Philip langsung tahu apa yang ada di pikiran Nadine. Dia sadar Nadine tidak ingin merasa berutang budi pada Teddy, jadi Philip memutuskan untuk langsung mengambil keputusan sendiri. Lagi pula, dia tidak salah bicara. Dia hanya mengatakan akan bertanya, hasilnya belum tentu."Kalau begitu, Kak Nadine, kamu istirahat lebih awal saja. Aku tutup teleponnya, ya," kata Philip sambil mengakhiri panggilan."Hah, dasar kamu! Nadine kasih kamu apa, sih? Kok sampai panggil dia 'kakak' dengan nada segitu manisnya? Bikin geli!" Teddy mencibir sambil mengangkat alis.Philip meliriknya sekilas. "Kamu nggak ngerti. Kalau soal teman, aku selalu tulus. Nggak suka? Jangan lihat.""Teman?" Teddy menaikkan alis menatap Philip dengan penasaran. "Dia sudah putus sama Reagan. Dari mana datangnya kedekatanmu sama dia?"Mendengar hal itu, Reagan yang diam di pojok akhirnya ikut menatap Philip.Philip menghela napas panjang sebelum menjawab, "Kak Nadine pernah bantu aku dulu. Meskipun dia sudah nggak sama Kak Re
Teddy berkata, "Ingat waktu di hotel itu, kamu bantu aku. Aku ini orangnya tahu balas budi. Walaupun kamu sudah putus sama Reagan, aku tetap harus bayar utang budi itu."Baru saja dia berdiri di balkon dan menghabiskan dua batang rokok sekitar 20 menit, tapi Nadine bahkan tidak terpikir untuk langsung meneleponnya? Padahal Philip sudah bilang, Teddy punya sumber daya terbaik!Kenapa Nadine tidak langsung mencarinya? Apa dia merasa Teddy tidak cukup kompeten?Teddy mendengus kecil dan berkata, "Mau cari editor yang bisa dipercaya, 'kan? Nanti aku kasih kontaknya."Nadine bukaan tipe orang yang tidak tahu terima kasih, apalagi berpura-pura tinggi hati. Kalau sumber daya sudah disodorkan, hanya orang bodoh yang akan menolak."Terima kasih," jawab Nadine singkat."Ini cuma balas budi."Setelah memutus panggilan, Teddy segera mencari kontak editor tersebut di aplikasinya untuk dibagikan ke Nadine. Namun, dia tiba-tiba sadar ... dia tidak punya kontak Nadine di aplikasi pesan!Dia menelepon
Philip mengangguk tanpa ragu. "Ya, aku sering kontak sama Nadine. Memangnya kenapa?"Teddy menyipitkan mata, tatapannya seperti bisa membaca pikiran. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan.""Entah itu Philip yang tetap berhubungan sama Nadine, atau aku yang hari ini mau bantu dia, kamu pasti bertanya-tanya. Apakah ini karena hubungan kita denganmu, atau karena Nadine sendiri."Teddy berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku bisa jawab dengan jelas. Ini semua karena Nadine, bukan karena kamu. Philip juga pasti berpikir begitu."Reagan mengerutkan kening."Kenapa?" tanyanya.Teddy tertawa kecil. "Hubungan antar manusia itu soal timbal balik, 'kan? Kalau ada hubungan baik, orang jadi saling membantu. Kamu pikir Nadine selama enam tahun ini cuma jadi bayangan di kehidupan kamu? Kami ini sering kumpul. Sebulan saja bisa dua atau tiga kali. Kami juga cukup sering berinteraksi sama dia.""Contohnya Philip. Kalau aku nggak salah ingat, Nadine pernah bantu kamu soal komputer, 'kan? Bahkan pernah bik
