Aku mengira Dipta akan seterusnya bersedia menggendong Muffin setelah kejadian panas tinggi yang lalu, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, aku dapat merasakan cara Dipta memandang dan menanggapi semua aktivitas Muffin sudah lebih lunak dari sebelumnya. Tak sekali dua kali aku memergoki lelaki itu mengalihkan pandang dari ponselnya sekadar untuk memperhatikan Muffin.
Si kecil Muffin sudah genap empat bulan hari ini, sudah bisa menelungkup sendiri dan mengangkat kepalanya. Ia juga sudah mulai mengoceh setiap kali diajak bicara. Semua perkembangan Muffin membuatku sangat senang. Aku juga tidak perlu selalu menggendongnya setiap saat. Muffin sudah mulai teralihkan dengan beragam mainan yang tersebar di sekitar matrasnya. Sejujurnya bukan hanya bertambahnya kepintaran Muffin yang menerbitkan rasa gembira. Perkembangan hubunganku dengan Dipta juga menumbuhkan benih-benih bahagia di hatiku. Jika dulu di setiap hari libur Dipta kerap berkeliaran, kini tidak demikian. Sudah dua kali hari Minggu lelaki itu hanya berdiam di rumah, walaupun ia lebih sering menatap layar televisi dari pada memandangku dan Muffin. Aku mulai memberanikan diri mengajaknya berbincang, walaupun kadang hanya dijawab dengan anggukan atau satu dua patah kata saja. Aku sudah bertekad untuk mencari tahu apa yang membuat sifat Dipta berubah seratus delapan puluh derajat. Sepanjang ingatanku, Mahesa Dipta teman kecilku dulu bukanlah sebangsa beruang kutub. “Sudah berapa bulan umurnya?” Tak kusangka Dipta bertanya saat aku sedang mengganti diaper Muffin. “Aku lupa.” Kuhela napas pelan. Wajar bagi Dipta jika ia melupakan usia Muffin, mengurusnya pun baru dilakoni lelaki ini dalam dua minggu terakhir. Andai saat itu aku dan Muffin tidak sakit secara bersamaan, mungkin saat ini Dipta masih bertahan dalam gua esnya. “Enam belas minggu,” sahutku. “Sudah genap empat bulan, ya, kan, Ganteng.” Aku tersenyum pada Muffin sambil mengajaknya berbicara. Bayi kecil itu menjawab dengan ocehan seolah membenarkan pujianku. “Kapan lagi dia akan diimunisasi?” tanya Dipta. Aku menoleh padanya sebentar. Sebuah kemajuan yang patut diacungi jempol bila Dipta menanyakan hal ini, mengingat sejak awal dulu aku selalu diantar Ayah dan Bunda setiap tiba jadwal Muffin untuk divaksin. “Minggu depan rencananya. DPT dan Polio 3.” Aku menjawil pipi Muffin dengan gemas. “Nanti waktu disuntik dokter nggak boleh nangis, ya.” Jika aku bisa mengintip ke dalam, kuyakin saat ini bilah yang menggambarkan suasana hati Dipta pasti sedang berada dalam posisi penuh. Aku menimbang sejenak. Sepertinya aman jika aku menanyakan sesuatu yang sudah lama sekali menggantung di pikiranku. “Kemarin Bunda tanya,” pancingku. “Kenapa sampai sekarang Kak Dipta belum memberinya nama.” Kekhawatiranku muncul sejak Muffin mulai merespon dengan baik setiap aku mengajaknya berinteraksi. Aku takut ia terbiasa dengan nama yang kuciptakan. Sejujurnya aku tidak berniat apa pun saat memberinya panggilan itu, hanya karena pipinya begitu tembam dan menggemaskan mirip kue yang siap digigit. “Akan kuberi nama setelah meyakini dia memang anakku.” Dipta menjawab hampir tanpa beban. Gerak tanganku yang sedang membenahi baju kaus Muffin seketika terhenti. Kuatur debar jantung yang tiba-tiba melaju. Kucoba tertawa padanya seolah kami sedang membicarakan sebuah lelucon. “Tertukar maksud Kak Dipta?” ujarku sambil berusaha melepaskan jari telunjuk dari genggaman Muffin. “Jangan bercanda.” “Bayinya tidak,” ujarnya