Bayangan yang terpantul pada cermin di depanku tidak mirip aku. Perempuan itu berkebaya putih dengan balutan kain batik bermotif parang kusuma bernuansa coklat tua. Sedikit riasan di wajahnya membuatnya tampil lebih dewasa. Rambutnya yang biasa diikat satu, hari ini digelung rapi dengan hiasan kembang melati.
Empat tahun lalu, dalam balutan kebaya putih yang hampir sama, Livia meyakinkanku agar tidak menghapus perona pipi yang ia sapukan di wajahku. Hari itu adalah hari wisuda kami. Setelah pulang dari auditorium, Livia bahkan tetap memakai kebayanya saat beberapa tamu datang untuk menghadiri acara syukuran yang diadakan Ayah. Aku segera berganti dengan kostum kebanggaanku, baju kaus dan celana denim. Sebelum kemudian kembali ke kamar untuk menukar baju kausku dengan kemeja setelah melihat Bunda mendelik dari ruang tamu.Jika Livia masih ada, ia pasti akan menertawaiku karena memutuskan untuk memakai kebaya wisuda kami dalam acara sesakral ini. Dan, aku seperti biasa akan mendebat. Mengapa tidak, bukankah kebaya itu hanya pernah aku pakai satu kali. Lagi pula tubuhku masih sekurus dulu. Bahkan sekarang malah terasa sedikit longgar di bagian pinggul.Hari ini adalah hari akad nikahku dengan Mahesa Dipta, tepat satu minggu setelah ia membalas ‘OK’ sebagai respon dari jawabanku atas lamarannya. Salah satu kerabat Dipta yang kebetulan juga menetap di Jakarta telah diminta untuk datang dan menjadi saksi nikah. Sisanya, hanya Ayah, Bunda, Lian, dan beberapa tetangga yang sudah dianggap seperti saudara.Jika Bunda tidak memaksa, aku sebenarnya enggan rangkaian melati ini diselipkan dalam gelungan rambutku. Aku jadi tampak berlebihan saat disandingkan dengan Dipta yang hanya memakai kopiah hitam dan baju koko putih. Wajahnya masih sedatar kemarin. Untung saja ia masih cukup waras untuk tidak salah menyebutkan nama Livia saat proses ijab kabul tadi.Dipta membawaku dan Muffin pindah ke rumahnya dua hari setelah kami resmi menjadi suami istri. Rumah dengan desain unik itu dipenuhi oleh tanaman bunga di halaman depan. Dipta benar-benar menumpahkan bakatnya. Bahkan teras belakang yang berlahan sempit pun bisa disulap lapang olehnya. “Ini kamarku,” jelas Dipta dingin. “Dan, itu kamar yang sudah aku siapkan untukmu dan bayi ini.” Ia menunjuk sebuah kamar yang berseberangan dengan kamar utama.Baiklah, jadi kami berdua akan tidur terpisah. Biarlah, aku juga tidak tertarik untuk berbagi ranjang dengan Mahesa Dipta selama hatinya masih berada di titik beku. “Maaf, Lira. Aku tidak terbiasa dengan tangis bayi. Aku putuskan agar kita berpisah kamar untuk sementara.”Setidaknya ia meminta maaf. Mungkin karena Dipta terlahir tunggal, ia masih canggung berhadapan dengan bayi kecil. Saat Lian lahir, aku juga pernah merasa demikian saat Ibu memberi kesempatan padaku dan Livia untuk mencoba menggendongnya bergantian.Sebelum menikah dengan Livia, Dipta pernah meminta pendapatku saat ia akan menerima tawaran kerja pada sebuah perusahaan pengembang yang cukup punya nama di Jakarta. Menurut Dipta gaji yang ditawarkan cukup tinggi, sesuai dengan jam kerjanya yang lumayan padat. Berita terakhir yang aku dengar dari Livia, Dipta memilih mengundurkan diri dan membuka usaha bersama dengan beberapa teman sebagai pemodal.Setiap