Eva terdiam membisu."Kamu ... kamu nggak apa-apa ....""Kenapa? Kecewa?"Sejak menyadari ada yang tidak beres dengan tubuhnya, Reagan langsung masuk ke kamar mandi untuk memuntahkan apa yang telah diminumnya. Rasa panas di tubuhnya hanyalah sisa efek obat yang sama sekali tidak mempan."Kalau kamu baik-baik saja, kenapa tadi berpura-pura seperti itu?"Reagan tersenyum sinis. "Tentu saja untuk melihat bagaimana seseorang berubah dari penuh harapan, menjadi kekecewaan, dan akhirnya putus asa. Cukup menarik, bukan?"Tubuh Eva mulai gemetar."Kamu memang berani, Eva. Berani memberiku obat. Tapi sayangnya, keberanian itu nggak diimbangi dengan otak. Dasar bodoh!""Bi Julia!" Reagan memanggil dengan suara keras."Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Julia segera masuk setelah mendengar perintah.Eva dengan terburu-buru mengenakan kembali pakaian tidurnya, tapi tidak pernah terlihat lebih berantakan dari sebelumnya."Kemasi barang-barangnya. Dalam waktu 30 menit, keluarkan dia bersama barang-bar
"Baik, Tuan Reagan."Tiba-tiba, wajah Eva menjadi pucat. Dia memegangi perutnya dengan ekspresi kesakitan. "Sakit ... perutku sakit sekali ...."Reagan tetap berdiri tanpa ekspresi. Dia tidak bergerak dan Julia juga tidak berani bertindak tanpa perintah.Saat itu, Eva sudah jatuh terduduk di lantai dan keringat dingin membasahi dahinya. Dia meraih celana Reagan, menatapnya dengan memohon. "Kak Reagan, tolong aku, tolong anak kita. Perutku benar-benar sakit ...."Julia tidak tahan melihatnya. "Tuan Reagan, sepertinya Nona Eva benar-benar kesakitan ...."Keringat sudah membasahi pakaian tidurnya yang tipis. Wajah Eva tampak sangat kesakitan. Reagan hanya berkata ketus, "Terserah kamu."Setelah itu, dia pun meninggalkan tempat itu tanpa sedikit pun niat untuk membantu.Julia hanya bisa menghela napas panjang. "Nasib pekerja memang benar-benar menyedihkan!"Pukul empat subuh, sebuah ambulans datang ke vila untuk membawa Eva ke rumah sakit. Rumah sakit yang dituju ternyata sama dengan tempa
Rebecca tak menyangka Eva malah berbalik menuduh dirinya."Jelas-jelas kamu yang bikin onar, kenapa sekarang aku yang disalahkan? Coba tuduh aku lagi? Bakal kurobek mulutmu!""Ayo, sini! Kalau hari ini kamu nggak berhasil bunuh aku, anggap saja kamu kalah!" Eva balas berteriak tanpa takut."Julia!" Rebecca gemetar karena marah, "Telepon Reagan! Suruh dia ke sini sekarang juga! Cepat, nggak pake lama!""Baik, Nyonya."Namun, teleponnya tidak langsung diangkat. Dua kali panggilan ditolak. Pada panggilan ketiga, akhirnya tersambung."Ada apa?" Suara Reagan terdengar dingin di seberang."Tuan, Nyonya meminta Anda segera ke rumah sakit.""Nggak bisa. Sibuk.""Tapi ... Nyonya dan Nona Eva sedang bertengkar.""Oh."Julia kebingunganReagan membalas, "Tolong sampaikan sama Ibu, dulu dia yang bersikeras mempertahankan anak dalam kandungan Eva. Jadi sekarang, apa pun masalahnya, dia yang bertanggung jawab. Jangan ganggu aku!"Setelah itu, telepon diputus. Saat Julia mencoba menelepon lagi, telep
