"Ya, Teddy juga ada di sini.""Di bar mana?""Di tempat yang biasa kita datangi.""Aku segera ke sana."....Di bar, terdengar musik yang bising. Begitu pintu ruang privat ditutup, tempat ini seolah-olah terpisah dari dunia luar."Halo, Reagan." Teddy memeluk seorang wanita bertubuh montok dan berpakaian minim. Saat melihat Reagan membuka pintu, dia menyapanya dengan senyuman.Reagan langsung duduk di sofa. Teddy memberi isyarat mata pada wanita di sampingnya. Wanita itu langsung mendekati Reagan dengan senyuman menggoda."Jangan sentuh aku." Reagan menahan tangan wanita itu dengan lincah, lalu menjauhkannya dari pahanya.Senyuman wanita itu membeku. Kemudian, dia menatap Teddy dengan tatapan meminta tolong."Kenapa? Nggak suka ya?" Teddy mengangkat alisnya "Mau ganti yang lain?"Reagan menuangkan segelas anggur untuk dirinya sendiri. "Nggak tertarik.""Wow! Dulu kamu nggak begini. Setelah putus dari Nadine, bukannya kamu seharusnya bebas? Jangan-jangan ... istrimu yang hamil itu menga
Philip menyapa Nadine dan hendak keluar untuk mencari tempat yang tenang. Namun, Reagan dan Teddy langsung menahan bahunya secara serempak.Reagan memberi isyarat untuk diam, sementara Teddy langsung mematikan musik. Gerakan mereka sangat cepat. Sungguh kerja sama yang sempurna.Philip lantas menelan ludah karena merasa sangat tertekan!Di sisi lain, Nadine berpikir cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk menelepon. Kontrak Irene sudah hampir kedaluwarsa. Jika tidak memperpanjang kontrak dengan Lauren, dia harus mencari editor baru.Editor baru ini tentu harus bisa dipercaya. Akan lebih baik lagi jika yang punya pengalaman dalam menerbitkan buku-buku bergenre misteri atau thriller. Tentunya, Nadine ingin mencari yang punya sumber daya promosi.Setelah berpikir panjang, orang yang bisa dihubungi di industri media dan penerbitan sepertinya hanya Philip. Yang membuat Nadine ragu bukan karena merasa tidak enak hati meminta bantuan Philip. Dia tahu Philip akan membantunya dengan senang
Philip langsung tahu apa yang ada di pikiran Nadine. Dia sadar Nadine tidak ingin merasa berutang budi pada Teddy, jadi Philip memutuskan untuk langsung mengambil keputusan sendiri. Lagi pula, dia tidak salah bicara. Dia hanya mengatakan akan bertanya, hasilnya belum tentu."Kalau begitu, Kak Nadine, kamu istirahat lebih awal saja. Aku tutup teleponnya, ya," kata Philip sambil mengakhiri panggilan."Hah, dasar kamu! Nadine kasih kamu apa, sih? Kok sampai panggil dia 'kakak' dengan nada segitu manisnya? Bikin geli!" Teddy mencibir sambil mengangkat alis.Philip meliriknya sekilas. "Kamu nggak ngerti. Kalau soal teman, aku selalu tulus. Nggak suka? Jangan lihat.""Teman?" Teddy menaikkan alis menatap Philip dengan penasaran. "Dia sudah putus sama Reagan. Dari mana datangnya kedekatanmu sama dia?"Mendengar hal itu, Reagan yang diam di pojok akhirnya ikut menatap Philip.Philip menghela napas panjang sebelum menjawab, "Kak Nadine pernah bantu aku dulu. Meskipun dia sudah nggak sama Kak Re
