Kerumunan perlahan bubar dan rombongan Nadine bersiap menuju ke ruang pameran berikutnya. Namun, begitu mereka berbalik, tanpa sengaja mereka bertemu langsung dengan Rebecca.Kelly yang melihat kejadian itu, langsung berseru dramatis, "Wah!"Ekspresi Nadine tetap tenang dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain dengan santai.Bagi Nadine, Rebecca kini hanyalah orang asing. Tidak ada lagi kewajiban untuk bersikap sopan, bahkan untuk basa-basi sekalipun. Bertemu tanpa saling menyapa adalah pilihan terbaik untuk menghindari kecanggungan.Namun yang mengejutkan, Rebecca justru melangkah maju dan menyapa dengan senyuman canggung, "Nadine, kamu juga lagi jalan-jalan ya?"Jeremy dan Irene saling bertukar pandang. Kenalan? Namun, mereka belum pernah mendengar Nadine menyebut nama Rebecca. Kedua orang tua itu pun langsung merasa penasaran tentang siapa wanita ini.Melihat situasi itu, Kelly mendekat dan berbisik pelan di telinga mereka untuk menjelaskan situasinya.Mendengar itu, ekspresi Ire
Nadine segera merangkul lengan Irene sambil berkata, "Kita jarang sekali punya kesempatan keluar begini. Tentu saja aku ingin bawa kalian makan sesuatu yang spesial."Irene tersenyum kecil karena tidak ingin merusak suasana. Namun, saat Jeremy masuk ke restoran dan melihat menu, dia hampir terperanjat dari tempat duduknya."Ini ... ini ... steik termurah saja harganya dua juta lebih?"Nadine buru-buru menenangkannya, "Aku punya kartu anggota, nanti bisa dapat diskon.""Oh, begitu ya. Ya sudah ...." Jeremy kembali duduk, menyesap air lemonnya untuk menenangkan diri, lalu bertanya santai, "Diskonnya berapa persen?""Diskonnya lima persen.""Pfftt!!!" Jeremy hampir menyemburkan air lemon dari mulutnya."Ayah! Jaga sikap dong! Ingat, kita harus tetap berwibawa!" Nadine mengingatkannya sambil menahan tawa.Sementara itu, Kelly yang duduk di samping mereka sudah tertawa terbahak-bahak hingga perutnya sakit.Saat makanan disajikan, aroma dan rasanya membuat Jeremy terpaksa mengakui bahwa maha
Setelah makan, Kelly mendapat panggilan telepon dan harus pergi, sementara Nadine membawa orang tuanya pulang.Meskipun sudah jalan-jalan seharian dan sangat lelah, Jeremy tetap bersemangat saat melihat foto-foto di ponselnya."Aku kasih tahu ya, piala dan piring enamel emas ini ... dan kalung berlapis perak ini ...." Suara Jeremy memenuhi seluruh koridor.Irene jarang sekali melihatnya bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Dia sampai tidak bisa menahan diri untuk tersenyum.Sepanjang perjalanan, Nadine hanya menjadi pendengar yang baik. Dia hanya memberi respons saat diminta.Tiga orang itu mengobrol sambil naik sampai ke lantai tujuh. Nadine mengeluarkan kuncinya dan siap untuk membuka pintu.Saat ini, pintu di seberang terbuka."Eh? Arnold, mau keluar ya?" sapa Jeremy dengan ramah.Nadine spontan menoleh dan bertemu dengan tatapan Arnold yang penuh senyuman. Hari ini, dia mengenakan kaus putih dengan celana kasual khaki. Sederhana, tetapi bersih dan dewasa.Ini pertama kalinya merek