Julia berbalik dan Eva segera memasang senyum manis. "Kalau begitu, terima kasih sudah merawat Reagan. Aku capek, mau istirahat dulu di kamar."Setelah bicara, dia berbalik dan keluar dari dapur dengan langkah santai.Julia kebingungan. Apa-apaan ini? Biasanya dia berebutan ingin membawa sup penghilang mabuk ke atas. Kenapa tiba-tiba berubah?Julia menuangkan setengah panci sup ke dalam mangkuk, meletakkannya di atas nampan, lalu membawanya ke kamar utama.Reagan hari ini sebenarnya tidak minum banyak, tapi karena tidak makan malam, lambungnya mulai terasa sakit. Saat Julia membawa sup hangat, dia tidak menolak dan langsung meminumnya sampai habis.Setelah itu, Julia keluar dengan nampan kosong dan menutup pintu dengan pelan.Reagan berbaring di tempat tidur, memejamkan mata dan berharap lambungnya perlahan-lahan membaik. Namun,tak lama kemudian, tubuhnya terasa semakin panas. Dia mencoba bangkit untuk menurunkan suhu AC, tapi tiba-tiba pintu kamar utama terbuka dari luar.Eva masuk ta
"Jawab aku, benar atau nggak?"Eva menggelengkan kepala dengan panik. "Bukan ... aku ... aku nggak pernah .... Reagan, kamu menyakitiku ...."Reagan mencengkeram gaun tidurnya, senyumnya dipenuhi penghinaan. "Lalu, gimana kamu mau jelaskan ini? Kalau bukan karena pengalaman, kenapa kamu bisa sehebat ini?"Saat pertama kali mereka tidur bersama, Reagan memang merasa ada yang aneh. Malam sebelumnya dia memeluk dan mencium Nadine, tapi pagi harinya, wanita di tempat tidur berubah menjadi Eva.Saat itu, dia mengira mabuk berat membuatnya salah mengira. Tidak pernah terpikir bahwa itu semua adalah jebakan. Mengingat kejadian itu, Reagan merasa giginya gemetar karena marah."Kamu benar-benar sedang menguji batas kesabaranku!"Dengan penuh amarah, Reagan menarik Eva dari lantai dan berteriak, "Pergi dari rumah ini sekarang juga, dasar perempuan hina!"Amarah yang membara membuat tubuh Reagan semakin panas. Seolah-olah ada api yang membakar dari dalam dirinya. Tubuhnya limbung sejenak dan jaku
Eva terdiam membisu."Kamu ... kamu nggak apa-apa ....""Kenapa? Kecewa?"Sejak menyadari ada yang tidak beres dengan tubuhnya, Reagan langsung masuk ke kamar mandi untuk memuntahkan apa yang telah diminumnya. Rasa panas di tubuhnya hanyalah sisa efek obat yang sama sekali tidak mempan."Kalau kamu baik-baik saja, kenapa tadi berpura-pura seperti itu?"Reagan tersenyum sinis. "Tentu saja untuk melihat bagaimana seseorang berubah dari penuh harapan, menjadi kekecewaan, dan akhirnya putus asa. Cukup menarik, bukan?"Tubuh Eva mulai gemetar."Kamu memang berani, Eva. Berani memberiku obat. Tapi sayangnya, keberanian itu nggak diimbangi dengan otak. Dasar bodoh!""Bi Julia!" Reagan memanggil dengan suara keras."Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Julia segera masuk setelah mendengar perintah.Eva dengan terburu-buru mengenakan kembali pakaian tidurnya, tapi tidak pernah terlihat lebih berantakan dari sebelumnya."Kemasi barang-barangnya. Dalam waktu 30 menit, keluarkan dia bersama barang-bar
"Baik, Tuan Reagan."Tiba-tiba, wajah Eva menjadi pucat. Dia memegangi perutnya dengan ekspresi kesakitan. "Sakit ... perutku sakit sekali ...."Reagan tetap berdiri tanpa ekspresi. Dia tidak bergerak dan Julia juga tidak berani bertindak tanpa perintah.Saat itu, Eva sudah jatuh terduduk di lantai dan keringat dingin membasahi dahinya. Dia meraih celana Reagan, menatapnya dengan memohon. "Kak Reagan, tolong aku, tolong anak kita. Perutku benar-benar sakit ...."Julia tidak tahan melihatnya. "Tuan Reagan, sepertinya Nona Eva benar-benar kesakitan ...."Keringat sudah membasahi pakaian tidurnya yang tipis. Wajah Eva tampak sangat kesakitan. Reagan hanya berkata ketus, "Terserah kamu."Setelah itu, dia pun meninggalkan tempat itu tanpa sedikit pun niat untuk membantu.Julia hanya bisa menghela napas panjang. "Nasib pekerja memang benar-benar menyedihkan!"Pukul empat subuh, sebuah ambulans datang ke vila untuk membawa Eva ke rumah sakit. Rumah sakit yang dituju ternyata sama dengan tempa