pagi setelah Dipta berangkat bekerja, aku selalu mencuri masuk untuk memeriksa kebersihan kamarnya. Bukan menyelinap sebenarnya, karena Dipta tetap membiarkannya terbuka. Aku akan membenahi seprai, menyapu lantai, serta mengutip pakaian kotor yang ia letakkan di keranjang di depan kamar mandi. Terletak pula sebuah teko kaca dan gelas bening di meja kerjanya di dalam kamar. Aku selalu mengisinya kembali sebelum menutup pintu dan melanjutkan pekerjaan lain. Pagi ini Dipta libur bekerja. Lelaki itu kelihatan sibuk menurunkan foto-foto pernikahannya dengan Livia yang masih terpajang di ruang keluarga dan beberapa sudut rumah. Foto mereka yang paling besar ia gantikan dengan sebuah lukisan abstrak bernuansa gelap. Aku tidak perlu bertanya mengapa ia tidak menggantinya dengan foto pernikahan kami. Aku cukup tahu diri. Saat itu tidak seorang fotografer profesional pun yang disewa untuk siap sedia mengabadikan akad nikah kami. Hanya Lian dengan ponselnya. Ia telah mengirim beberapa filenya sebelum kembali ke Bandung hari itu juga. Aku mulai mencari resep-resep masakan sederhana agar sarapan pagi Dipta tidak hanya berputar-putar dari nasi goreng dan roti panggang. Apa pun yang kusediakan, selalu Dipta habiskan tanpa banyak komentar. Ia hanya berpesan agar tidak menghidangkan untuknya kopi tanpa direbus mendidih dan aku harus ingat untuk menyaring ampasnya terlebih dahulu.Mengurusi Dipta tidak jauh berbeda dari merawat Muffin. Aku merasa seperti seorang ibu yang mempunyai dua anak dengan usia berbeda. Tidak ada perbincangan layaknya suami istri di antara kami. Dipta hanya duduk di ruang tengah saat menonton televisi dan menghabiskan waktunya di kamar saat tidak sedang bekerja. Aku juga tidak berusaha membuka percakapan. Aku hanya menjawab sekadar yang ia tanyakan. Selebihnya, aku dan Dipta menjalani hari-hari kami seperti mampu membaca pikiran satu sama lain. Dalam kejenuhanku, aku mulai rajin merawat tanaman bunga yang terabaikan sepeninggalan Livia. Beberapa batang mawar di halaman belakang kembali bertunas setelah kupangkas. Bunga kertas berwarna putih -yang dirangkai melingkar mengikuti bentuk gerbang mungil- juga sudah terlihat rapi setelah kugunting paksa. Semua itu kulakukan saat Dipta tidak di rumah. Semangatku untuk melakukan apa pun langsung sirna begitu menyaksikan wajah datarnya muncul di pintu. Aku juga mulai terbiasa berkomunikasi satu arah. Setiap pagi setelah memandikan Muffin dan menidurkan bayi itu, aku akan berbagi cerita dengan daun-daun aglaonema yang kubasuh dengan kain basah. Tak jarang juga batang-batang bougenville menjadi sasaran saat jiwaku sedang butuh pelampiasan. Ikan-ikan koi di kolam pun tak luput terkena giliran. Satu-satunya lawan bicara yang mampu merespon dengan baik hanya Muffin sejak ia rajin membuka mata dan tersenyum.Dipta meletakkan beberapa lembar uang setiap harinya di sebuah laci. Aku baru mengetahui bahwa uang itu ia berikan untukku setelah membaca pesan yang tertulis di sebuah robekan kertas. Setiap hari pula aku selalu merinci pengeluaran dan meletakkan catatannya beserta uang kembalian di dalam laci. Dipta tidak memintaku untuk melakukan itu, akulah yang berinisiatif. Laci itu ibarat sebuah kotak surat yang menfasilitasi kami berkomunikasi, meskipun