Mendengar ini, Rebecca kembali teringat pada keluarga Nadine yang ditemuinya hari ini. Dia memandang lampu kristal yang menggantung di langit-langit, lalu bergumam pelan, "Seandainya aku tahu akan seperti ini, lebih baik dulu aku terima Nadine saja ...."Setidaknya, Rebecca tidak akan bertemu ibu yang menyebalkan dan adik yang rendahan seperti itu.Clarine juga menghela napas. "Ya ...."Jika dulu ibunya menerima Nadine, mungkin sekarang anak Nadine dan Reagan sudah besar. Selain itu, Clarine tidak perlu bersaing dengan Nadine dalam memperebutkan kuota.Sayangnya, waktu tidak bisa diputar kembali.....Kelly menerima telepon dan segera meninggalkan restoran. Saat pergi, dia membayar tagihan dan memperingatkan Nadine, "Aku yang traktir Paman dan Bibi kali ini. Jangan coba-coba berebut denganku."Setelah itu, Kelly buru-buru keluar dan menginjak pedal gas hingga menghilang dari pandangan. Setengah jam kemudian, mobil berhenti di bawah gedung Maple Entertainment.Seorang pemuda berdiri di
Denver duduk di samping Kelly dengan patuh, lalu mengangkat gelasnya dan mulai bersulang dengan satu per satu orang di meja."Maaf, aku terlambat. Aku akan bersulang untuk kalian semua." Denver langsung meneguk tiga gelas sebagai permintaan maaf. Kemudian, dia tersenyum dan mengobrol.Hari ini, tokoh utamanya adalah seorang pria paruh baya yang duduk di kursi utama. Dia adalah bos dari Raize Entertainment, juga seorang investor terkenal di dunia hiburan, Zayn.Pandangan Zayn tertuju pada Kelly. Dia tersenyum sambil bertanya, "Kelly, sejak kapan kamu tertarik dengan bisnis dunia hiburan?""Aku nggak tertarik, cuma main-main saja.""Main-main juga nggak masalah, yang penting senang. Kamu butuh bantuan?" Zayn tidak meladeni Denver yang sedang bersulang. Dia hanya fokus berbincang dengan Kelly."Terima kasih, Paman. Aku nggak begitu memahami industri kalian, jadi jangan menggodaku lagi."Zayn adalah teman baik ayah Kelly, Dexter. Makanya, Kelly memanggilnya dengan sebutan paman.Denver men
Denver terhuyung sejenak. "Kelly, aku nggak begitu .... Manajerku yang bilang kamu ....""Apa yang dia bilang nggak penting, yang penting adalah kamu yang membawaku ke pertemuan makan malam ini dan kamu juga memanfaatkanku untuk bicara dengan Paman Zayn, 'kan? Apa semua ini juga ajaran manajermu? Kalau begitu, dia sangat bertanggung jawab!""Kelly, dengarkan penjelasanku .... Aku nggak mempermainkanmu atau memanfaatkanmu. Aku benaran takut datang ke acara seperti ini, makanya aku memintamu menemaniku ....""Takut? Aku lihat kamu bergaul dengan semua orang di dalam sana. Kamu sangat menikmatinya. Begini yang namanya takut?""Aku ...." Denver tidak bisa berkata apa-apa."Kita akhiri sampai di sini. Kelak kalau ketemu, anggap saja kita nggak saling kenal," ujar Kelly sambil berbalik dan berjalan pergi.Tiba-tiba ...."Kamu mau mencampakkanku?" Suara pria itu terdengar dingin dan rendah, seolah-olah berasal dari neraka. "Kamu pikir semudah itu?"Kelly menoleh untuk melihat. Denver yang sel
Teddy menyunggingkan bibirnya dan mengejarnya. Pacarnya baru saja putus cinta, bukankah dia seharusnya memberi perhatian?....Denver kembali ke meja makan dengan wajah lesu. Dia berusaha tersenyum dan terus bersulang kepada para bos.Kelly tidak menginginkannya lagi dan dia juga tidak bisa memaksanya. Jadi, pertemuan makan malam ini adalah kesempatan terakhirnya."Pak Philip, kita sudah beberapa kali bertemu. Hari ini pertama kalinya aku bisa bersulang untukmu. Semoga ke depannya kamu bisa membimbingku."Pada beberapa pertemuan sebelumnya, Denver tidak berkesempatan untuk mendekati para investor besar, apalagi bersulang untuk mereka.Philip tersenyum tipis dan menyilangkan tangannya. "Siapa namamu? Aku lupa.""Denver.""Oh, Denver. Kelihatannya kamu kuat minum ya?""Oh, nggak juga. Aku cuma bisa minum sedikit.""Dengar-dengar, hari ini kamu datang untuk merebut peran di drama yang dipegang oleh Pak Zayn?"Ekspresi Denver tiba-tiba menjadi serius. "Apa maksudmu, Pak?""Kami bisa saja m