tenang. “Tapi mungkin benihnya iya.” Kupandangi wajah Mahesa Dipta yang tetap tekun dengan ponselnya. Atas dasar apa ia bisa berkesimpulan bahwa Muffin bukan anaknya. Aku yang bukan ibu kandungnya saja bisa melihat jelas bagaimana separuh wajah Muffin menjiplak ayahnya. Memangnya benih siapa lagi yang bisa berlabuh di rahim Livia. Bukankah itu sama saja artinya bahwa …. “Beritahu aku kapan jadwal imunisasinya. Biar aku yang mengantar kalian.” Dipta bangkit tanpa memedulikanku yang masih menuntut penjelasan. Andai tanganku bisa menjulur lebih panjang, ingin rasanya kutarik saja kerah kemeja Dipta agar ia kembali duduk dan menjawab semua penasaranku. *** “Tes DNA?” Dokter Pratiwi, spesialis anak yang sejak awal menangani Muffin memandangku dan Dipta bergantian. Aku menunduk canggung saat pandangan Dokter Pratiwi kembali beralih padaku. Tak kusangka Dipta benar-benar berniat untuk memeriksa kebenaran apakah Muffin memang darah dagingnya. Pantas saja sejak kemarin ia bersikeras untuk mengantar kami ke rumah sakit. “Maaf, boleh saya tahu apakah ada kecurigaan riwayat penyakit yang dikhawatirkan?” tanya Dokter Pratiwi dengan sopan. Beliau sudah mengetahui mengenai kematian Livia sejak awal dan peranku hanyalah sebagai ibu sambung untuk Muffin. “Sekadar ingin tahu bagaimana prosedur yang harus ditempuh, Dok.” Dipta melanjutkan tanpa menghiraukan isyaratku agar ia berhenti bertanya. “Mohon dijelaskan langkah-langkahnya.” Dokter Pratiwi melepas pena di tangan dan meraih brosur di samping kanannya. “Bapak bisa baca penjelasan yang tertera di sini. Saya pribadi tidak menyarankan jika memang tidak diperlukan.” “Dengan alasan?” “Selain biaya tesnya tergolong mahal, masih ada cara lain yang lebih dulu bisa dilakukan untuk mendeteksi riwayat penyakit,” jawab Dokter Pratiwi diplomatis. “Kecuali … jika memang dibutuhkan untuk mengetahui garis keturunan.” Dipta membaca dengan tekun isi brosur yang diletakkan di depannya. Suasana berubah hening, karena sungguh aku tak tahu harus berbicara apa. Dokter Pratiwi membolak-balik buku catatan konsultasi Muffin dan menulis sesuatu di dalamnya. “Kapan si Tampan ini akan punya nama?” tanya Dokter Pratiwi saat melihat sampul depan buku tersebut hanya tertulis Bayi Ny. Lira. “Atau bagaimana jika saya yang memberinya nama?” Suara tawa Dokter Pratiwi yang renyah segera menggantikan kebisuan. Aku tahu beliau sedang mengalihkan kami dari bahasan tentang tes DNA. “Boleh, Dok,” sahutku. “Siapa tahu bisa kami pertimbangkan untuk diselipkan nantinya di bagian depan atau pun belakang.” “Saya selalu ingin memberi nama Astaguna jika punya anak lelaki,” kenang Dokter Pratiwi. “Tapi rezekinya malah dapat anak perempuan semua, empat orang pula.” “Apa arti namanya, Dok?” tanyaku untuk menutupi kecanggungan atas tetap diamnya Dipta. “Nama itu diambil dari Bahasa Jawa, menunjukkan pada sifat yang selalu berbuat kebaikan,” jelas beliau. “Semoga nanti si kecil ini bisa membawa kebaikan untuk kedua orang tuanya.” Cepat aku mengamini perkataan Dokter Pratiwi. Untunglah Dipta patuh saat kuajak pulang, dengan alasan masih banyak pasien lain yang mengantri di ruang ruangan. Dokter Pratiwi mengangguk saat Dipta meminta izin untuk membawa pulang brosur tes DNA tersebut. Dengan ramah beliau mengatakan akan siap membantu jika tes itu benar-benar diperlukan. Saat tiba di rumah nanti, aku harus berani menanyakan perihal kecurigaan Mahesa Dipta yang tak beralasan itu. Bagaimana pun juga Livia adalah kembaranku. Akan kubela