isinya sebatas angka-angka rupiah.Jika aku tidak salah hitung, sudah tiga hari terakhir aku dan Dipta tidak bertukar obrolan. Dua bulan berada dalam satu rumah, aku menyadari bahwa Dipta semakin irit bicara. Sehingga, satu atau dua patah kata yang keluar dari mulutnya sudah kuanggap masuk kategori obrolan. Mungkin satu bulan ke depan, anggukan dan gelengan pun sudah bisa masuk kategori yang sama. Itulah mengapa aku lebih senang berkomunikasi lewat sobekan kertas di dalam laci dari pada berbicara langsung.Hari ini tiba-tiba aku merindukan Livia. Aku membongkar lemarinya yang berada di kamarku dan mencoba beberapa bajunya seperti yang sering kami lakukan dulu. Sebenarnya sejak awal aku ingin menanyakan ini pada Dipta, mengapa lemari Livia tidak menyatu dengan lemari pakaian lelaki itu. Namun, aku memilih tidak ambil pusing. Mungkin saja koleksi pakaian Livia terlampau banyak dan membuat lemari penuh sesak.Pilihanku jatuh pada terusan berpotongan longgar berbahan katun yang dingin. Sebagian bajuku yang ada di Palembang sengaja aku hibahkan pada seorang rekan kerja yang berpostur tubuh hampir sama. Begitu juga dengan beberapa peralatan di kamar indekos. Sementara itu, sejak ikut pindah bersama Dipta, aku hampir tidak sempat melirik aneka baju di toko online. Seluruh waktuku di rumah kuhabiskan untuk mengurus Muffin. Bukan hanya waktuku sebenarnya, perhatianku juga. Aku tidak sempat berbelanja baju untukku sendiri, padahal sudah beberapa kali aku membeli pernak-pernik lucu untuk Muffin.Mungkin, karena hari ini aku memakai baju milik Livia, Dipta berbicara dengan deretan kalimat agak panjang. Ia berdiri menatapku nanar saat kubukakan pintu untuknya. Aku bisa bersumpah apa yang tergambar dalam raut wajah dan sorot mata Dipta adalah sebuah kebencian yang membuncah.“Tukar baju itu sekarang juga, Lira,” ucapnya dengan emosi yang tertahan. “Jangan pernah ada barang-barang milik Livia yang aku lihat lagi di rumah ini.”Aku diam mematung, memandangi Dipta saat ia berjalan melewatiku. Ia melempar tas kerjanya dengan kasar di sofa ruang tengah. Sejak kami berteman, aku belum pernah melihat Mahesa Dipta semarah itu.“Kemasi semua pakaian Livia ke dalam kardus,” lanjutnya. “Aku akan bakar semuanya besok.”Saat kudengar bunyi pintu kamar Dipta terbanting keras, aku tahu bahwa apa yang dijalani Livia dan Dipta tidak seindah yang kukira. Dan, dapat jelas kubayangkan hal yang sama akan terjadi pada penikahanku juga.Dipta sama sekali tidak keluar kamar setelah kemarin sore ia membanting pintu dengan kerasnya. Padahal aku sudah menunggunya di meja makan. Terpaksa kusimpan kembali dalam lemari pendingin sepanci sup ayam yang susah payah kusiapkan seharian tadi. Kerupuk emping yang sudah terlanjur digoreng, kuhabiskan semuanya sambil memandangi televisi. Kapan lagi bisa kukuasai benda itu tanpa harus berbagi tayangan dengan pemiliknya yang hanya gemar memutar siaran berita. Pagi ini aku berdiri di depan pintu kamar Dipta dengan jemari kanan yang siap mengetuk. Sinar matahari sudah hampir mencapai jendela dapur dan ia belum juga bangun. Biasanya lelaki itu sudah duduk untuk sarapan bahkan sebelum pukul tujuh.Wajah Dipta muncul setelah kuputuskan untuk membangunkannya dengan resiko apa pun. Hanya ada dua kemungkinan yang akan kuhadapi. Jika aku tidak membangunkannya, kemungkinan besar ia akan marah karena pasti terlambat untuk berangkat kerja. Jika aku membangunkannya, kemungkina
