Beranda / Romansa / Takdir Cinta Perempuan Pengganti / Bab 8 - Kasih Bimbang Meragu

Share

Bab 8 - Kasih Bimbang Meragu

Penulis: Rima Hutabarat
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku mengira Dipta akan seterusnya bersedia menggendong Muffin setelah kejadian panas tinggi yang lalu, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, aku dapat merasakan cara Dipta memandang dan menanggapi semua aktivitas Muffin sudah lebih lunak dari sebelumnya. Tak sekali dua kali aku memergoki lelaki itu mengalihkan pandang dari ponselnya sekadar untuk memperhatikan Muffin.

Si kecil Muffin sudah genap empat bulan hari ini, sudah bisa menelungkup sendiri dan mengangkat kepalanya. Ia juga sudah mulai mengoceh setiap kali diajak bicara. Semua perkembangan Muffin membuatku sangat senang. Aku juga tidak perlu selalu menggendongnya setiap saat. Muffin sudah mulai teralihkan dengan beragam mainan yang tersebar di sekitar matrasnya.

Sejujurnya bukan hanya bertambahnya kepintaran Muffin yang menerbitkan rasa gembira. Perkembangan hubunganku dengan Dipta juga menumbuhkan benih-benih bahagia di hatiku. Jika dulu di setiap hari libur Dipta kerap berkeliaran, kini tidak demikian. Sudah dua kali hari Minggu lelaki itu hanya berdiam di rumah, walaupun ia lebih sering menatap layar televisi dari pada memandangku dan Muffin.

Aku mulai memberanikan diri mengajaknya berbincang, walaupun kadang hanya dijawab dengan anggukan atau satu dua patah kata saja. Aku sudah bertekad untuk mencari tahu apa yang membuat sifat Dipta berubah seratus delapan puluh derajat. Sepanjang ingatanku, Mahesa Dipta teman kecilku dulu bukanlah sebangsa beruang kutub.

“Sudah berapa bulan umurnya?” Tak kusangka Dipta bertanya saat aku sedang mengganti diaper Muffin. “Aku lupa.”

Kuhela napas pelan. Wajar bagi Dipta jika ia melupakan usia Muffin, mengurusnya pun baru dilakoni lelaki ini dalam dua minggu terakhir. Andai saat itu aku dan Muffin tidak sakit secara bersamaan, mungkin saat ini Dipta masih bertahan dalam gua esnya.

“Enam belas minggu,” sahutku. “Sudah genap empat bulan, ya, kan, Ganteng.” Aku tersenyum pada Muffin sambil mengajaknya berbicara. Bayi kecil itu menjawab dengan ocehan seolah membenarkan pujianku.

“Kapan lagi dia akan diimunisasi?” tanya Dipta.

Aku menoleh padanya sebentar. Sebuah kemajuan yang patut diacungi jempol bila Dipta menanyakan hal ini, mengingat sejak awal dulu aku selalu diantar Ayah dan Bunda setiap tiba jadwal Muffin untuk divaksin.

“Minggu depan rencananya. DPT dan Polio 3.” Aku menjawil pipi Muffin dengan gemas. “Nanti waktu disuntik dokter nggak boleh nangis, ya.”

Jika aku bisa mengintip ke dalam, kuyakin saat ini bilah yang menggambarkan suasana hati Dipta pasti sedang berada dalam posisi penuh. Aku menimbang sejenak. Sepertinya aman jika aku menanyakan sesuatu yang sudah lama sekali menggantung di pikiranku.

“Kemarin Bunda tanya,” pancingku. “Kenapa sampai sekarang Kak Dipta belum memberinya nama.”

Kekhawatiranku muncul sejak Muffin mulai merespon dengan baik setiap aku mengajaknya berinteraksi. Aku takut ia terbiasa dengan nama yang kuciptakan. Sejujurnya aku tidak berniat apa pun saat memberinya panggilan itu, hanya karena pipinya begitu tembam dan menggemaskan mirip kue yang siap digigit.

“Akan kuberi nama setelah meyakini dia memang anakku.” Dipta menjawab hampir tanpa beban.