"Kalau begitu, kamu salah. Yang lainnya aku nggak tahu, tapi hatiku ... kuat seperti batu."Teddy tidak tahan dan tertawa terbahak-bahak."Cih, kenapa kamu terus tertawa?" Kelly merasa kesal."Kalau begitu, aku harus nangis?""Boleh saja, aku akan kasih kamu tisu nanti."Teddy mengeluarkan pemantik rokok. Kelly langsung melambaikan tangan. Teddy menyerahkan pemantik rokok itu, mengira Kelly akan menyalakan rokoknya untuknya. Namun, ternyata ....Plak! Kelly memukul tangan Teddy. "Aku butuh rokok! Kenapa kamu kasih aku pemantik? Kamu ini nggak paham situasi ...."Teddy terkejut. Dia menyalakan rokok untuk dirinya sendiri. Kali ini tanpa perlu diingatkan oleh Kelly, dia langsung membantu menyalakan rokoknya.Api membumbung, menerangi wajah wanita itu. Kelly menunduk dan menggigit ujung rokok. Bibir merahnya menekan rokok itu, meninggalkan bekas lipstik yang jelas.Teddy sungguh terpesona."Hei, matikan apinya.""Ah? Oh!" Teddy segera menyimpan pemantik api itu kembali ke kantong celanany
Aditya tidak bisa merespons!Nadine berkata, "Pak Stendy, kamu sudah bisa melepaskan tanganmu sekarang."Stendy tersenyum tipis, seolah-olah baru menyadari sesuatu. Namun, bukannya melepaskan, tangannya yang tadi hanya menggantung di udara kini benar-benar merangkul bahu Nadine.Tubuhnya ramping dan mungil. Bahkan melalui jaket tebal, dia masih bisa merasakan betapa kurusnya gadis itu.Aroma samar dari tubuh Nadine tanpa sadar menyusup ke dalam hidung. Seluruh tubuh Stendy menegang.Detik berikutnya, Nadine berputar dengan lincah dan meloloskan diri dari pelukannya. Stendy bereaksi cepat. Begitu melihatnya kabur, dia segera mengulurkan tangan, berniat menariknya kembali.Yang satu kabur, yang satu mengejar. Yang satu menghindar, yang satu memburu.Nadine akhirnya kesal. "Stendy! Kamu belum selesai juga?"Stendy tersenyum semakin lebar. "Bagus, akhirnya kamu nggak memanggilku Pak Stendy lagi."Di saat keduanya sedang berselisih, tak jauh dari sana di bawah cahaya lampu jalan, Arnold ber
Di bawah cahaya lampu jalan, Nadine, Aditya, dan Stendy berjalan sambil mengobrol. Angin malam berembus kencang. Napas mereka berubah menjadi uap putih yang melayang di udara."Nad, mau minum teh susu? Aku traktir." Aditya tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih.Nadine hendak menjawab. Tiba-tiba, seorang pemuda berjalan ke arahnya dan berhenti di depan mereka.Di bawah tatapan bingung mereka bertiga, pria itu seperti sedang melakukan trik sulap. Dia mengeluarkan sebuket mawar dari belakangnya dan menyodorkannya kepada Nadine."Ha ... halo! Aku mahasiswa pascasarjana tahun ketiga di Universitas Teknologi dan Bisnis. A ... aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Ini bunga untukmu, semoga kamu suka!""A ... apa kita boleh bertukar kontak? Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tahu ini terlalu mendadak. Aku sendiri juga nggak bisa percaya, tapi ... memang itu yang terjadi. Aku harap kamu bisa memberiku kesempatan ...."Nadine sama seka