"Keluarga kita dari cuma punya dua cucu, kamu dan Reagan. Mana bisa dibandingkan sama paman kedua dan ketiga? Kalau sesuai dengan isi wasiat dan pembagian dilakukan berdasarkan jumlah kepala, kita pasti paling dirugikan. Tapi kalau kakakmu atau kamu punya anak, maka anak itu juga bisa ikut pembagian. Jadi, setidaknya kita masih bisa mendapatkan bagian lebih banyak.""Kita berdua nggak ada harapan lagi. Sekarang Eva sudah ada anak di kandungannya, ini kesempatan emas yang nggak boleh disia-siakan."Clarine langsung mengerti. "Jadi ini alasannya.""Sekarang kamu paham, 'kan? Asalkan anak di kandungan Eva lahir dengan selamat, kita setidaknya bisa dapatkan bagian sebesar ini ...." Rebecca mengangkat satu jari.Clarine bertanya dengan hati-hati, "Satu miliar?""Beranikan diri sedikit lagi.""Ja-jangan-jangan satu triliun?"Rebecca tersenyum penuh arti.Clarine terkejut. "Satu triliun?! Benar-benar segitu?"Sementara itu, di dalam kamar rumah sakit, Eva mendengar semuanya dengan sangat jela
"Apa?""Kalau kamu nggak hamil, kenapa juga ikut minum sup ayam? Rebutan makanan sama ibu hamil itu tidak pantas, tahu nggak?""Satu panci sebesar itu, kamu bisa habis sendiri?" Rebecca memandang Eva dengan wajah penuh keheranan, merasa wanita muda ini pasti punya masalah dengan otaknya sampai bisa mengeluarkan omongan seperti itu."Ya, tentu saja aku bisa habis.""Sebenarnya kamu mau bilang apa?"Eva berhenti berpura-pura dan langsung menunjukkan maksudnya, "Karena ini sup khusus untukku, lebih baik yang lain jangan ikut minum. Benar nggak, Bibi?"Rebecca tertawa sinis dan mengangguk kesal. "Baiklah. Minum sup itu sampai kamu puas!"Selesai bicara, Rebecca langsung pergi.Eva mengangkat alisnya melirik mangkuk-mangkuk sup di atas meja dengan ekspresi jijik, kemudian pergi ke kamarnya tanpa menyentuhnya."Kenapa kamu nggak minum sup ayamnya?!"Eva baru bangun tidur siang dan menguap. "Aku tiba-tiba nggak ingin minum lagi. Apa ada masalah?""Kamu ...!""Bibi, tolong lain kali ketuk pint
Melihat sup yang direbusnya sejak pagi ditolak mentah-mentah, Rebecca menjadi kesal. "Itu sup kaki babi dengan tambahan kacang kedelai. Bagus untuk anak.""Bagus untuk anak, tapi untuk ibu hamil nggak penting, ya? Kamu nggak lihat di atasnya ada lapisan minyak setebal itu? Aku melihatnya saja sudah mual, gimana mau minum?"Rebecca menarik napas dalam-dalam. "Lalu kamu maunya apa?""Kamu kok bodoh banget sih? Hal mudah begini saja masih perlu diajari? Kamu nggak bisa menyendoki minyak di permukaan sup itu? Dengan kecerdasanmu yang seperti itu, aku heran kamu bisa hidup sampai sekarang ...."Kata-katanya benar-benar kasar dan menyakitkan.Rebecca belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Seketika, amarahnya memuncak. Dia berdiri dengan cepat dan hampir kehilangan kendali. "Kamu bilang siapa bodoh? Eva, jangan keterlaluan!"Kalau saja Rebecca lebih jeli, dia pasti menyadari bahwa nada bicara dan kata-kata Eva sekarang hampir sama persis dengan cara dia pernah memarahi Eva sebelumn
Begitu Freya selesai bicara, sesosok pria bertubuh tinggi muncul dari dalam ruangan.Nadine tertegun.Freya berkata, "Kenalkan, ini adalah murid kesayangan Pak Mario, Stendy."Pria itu tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya ke arah Nadine. "Senang bertemu denganmu, adik kelas.""Kamu ... murid Pak Mario?" Nadine terkejut."Kenapa? Nggak kelihatan?""Bukan begitu."Freya memandang keduanya bergantian. "Kalian sudah saling kenal, ya?"Stendy mengangguk. "Sudah kenal."Bahkan sudah lama ...."Kalau begitu baguslah. Setelah berputar-putar, ternyata semuanya kenalan lama. Malam ini makan di sini saja, ya?"Stendy berkata, "Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya nggak sungkan-sungkan."Sementara Nadine memang sudah berniat makan malam di sana sebelum pulang. Bibi pembantu menyiapkan banyak hidangan dan dua di antaranya adalah makanan favorit Nadine.Entah disengaja atau tidak, ketika mereka duduk, Stendy memberikan posisi terdekat dengan dua hidangan favorit itu kepada Nadine, sementara di