Gerak tanganku yang sedang membenahi baju kaus Muffin seketika terhenti. Kuatur debar jantung yang tiba-tiba melaju. Kucoba tertawa padanya seolah kami sedang membicarakan sebuah lelucon.

“Tertukar maksud Kak Dipta?” ujarku sambil berusaha melepaskan jari telunjuk dari genggaman Muffin. “Jangan bercanda.”

“Bayinya tidak,” ujarnya tenang. “Tapi mungkin benihnya iya.”

Kupandangi wajah Mahesa Dipta yang tetap tekun dengan ponselnya. Atas dasar apa ia bisa berkesimpulan bahwa Muffin bukan anaknya. Aku yang bukan ibu kandungnya saja bisa melihat jelas bagaimana separuh wajah Muffin menjiplak ayahnya. Memangnya benih siapa lagi yang bisa berlabuh di rahim Livia. Bukankah itu sama saja artinya bahwa ….

“Beritahu aku kapan jadwal imunisasinya. Biar aku yang mengantar kalian.”

Dipta bangkit tanpa memedulikanku yang masih menuntut penjelasan. Andai tanganku bisa menjulur lebih panjang, ingin rasanya kutarik saja kerah kemeja Dipta agar ia kembali duduk dan menjawab semua penasaranku.

***

“Tes DNA?” Dokter Pratiwi, spesialis anak yang sejak awal menangani Muffin memandangku dan Dipta bergantian.

Aku menunduk canggung saat pandangan Dokter Pratiwi kembali beralih padaku. Tak kusangka Dipta benar-benar berniat untuk memeriksa kebenaran apakah Muffin memang darah dagingnya. Pantas saja sejak kemarin ia bersikeras untuk mengantar kami ke rumah sakit.

“Maaf, boleh saya tahu apakah ada kecurigaan riwayat penyakit yang dikhawatirkan?” tanya Dokter Pratiwi dengan sopan. Beliau sudah mengetahui mengenai kematian Livia sejak awal dan peranku hanyalah sebagai ibu sambung untuk Muffin.

“Sekadar ingin tahu bagaimana prosedur yang harus ditempuh, Dok.” Dipta melanjutkan tanpa menghiraukan isyaratku agar ia berhenti bertanya. “Mohon dijelaskan langkah-langkahnya.”

Dokter Pratiwi melepas pena di tangan dan meraih brosur di samping kanannya. “Bapak bisa baca penjelasan yang tertera di sini. Saya pribadi tidak menyarankan jika memang tidak diperlukan.”

“Dengan alasan?”

“Selain biaya tesnya tergolong mahal, masih ada cara lain yang lebih dulu bisa dilakukan untuk mendeteksi riwayat penyakit,” jawab Dokter Pratiwi diplomatis. “Kecuali … jika memang dibutuhkan untuk mengetahui garis keturunan.”

Dipta membaca dengan tekun isi brosur yang diletakkan di depannya. Suasana berubah hening, karena sungguh aku tak tahu harus berbicara apa. Dokter Pratiwi membolak-balik buku catatan konsultasi Muffin dan menulis sesuatu di dalamnya.

“Kapan si Tampan ini akan punya nama?” tanya Dokter Pratiwi saat melihat sampul depan buku tersebut hanya tertulis Bayi Ny. Lira. “Atau bagaimana jika saya yang memberinya nama?”

Suara tawa Dokter Pratiwi yang renyah segera menggantikan kebisuan. Aku tahu beliau sedang mengalihkan kami dari bahasan tentang tes DNA.

“Boleh, Dok,” sahutku. “Siapa tahu bisa kami pertimbangkan untuk diselipkan nantinya di bagian depan atau pun belakang.”

“Saya selalu ingin memberi nama Astaguna jika punya anak lelaki,” kenang Dokter Pratiwi. “Tapi rezekinya malah dapat anak perempuan semua, empat orang pula.”

“Apa arti namanya, Dok?” tanyaku untuk menutupi kecanggungan atas tetap diamnya Dipta.

“Nama itu diambil dari Bahasa Jawa, menunjukkan pada sifat yang selalu berbuat kebaikan,” jelas beliau. “Semoga nanti si kecil ini bisa membawa kebaikan untuk kedua orang tuanya.”

