmu.” “Bunda bilang apa?” tanyaku sedikit penasaran. “Bunda bilang kamu ada di sini.” Setelah hampir satu minggu dan ia baru menanyakan keberadaanku sekarang? Ke mana perginya Mahesa Dipta yang dulu selalu gigih mencari setiap aku bolos latihan basket di lapangan komplek? “Ia juga bilang akan datang menjemputmu pagi ini.” Bunda meraih kembali Muffin dari dekapanku. “Mandi dan berbedaklah sedikit. Wajahmu kelihatan muram sekali.” Aku melompat menuju cermin begitu Bunda keluar. Beliau benar, kelopak mataku hampir tidak terlihat tertutupi sembap. Area mataku membengkak seperti baru saja digigit serangga beracun. Bagaimana mungkin aku berhadapan dengan Dipta dengan wajah berantakan begini. Bahkan dalam penampilan paling sempurna pun aku masih kurang percaya diri saat berada di depannya. Akh, ke mana perginya rasa marahku kemarin, mengapa aku justru lebih mempermasalahkan perihal penampilan. Aku akan menemuinya dengan wajah apa adanya. Biar saja Dipta melihat hasil ulahnya. *** Bunda benar. Setelah selesai mandi dan berpakaian, kudapati Dipta sudah duduk di meja makan bersama Ayah sambil menyantap sarapannya. Lelaki itu mengobrol santai seperti tidak sedang punya masalah denganku. Ia dan Ayah membahas seru hasil pertandingan bola Liga Eropa yang berlangsung tadi malam. Aku mengambil nasi gorengku langsung dari wajan, lalu duduk menyuap di bangku kecil di dapur. Bunda memberi isyarat agar aku ikut bergabung dengan Dipta dan Ayah di meja makan, tetapi cepat kugelengkan kepala. Aku tidak ingin berbincang dengannya sebelum ia yang lebih dulu menegurku dan minta maaf. Dipta membawaku pulang tak lama setelahnya. Ia bilang pada Ayah ada seorang temannya yang berjanji akan berkunjung, sehingga tidak bisa tinggal lebih lama. Kalimat pertama yang Dipta ucapkan untukku hanya pada saat ia mengingatkanku untuk memakai sabuk pengaman di dalam mobil. Ia membantuku sejenak saat aku sedikit kesulitan untuk menarik tali dan mengancingnya. Sisanya aku hanya diam sepanjang perjalanan dalam jarak tempuh tak sampai lima kilometer itu. Dipta juga diam tak berusaha mengobrol apa pun denganku. Sekilas aku melihat meja kerja Dipta telah berpindah ke samping penyekat ruangan saat telah tiba di rumah. Padahal, kemarin aku berniat meletakkan satu buah pot tanaman di lokasi yang sama untuk memberi kesan ramai. Hanya saja pot itu telalu berat untuk diangkat seorang diri, dan aku terlampau sungkan untuk meminta bantuan Dipta. Rasa sedih menderaku saat melihat tak ada sehelai pun lagi pakaian Livia tersimpan di dalam lemari. Dipta benar-benar telah menyingkirkannya. Aku memutuskan untuk tidak lagi mempermasalahkan itu. Pertengkaran seminggu lalu benar-benar menyiksa batinku. Segera kuraih tas besar yang kubawa kemarin dan mulai menyusun ulang pakaianku dan pakaian Muffin ke dalam lemari yang menjadi sangat lapang ini. Suara dehaman di depan pintu membuatku menoleh. Dipta sudah berdiri bersandar dengan tangan bersedekap. Raut wajahnya sedikit terlihat serba salah. Beberapa saat kami hanya berpandangan sampai akhirnya dia berbicara. “Jangan pernah memakai pakaian Livia lagi,” ucapnya. “Itu akan membuatmu terlihat seperti dia.” Jadi, benar tebakanku. Dalam hati Dipta masih bersarang kenangan indah mereka. Aku mengangguk menyanggupi sambil terus menyusun. Andai kemarin Dipta menjelaskan dengan baik, pasti pertengkaran itu tak perlu terjadi. “Dan jangan lagi susun baju-bajumu di lemari itu,” lanjut Dipta datar. “Mulai hari ini kamu pindah ke kamarku.” Aku tertegun dengan pandangan tak percaya. Dipta mengabaikan keterkejutanku dan segera berlalu. Aku masih duduk bersimpuh di lantai sambil berusaha meyakini bahwa yang kudengar memang benar. Baru kuberanikan diri untuk beranjak keluar saat suara mobil Dipta terdengar menjauh dari halaman. Kini aku tahu mengapa meja kerjanya Dipta letakkan di samping kayu penyekat ruangan. Sebuah tempat tidur bayi telah menggantikan meja itu. Berikut rak kecil yang Dipta sediakan untukku meletakkan perkakas Muffin. Meski tidak terucap, semua ini telah melebihi sebuah