Aku terjaga dengan rasa pusing yang teramat sangat. Samar bisa kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi. Kuraba perlahan ke arah samping, dan cepat beralih pada posisi duduk saat tak kutemukan Muffin di sebelahku. Rasa panik mendera seketika, tetapi langsung sirna saat tersadar bahwa aku tidak sedang berada di rumah Dipta.Aku ingat, malam tadi sebelum tidur Bunda mengambil Muffin dari dekapanku. Beliau mempersilahkanku menangis semalaman tanpa harus memikirkan Muffin. Kata Bunda, biasanya setelah air mata tumpah ruah, hati kita akan terasa lebih cerah.Seminggu lalu, setelah satu jam berkeliling tanpa tujuan dalam taksi online yang kupesan, akhirnya kuputuskan untuk kembali saja ke rumah Ayah. Ide untuk melaju ke bandara dan terbang ke Palembang terpaksa kusingkirkan. Muffin masih terlampau kecil, aku pun tidak yakin bisa mengurusnya sendirian dalam kondisi labil.Aku tidak sedekat Livia pada Bunda, tetapi beliau segera tahu apa yang terjadi saat aku datang dengan menenteng s
Aku tidak mengerti mengapa Muffin berubah gelisah malam ini. Aku mengira mungkin ia kurang nyaman harus tidur di kamar yang berbeda. Mungkin juga insting bayinya memberi isyarat bahwa sang pemilik kamar tidak benar-benar menerima kehadirannya. Berkali-kali ia terbangun saat kuletakkan dalam ranjang bayinya, dan kembali terlelap saat kubaringkan di sampingku. Memang salahku tidak membiasakannya tidur terpisah sejak lahir. Salah ayahnya juga mengapa tidak menyediakan tempat tidur untuk bayinya sedari awal kelahiran.Sudah hampir pukul sebelas malam saat Dipta masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Pasti ia kesal mendengar rengekan Muffin yang berulang-ulang. Aku sempat merasa bersalah, tetapi cepat menyadari bahwa Dipta pun seharusnya ikut mengatasi kerewelan Muffin.“Ia tidak mau dipindahkan ke tempat tidurnya sendiri,” keluhku putus asa saat Dipta menatap aneh pada mahkluk kecil yang menguasai tengah ranjangnya. “Mungkin ia masih asing di kamar yang baru.”Dipta berdiri terpaku denga
Aku mengira Dipta akan seterusnya bersedia menggendong Muffin setelah kejadian panas tinggi yang lalu, tapi ternyata tidak. Meskipun begitu, aku dapat merasakan cara Dipta memandang dan menanggapi semua aktivitas Muffin sudah lebih lunak dari sebelumnya. Tak sekali dua kali aku memergoki lelaki itu mengalihkan pandang dari ponselnya sekadar untuk memperhatikan Muffin.Si kecil Muffin sudah genap empat bulan hari ini, sudah bisa menelungkup sendiri dan mengangkat kepalanya. Ia juga sudah mulai mengoceh setiap kali diajak bicara. Semua perkembangan Muffin membuatku sangat senang. Aku juga tidak perlu selalu menggendongnya setiap saat. Muffin sudah mulai teralihkan dengan beragam mainan yang tersebar di sekitar matrasnya.Sejujurnya bukan hanya bertambahnya kepintaran Muffin yang menerbitkan rasa gembira. Perkembangan hubunganku dengan Dipta juga menumbuhkan benih-benih bahagia di hatiku. Jika dulu di setiap hari libur Dipta kerap berkeliaran, kini tidak demikian. Sudah dua kali hari Min