Cepat aku mengamini perkataan Dokter Pratiwi. Untunglah Dipta patuh saat kuajak pulang, dengan alasan masih banyak pasien lain yang mengantri di ruang ruangan. Dokter Pratiwi mengangguk saat Dipta meminta izin untuk membawa pulang brosur tes DNA tersebut. Dengan ramah beliau mengatakan akan siap membantu jika tes itu benar-benar diperlukan.

Saat tiba di rumah nanti, aku harus berani menanyakan perihal kecurigaan Mahesa Dipta yang tak beralasan itu. Bagaimana pun juga Livia adalah kembaranku. Akan kubela mati-matian andai fitnah itu akan mencemarkan nama baiknya.

***

Jika ia lelaki yang peka, harusnya Dipta sudah bisa membaca gelagatku sejak kami berada di mobil. Diamku sudah mengisyaratkan ketidaksukaanku akan sikapnya. Kuikuti terus gerak-geriknya saat kami sama-sama telah berada di dalam kamar. Muffin sudah lebih dulu terlelap sepanjang perjalanan pulang.

“Boleh aku minta penjelasan apa maksud Kak Dipta tentang tes DNA itu?” tanyaku saat ia sudah duduk di sisi ranjang di samping nakas. “Apa yang sebenarnya Kak Dipta curigai?”

Sayangnya, Dipta memang setangkas dan sedingin rubah artik dalam berkelit. Cepat ia mematikan cahaya utama dan menyalakan lampu redup untuk tidur.

“Itu urusanku, Lira,” tegasnya. “Jangan dicampuri.”

“Tapi ini menyangkut Livia,” desakku. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Dipta mulai menarik selimut dan berbaring memunggungiku. Jika hanya sebatas itu ia mengelak, aku akan tetap bersikeras mencari tahu.

“Ada yang terjadi, dan itu adalah urusan pribadiku dengan Livia,” sahut Dipta pelan. “Perlu kamu ketahui, Lira. Meskipun kalian kembar, perihal rumah tangga bukan untuk konsumsi bersama.”

Itu benar. Pernyataan Dipta sedikit menyinggung keingintahuanku yang berlebihan. Namun, kenyataannya sekarang Livia sudah tiada. Dan, apa yang akan dilakukan Dipta sedikit banyak akan mempengaruhi nasib Muffin ke depannya.

“Lebih baik kamu fokus pada hubungan kita. Urusan Livia biar jadi urusanku.” Dipta seolah menyindirku. “Tidurlah, aku harus berangkat ke kantor lebih cepat besok.”

Bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan pikiran mengganjal seperti ini. Rasa penasaranku harus dituntaskan. Sudah terlalu lama aku menyimpan tanya atas semua kejanggalan ini.

“Apa yang akan terjadi jika Muffin ternyata bukan darah daging Kak Dipta?” Sengaja aku mengarah pada inti permasalahan. “Apakah Kak Dipta akan mengusir kami?”

Tidak ada jawaban untuk sesaat. Hanya terdengar suara napasku yang berat menahan emosi. Mungkin bunyi detak jantungku pun sebentar lagi bisa menembus hingga ke luar.

“Kamu tidak, tapi mungkin dia tak lagi bisa tinggal bersama kita.”

Suara Dipta ibarat petir yang menyambar ubun-ubun kepalaku. Kuremas pinggiran seprai dengan amarah yang menggumpal. Dengar, Mahesa Dipta. Aku ada di sini karena Muffin. Jika ia pergi, maka aku pun akan pergi.

Persetan dengan cinta. Sejauh ini cinta yang kusimpan untukmu hanya mampu membawa luka di hatiku.