mati-matian andai fitnah itu akan mencemarkan nama baiknya. *** Jika ia lelaki yang peka, harusnya Dipta sudah bisa membaca gelagatku sejak kami berada di mobil. Diamku sudah mengisyaratkan ketidaksukaanku akan sikapnya. Kuikuti terus gerak-geriknya saat kami sama-sama telah berada di dalam kamar. Muffin sudah lebih dulu terlelap sepanjang perjalanan pulang. “Boleh aku minta penjelasan apa maksud Kak Dipta tentang tes DNA itu?” tanyaku saat ia sudah duduk di sisi ranjang di samping nakas. “Apa yang sebenarnya Kak Dipta curigai?” Sayangnya, Dipta memang setangkas dan sedingin rubah artik dalam berkelit. Cepat ia mematikan cahaya utama dan menyalakan lampu redup untuk tidur. “Itu urusanku, Lira,” tegasnya. “Jangan dicampuri.” “Tapi ini menyangkut Livia,” desakku. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Dipta mulai menarik selimut dan berbaring memunggungiku. Jika hanya sebatas itu ia mengelak, aku akan tetap bersikeras mencari tahu. “Ada yang terjadi, dan itu adalah urusan pribadiku dengan Livia,” sahut Dipta pelan. “Perlu kamu ketahui, Lira. Meskipun kalian kembar, perihal rumah tangga bukan untuk konsumsi bersama.” Itu benar. Pernyataan Dipta sedikit menyinggung keingintahuanku yang berlebihan. Namun, kenyataannya sekarang Livia sudah tiada. Dan, apa yang akan dilakukan Dipta sedikit banyak akan mempengaruhi nasib Muffin ke depannya. “Lebih baik kamu fokus pada hubungan kita. Urusan Livia biar jadi urusanku.” Dipta seolah menyindirku. “Tidurlah, aku harus berangkat ke kantor lebih cepat besok.” Bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan pikiran mengganjal seperti ini. Rasa penasaranku harus dituntaskan. Sudah terlalu lama aku menyimpan tanya atas semua kejanggalan ini. “Apa yang akan terjadi jika Muffin ternyata bukan darah daging Kak Dipta?” Sengaja aku mengarah pada inti permasalahan. “Apakah Kak Dipta akan mengusir kami?” Tidak ada jawaban untuk sesaat. Hanya terdengar suara napasku yang berat menahan emosi. Mungkin bunyi detak jantungku pun sebentar lagi bisa menembus hingga ke luar. “Kamu tidak, tapi mungkin dia tak lagi bisa tinggal bersama kita.” Suara Dipta ibarat petir yang menyambar ubun-ubun kepalaku. Kuremas pinggiran seprai dengan amarah yang menggumpal. Dengar, Mahesa Dipta. Aku ada di sini karena Muffin. Jika ia pergi, maka aku pun akan pergi. Persetan dengan cinta. Sejauh ini cinta yang kusimpan untukmu hanya mampu membawa luka di hatiku.Ayah pernah mengingatkan, salah satu cara untuk mengatasi amarah–saat dirimu sedang dalam posisi duduk- adalah dengan berbaring. Ibu pernah mengatakan, jika dirimu sedang berusaha mengurai emosi, maka cobalah berhitung mulai dari angka 1 hingga 10. Apabila belum berhasil, lakukan terus hingga mencapai angka di mana rasa kesalmu sudah mereda.Dan, hal itulah yang sedang kulakukan sekarang, berbaring menatap langit-langit sambil melafalkan dalam hati angka 125. Syukurlah setelah melewati angka itu denyut nadiku sudah tak secepat tadi. Kucoba untuk menarik napas panjang, kemudian mengembusnya perlahan.Dipta masih memunggungiku. Aku yakin lelaki itu belum tidur. Dengkuran halusnya belum terdengar. Pasti ia masih berkutat dengan isi kepalanya persis sepertiku.“Aku sedang mengingat-ingat saat Kak Dipta melamarku.“ Kucoba mengajaknya berbincang setelah berpikir berulang. “Kak Dipta bilang kita melakukan ini untuk Muffin, bukan begitu?”Tidak ada jawaban. Dipta masih bergeming. Mungkin ia s