Rebecca tak menyangka Eva malah berbalik menuduh dirinya."Jelas-jelas kamu yang bikin onar, kenapa sekarang aku yang disalahkan? Coba tuduh aku lagi? Bakal kurobek mulutmu!""Ayo, sini! Kalau hari ini kamu nggak berhasil bunuh aku, anggap saja kamu kalah!" Eva balas berteriak tanpa takut."Julia!" Rebecca gemetar karena marah, "Telepon Reagan! Suruh dia ke sini sekarang juga! Cepat, nggak pake lama!""Baik, Nyonya."Namun, teleponnya tidak langsung diangkat. Dua kali panggilan ditolak. Pada panggilan ketiga, akhirnya tersambung."Ada apa?" Suara Reagan terdengar dingin di seberang."Tuan, Nyonya meminta Anda segera ke rumah sakit.""Nggak bisa. Sibuk.""Tapi ... Nyonya dan Nona Eva sedang bertengkar.""Oh."Julia kebingunganReagan membalas, "Tolong sampaikan sama Ibu, dulu dia yang bersikeras mempertahankan anak dalam kandungan Eva. Jadi sekarang, apa pun masalahnya, dia yang bertanggung jawab. Jangan ganggu aku!"Setelah itu, telepon diputus. Saat Julia mencoba menelepon lagi, telep
Kedua orang itu langsung menoleh ke arah Darius. Darius menggaruk kepalanya. "Kenapa kalian melihatku seperti ini ...." Rasanya agak canggung."Darius, sebenarnya keluargamu itu bergerak di bidang apa sih?" Mikha menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.Nadine ikut bertanya, "Aku ingat, terakhir kali kamu bilang orang tuamu ... adalah pegawai negeri?"Kelihatannya, pegawai negeri yang dimaksud bukan pegawai biasa. Nadine hanya menyebutkan secara singkat dan tidak bertanya lebih jauh.Mikha mungkin blak-blakan, tetapi dia juga tahu kapan harus berhenti. Ada yang bilang anak-anak dari keluarga pejabat tinggi biasanya sangat low profile. Jadi, masuk akal kalau Darius tidak pernah menyebutkannya sebelumnya.Darius akhirnya menghela napas lega. "Aku pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusnya.""Oke!" Mikha mengangkat tangan, "Demi laboratorium ...."Darius menyambung, "Demi nggak diusir lagi ...."Keduanya menoleh menatap Nadine.Nadine sempat terdiam, lalu spontan berseru, "M
"Ayahku punya properti, rumahnya tak terhitung jumlahnya! Dia yang selalu mengusir orang lain, nggak ada yang bisa mengusirnya!""Jadi, semuanya harus milik kita sendiri agar kita punya posisi kuat! Akademi meminjamkan kita ruangan bobrok, nggak ada CPRT, alat pemadam kebakaran pun nggak lengkap. Kita mati-matian menghasilkan penelitian, tapi akhirnya semua kredit jatuh ke akademi?""Memangnya di dunia ini ada hal sebaik itu? Aku sudah muak!"Mikha tidak pernah mengalami ketidakadilan seperti ini."Apa hebatnya sih? Cuma sebuah ruangan usang, alat-alatnya pun kita beli sendiri!"Amarah Mikha meledak-ledak. Dia benar-benar tidak bisa menoleransi ketidakadilan ini. Ketika dia melampiaskan kekesalan, air liurnya bahkan hampir menciprat ke mana-mana, membuat Darius dan Nadine melongo."Eh ... apa aku menakuti kalian?" Wajah Mikha yang bulat tampak malu untuk sesaat. Dia buru-buru menjelaskan, "Biasanya aku nggak seperti ini. Tapi kalau sudah marah, aku susah berhenti .... Ehem, ehem!"Dari