Bab terkait

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 9 - Mengais Petunjuk Arah

    Ayah pernah mengingatkan, salah satu cara untuk mengatasi amarah–saat dirimu sedang dalam posisi duduk- adalah dengan berbaring. Ibu pernah mengatakan, jika dirimu sedang berusaha mengurai emosi, maka cobalah berhitung mulai dari angka 1 hingga 10. Apabila belum berhasil, lakukan terus hingga mencapai angka di mana rasa kesalmu sudah mereda.Dan, hal itulah yang sedang kulakukan sekarang, berbaring menatap langit-langit sambil melafalkan dalam hati angka 125. Syukurlah setelah melewati angka itu denyut nadiku sudah tak secepat tadi. Kucoba untuk menarik napas panjang, kemudian mengembusnya perlahan.Dipta masih memunggungiku. Aku yakin lelaki itu belum tidur. Dengkuran halusnya belum terdengar. Pasti ia masih berkutat dengan isi kepalanya persis sepertiku.“Aku sedang mengingat-ingat saat Kak Dipta melamarku.“ Kucoba mengajaknya berbincang setelah berpikir berulang. “Kak Dipta bilang kita melakukan ini untuk Muffin, bukan begitu?”Tidak ada jawaban. Dipta masih bergeming. Mungkin ia s

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 10 - Menyusur Kenangan Lampau

    Aku memilih untuk menutup kotak milik Dipta tanpa berani mencari tahu lebih lanjut tentang apa-apa yang ia simpan. Hasratku untuk meneruskan pencarian bukti musnah sudah. Kenangan-kenangan masa lalu kami bersama Mahesa Dipta malah terus-menerus bermain di kepalaku. Mungkin lain waktu akan aku lanjutkan lagi, setelah perasaan-perasaan sedih di hatiku pergi.Salah satu kenangan yang terus membekas dalam ingatanku adalah ketika pertama kali aku bertemu Mahesa Dipta. Saat itu tugas sekolahku sedang tidak berada dalam level manusiawi. Hafalan juga sedang menumpuk. Berkali-kali kucoba untuk menyimpan di dalam memori otak beragam angka tahun perjanjian pasca kemerdekaan dari buku sejarah. Namun, bagaimana bisa berhasil jika di depanku Livia sedang berlenggak-lenggok menari mengikuti irama lagu sambil berkaca. Jika ini menyangkut angka-angka pertidaksamaan linear, aku tidak peduli Livia akan berjingkrak diiringi musik sekeras apa pun. Semua dapat kuselesaikan dengan mudah.Kuputuskan untuk pi

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 11 - Hati Tersulut Cemburu

    Setiap orang yang pertama kali bertemu denganku, pasti akan menganggapku cantik. Wajahku oval dengan kulit kuning langsat. Tulang hidungku tinggi, terlihat seimbang dengan bentuk pipiku. Bibirku proporsional, dengan gigi-gigi yang terlihat rapi saat aku tersenyum. Rambutku hitam panjang tergerai. Bulu mataku lebat meskipun tidak terlalu lentik.Sayangnya, pendapat itu akan terbantahkan saat Livia muncul di saat yang sama. Orang-orang akan mulai membandingkan bibir Livia yang lebih mungil dariku, alis Livia yang lebih rapi, hidung Livia yang lebih mancung, dan bulu matanya yang lebih lentik. Mereka juga bilang, saat Livia tersenyum seolah-olah apa saja yang berada di sekitarnya pun turut tersenyum.Orang-orang lain berpendapat seperti itu, tetapi tidak dengan Ibu.Sejak umurku menginjak sepuluh tahun dan aku mulai mengerti apa artinya cantik, aku mulai kehilangan percaya diri setiap harus berdampingan dengan Livia. Ibu selalu memelukku setiap aku berkeluh kesah seperti itu. Menurut Ibu

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 12 - Rahasia dalam Terpendam

    Dipta akan pulang hari ini dari Surabaya. Pagi tadi setelah subuh ia mengabariku sekaligus menanyakan apakah aku ingin dibawakan sesuatu dari sana. Dulu setiap ia akan kembali ke Jakarta pada libur semester, Dipta juga rajin membelikanku jajanan serta pernak-pernik lucu. Bukan hanya untukku sebenarnya, karena Livia juga selalu dapat bagiannya. Aku pernah menolak pemberian Dipta dengan alasan pemborosan, tetapi ia bilang tak mengapa. Upahnya dari hasil kerja sampingan sengaja ia kumpulkan untuk hal tersebut. Lagi pula uang saku yang ia terima dari ayahnya sudah lebih dari cukup.Saat-saat menunggunya pulang liburan adalah saat yang mendebarkan. Penampilannya jadi banyak berubah. Lebih santai dan semakin dewasa. Rambutnya yang biasanya terpangkas pendek, dibiarkan memanjang sembarangan saat pertama kali ia pulang. Tubuhnya sedikit terlihat lebih kurus. Dipta bilang itu karena ia banyak bergaul dengan kelompok pecinta alam dan sering pergi mendaki gunung saat akhir pekan.Kami mulai seri