Teddy berkata, "Ingat waktu di hotel itu, kamu bantu aku. Aku ini orangnya tahu balas budi. Walaupun kamu sudah putus sama Reagan, aku tetap harus bayar utang budi itu."Baru saja dia berdiri di balkon dan menghabiskan dua batang rokok sekitar 20 menit, tapi Nadine bahkan tidak terpikir untuk langsung meneleponnya? Padahal Philip sudah bilang, Teddy punya sumber daya terbaik!Kenapa Nadine tidak langsung mencarinya? Apa dia merasa Teddy tidak cukup kompeten?Teddy mendengus kecil dan berkata, "Mau cari editor yang bisa dipercaya, 'kan? Nanti aku kasih kontaknya."Nadine bukaan tipe orang yang tidak tahu terima kasih, apalagi berpura-pura tinggi hati. Kalau sumber daya sudah disodorkan, hanya orang bodoh yang akan menolak."Terima kasih," jawab Nadine singkat."Ini cuma balas budi."Setelah memutus panggilan, Teddy segera mencari kontak editor tersebut di aplikasinya untuk dibagikan ke Nadine. Namun, dia tiba-tiba sadar ... dia tidak punya kontak Nadine di aplikasi pesan!Dia menelepon
Philip mengangguk tanpa ragu. "Ya, aku sering kontak sama Nadine. Memangnya kenapa?"Teddy menyipitkan mata, tatapannya seperti bisa membaca pikiran. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan.""Entah itu Philip yang tetap berhubungan sama Nadine, atau aku yang hari ini mau bantu dia, kamu pasti bertanya-tanya. Apakah ini karena hubungan kita denganmu, atau karena Nadine sendiri."Teddy berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku bisa jawab dengan jelas. Ini semua karena Nadine, bukan karena kamu. Philip juga pasti berpikir begitu."Reagan mengerutkan kening."Kenapa?" tanyanya.Teddy tertawa kecil. "Hubungan antar manusia itu soal timbal balik, 'kan? Kalau ada hubungan baik, orang jadi saling membantu. Kamu pikir Nadine selama enam tahun ini cuma jadi bayangan di kehidupan kamu? Kami ini sering kumpul. Sebulan saja bisa dua atau tiga kali. Kami juga cukup sering berinteraksi sama dia.""Contohnya Philip. Kalau aku nggak salah ingat, Nadine pernah bantu kamu soal komputer, 'kan? Bahkan pernah bik
Julia berbalik dan Eva segera memasang senyum manis. "Kalau begitu, terima kasih sudah merawat Reagan. Aku capek, mau istirahat dulu di kamar."Setelah bicara, dia berbalik dan keluar dari dapur dengan langkah santai.Julia kebingungan. Apa-apaan ini? Biasanya dia berebutan ingin membawa sup penghilang mabuk ke atas. Kenapa tiba-tiba berubah?Julia menuangkan setengah panci sup ke dalam mangkuk, meletakkannya di atas nampan, lalu membawanya ke kamar utama.Reagan hari ini sebenarnya tidak minum banyak, tapi karena tidak makan malam, lambungnya mulai terasa sakit. Saat Julia membawa sup hangat, dia tidak menolak dan langsung meminumnya sampai habis.Setelah itu, Julia keluar dengan nampan kosong dan menutup pintu dengan pelan.Reagan berbaring di tempat tidur, memejamkan mata dan berharap lambungnya perlahan-lahan membaik. Namun,tak lama kemudian, tubuhnya terasa semakin panas. Dia mencoba bangkit untuk menurunkan suhu AC, tapi tiba-tiba pintu kamar utama terbuka dari luar.Eva masuk ta
"Jawab aku, benar atau nggak?"Eva menggelengkan kepala dengan panik. "Bukan ... aku ... aku nggak pernah .... Reagan, kamu menyakitiku ...."Reagan mencengkeram gaun tidurnya, senyumnya dipenuhi penghinaan. "Lalu, gimana kamu mau jelaskan ini? Kalau bukan karena pengalaman, kenapa kamu bisa sehebat ini?"Saat pertama kali mereka tidur bersama, Reagan memang merasa ada yang aneh. Malam sebelumnya dia memeluk dan mencium Nadine, tapi pagi harinya, wanita di tempat tidur berubah menjadi Eva.Saat itu, dia mengira mabuk berat membuatnya salah mengira. Tidak pernah terpikir bahwa itu semua adalah jebakan. Mengingat kejadian itu, Reagan merasa giginya gemetar karena marah."Kamu benar-benar sedang menguji batas kesabaranku!"Dengan penuh amarah, Reagan menarik Eva dari lantai dan berteriak, "Pergi dari rumah ini sekarang juga, dasar perempuan hina!"Amarah yang membara membuat tubuh Reagan semakin panas. Seolah-olah ada api yang membakar dari dalam dirinya. Tubuhnya limbung sejenak dan jaku