Ayah pernah mengingatkan, salah satu cara untuk mengatasi amarah–saat dirimu sedang dalam posisi duduk- adalah dengan berbaring. Ibu pernah mengatakan, jika dirimu sedang berusaha mengurai emosi, maka cobalah berhitung mulai dari angka 1 hingga 10. Apabila belum berhasil, lakukan terus hingga mencapai angka di mana rasa kesalmu sudah mereda.Dan, hal itulah yang sedang kulakukan sekarang, berbaring menatap langit-langit sambil melafalkan dalam hati angka 125. Syukurlah setelah melewati angka itu denyut nadiku sudah tak secepat tadi. Kucoba untuk menarik napas panjang, kemudian mengembusnya perlahan.Dipta masih memunggungiku. Aku yakin lelaki itu belum tidur. Dengkuran halusnya belum terdengar. Pasti ia masih berkutat dengan isi kepalanya persis sepertiku.“Aku sedang mengingat-ingat saat Kak Dipta melamarku.“ Kucoba mengajaknya berbincang setelah berpikir berulang. “Kak Dipta bilang kita melakukan ini untuk Muffin, bukan begitu?”Tidak ada jawaban. Dipta masih bergeming. Mungkin ia s
Aku memilih untuk menutup kotak milik Dipta tanpa berani mencari tahu lebih lanjut tentang apa-apa yang ia simpan. Hasratku untuk meneruskan pencarian bukti musnah sudah. Kenangan-kenangan masa lalu kami bersama Mahesa Dipta malah terus-menerus bermain di kepalaku. Mungkin lain waktu akan aku lanjutkan lagi, setelah perasaan-perasaan sedih di hatiku pergi.Salah satu kenangan yang terus membekas dalam ingatanku adalah ketika pertama kali aku bertemu Mahesa Dipta. Saat itu tugas sekolahku sedang tidak berada dalam level manusiawi. Hafalan juga sedang menumpuk. Berkali-kali kucoba untuk menyimpan di dalam memori otak beragam angka tahun perjanjian pasca kemerdekaan dari buku sejarah. Namun, bagaimana bisa berhasil jika di depanku Livia sedang berlenggak-lenggok menari mengikuti irama lagu sambil berkaca. Jika ini menyangkut angka-angka pertidaksamaan linear, aku tidak peduli Livia akan berjingkrak diiringi musik sekeras apa pun. Semua dapat kuselesaikan dengan mudah.Kuputuskan untuk pi
Setiap orang yang pertama kali bertemu denganku, pasti akan menganggapku cantik. Wajahku oval dengan kulit kuning langsat. Tulang hidungku tinggi, terlihat seimbang dengan bentuk pipiku. Bibirku proporsional, dengan gigi-gigi yang terlihat rapi saat aku tersenyum. Rambutku hitam panjang tergerai. Bulu mataku lebat meskipun tidak terlalu lentik.Sayangnya, pendapat itu akan terbantahkan saat Livia muncul di saat yang sama. Orang-orang akan mulai membandingkan bibir Livia yang lebih mungil dariku, alis Livia yang lebih rapi, hidung Livia yang lebih mancung, dan bulu matanya yang lebih lentik. Mereka juga bilang, saat Livia tersenyum seolah-olah apa saja yang berada di sekitarnya pun turut tersenyum.Orang-orang lain berpendapat seperti itu, tetapi tidak dengan Ibu.Sejak umurku menginjak sepuluh tahun dan aku mulai mengerti apa artinya cantik, aku mulai kehilangan percaya diri setiap harus berdampingan dengan Livia. Ibu selalu memelukku setiap aku berkeluh kesah seperti itu. Menurut Ibu