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 13 - Tersirat Titik Terang

    Isi buku harian Livia membuatku terus gelisah. Niatku untuk istirahat lebih awal agar tidak mengantuk saat Dipta tiba, buyar sudah. Kutidurkan Muffin lebih cepat agar bisa melahap setiap lembar buku itu sambil berharap menemukan titik terang lebih lanjut.Dadaku terasa teriris-iris saat membaca kalimat demi kalimat yang Livia tuliskan di setiap lembar. Dipta yang Livia kira sangat mencintainya, ternyata salah. Lelaki itu menyimpan perempuan lain di hatinya. Dan Livia menyimpan rasa sakit itu tanpa bisa berbuat banyak. Livia menyebutkan bahwa Dipta tanpa sengaja salah menyebutkan sebuah nama saat mereka sedang berdua. Aku bisa membayangkan betapa dingin hubungan mereka dulu. Tidak jauh berbeda dengan hubunganku dan Dipta selama empat bulan ini.Aku dulu mengira Dipta menikahi Livia karena memang mencintainya. Ternyata dugaanku salah. Lantas alasan apa yang membuat Dipta memutuskan untuk memilih Livia jika ia menyimpan cintanya untuk perempuan lain. Akh, aku benci menduga-duga seperti i

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 14 - Cinta Serba Salah

    Jantungku tidak berdetak dengar benar. Kakiku tidak berpijak dengan benar. Otakku juga tidak berpikir dengan benar. Semua reaksi itu berpadu menjadi satu saat kebenaran yang disampaikan Dipta terdengar sangat tidak benar di telingaku.Dipta keliru menyebut namaku di depan Livia saat mereka sedang berdua. Itu artinya akulah perempuan yang dimaksud Livia. Akulah penyebab keretakan rumah tangga keduanya. Betapa aku merasa sangat bersalah padanya selama ini. Ah, entah bagaimana caranya aku meminta maaf pada ibumu, Muffin.Sejak Dipta mengungkapkan kebenaran versinya, aku sama sekali tidak berani berkomentar apa pun hingga kami akhirnya tiba di rumah Ayah. Dipta yang mengajak aku dan Muffin berkunjung ke mari. Ia bilang sedang rindu bermain catur dengan Ayah, sekalian menyampaikan oleh-oleh yang ia bawa dari Jogja.Look, Muffin. Tidak ada sama sekali raut canggung di wajah ayahmu setelah pernyataannya tadi. Sikapnya terlalu biasa. Membuatku berkubang tanya, membiarkanku bingung mengira. Is

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 15 - Berbagi Ciuman Pertama

    Aku salah jika berpikir Dipta akan marah akibat ulahku yang mungkin sangat keterlaluan saat memindahkan Muffin dari gendonganku ke pangkuannya. Ternyata tidak. Lelaki itu malah mengucapkan terima kasih saat kubawakan sekotak tisu untuk membersihkan bekas gigitan gusi Muffin di jemarinya. Meskipun ekspresinya terlihat kurang bersahabat, tetapi tidak ada emosi yang tersimpan di sorot matanya.Juga ketika dalam perjalanan pulang, Dipta bersenandung hampir di separuh waktu tempuh, mengikuti syair lagu-lagu lama yang diputar di salah satu saluran radio. Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya bernyanyi. Dulu, aku sering mengintip lewat tirai kamar, hanya untuk melihatnya bermain gitar membawakan lagu-lagu yang populer di masa remaja kami.Saat tiba, tanpa kuminta Dipta lebih dulu mengangkat tas perkakas Muffin dari bagasi. Ia juga menyempatkan melindungi kepalaku dengan telapak tangan saat akan keluar dari mobil, lalu membantu menutup pintu setelah memastikan aku dan Muffin beranjak. Mani