Eva terdiam membisu."Kamu ... kamu nggak apa-apa ....""Kenapa? Kecewa?"Sejak menyadari ada yang tidak beres dengan tubuhnya, Reagan langsung masuk ke kamar mandi untuk memuntahkan apa yang telah diminumnya. Rasa panas di tubuhnya hanyalah sisa efek obat yang sama sekali tidak mempan."Kalau kamu baik-baik saja, kenapa tadi berpura-pura seperti itu?"Reagan tersenyum sinis. "Tentu saja untuk melihat bagaimana seseorang berubah dari penuh harapan, menjadi kekecewaan, dan akhirnya putus asa. Cukup menarik, bukan?"Tubuh Eva mulai gemetar."Kamu memang berani, Eva. Berani memberiku obat. Tapi sayangnya, keberanian itu nggak diimbangi dengan otak. Dasar bodoh!""Bi Julia!" Reagan memanggil dengan suara keras."Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Julia segera masuk setelah mendengar perintah.Eva dengan terburu-buru mengenakan kembali pakaian tidurnya, tapi tidak pernah terlihat lebih berantakan dari sebelumnya."Kemasi barang-barangnya. Dalam waktu 30 menit, keluarkan dia bersama barang-bar
Nadine yang sekarang sangat tenang, tidak seperti saat baru-baru putus. Dulu dia sering teringat pada Reagan dan mudah terbawa emosi olehnya.Waktu adalah obat yang ampuh. Luka yang dalam sekalipun bisa sembuh. Kini, Nadine sudah melepaskan semuanya.Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang disebabkan oleh Reagan pun perlahan-lahan memudar hingga akhirnya terlupakan."Ada urusan apa?" tanya Nadine."Apa kita bisa ngobrol di tempat lain?""Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.""Nad ....""Apa yang kubilang salah?"Reagan merasa agak frustrasi. Dia melirik Arnold. Orang-orang yang peka pasti tahu mereka harus menjauh untuk sekarang. Namun, Arnold tetap diam di tempatnya tanpa peduli dengan tatapan Reagan yang memberinya isyarat.Mengingat Reagan yang selalu berbuat nekat, Nadine sama sekali tidak berani berduaan dengannya."Kalau nggak ada yang penting, kami pergi dulu," ucap Nadine menatap Arnold. Arnold mengangguk ringan."Kalian berdua? Lalu gimana denganku?" Wa
Keesokan paginya, Nadine keluar untuk jogging pagi. Setelah punya lebih banyak waktu luang, dia kembali pada kebiasaan lari pagi. Setiap kali selesai lari dan mandi, dia merasa segar dan bertenaga sepanjang hari."Pagi, Pak Arnold.""Pagi."Arnold baru saja selesai berlari dan bersiap pulang. Namun, melihat Nadine, dia berbalik arah. "Ayo, kutemani kamu lari sebentar.""Nggak mengganggu jadwalmu di laboratorium?""Proyek baru sekarang ditangani sama Calvin, jadi aku nggak terlalu sibuk belakangan ini.""Wah, Pak Calvin pasti punya banyak keluhan," canda Nadine."Keluhan nggak akan berguna, tetap saja dia harus bekerja," jawab Arnold dengan wajah serius. Kalau Calvin mendengar itu, dia mungkin akan langsung frustasi.Keduanya berlari mengelilingi taman dua putaran. Ketika Nadine mulai terlihat kelelahan, Arnold menyadari hal itu."Atur napas, perhatikan ritme. Ikuti aku ... tarik, hembus, tarik, hembus ...."Nadine mengikuti instruksinya dan merasa lebih baik. "Wah, jadi lebih ringan!"