Stendy memang tidak terlalu mahir.Gerakannya canggung dan yang lebih parah lagi, dia menaruh cairan pencuci piring di setiap piring dan mangkuk. Di bawah tatapan tak berdaya Nadine, dia bertanya dengan wajah polos, "Bukan begini caranya?"Nadine kehabisan kata-kata."Kalau kamu nggak keberatan, bisa ajarin aku nggak?" Stendy berdeham pelan. "Dulu waktu di luar negeri, kalau masak sendiri, biasanya aku cuma pakaii satu atau dua piring. Jadi, aku selalu menuangkan sedikit cairan ke masing-masing piring waktu mencuci ....""Sebenarnya, nggak ada cara yang baku untuk mencuci piring dan cairan pencuci juga bisa digunakan dengan berbagai cara. Setiap orang punya metodenya masing-masing, selama piringnya bersih, itu sudah cukup. Tapi ...."Dia mengubah nada bicara. "Kalau dari sudut pandang hemat, kamu bisa menuangkan sedikit cairan ke dalam air, lalu gunakan spons untuk mencuci. Setelah itu, bilas dengan air bersih dan keringkan. Sudah selesai.""Begitu, ya ...." Stendy mendengarkan sambil
Nadine yang sekarang sangat tenang, tidak seperti saat baru-baru putus. Dulu dia sering teringat pada Reagan dan mudah terbawa emosi olehnya.Waktu adalah obat yang ampuh. Luka yang dalam sekalipun bisa sembuh. Kini, Nadine sudah melepaskan semuanya.Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang disebabkan oleh Reagan pun perlahan-lahan memudar hingga akhirnya terlupakan."Ada urusan apa?" tanya Nadine."Apa kita bisa ngobrol di tempat lain?""Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.""Nad ....""Apa yang kubilang salah?"Reagan merasa agak frustrasi. Dia melirik Arnold. Orang-orang yang peka pasti tahu mereka harus menjauh untuk sekarang. Namun, Arnold tetap diam di tempatnya tanpa peduli dengan tatapan Reagan yang memberinya isyarat.Mengingat Reagan yang selalu berbuat nekat, Nadine sama sekali tidak berani berduaan dengannya."Kalau nggak ada yang penting, kami pergi dulu," ucap Nadine menatap Arnold. Arnold mengangguk ringan."Kalian berdua? Lalu gimana denganku?" Wa
Keesokan paginya, Nadine keluar untuk jogging pagi. Setelah punya lebih banyak waktu luang, dia kembali pada kebiasaan lari pagi. Setiap kali selesai lari dan mandi, dia merasa segar dan bertenaga sepanjang hari."Pagi, Pak Arnold.""Pagi."Arnold baru saja selesai berlari dan bersiap pulang. Namun, melihat Nadine, dia berbalik arah. "Ayo, kutemani kamu lari sebentar.""Nggak mengganggu jadwalmu di laboratorium?""Proyek baru sekarang ditangani sama Calvin, jadi aku nggak terlalu sibuk belakangan ini.""Wah, Pak Calvin pasti punya banyak keluhan," canda Nadine."Keluhan nggak akan berguna, tetap saja dia harus bekerja," jawab Arnold dengan wajah serius. Kalau Calvin mendengar itu, dia mungkin akan langsung frustasi.Keduanya berlari mengelilingi taman dua putaran. Ketika Nadine mulai terlihat kelelahan, Arnold menyadari hal itu."Atur napas, perhatikan ritme. Ikuti aku ... tarik, hembus, tarik, hembus ...."Nadine mengikuti instruksinya dan merasa lebih baik. "Wah, jadi lebih ringan!"