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 16 - Menanti dalam Gundah

    Rasanya tak percaya bahwa aku baru saja merasakan ciuman pertamaku. Satu hal yang selalu menjadi tanda tanya di hatiku selama ini, siapa yang akan menjadi pencurinya setelah Mahesa Dipta memutuskan menikahi Livia. Bertahun-tahun kunantikan ini, tak pernah menyangka bahwa saat yang berharga itu tetap tersimpan untuk orang yang sama.Kugigit bibir sambil memejamkan mata rapat-rapat. Ternyata seperti itu rasanya. Lembutnya, hangatnya, getarannya, ah … andai Dipta tidak melakukannya secara tiba-tiba, mungkin rasa malu yang merambat di hatiku jauh lebih hebat dari pada itu.Di antara debar dadaku yang belum mereda, masih dapat terdengar sayup suara Dipta berbicara dengan seseorang di ponselnya. Bagaimana ia bisa tertawa setenang itu dengan si lawan bicara setelah apa yang ia lakukan barusan padaku. Sedangkan aku hanya bisa duduk diam di sisi ranjang, menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi setelah ini. Apa yang akan aku perbuat saat nanti Dipta kembali masuk ke kamar ini? Atau aku ber

Bab terbaru

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 26 - Pengorbanan Beralas Cinta

    Rasanya aku tidak ingin percaya pada apa yang baru saja diucapkan Dipta. Bagaimana mungkin Ayah yang memintanya. Tega sekali beliau melakukan itu, menganaktirikan aku dan memprioritaskan Livia bahkan sampai pada perihal memilihkan jodoh untuk kami berdua. Aku perlu tahu alasannya kali ini.“Livia menderita sebuah penyakit yang sulit untuk disembuhkan,” ucap Dipta masih dengan raut wajah tersiksa. “Ayah bilang hanya aku lelaki yang bisa ia percaya untuk menitipkan Livia.”“Penyakit apa?” desakku tidak sabar. Aku tidak yakin hanya karena alasan itu. Aku tahu sejak dulu hanya ada Livia di hati Ayah.“Sebaiknya kamu menanyakan langsung pada Ayah,” lanjut Dipta. “Aku tidak berhak menjelaskannya, lebih tepatnya tidak ingin mendahului Ayah.”“I can’t believe this,” bisikku kalut. “Apakah Mas Dipta tidak mencoba membantah Ayah saat itu?”Dipta menggeleng lemah. “Ayah menangis panik. Aku tidak punya pilihan.”“Bahkan untuk mengatakan siapa yang sebenarnya Mas Dipta cintai?” tanyaku tak percaya

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 25 - Pengakuan dari Hati

    Dipta benar-benar tidak menyia-nyiakan perbincangan masa subur yang ia tanyakan sore tadi. Di balik sikapnya yang manis dan lembut, selalu tersimpan tanya di hatiku, bagaimana lelaki ini bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Apakah semua lelaki dikarunia cinta yang begitu besar sehingga cukup untuk dibagi.“Benar begitu?” Tanpa kusadari apa yang terpikir, ternyata terucap di bibir.“Apanya yang benar, Sayang?” Dipta merenggangkan peluknya agar bisa memandang wajahku. “Bahwa aku mencintaimu, itu benar.”“Dan tetap bisa mencintai yang lain di saat yang sama?” lanjutku dengan kelancangan yang kusengaja.“Aku tidak pernah mencintaimu dan Livia di saat yang sama jika itu yang kamu maksud,” jawabnya lugas. “Kalian berada di tempat yang sama, di waktu yang berbeda, dengan kadar yang berbeda.” Dipta meraih jemariku untuk ia letakkan di dadanya.“Maaf jika aku harus mengungkit ini kembali, Mas,” bisikku sedih. “Pikiran itu selalu datang dan pergi berulang-ulang sesuka hatinya.”“Pikiran yang