"Astaga!" Kelly langsung menepis tangan Teddy dari pundaknya, berdiri tegak, sambil diam-diam bersyukur karena sudah membuang puntung rokok lebih awal.Nadine butuh usaha besar untuk menutup mulutnya yang ternganga. "Ehm .... Kel, kamu lupa tasmu tadi."Dia sebenarnya cuma mau mengembalikan tas, tapi malah menyaksikan apa ini? Kelly terlihat bersandar mesra dengan seorang pria? Punggung pria itu ... kenapa rasanya tidak asing?Saat keduanya berbalik, teka-teki itu terjawab.Itu Teddy?!Jadi ... ini yang disebut Kelly sebagai "mitra kerja samanya"?Kelly berjalan mendekat dan mengambil tas dari tangan Nadine. "Makasih ya, Nadine! Malam-malam begini masih repot-repot ngantarin tasku. Cepat naik ke atas, sudah malam, bahaya di luar. Aku tunggu di sini sampai kamu di balkon, ya. Kalau sudah sampai, lambaikan tangan biar aku yakin.""Oke."Nadine berbalik dan pulang ke apartemennya. Dia tahu betul siapa Kelly. Meskipun temannya terlihat santai dan tanpa beban, dia selalu punya rencana matan
"Kalau nggak mau nunggu, ya pergi saja. Siapa juga yang mau ketemu kamu?" Kelly mendengus sambil memutar bola matanya. "Lihat sikapmu itu. Kamu yang butuh bantuan, 'kan?"Teddy menarik napas dalam-dalam, menahan diri. Wanita ini bisa bela diri. Kalau dia sampai membuat wanita ini marah, yang rugi adalah dirinya sendiri."Jangan marah dong," Teddy langsung mengganti wajahnya dengan senyuman, "Aku sudah bilang ini kasus darurat. Kamu santai begini, gimana aku nggak curiga?""Ada apa, langsung bilang." Kelly melirik ke dalam mobilnya. "Eh, itu ... ada rokok nggak?""Buat apa?""Kasih aku satu."Teddy terdiam. Dengan pasrah, dia kembali ke mobil, mengambil rokok dan korek api, lalu menyerahkannya. Namun, Kelly tidak langsung menerima. Dia menyilangkan tangan di depan dada dan menatapnya dengan senyum mengejek."Oke," Teddy mengangguk dan memasang ekspresi sabar. "Aku ini bukan cari pacar, aku malah cari majikan." Dia lalu menyalakan rokok untuk Kelly.Ini pertama kalinya Teddy menyalakan r
"Di mana kamu? Kenapa selama beberapa hari ini teleponku nggak kamu angkat?! Apa sekarang kamu bahkan nggak peduli lagi sama ibumu?"Tiga pertanyaan berturut-turut. Nada bicaranya semakin tajam di setiap kalimat.Reagan menjawab dengan tenang, "Aku lagi dinas. Sibuk, jadi nggak sempat angkat telepon.""Kamu sekarang juga harus pulang! Sekarang! Kalau kamu nggak pulang, jangan pernah anggap aku sebagai ibumu lagi!"Mendengar nada bicara ibunya yang tidak seperti biasanya, Reagan tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa banyak bertanya, dia menutup telepon dan langsung menuju rumah lama keluarganya.Begitu sampai di depan pintu, dia mendengar suara pecahan vas bunga. Reagan berhenti sejenak, lalu masuk ke dalam rumah. "Ibu, aku sudah pulang."Mendengar suaranya, Rebecca muncul dari dalam. Tanpa menunggu, dia langsung memarahi Reagan habis-habisan."Orang macam apa yang kamu pilih?! Kalau Eva itu memang murahan, aku masih bisa terima, tapi keluarganya juga seperti preman pasar! Terutama i
Keributan di luar begitu besar sehingga menarik perhatian para nyonya yang sedang berkumpul di ruang pertemuan.Ketika mereka melihat keluar, pemandangan yang mereka lihat membuat mata mereka membelalak. Rebecca dengan rambut berantakan, sedang ditarik-tarik oleh seorang wanita yang terus memakinya tanpa henti.Luar biasa! Skandal sebesar apa ini? Para nyonya saling menatap dan bertukar pandangan penuh arti. Melihat banyak orang mulai berkumpul, Lupita semakin bersemangat."Semua orang, lihat baik-baik! Ini dia wanita itu! Anaknya mempermainkan perasaan putriku, membuat putriku hamil, tapi nggak mau bertanggung jawab!""Putriku adalah gadis baik-baik, masa depannya hancur begitu saja! Bukannya meminta maaf, dia malah menghindar dan nggak mau menemui kami? Memangnya keluarga kami ini nggak punya harga diri?!"Lupita sambil berbicara mulai menggulung lengan bajunya, bersiap untuk aksi lebih lanjut."Ayo, semua rekam ini! Sebarkan videonya ke internet, biar seluruh masyarakat tahu seperti