"Astaga!" Kelly langsung menepis tangan Teddy dari pundaknya, berdiri tegak, sambil diam-diam bersyukur karena sudah membuang puntung rokok lebih awal.Nadine butuh usaha besar untuk menutup mulutnya yang ternganga. "Ehm .... Kel, kamu lupa tasmu tadi."Dia sebenarnya cuma mau mengembalikan tas, tapi malah menyaksikan apa ini? Kelly terlihat bersandar mesra dengan seorang pria? Punggung pria itu ... kenapa rasanya tidak asing?Saat keduanya berbalik, teka-teki itu terjawab.Itu Teddy?!Jadi ... ini yang disebut Kelly sebagai "mitra kerja samanya"?Kelly berjalan mendekat dan mengambil tas dari tangan Nadine. "Makasih ya, Nadine! Malam-malam begini masih repot-repot ngantarin tasku. Cepat naik ke atas, sudah malam, bahaya di luar. Aku tunggu di sini sampai kamu di balkon, ya. Kalau sudah sampai, lambaikan tangan biar aku yakin.""Oke."Nadine berbalik dan pulang ke apartemennya. Dia tahu betul siapa Kelly. Meskipun temannya terlihat santai dan tanpa beban, dia selalu punya rencana matan
"Kalau nggak mau nunggu, ya pergi saja. Siapa juga yang mau ketemu kamu?" Kelly mendengus sambil memutar bola matanya. "Lihat sikapmu itu. Kamu yang butuh bantuan, 'kan?"Teddy menarik napas dalam-dalam, menahan diri. Wanita ini bisa bela diri. Kalau dia sampai membuat wanita ini marah, yang rugi adalah dirinya sendiri."Jangan marah dong," Teddy langsung mengganti wajahnya dengan senyuman, "Aku sudah bilang ini kasus darurat. Kamu santai begini, gimana aku nggak curiga?""Ada apa, langsung bilang." Kelly melirik ke dalam mobilnya. "Eh, itu ... ada rokok nggak?""Buat apa?""Kasih aku satu."Teddy terdiam. Dengan pasrah, dia kembali ke mobil, mengambil rokok dan korek api, lalu menyerahkannya. Namun, Kelly tidak langsung menerima. Dia menyilangkan tangan di depan dada dan menatapnya dengan senyum mengejek."Oke," Teddy mengangguk dan memasang ekspresi sabar. "Aku ini bukan cari pacar, aku malah cari majikan." Dia lalu menyalakan rokok untuk Kelly.Ini pertama kalinya Teddy menyalakan r
"Di mana kamu? Kenapa selama beberapa hari ini teleponku nggak kamu angkat?! Apa sekarang kamu bahkan nggak peduli lagi sama ibumu?"Tiga pertanyaan berturut-turut. Nada bicaranya semakin tajam di setiap kalimat.Reagan menjawab dengan tenang, "Aku lagi dinas. Sibuk, jadi nggak sempat angkat telepon.""Kamu sekarang juga harus pulang! Sekarang! Kalau kamu nggak pulang, jangan pernah anggap aku sebagai ibumu lagi!"Mendengar nada bicara ibunya yang tidak seperti biasanya, Reagan tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa banyak bertanya, dia menutup telepon dan langsung menuju rumah lama keluarganya.Begitu sampai di depan pintu, dia mendengar suara pecahan vas bunga. Reagan berhenti sejenak, lalu masuk ke dalam rumah. "Ibu, aku sudah pulang."Mendengar suaranya, Rebecca muncul dari dalam. Tanpa menunggu, dia langsung memarahi Reagan habis-habisan."Orang macam apa yang kamu pilih?! Kalau Eva itu memang murahan, aku masih bisa terima, tapi keluarganya juga seperti preman pasar! Terutama i
Keributan di luar begitu besar sehingga menarik perhatian para nyonya yang sedang berkumpul di ruang pertemuan.Ketika mereka melihat keluar, pemandangan yang mereka lihat membuat mata mereka membelalak. Rebecca dengan rambut berantakan, sedang ditarik-tarik oleh seorang wanita yang terus memakinya tanpa henti.Luar biasa! Skandal sebesar apa ini? Para nyonya saling menatap dan bertukar pandangan penuh arti. Melihat banyak orang mulai berkumpul, Lupita semakin bersemangat."Semua orang, lihat baik-baik! Ini dia wanita itu! Anaknya mempermainkan perasaan putriku, membuat putriku hamil, tapi nggak mau bertanggung jawab!""Putriku adalah gadis baik-baik, masa depannya hancur begitu saja! Bukannya meminta maaf, dia malah menghindar dan nggak mau menemui kami? Memangnya keluarga kami ini nggak punya harga diri?!"Lupita sambil berbicara mulai menggulung lengan bajunya, bersiap untuk aksi lebih lanjut."Ayo, semua rekam ini! Sebarkan videonya ke internet, biar seluruh masyarakat tahu seperti