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 24 - Cinta Beralih Panah

    Sudah berkali aku mencari, tetapi memang tidak ada identitas apa pun yang ditinggalkan si pengirim di dalam kotak tersebut selain tulisan yang memuat tanda tangannya pada kartu ucapan. Harusnya tadi aku menahan sebentar si kurir pengantar. Aku baru sadar setelah ia terlanjur beranjak, bahwa kurir tersebut bukanlah seperti petugas ekspedisi yang selama ini sering datang. Sepertinya ia memang ditugasi hanya untuk mengantar kotak itu.Aku tidak mengira Livia bisa senekat itu, pergi sendiri tanpa ditemani untuk menemui laki-laki lain. Dipta pasti sudah lebih dulu mencium gelagat perselingkuhan ini. Menyedihkan kalau itu yang benar terjadi. Entah apakah aku harus memberi tahu Dipta mengenai foto-foto ini.Sedikit ragu merasuki hatiku saat melihat Dipta pulang dengan wajah letih, meskipun begitu ia masih sempat menggodaku dengan kecanggunganku menyebutnya dengan panggilan baru kami. Panggilan baru untuknya sebenarnya.“Tadi kebetulan lewat,” jelasnya saat kutanyakan di mana ia membeli singk

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 23 - Sebuah Rahasia Baru

    Harusnya bisa jika aku lanjut bertanya, seperti sejak kapan Dipta mencintai Livia, alasan apa yang membuatnya bisa mencintai kami berdua sekaligus, atau mungkin siapa yang lebih ia cintai, aku atau Livia. Namun, entah mengapa timbul rasa tidak tega saat raut wajah lelaki yang sebelah lengannya masih memelukku itu seperti sedang mengemban beban yang sangat berat. Dahinya berkerut hebat, menandakan ia tidak bahagia saat menyatakan kejujuran-kejujuran lain yang kupaksa terlontar.“Aku tidak mampu menceritakan secara lengkap, tetapi jika kamu ingin bertanya, tanyalah satu per satu,” lanjutnya perlahan. “Sebisa mungkin aku jelaskan.”Menanyakan satu per satu dan harus merangkai benang merahnya sendiri pasti akan semakin memancing kecewa. Bagaimana jika nanti ia mengakui lebih mencintai Livia ketimbang aku? Hatiku bisa berdarah-darah mendengarnya.“Mungkin tidak sekarang,” putusku akhirnya. “Tapi pasti suatu saat aku akan bertanya tentang hal itu.”“Anytime, Dear.” Dipta mengurai anak rambu

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 22 - Prasangka Tajam Menghunjam

    Rasa lega yang awalnya menyelimuti hatiku mendadak berubah kecewa saat kudapati aplikasi percakapan dan sosial media pada ponsel Livia ternyata tetap dilindungi oleh sederetan kata kunci. Bersamaan dengan itu, kecurigaan yang kerap diutarakan Mahesa Dipta mengenai isu perselingkuhan Livia perlahan merebak di pikiranku. Jarang sekali pengguna ponsel mengunci aplikasinya apabila telah memasang kunci layar. Dan, menemukan kombinasi angka itu bukanlah hal yang mudah untuk ditelusuri dalam waktu singkat. Aku terpaksa menyelamatkan ponsel ini sementara waktu.Lian memahami saat kuberitahu banyak akun yang harus dilakukan pelaporan terkait wafatnya Livia. Si bungsu itu tertawa semringah saat kuizinkan memilih ponsel baru yang ia sukai pada aplikasi toko online. Satu hal yang aku kagumi dari Lian. Meskipun ia anak lelaki bungsu, tetapi sikapnya tidak manja dan selalu menghormati aku dan Livia sejak dulu. Mungkin karena sedari kecil ia sudah merasakan bagaimana sedihnya ditinggal Ibu.Jemariku

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 21 - Mengurai Jejak Tersimpan

    Semua opsi yang ditawarkan Mahesa Dipta ternyata hanya berakhir di tempat yang sama hingga hampir tengah hari. Meskipun sedikit berbeda dengan semalam yang lebih banyak menguras aktivitas, sepanjang pagi ini hingga menjelang siang kami lebih sering berpelukan dan bercerita. Seolah tiada habis lembar demi lembar yang selama ini tersimpan, satu per satu terlontar untuk disampaikan.Aku yang lebih banyak berbicara, menanyakan apa-apa yang selama ini tertahan. Dipta lebih banyak tersenyum dan tertawa, menjawab dengan sabar hampir semua yang kuminta penjelasan. Termasuk saat kutanyakan mengapa ia pernah mengatakan akan secepatnya mencari perempuan lain andai waktu itu aku menolak menikah dengannya.“It was just a trick, actually,” ujarnya santai. “Aku sudah kehabisan cara untuk mengirim sinyal ke hatimu.”“Cerdas sekali.” Aku pura-pura merengut kesal. “Termasuk semua sikap dingin Kak Dipta padaku di awal kita menikah?” tanyaku.“Termasuk itu.” Ia membenarkan sambil tersenyum tipis. “Entah