Nadine melihat ekspresi tak berdaya di wajah Arnold dan tak bisa menahan tawa."Ambil saja, Paman. Daging sapi bumbu buatan ayahku ini luar biasa enak, nggak semua orang bisa mencicipinya.""Kamu memanggilku apa?" Dia melangkah mendekat dan satu tangan bertumpu di dinding. "Hmm?"Nadine tak punya ruang untuk mundur lagi, hanya bisa menatapnya dengan wajah polos. "Aku cuma menyampaikan kata-kata ayahku, bukan aku yang mengatakannya.""Pak, lorong ini sempit. Kamu ... nggak mau mundur sedikit?"Arnold teringat bahwa dirinya masih sakit dan khawatir menularkannya pada Nadine. Dia menghela napas pelan, menarik kembali tangannya, lalu mundur ke samping.Nadine sekali lagi merasa kagum. Pria ini benar-benar mudah diajak bicara dan sangat gentleman.Arnold menerima daging sapi itu, sementara Nadine membawa sisanya kembali ke rumah. Dia lalu memotret dan mengirimkannya kepada Jeremy.Balasan segera masuk.[ Sudah kasih Arnold? ][ Sudah, sudah! Ayah, bukankah kamu terlalu baik padanya? ]Jerem
Nadine agak tertegun. "Untukku? Lalu, kamu ...."Arnold berkata, "Aku nggak kedinginan.""Terima kasih."Setibanya di ujung gang, Arnold meminta Nadine menunggu sebentar, lalu masuk ke minimarket di samping. Tak sampai satu menit, dia keluar dengan dua cangkir minuman di tangannya."Nah."Nadine menerimanya, lalu mencium aromanya dengan penasaran. "Apa ini?""Teh merah jahe."Nadine mengangkat alis. "Minimarket menjual ini?" Kenapa dia sama sekali tidak punya kesan tentang itu?"Menu musiman, baru saja tersedia.""Punyamu juga?"Arnold menggeleng. "Bukan, aku pesan teh gandum hitam."Nadine menggenggam cangkir kertas itu, telapak tangannya terasa hangat. Ditambah jaket yang masih menyelimutinya, seluruh tubuhnya seperti dipenuhi kehangatan. Bahkan, pipinya tampak agak merah.Setelah naik tangga, Nadine melepaskan jaket itu dan mengembalikannya kepada Arnold. "Terima kasih, selamat malam."Arnold tersenyum tipis. "Selamat malam."Keduanya pun masuk ke rumah masing-masing.Setelah mandi,
Arnold hari ini ada kelas. Saat jam istirahat, dia mendengar dua mahasiswa membicarakan bahwa ada laboratorium di Fakultas Ilmu Hayati yang diberikan surat perintah renovasi oleh dinas pemadam kebakaran.Awalnya dia tidak terlalu peduli, sampai tiba-tiba nama Nadine disebut dalam percakapan mereka. Begitu bertanya lebih lanjut, dia baru tahu bahwa laboratorium yang dimaksud adalah milik Nadine.Tanpa berpikir panjang, Arnold langsung menuju ke sana dan tiba tepat saat ketiga orang itu sedang berbicara."Pak." Nadine menyapanya, "Kenapa tiba-tiba ke sini? Silakan masuk."Mikha dan Darius juga segera menyapa.Arnold berkata, "Aku sudah tahu semuanya. Kalau renovasi pemadam kebakaran dilakukan sesuai prosedur, setidaknya akan memakan waktu 2 bulan. Untuk sementara, pakai saja laboratoriumku. Kalian bisa memindahkan semua peralatan ke sana, pasti muat."Kedengarannya memang solusi yang cukup baik .... Namun, Mikha dan Darius tidak langsung menyetujui. Mereka justru menatap Nadine untuk mem
"Siapa yang menyuruh kalian masuk? Laboratorium kami nggak menerima hewan berkaki dua. Kalau punya akal, cepat pergi sebelum kami bertindak.""Siapa yang kamu maki, hah?" Kaeso berang hingga wajahnya memerah.Darius menimpali dengan santai, "Siapa yang menanggapi, berarti dia yang kumaki. Lihat saja, langsung ada binatang yang merasa tersindir.""Kamu ...."Nella tersenyum sinis. "Apa yang kalian banggakan sih? Seluruh laboratorium nggak bermasalah, cuma laboratorium kalian yang harus direnovasi. Malu-maluin saja, tapi masih berani keras kepala!""Kudengar, perbaikan keamanan kebakaran bisa makan waktu berbulan-bulan. Kasihan, kalian jadi nggak bisa pakai laboratorium dalam waktu dekat. Apa hebatnya menerbitkan makalah di Science? Nyatanya tetap nggak dianggap penting oleh fakultas. Ngapain sok hebat?"Nadine tersenyum. "Sebenarnya aku malas bicara karena takut kamu nggak sanggup menerimanya. Tapi kalau dipikir lagi, bersikap baik pada binatang buas sama saja dengan menyiksa diri sendi