permintaan maaf dari seorang Mahesa Dipta.Aku tidak mengerti mengapa Muffin berubah gelisah malam ini. Aku mengira mungkin ia kurang nyaman harus tidur di kamar yang berbeda. Mungkin juga insting bayinya memberi isyarat bahwa sang pemilik kamar tidak benar-benar menerima kehadirannya. Berkali-kali ia terbangun saat kuletakkan dalam ranjang bayinya, dan kembali terlelap saat kubaringkan di sampingku. Memang salahku tidak membiasakannya tidur terpisah sejak lahir. Salah ayahnya juga mengapa tidak menyediakan tempat tidur untuk bayinya sedari awal kelahiran.Sudah hampir pukul sebelas malam saat Dipta masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Pasti ia kesal mendengar rengekan Muffin yang berulang-ulang. Aku sempat merasa bersalah, tetapi cepat menyadari bahwa Dipta pun seharusnya ikut mengatasi kerewelan Muffin.“Ia tidak mau dipindahkan ke tempat tidurnya sendiri,” keluhku putus asa saat Dipta menatap aneh pada mahkluk kecil yang menguasai tengah ranjangnya. “Mungkin ia masih asing di kamar yang baru.”Dipta berdiri terpaku denga
Aku mengira Dipta akan seterusnya bersedia menggendong Muffin setelah kejadian panas tinggi yang lalu, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, aku dapat merasakan cara Dipta memandang dan menanggapi semua aktivitas Muffin sudah lebih lunak dari sebelumnya. Tak sekali dua kali aku memergoki lelaki itu mengalihkan pandang dari ponselnya sekadar untuk memperhatikan Muffin.Si kecil Muffin sudah genap empat bulan hari ini, sudah bisa menelungkup sendiri dan mengangkat kepalanya. Ia juga sudah mulai mengoceh setiap kali diajak bicara. Semua perkembangan Muffin membuatku sangat senang. Aku juga tidak perlu selalu menggendongnya setiap saat. Muffin sudah mulai teralihkan dengan beragam mainan yang tersebar di sekitar matrasnya.Sejujurnya bukan hanya bertambahnya kepintaran Muffin yang menerbitkan rasa gembira. Perkembangan hubunganku dengan Dipta juga menumbuhkan benih-benih bahagia di hatiku. Jika dulu di setiap hari libur Dipta kerap berkeliaran, kini tidak demikian. Sudah dua kali hari Min
Ayah pernah mengingatkan, salah satu cara untuk mengatasi amarah–saat dirimu sedang dalam posisi duduk- adalah dengan berbaring. Ibu pernah mengatakan, jika dirimu sedang berusaha mengurai emosi, maka cobalah berhitung mulai dari angka 1 hingga 10. Apabila belum berhasil, lakukan terus hingga mencapai angka di mana rasa kesalmu sudah mereda.Dan, hal itulah yang sedang kulakukan sekarang, berbaring menatap langit-langit sambil melafalkan dalam hati angka 125. Syukurlah setelah melewati angka itu denyut nadiku sudah tak secepat tadi. Kucoba untuk menarik napas panjang, kemudian mengembusnya perlahan.Dipta masih memunggungiku. Aku yakin lelaki itu belum tidur. Dengkuran halusnya belum terdengar. Pasti ia masih berkutat dengan isi kepalanya persis sepertiku.“Aku sedang mengingat-ingat saat Kak Dipta melamarku.“ Kucoba mengajaknya berbincang setelah berpikir berulang. “Kak Dipta bilang kita melakukan ini untuk Muffin, bukan begitu?”Tidak ada jawaban. Dipta masih bergeming. Mungkin ia s
Aku memilih untuk menutup kotak milik Dipta tanpa berani mencari tahu lebih lanjut tentang apa-apa yang ia simpan. Hasratku untuk meneruskan pencarian bukti musnah sudah. Kenangan-kenangan masa lalu kami bersama Mahesa Dipta malah terus-menerus bermain di kepalaku. Mungkin lain waktu akan aku lanjutkan lagi, setelah perasaan-perasaan sedih di hatiku pergi.Salah satu kenangan yang terus membekas dalam ingatanku adalah ketika pertama kali aku bertemu Mahesa Dipta. Saat itu tugas sekolahku sedang tidak berada dalam level manusiawi. Hafalan juga sedang menumpuk. Berkali-kali kucoba untuk menyimpan di dalam memori otak beragam angka tahun perjanjian pasca kemerdekaan dari buku sejarah. Namun, bagaimana bisa berhasil jika di depanku Livia sedang berlenggak-lenggok menari mengikuti irama lagu sambil berkaca. Jika ini menyangkut angka-angka pertidaksamaan linear, aku tidak peduli Livia akan berjingkrak diiringi musik sekeras apa pun. Semua dapat kuselesaikan dengan mudah.Kuputuskan untuk pi