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 20- Sebuah Awal Bahagia

    Pelukan dari lelaki yang berbaring di sampingku merenggang seiring dengan sorot matanya yang meredup. Aku sadar baru saja merusak suasana dengan pertanyaanku yang mungkin tidak pada tempatnya. Bagaimana lagi, apa yang diungkapkan Mahesa Dipta sungguh tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan aku berhak menanyakannya, bukan?“Haruskah aku jawab sekarang?” ucapnya sambil menarik lengannya yang sejak tadi kupakai sebagai alas berbaring. “Karena penjelasanku pasti akan membuat kita berdua sedih.”Aku terdiam sejenak. Perlahan tapi pasti semuanya mulai menuju titik terang. Bukan hanya aku yang ternyata harus menggadaikan rasa cinta. Juga dia, lelaki yang terpaksa meminggirkan rasa sayang yang ia simpan untukku bertahun-tahun.“Ada hal yang sebenarnya lebih baik untuk tidak kita ketahui, Lira,” lanjutnya. “Jika aku jadi kamu, maka aku akan memilih itu.”Meski tidak sepenuhnya setuju, paling tidak saat ini Dipta sudah berniat baik untuk menjelaskan. Aku pun sebenarnya meragukan ketegaran h

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 19 - Menuju Kali Pertama

    Sudah hampir pukul sepuluh malam saat mobil Dipta akhirnya terparkir di garasi. Seperti biasa aku langsung bersiap turun. Pintu yang sudah terlanjur terbuka, akhirnya kututup kembali saat melihat Dipta malah menurunkan sedikit sandaran kursi dan mengatur posisi jok agak menjauh dari arah pijakan pedal.“Mau ke mana buru-buru?” tegurnya sambil melirik ke samping.“Menghubungi Bunda dari telepon rumah,” jawabku. “Ponselku tertinggal di tas perlengkapan Muffin.”“Mau bilang apa?” Ia mengulurkan ponselnya dari saku. “Pakai ini saja.”“Mau bilang maaf kalau tidak bisa menjemput Muffin malam ini,” ujarku sedikit bingung.“Tidak perlu kalau soal itu,” ujarnya cepat. “Sebelum berangkat tadi aku sudah berpesan pada Bunda bahwa kita pulang larut dan tidak akan menjemput.”Aku kembali duduk bersandar. Dipta sudah merencanakan semuanya sampai sejauh ini. Ia bahkan sengaja mengatur agar hanya ada kami berdua di rumah malam ini. Menyesal sekali tak kusempatkan benar-benar membersihkan diri. Waktuku

  • Takdir Cinta Perempuan Pengganti   Bab 18 - Mengenai Hal Penting

    Tak pernah sebelumnya kulihat Dipta memandangku seperti itu. Tepatnya menatapku seperti sedang menahan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Aku jadi bingung untuk bersikap, suasana di sekitarku yang tadinya terasa gembira, kini berubah mencekam saat ia muncul.“Teman lama?” tebaknya seolah memberiku isyarat agar aku mengenalkannya pada Fahmi. “Mahesa Dipta,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.“Ini Fahmi, anak Pak Kemas atasanku dulu di kantor,” jelasku berusaha tersenyum. “Dulu pernah satu kali bertemu sewaktu Fahmi pulang ke Palembang.”“Saya juga lupa-lupa ingat wajah Lira, makanya tadi saya sapa untuk memastikan.” Fahmi menjelaskan bagaimana awalnya kami bisa terlibat obrolan akrab.Masih dengan rupa yang dihiasi senyum ketat, Dipta menarik sebuah kursi dari sebelahku dan meletakkannya di antara aku dan Fahmi. Sebelah lengannya Dipta letakkan di sandaran kursiku, bagai ingin mengirim sinyal pada Fahmi bahwa tidak ada celah bagi pria itu untuk mengajakku berbincang seperti sebelu

DMCA.com Protection Status