Aku memilih untuk menutup kotak milik Dipta tanpa berani mencari tahu lebih lanjut tentang apa-apa yang ia simpan. Hasratku untuk meneruskan pencarian bukti musnah sudah. Kenangan-kenangan masa lalu kami bersama Mahesa Dipta malah terus-menerus bermain di kepalaku. Mungkin lain waktu akan aku lanjutkan lagi, setelah perasaan-perasaan sedih di hatiku pergi.Salah satu kenangan yang terus membekas dalam ingatanku adalah ketika pertama kali aku bertemu Mahesa Dipta. Saat itu tugas sekolahku sedang tidak berada dalam level manusiawi. Hafalan juga sedang menumpuk. Berkali-kali kucoba untuk menyimpan di dalam memori otak beragam angka tahun perjanjian pasca kemerdekaan dari buku sejarah. Namun, bagaimana bisa berhasil jika di depanku Livia sedang berlenggak-lenggok menari mengikuti irama lagu sambil berkaca. Jika ini menyangkut angka-angka pertidaksamaan linear, aku tidak peduli Livia akan berjingkrak diiringi musik sekeras apa pun. Semua dapat kuselesaikan dengan mudah.Kuputuskan untuk pi
Setiap orang yang pertama kali bertemu denganku, pasti akan menganggapku cantik. Wajahku oval dengan kulit kuning langsat. Tulang hidungku tinggi, terlihat seimbang dengan bentuk pipiku. Bibirku proporsional, dengan gigi-gigi yang terlihat rapi saat aku tersenyum. Rambutku hitam panjang tergerai. Bulu mataku lebat meskipun tidak terlalu lentik.Sayangnya, pendapat itu akan terbantahkan saat Livia muncul di saat yang sama. Orang-orang akan mulai membandingkan bibir Livia yang lebih mungil dariku, alis Livia yang lebih rapi, hidung Livia yang lebih mancung, dan bulu matanya yang lebih lentik. Mereka juga bilang, saat Livia tersenyum seolah-olah apa saja yang berada di sekitarnya pun turut tersenyum.Orang-orang lain berpendapat seperti itu, tetapi tidak dengan Ibu.Sejak umurku menginjak sepuluh tahun dan aku mulai mengerti apa artinya cantik, aku mulai kehilangan percaya diri setiap harus berdampingan dengan Livia. Ibu selalu memelukku setiap aku berkeluh kesah seperti itu. Menurut Ibu
Dipta akan pulang hari ini dari Surabaya. Pagi tadi setelah subuh ia mengabariku sekaligus menanyakan apakah aku ingin dibawakan sesuatu dari sana. Dulu setiap ia akan kembali ke Jakarta pada libur semester, Dipta juga rajin membelikanku jajanan serta pernak-pernik lucu. Bukan hanya untukku sebenarnya, karena Livia juga selalu dapat bagiannya. Aku pernah menolak pemberian Dipta dengan alasan pemborosan, tetapi ia bilang tak mengapa. Upahnya dari hasil kerja sampingan sengaja ia kumpulkan untuk hal tersebut. Lagi pula uang saku yang ia terima dari ayahnya sudah lebih dari cukup.Saat-saat menunggunya pulang liburan adalah saat yang mendebarkan. Penampilannya jadi banyak berubah. Lebih santai dan semakin dewasa. Rambutnya yang biasanya terpangkas pendek, dibiarkan memanjang sembarangan saat pertama kali ia pulang. Tubuhnya sedikit terlihat lebih kurus. Dipta bilang itu karena ia banyak bergaul dengan kelompok pecinta alam dan sering pergi mendaki gunung saat akhir pekan.Kami mulai seri
Isi buku harian Livia membuatku terus gelisah. Niatku untuk istirahat lebih awal agar tidak mengantuk saat Dipta tiba, buyar sudah. Kutidurkan Muffin lebih cepat agar bisa melahap setiap lembar buku itu sambil berharap menemukan titik terang lebih lanjut.Dadaku terasa teriris-iris saat membaca kalimat demi kalimat yang Livia tuliskan di setiap lembar. Dipta yang Livia kira sangat mencintainya, ternyata salah. Lelaki itu menyimpan perempuan lain di hatinya. Dan Livia menyimpan rasa sakit itu tanpa bisa berbuat banyak. Livia menyebutkan bahwa Dipta tanpa sengaja salah menyebutkan sebuah nama saat mereka sedang berdua. Aku bisa membayangkan betapa dingin hubungan mereka dulu. Tidak jauh berbeda dengan hubunganku dan Dipta selama empat bulan ini.Aku dulu mengira Dipta menikahi Livia karena memang mencintainya. Ternyata dugaanku salah. Lantas alasan apa yang membuat Dipta memutuskan untuk memilih Livia jika ia menyimpan cintanya untuk perempuan lain. Akh, aku benci menduga-duga seperti i