Setiap orang yang pertama kali bertemu denganku, pasti akan menganggapku cantik. Wajahku oval dengan kulit kuning langsat. Tulang hidungku tinggi, terlihat seimbang dengan bentuk pipiku. Bibirku proporsional, dengan gigi-gigi yang terlihat rapi saat aku tersenyum. Rambutku hitam panjang tergerai. Bulu mataku lebat meskipun tidak terlalu lentik.Sayangnya, pendapat itu akan terbantahkan saat Livia muncul di saat yang sama. Orang-orang akan mulai membandingkan bibir Livia yang lebih mungil dariku, alis Livia yang lebih rapi, hidung Livia yang lebih mancung, dan bulu matanya yang lebih lentik. Mereka juga bilang, saat Livia tersenyum seolah-olah apa saja yang berada di sekitarnya pun turut tersenyum.Orang-orang lain berpendapat seperti itu, tetapi tidak dengan Ibu.Sejak umurku menginjak sepuluh tahun dan aku mulai mengerti apa artinya cantik, aku mulai kehilangan percaya diri setiap harus berdampingan dengan Livia. Ibu selalu memelukku setiap aku berkeluh kesah seperti itu. Menurut Ibu
Dipta akan pulang hari ini dari Surabaya. Pagi tadi setelah subuh ia mengabariku sekaligus menanyakan apakah aku ingin dibawakan sesuatu dari sana. Dulu setiap ia akan kembali ke Jakarta pada libur semester, Dipta juga rajin membelikanku jajanan serta pernak-pernik lucu. Bukan hanya untukku sebenarnya, karena Livia juga selalu dapat bagiannya. Aku pernah menolak pemberian Dipta dengan alasan pemborosan, tetapi ia bilang tak mengapa. Upahnya dari hasil kerja sampingan sengaja ia kumpulkan untuk hal tersebut. Lagi pula uang saku yang ia terima dari ayahnya sudah lebih dari cukup.Saat-saat menunggunya pulang liburan adalah saat yang mendebarkan. Penampilannya jadi banyak berubah. Lebih santai dan semakin dewasa. Rambutnya yang biasanya terpangkas pendek, dibiarkan memanjang sembarangan saat pertama kali ia pulang. Tubuhnya sedikit terlihat lebih kurus. Dipta bilang itu karena ia banyak bergaul dengan kelompok pecinta alam dan sering pergi mendaki gunung saat akhir pekan.Kami mulai seri
Isi buku harian Livia membuatku terus gelisah. Niatku untuk istirahat lebih awal agar tidak mengantuk saat Dipta tiba, buyar sudah. Kutidurkan Muffin lebih cepat agar bisa melahap setiap lembar buku itu sambil berharap menemukan titik terang lebih lanjut.Dadaku terasa teriris-iris saat membaca kalimat demi kalimat yang Livia tuliskan di setiap lembar. Dipta yang Livia kira sangat mencintainya, ternyata salah. Lelaki itu menyimpan perempuan lain di hatinya. Dan Livia menyimpan rasa sakit itu tanpa bisa berbuat banyak. Livia menyebutkan bahwa Dipta tanpa sengaja salah menyebutkan sebuah nama saat mereka sedang berdua. Aku bisa membayangkan betapa dingin hubungan mereka dulu. Tidak jauh berbeda dengan hubunganku dan Dipta selama empat bulan ini.Aku dulu mengira Dipta menikahi Livia karena memang mencintainya. Ternyata dugaanku salah. Lantas alasan apa yang membuat Dipta memutuskan untuk memilih Livia jika ia menyimpan cintanya untuk perempuan lain. Akh, aku benci menduga-duga seperti i
Jantungku tidak berdetak dengar benar. Kakiku tidak berpijak dengan benar. Otakku juga tidak berpikir dengan benar. Semua reaksi itu berpadu menjadi satu saat kebenaran yang disampaikan Dipta terdengar sangat tidak benar di telingaku.Dipta keliru menyebut namaku di depan Livia saat mereka sedang berdua. Itu artinya akulah perempuan yang dimaksud Livia. Akulah penyebab keretakan rumah tangga keduanya. Betapa aku merasa sangat bersalah padanya selama ini. Ah, entah bagaimana caranya aku meminta maaf pada ibumu, Muffin.Sejak Dipta mengungkapkan kebenaran versinya, aku sama sekali tidak berani berkomentar apa pun hingga kami akhirnya tiba di rumah Ayah. Dipta yang mengajak aku dan Muffin berkunjung ke mari. Ia bilang sedang rindu bermain catur dengan Ayah, sekalian menyampaikan oleh-oleh yang ia bawa dari Jogja.Look, Muffin. Tidak ada sama sekali raut canggung di wajah ayahmu setelah pernyataannya tadi. Sikapnya terlalu biasa. Membuatku berkubang tanya, membiarkanku bingung mengira. Is