"Kenapa satpam belum datang juga?! Cepat tahan mereka ...."Di tengah kekacauan itu, Lupita berhenti berpura-pura sopan dan berteriak lantang, suaranya menggema di lobi. "Rebecca mana?! Siapa yang namanya Rebecca?! Aku mau bicara sama Rebecca! Suruh dia keluar sekarang juga!"Dua hari sebelumnya, Lupita dan putranya, Rocky, tiba di Kota Juanin. Begitu sampai, mereka langsung pergi menjenguk Eva yang masih dirawat di rumah sakit, lalu ....Mereka tinggal di kamar pasien itu.Lupita berkata, "Kenapa harus tinggal di hotel? Hotel kan mahal! Menurutku kamar rumah sakit ini sudah cukup bagus, luas, terang, dan yang paling penting, gratis!""Tapi cuma ada satu tempat tidur. Kamu dan Rocky ....""Kenapa? Kami ibu dan anak, apa yang perlu dipermasalahkan?"Rocky yang baru saja selesai makan siang, ikut menimpali sambil membersihkan giginya, "Iya, betul! Aku dan Ibu juga sering tidur bareng di rumah. Hemat listrik, cukup pakai satu AC."Tidak peduli seberapa keras Eva mencoba membujuk mereka, h
Teddy tersenyum percaya diri. "Koneksiku jauh lebih luas daripada si Jim ... apalah tadi namanya."Kelly menatapnya selama beberapa detik dengan ekspresi aneh, sebelum berkata, "Kamu yakin mau kerja sama denganku?""Tentu saja. Kenapa? Pandanganmu itu meremehkan aku, ya?"Kelly memandangnya dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas lagi.Keluarga Teddy jelas tidak perlu diragukan. Salah satu dari delapan keluarga besar di Kota Juanin, mereka berada beberapa level di atas Keluarga Tanoto.Dan Teddy sendiri, meski playboy dan punya banyak skandal, dia terlihat cukup stabil secara emosional. Bahkan tadi dia tidak membalas ketika ditampar, menunjukkan bahwa dia bisa bersikap tenang dan sedikit gentleman.Meski gaya hidupnya liar, itu tidak masalah bagi Kelly. Lagi pula, dia juga hidup dengan cara yang sama! Bagus. Mereka tidak akan saling mengatur.Kalaupun bertemu di kelab malam, mereka mungkin malah bisa bersenang-senang bersama.Yang terpenting, Teddy adalah tipe pria yang bisa dengan
Wanita itu selesai berbicara, lalu berbalik dan pergi dengan langkah tegas. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai dengan ritme yang mantap. Teddy hanya tertawa kecil, sama sekali tidak memedulikan kutukan wanita itu.Pahitnya cinta?Huh! Omong kosong!Belum lama wanita itu pergi, seorang gadis muda keluar dari bar. Dia mengenakan rok pendek, memperlihatkan sepasang kaki panjang nan putih, rambut ikalnya terurai indah, dengan riasan wajah yang sempurna."Pak Teddy ...."Gadis itu mendekat dengan percaya diri, mengira pria itu tidak akan menolak. Namun, di luar dugaannya, Teddy justru menghindar dengan cepat. Dia mengulurkan tangannya dan malah merangkul pinggang Kelly serta menariknya ke dalam pelukannya.Kelly yang tadinya sedang asyik menonton drama, langsung terkejut. Teddy menatap gadis itu dengan santai. "Maaf ya, kamu telat datang."Gadis itu menggigit bibirnya, melirik Kelly dengan kesal, lalu pergi dengan berat hati."Pakai aku sebagai tameng?" Kelly melipat tangan di depan dada