"Semua berkat dua tim konstruksi dari Pak Stendy yang sangat membantu."Awalnya, mereka hanya dipinjam untuk pekerjaan konstruksi dasar. Namun, Aditya segera menyadari bahwa dirinya telah meremehkan kemampuan mereka. Selain pekerjaan konstruksi, tim ini juga sangat ahli dalam renovasi dan evaluasi material.Jadi, setelah pekerjaan konstruksi dasar selesai, Aditya memutuskan untuk tidak mengembalikan mereka kepada Stendy. Sebaliknya, mereka langsung melanjutkan ke tahap renovasi interior dan pemasangan sistem kontrol pintar."Pak Stendy nggak masalah, 'kan?"Mendengar itu, Nadine juga menoleh ke arah Stendy mengikuti Aditya.Ketika Stendy bertemu dengan tatapan Nadine, dia tersenyum tipis. "Aku nggak masalah." Selama Nadine meminta, berapa pun orang yang dibutuhkan, dia bisa mengaturnya."Terima kasih, Pak Stendy.""Panggil Kak Stendy."Nadine termangu. Lagi-lagi ini.Aditya bersuara, "Hehe .... Terima kasih, Kak Stendy."Stendy seketika tidak bisa berkata-kata.Setelah hampir selesai m
Setelah menenangkan Freya, Nadine membantunya membersihkan tubuh. Sebelum pergi, dia juga mengingatkan agar Freya menunggu sampai infusnya habis dulu sebelum mengurus administrasi kepulangan.Sebelum meninggalkan rumah sakit, Nadine memanggil Tasyi dan berkata, "Aku sudah bicara dengan Bu Freya. Besok akan ada mobil yang menjemput kalian ke tempat pemulihan. Selama di sana, aku titip beliau padamu ya."Tasyi langsung tersenyum lega. "Memang cuma kamu yang bisa mengatasinya! Aku sudah mencoba membujuk dan menasihati berulang kali, tapi dia tetap nggak mau mendengar. Untung ada kamu! Tenang saja, aku pasti menjaga Bu Freya dengan baik!""Terima kasih, Kak Tasyi.""Ah, nggak usah berterima kasih. Ini memang tugasku."Setelah Nadine pergi, Tasyi masuk kembali ke kamar pasien. Freya melirik ke arah pintu. "Dia sudah pergi?""Iya, sudah. Sebelum pergi, dia menitip pesan agar aku menjagamu baik-baik. Nadine benar-benar perhatian."Freya mengangguk pelan. "Dia anak yang baik. Aku yang nggak gu
"Jadi, siapa sebenarnya yang menelepon pagi kemarin? Sampai membuatmu marah hingga masuk rumah sakit.""Hmph!"Nadine tetap tenang. "Biar aku tebak ... Dekan? Seharusnya bukan dia, dia nggak akan repot-repot mengurus hal sepele seperti ini. Kalau begitu ... Wakil Dekan? Tapi, aku dengar dia baru saja kena sanksi karena ada keluhan dari sponsor. Seharusnya dia akan menjaga sikapnya untuk waktu yang lama ...."Sampai di sini, Nadine berhenti sejenak. Bola matanya berputar. "Kalau kedua orang itu sudah dikesampingkan, berarti di seluruh Fakultas Ilmu Hayati, satu-satunya orang yang bisa membuatmu semarah ini adalah Diana."Benar saja, begitu mendengar nama itu, mata Freya langsung melotot karena marah. "Jangan sebut nama dia di depanku!"Nadine mengangguk. "Satu-satunya orang yang bisa melakukan hal kekanak-kanakan seperti ini memang hanya dia.""Kekanak-kanakan? Kalau dia nggak bilang, aku sampai sekarang masih nggak tahu! Masa kamu menyembunyikan masalah sebesar perbaikan sistem keamana
"Kenapa? Kok melihatku seperti itu?"Nadine tersenyum. "Nggak apa-apa, cuma tiba-tiba merasa kalau kamu sangat baik."Benar-benar baik, sangat baik."Ayo jalan, jangan berdiri di sini. Nggak dingin?" Arnold tertawa.Nadine menggosok tangannya. "Sedikit."....Hari Sabtu tiba lagi. Nadine bangun lebih pagi, membuat sandwich untuk diri sendiri, menyiapkan susu kedelai untuk sarapan.Saat Arnold hendak keluar, Nadine menyerahkan kantong kertas berisi sandwich dan susu kedelai kepadanya.Arnold menatapnya. "Sarapan?""Hmm!""Kebetulan aku belum makan. Terima kasih."Arnold akan pergi ke laboratorium, begitu juga Nadine. Namun, dia akan merapikan rumah terlebih dahulu sebelum berangkat.Sebelum sempat menyelesaikan pekerjaannya, ponselnya berdering. "Halo?""Nadine! Ini Kak Tasyi! Cepat ke rumah sakit, Bu Freya ...."Di kamar rawat, Nadine bergegas mendorong pintu. "Bu?"Dia melihat Freya berbaring di ranjang rumah sakit dengan infus di tangannya, sementara Tasyi mondar-mandir dengan cemas.