Dipta akan pulang hari ini dari Surabaya. Pagi tadi setelah subuh ia mengabariku sekaligus menanyakan apakah aku ingin dibawakan sesuatu dari sana. Dulu setiap ia akan kembali ke Jakarta pada libur semester, Dipta juga rajin membelikanku jajanan serta pernak-pernik lucu. Bukan hanya untukku sebenarnya, karena Livia juga selalu dapat bagiannya. Aku pernah menolak pemberian Dipta dengan alasan pemborosan, tetapi ia bilang tak mengapa. Upahnya dari hasil kerja sampingan sengaja ia kumpulkan untuk hal tersebut. Lagi pula uang saku yang ia terima dari ayahnya sudah lebih dari cukup.Saat-saat menunggunya pulang liburan adalah saat yang mendebarkan. Penampilannya jadi banyak berubah. Lebih santai dan semakin dewasa. Rambutnya yang biasanya terpangkas pendek, dibiarkan memanjang sembarangan saat pertama kali ia pulang. Tubuhnya sedikit terlihat lebih kurus. Dipta bilang itu karena ia banyak bergaul dengan kelompok pecinta alam dan sering pergi mendaki gunung saat akhir pekan.Kami mulai seri
Rasanya aku tidak ingin percaya pada apa yang baru saja diucapkan Dipta. Bagaimana mungkin Ayah yang memintanya. Tega sekali beliau melakukan itu, menganaktirikan aku dan memprioritaskan Livia bahkan sampai pada perihal memilihkan jodoh untuk kami berdua. Aku perlu tahu alasannya kali ini.“Livia menderita sebuah penyakit yang sulit untuk disembuhkan,” ucap Dipta masih dengan raut wajah tersiksa. “Ayah bilang hanya aku lelaki yang bisa ia percaya untuk menitipkan Livia.”“Penyakit apa?” desakku tidak sabar. Aku tidak yakin hanya karena alasan itu. Aku tahu sejak dulu hanya ada Livia di hati Ayah.“Sebaiknya kamu menanyakan langsung pada Ayah,” lanjut Dipta. “Aku tidak berhak menjelaskannya, lebih tepatnya tidak ingin mendahului Ayah.”“I can’t believe this,” bisikku kalut. “Apakah Mas Dipta tidak mencoba membantah Ayah saat itu?”Dipta menggeleng lemah. “Ayah menangis panik. Aku tidak punya pilihan.”“Bahkan untuk mengatakan siapa yang sebenarnya Mas Dipta cintai?” tanyaku tak percaya
Dipta benar-benar tidak menyia-nyiakan perbincangan masa subur yang ia tanyakan sore tadi. Di balik sikapnya yang manis dan lembut, selalu tersimpan tanya di hatiku, bagaimana lelaki ini bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Apakah semua lelaki dikarunia cinta yang begitu besar sehingga cukup untuk dibagi.“Benar begitu?” Tanpa kusadari apa yang terpikir, ternyata terucap di bibir.“Apanya yang benar, Sayang?” Dipta merenggangkan peluknya agar bisa memandang wajahku. “Bahwa aku mencintaimu, itu benar.”“Dan tetap bisa mencintai yang lain di saat yang sama?” lanjutku dengan kelancangan yang kusengaja.“Aku tidak pernah mencintaimu dan Livia di saat yang sama jika itu yang kamu maksud,” jawabnya lugas. “Kalian berada di tempat yang sama, di waktu yang berbeda, dengan kadar yang berbeda.” Dipta meraih jemariku untuk ia letakkan di dadanya.“Maaf jika aku harus mengungkit ini kembali, Mas,” bisikku sedih. “Pikiran itu selalu datang dan pergi berulang-ulang sesuka hatinya.”“Pikiran yang
Sudah berkali aku mencari, tetapi memang tidak ada identitas apa pun yang ditinggalkan si pengirim di dalam kotak tersebut selain tulisan yang memuat tanda tangannya pada kartu ucapan. Harusnya tadi aku menahan sebentar si kurir pengantar. Aku baru sadar setelah ia terlanjur beranjak, bahwa kurir tersebut bukanlah seperti petugas ekspedisi yang selama ini sering datang. Sepertinya ia memang ditugasi hanya untuk mengantar kotak itu.Aku tidak mengira Livia bisa senekat itu, pergi sendiri tanpa ditemani untuk menemui laki-laki lain. Dipta pasti sudah lebih dulu mencium gelagat perselingkuhan ini. Menyedihkan kalau itu yang benar terjadi. Entah apakah aku harus memberi tahu Dipta mengenai foto-foto ini.Sedikit ragu merasuki hatiku saat melihat Dipta pulang dengan wajah letih, meskipun begitu ia masih sempat menggodaku dengan kecanggunganku menyebutnya dengan panggilan baru kami. Panggilan baru untuknya sebenarnya.“Tadi kebetulan lewat,” jelasnya saat kutanyakan di mana ia membeli singk