Jantungku tidak berdetak dengar benar. Kakiku tidak berpijak dengan benar. Otakku juga tidak berpikir dengan benar. Semua reaksi itu berpadu menjadi satu saat kebenaran yang disampaikan Dipta terdengar sangat tidak benar di telingaku.Dipta keliru menyebut namaku di depan Livia saat mereka sedang berdua. Itu artinya akulah perempuan yang dimaksud Livia. Akulah penyebab keretakan rumah tangga keduanya. Betapa aku merasa sangat bersalah padanya selama ini. Ah, entah bagaimana caranya aku meminta maaf pada ibumu, Muffin.Sejak Dipta mengungkapkan kebenaran versinya, aku sama sekali tidak berani berkomentar apa pun hingga kami akhirnya tiba di rumah Ayah. Dipta yang mengajak aku dan Muffin berkunjung ke mari. Ia bilang sedang rindu bermain catur dengan Ayah, sekalian menyampaikan oleh-oleh yang ia bawa dari Jogja.Look, Muffin. Tidak ada sama sekali raut canggung di wajah ayahmu setelah pernyataannya tadi. Sikapnya terlalu biasa. Membuatku berkubang tanya, membiarkanku bingung mengira. Is
Aku salah jika berpikir Dipta akan marah akibat ulahku yang mungkin sangat keterlaluan saat memindahkan Muffin dari gendonganku ke pangkuannya. Ternyata tidak. Lelaki itu malah mengucapkan terima kasih saat kubawakan sekotak tisu untuk membersihkan bekas gigitan gusi Muffin di jemarinya. Meskipun ekspresinya terlihat kurang bersahabat, tetapi tidak ada emosi yang tersimpan di sorot matanya.Juga ketika dalam perjalanan pulang, Dipta bersenandung hampir di separuh waktu tempuh, mengikuti syair lagu-lagu lama yang diputar di salah satu saluran radio. Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya bernyanyi. Dulu, aku sering mengintip lewat tirai kamar, hanya untuk melihatnya bermain gitar membawakan lagu-lagu yang populer di masa remaja kami.Saat tiba, tanpa kuminta Dipta lebih dulu mengangkat tas perkakas Muffin dari bagasi. Ia juga menyempatkan melindungi kepalaku dengan telapak tangan saat akan keluar dari mobil, lalu membantu menutup pintu setelah memastikan aku dan Muffin beranjak. Mani
Rasanya tak percaya bahwa aku baru saja merasakan ciuman pertamaku. Satu hal yang selalu menjadi tanda tanya di hatiku selama ini, siapa yang akan menjadi pencurinya setelah Mahesa Dipta memutuskan menikahi Livia. Bertahun-tahun kunantikan ini, tak pernah menyangka bahwa saat yang berharga itu tetap tersimpan untuk orang yang sama.Kugigit bibir sambil memejamkan mata rapat-rapat. Ternyata seperti itu rasanya. Lembutnya, hangatnya, getarannya, ah … andai Dipta tidak melakukannya secara tiba-tiba, mungkin rasa malu yang merambat di hatiku jauh lebih hebat dari pada itu.Di antara debar dadaku yang belum mereda, masih dapat terdengar sayup suara Dipta berbicara dengan seseorang di ponselnya. Bagaimana ia bisa tertawa setenang itu dengan si lawan bicara setelah apa yang ia lakukan barusan padaku. Sedangkan aku hanya bisa duduk diam di sisi ranjang, menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi setelah ini. Apa yang akan aku perbuat saat nanti Dipta kembali masuk ke kamar ini? Atau aku ber