Sopir mengarahkan mobil ke tepi jalan dan berhenti perlahan. "Nyonya."Yenny masuk ke mobil dan menghela napas dengan kecewa. "Kita pulang."Di saat mobil melaju pergi, Arnold dan Nadine baru saja menyeberang jalan dengan membawa kantong belanjaan.Mereka dan mobil itu berpapasan begitu saja."Biar aku saja yang bawa." Sambil bicara, Arnold mengambil semua kantong belanjaan dari tangan Nadine.Nadine tidak berdebat karena percuma. Lagi pula, memang cukup berat.Begitu sampai di ujung gang, Arnold tiba-tiba bertanya, "Kamu sudah mulai terbiasa di Universitas Teknologi dan Bisnis?"Nadine mengangguk. "Laboratoriumnya bukan cuma lengkap, tapi juga luas. Pak Moesda juga baik dan para senior di bawah bimbingannya sangat perhatian. Saat mengambil bahan penelitian, mereka selalu membantu kami mendaftarkannya."Namun, pada akhirnya Nadine tetap membayar semua bahan penelitian itu sesuai daftar harga. Bisa memakai laboratorium secara gratis saja sudah cukup membuatnya merasa tidak enak hati. Ma
Arnold bergerak cepat. Setelah selesai merapikan dapur, dia keluar ke ruang tamu dan melihat Nadine sudah selesai mengupas buah dan menyusunnya di piring."Kubilang jangan melakukan ini, kamu malah melakukan itu ya?" Dia menggeleng dengan pasrah.Nadine menusuk sepotong apel dengan tusuk gigi dan menyerahkannya pada Arnold. "Hidup itu harus aktif bergerak, aku nggak mau jadi pemalas."Arnold menerimanya."Oh ya, aku harus buang sampah. Nanti turun bareng ya?""Oke."Setelah membuang sampah, Nadine teringat bahwa kulkas di rumahnya sudah kosong. Belakangan ini, dia sibuk dan tidak sempat belanja. Jadi, dia mengusulkan untuk pergi ke supermarket.Arnold langsung setuju. Tanpa mereka sadari, begitu mereka pergi, Yenny tiba di ujung gang. "Oke, berhenti di sini saja. Mobil nggak bisa masuk lebih jauh."Sopir mengangguk. "Baik, Nyonya."Yenny membuka pintu mobil, lalu tiba-tiba berhenti sebentar dan mengeluarkan sepatu datar yang sudah disiapkan sebelumnya. Hampir saja dia lupa membawanya.
Saat Nadine melewati rak pakaian di dekat pintu, matanya tertuju pada setelan jas yang tergantung rapi di sana. Hitam pekat, sangat formal, bahkan sedikit terlalu kaku. Meskipun Arnold memang sering mengenakan jas, yang satu ini terlihat lebih kuno.Iya, kuno.Nadine melangkah lebih jauh ke dalam ruangan dan berhenti di samping meja makan. Di atas meja, tersaji empat hidangan yang masih mengepul hangat. Dua lauk utama, satu sayuran, dan satu sup.Arnold menjelaskan dengan santai, "Iga sapi kecap dan tumis daging lada hijau aku pelajari dari kamu. Tumis kubis aku lihat dari video. Sup tomat telur memang sudah bisa dari dulu."Setiap hidangan disebutkan asal-usulnya dengan rinci.Nadine tertawa kecil. "Aku pernah mengajarimu? Kenapa aku nggak ingat?""Kamu memang nggak ngajarin. Tapi aku belajar diam-diam." Sambil berbicara, Arnold sudah mengambilkan dua piring nasi. "Duduklah." Dia juga menyerahkan sendok garpu padanya."Terima kasih."Nadine mengambil sepotong iga dan memasukkannya ke