Harusnya bisa jika aku lanjut bertanya, seperti sejak kapan Dipta mencintai Livia, alasan apa yang membuatnya bisa mencintai kami berdua sekaligus, atau mungkin siapa yang lebih ia cintai, aku atau Livia. Namun, entah mengapa timbul rasa tidak tega saat raut wajah lelaki yang sebelah lengannya masih memelukku itu seperti sedang mengemban beban yang sangat berat. Dahinya berkerut hebat, menandakan ia tidak bahagia saat menyatakan kejujuran-kejujuran lain yang kupaksa terlontar.“Aku tidak mampu menceritakan secara lengkap, tetapi jika kamu ingin bertanya, tanyalah satu per satu,” lanjutnya perlahan. “Sebisa mungkin aku jelaskan.”Menanyakan satu per satu dan harus merangkai benang merahnya sendiri pasti akan semakin memancing kecewa. Bagaimana jika nanti ia mengakui lebih mencintai Livia ketimbang aku? Hatiku bisa berdarah-darah mendengarnya.“Mungkin tidak sekarang,” putusku akhirnya. “Tapi pasti suatu saat aku akan bertanya tentang hal itu.”“Anytime, Dear.” Dipta mengurai anak rambu
Rasa lega yang awalnya menyelimuti hatiku mendadak berubah kecewa saat kudapati aplikasi percakapan dan sosial media pada ponsel Livia ternyata tetap dilindungi oleh sederetan kata kunci. Bersamaan dengan itu, kecurigaan yang kerap diutarakan Mahesa Dipta mengenai isu perselingkuhan Livia perlahan merebak di pikiranku. Jarang sekali pengguna ponsel mengunci aplikasinya apabila telah memasang kunci layar. Dan, menemukan kombinasi angka itu bukanlah hal yang mudah untuk ditelusuri dalam waktu singkat. Aku terpaksa menyelamatkan ponsel ini sementara waktu.Lian memahami saat kuberitahu banyak akun yang harus dilakukan pelaporan terkait wafatnya Livia. Si bungsu itu tertawa semringah saat kuizinkan memilih ponsel baru yang ia sukai pada aplikasi toko online. Satu hal yang aku kagumi dari Lian. Meskipun ia anak lelaki bungsu, tetapi sikapnya tidak manja dan selalu menghormati aku dan Livia sejak dulu. Mungkin karena sedari kecil ia sudah merasakan bagaimana sedihnya ditinggal Ibu.Jemariku
Semua opsi yang ditawarkan Mahesa Dipta ternyata hanya berakhir di tempat yang sama hingga hampir tengah hari. Meskipun sedikit berbeda dengan semalam yang lebih banyak menguras aktivitas, sepanjang pagi ini hingga menjelang siang kami lebih sering berpelukan dan bercerita. Seolah tiada habis lembar demi lembar yang selama ini tersimpan, satu per satu terlontar untuk disampaikan.Aku yang lebih banyak berbicara, menanyakan apa-apa yang selama ini tertahan. Dipta lebih banyak tersenyum dan tertawa, menjawab dengan sabar hampir semua yang kuminta penjelasan. Termasuk saat kutanyakan mengapa ia pernah mengatakan akan secepatnya mencari perempuan lain andai waktu itu aku menolak menikah dengannya.“It was just a trick, actually,” ujarnya santai. “Aku sudah kehabisan cara untuk mengirim sinyal ke hatimu.”“Cerdas sekali.” Aku pura-pura merengut kesal. “Termasuk semua sikap dingin Kak Dipta padaku di awal kita menikah?” tanyaku.“Termasuk itu.” Ia membenarkan sambil tersenyum tipis. “Entah