Diana menyilangkan tangan sambil menatap dari atas. "Laporan apa?""Jangan pura-pura bodoh! Inspeksi pemadam kebakaran di laboratorium lain nggak ada masalah, tapi cuma laboratorium Nadine yang diberi surat perintah perbaikan. Kamu berani bilang ini nggak ada hubungannya denganmu?"Diana tersenyum tipis. "Aku sibuk. Setiap hari harus mengurus laporan dan menulis jurnal, mana ada waktu untuk ribut dengan anak-anak kecil? Tapi ... kalau ada orang lain yang nggak suka dengan mereka, itu di luar kendaliku."Bagaimanapun, dia punya banyak mahasiswa. Kalau ada satu atau dua yang tidak suka dengan kelompok Nadine, itu hal yang wajar, 'kan?"Sekarang kamu semakin berani ya? Berani bertindak tanpa memberitahuku dulu. Kamu ini masih menganggapku sebagai atasanmu atau nggak?"Diana mengerutkan kening. "Kamu memanggilku cuma untuk ini? Sekarang kamu mau membela mahasiswa Freya? Heh, ini bukan gayamu."Konan tertawa dingin. "Kamu pikir trik murahanmu itu sangat cerdas? Dasar bodoh!""Inspeksi pemad
"Saat itu kami ada di laboratorium, bukannya nggak ada orang. Mesin itu cuma nggak digunakan sementara, jadi secara otomatis masuk ke mode siaga. Kami juga akan menggunakannya lagi nanti. Siapa yang akan kurang kerjaan memutus dayanya?" jelas Mikha dengan kesal.Nadine sudah memiliki dugaan di benaknya, tetapi masih perlu memastikannya. "Ayo, kita ke laboratorium seberang."Mikha bingung. "Kenapa kita melihat mereka? Itu 'kan laboratorium dari jurusan lain, nggak ada hubungannya dengan kita ...."Darius juga merasa ada sesuatu yang aneh dan segera mengikuti Nadine. "Kalau disuruh pergi ya pergi, kenapa banyak tanya?"Mikha termangu sesaat. 'Wah, nyalinya semakin besar saja ya!'Ketiganya tiba di laboratorium seberang. Benar saja, sudut ruangan dilengkapi dengan satu set lengkap peralatan pemadam kebakaran."Ini ...." Mikha melongo. "Padahal bulan lalu belum ada!"Mereka memeriksa beberapa laboratorium lain. Hasilnya sama, semua yang sebelumnya tidak memiliki peralatan kini sudah lengka
"Ada apa?" tanya Nadine.Keduanya langsung mendongak, seperti anak kecil yang akhirnya melihat orang tua mereka setelah mendapatkan perlakuan tidak adil.Mikha langsung berlari ke arahnya, matanya sudah memerah bahkan sebelum sempat bicara. Darius menyusul di belakang, ekspresinya jelas tegang dan tangannya juga terkepal erat.Nadine langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dia tetap tenang. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian duduk di luar dan nggak masuk?""Kak Nadine ...." Mikha berusaha menahan air matanya. Meskipun matanya sudah berkaca-kaca, dia tetap bersikeras untuk tidak membiarkannya jatuh. "Kami nggak bisa masuk lagi!""Apa maksudnya nggak bisa masuk lagi?" Nadine terkejut."Kemarin, tim inspeksi kampus dan pemadam kebakaran distrik tiba-tiba datang ke laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ...."Pemeriksaan kebakaran adalah prosedur rutin, jadi mereka berdua tidak berpikir terlalu banyak dan langsung membukakan pintu serta bekerja sama dengan baik.Siapa sangka,