"Kenapa satpam belum datang juga?! Cepat tahan mereka ...."Di tengah kekacauan itu, Lupita berhenti berpura-pura sopan dan berteriak lantang, suaranya menggema di lobi. "Rebecca mana?! Siapa yang namanya Rebecca?! Aku mau bicara sama Rebecca! Suruh dia keluar sekarang juga!"Dua hari sebelumnya, Lupita dan putranya, Rocky, tiba di Kota Juanin. Begitu sampai, mereka langsung pergi menjenguk Eva yang masih dirawat di rumah sakit, lalu ....Mereka tinggal di kamar pasien itu.Lupita berkata, "Kenapa harus tinggal di hotel? Hotel kan mahal! Menurutku kamar rumah sakit ini sudah cukup bagus, luas, terang, dan yang paling penting, gratis!""Tapi cuma ada satu tempat tidur. Kamu dan Rocky ....""Kenapa? Kami ibu dan anak, apa yang perlu dipermasalahkan?"Rocky yang baru saja selesai makan siang, ikut menimpali sambil membersihkan giginya, "Iya, betul! Aku dan Ibu juga sering tidur bareng di rumah. Hemat listrik, cukup pakai satu AC."Tidak peduli seberapa keras Eva mencoba membujuk mereka, h
Teddy tersenyum percaya diri. "Koneksiku jauh lebih luas daripada si Jim ... apalah tadi namanya."Kelly menatapnya selama beberapa detik dengan ekspresi aneh, sebelum berkata, "Kamu yakin mau kerja sama denganku?""Tentu saja. Kenapa? Pandanganmu itu meremehkan aku, ya?"Kelly memandangnya dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas lagi.Keluarga Teddy jelas tidak perlu diragukan. Salah satu dari delapan keluarga besar di Kota Juanin, mereka berada beberapa level di atas Keluarga Tanoto.Dan Teddy sendiri, meski playboy dan punya banyak skandal, dia terlihat cukup stabil secara emosional. Bahkan tadi dia tidak membalas ketika ditampar, menunjukkan bahwa dia bisa bersikap tenang dan sedikit gentleman.Meski gaya hidupnya liar, itu tidak masalah bagi Kelly. Lagi pula, dia juga hidup dengan cara yang sama! Bagus. Mereka tidak akan saling mengatur.Kalaupun bertemu di kelab malam, mereka mungkin malah bisa bersenang-senang bersama.Yang terpenting, Teddy adalah tipe pria yang bisa dengan
Wanita itu selesai berbicara, lalu berbalik dan pergi dengan langkah tegas. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai dengan ritme yang mantap. Teddy hanya tertawa kecil, sama sekali tidak memedulikan kutukan wanita itu.Pahitnya cinta?Huh! Omong kosong!Belum lama wanita itu pergi, seorang gadis muda keluar dari bar. Dia mengenakan rok pendek, memperlihatkan sepasang kaki panjang nan putih, rambut ikalnya terurai indah, dengan riasan wajah yang sempurna."Pak Teddy ...."Gadis itu mendekat dengan percaya diri, mengira pria itu tidak akan menolak. Namun, di luar dugaannya, Teddy justru menghindar dengan cepat. Dia mengulurkan tangannya dan malah merangkul pinggang Kelly serta menariknya ke dalam pelukannya.Kelly yang tadinya sedang asyik menonton drama, langsung terkejut. Teddy menatap gadis itu dengan santai. "Maaf ya, kamu telat datang."Gadis itu menggigit bibirnya, melirik Kelly dengan kesal, lalu pergi dengan berat hati."Pakai aku sebagai tameng?" Kelly melipat tangan di depan dada