Pelukan dari lelaki yang berbaring di sampingku merenggang seiring dengan sorot matanya yang meredup. Aku sadar baru saja merusak suasana dengan pertanyaanku yang mungkin tidak pada tempatnya. Bagaimana lagi, apa yang diungkapkan Mahesa Dipta sungguh tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan aku berhak menanyakannya, bukan?“Haruskah aku jawab sekarang?” ucapnya sambil menarik lengannya yang sejak tadi kupakai sebagai alas berbaring. “Karena penjelasanku pasti akan membuat kita berdua sedih.”Aku terdiam sejenak. Perlahan tapi pasti semuanya mulai menuju titik terang. Bukan hanya aku yang ternyata harus menggadaikan rasa cinta. Juga dia, lelaki yang terpaksa meminggirkan rasa sayang yang ia simpan untukku bertahun-tahun.“Ada hal yang sebenarnya lebih baik untuk tidak kita ketahui, Lira,” lanjutnya. “Jika aku jadi kamu, maka aku akan memilih itu.”Meski tidak sepenuhnya setuju, paling tidak saat ini Dipta sudah berniat baik untuk menjelaskan. Aku pun sebenarnya meragukan ketegaran h
Sudah hampir pukul sepuluh malam saat mobil Dipta akhirnya terparkir di garasi. Seperti biasa aku langsung bersiap turun. Pintu yang sudah terlanjur terbuka, akhirnya kututup kembali saat melihat Dipta malah menurunkan sedikit sandaran kursi dan mengatur posisi jok agak menjauh dari arah pijakan pedal.“Mau ke mana buru-buru?” tegurnya sambil melirik ke samping.“Menghubungi Bunda dari telepon rumah,” jawabku. “Ponselku tertinggal di tas perlengkapan Muffin.”“Mau bilang apa?” Ia mengulurkan ponselnya dari saku. “Pakai ini saja.”“Mau bilang maaf kalau tidak bisa menjemput Muffin malam ini,” ujarku sedikit bingung.“Tidak perlu kalau soal itu,” ujarnya cepat. “Sebelum berangkat tadi aku sudah berpesan pada Bunda bahwa kita pulang larut dan tidak akan menjemput.”Aku kembali duduk bersandar. Dipta sudah merencanakan semuanya sampai sejauh ini. Ia bahkan sengaja mengatur agar hanya ada kami berdua di rumah malam ini. Menyesal sekali tak kusempatkan benar-benar membersihkan diri. Waktuku
Tak pernah sebelumnya kulihat Dipta memandangku seperti itu. Tepatnya menatapku seperti sedang menahan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Aku jadi bingung untuk bersikap, suasana di sekitarku yang tadinya terasa gembira, kini berubah mencekam saat ia muncul.“Teman lama?” tebaknya seolah memberiku isyarat agar aku mengenalkannya pada Fahmi. “Mahesa Dipta,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.“Ini Fahmi, anak Pak Kemas atasanku dulu di kantor,” jelasku berusaha tersenyum. “Dulu pernah satu kali bertemu sewaktu Fahmi pulang ke Palembang.”“Saya juga lupa-lupa ingat wajah Lira, makanya tadi saya sapa untuk memastikan.” Fahmi menjelaskan bagaimana awalnya kami bisa terlibat obrolan akrab.Masih dengan rupa yang dihiasi senyum ketat, Dipta menarik sebuah kursi dari sebelahku dan meletakkannya di antara aku dan Fahmi. Sebelah lengannya Dipta letakkan di sandaran kursiku, bagai ingin mengirim sinyal pada Fahmi bahwa tidak ada celah bagi pria itu untuk mengajakku berbincang seperti sebelu