“Halo, Aqsa! Bagaimana kabarmu?”Mahendra lebih dulu menyapa Aqsa. Ia mengulurkan tangannya lalu mau tak mau Aqsa pun menyambut tangannya dengan raut kesal yang terpendam. Seringai tipis di wajah Mahendra jelas, terpampang nyata, menunjukan seringai kemenangan.Alana yang mendengarnya terperangah. “Bang Andra, kenal suaminya Mbak Zahrana?”“Kenal dong, kawan la-ma,” jawab Mahendra terlihat santai. “Saya Mahendra. Panggil saja Andra,” katanya menghadap Zahrana.“Saya Zahrana,” sahut Zahrana dengan tersenyum tipis. “Eh, silahkan duduk dulu!” Zahrana melirik Aqsa yang terlihat kurang nyaman atas kehadiran Mahendra. Zahrana lupa jika Aqsa pernah cerita, ia memang pernah bertemu dengan dokter itu. Zahrana merasa bersalah karena ia mengajak Alana bergabung bersama mereka. Ia tak tahu jika kakak Alana itu lelaki yang datang taaruf pada Selina, pikirnya.Mahendra pun ikut duduk bersama Alana, saling berhadap-hadapan dengan Aqsa dan Zahrana. Mahendra melambaikan tangannya pada pramusaji lalu
Sesuai janji, Selina membelikan pizza untuk sang kakak sebagai bentuk ucapan terima kasih karena sudah mengajarinya martial art self defense. Selepas makan pizza,tiga saudara berkumpul; Hawa, Adam dan Selina. Mereka tampak bahagia, karena jarang bertemu seperti itu dikarenakan sibuk dengan urusan masing-masing. Ustaz Bashor dan Ummi Sarah ikut bahagia bisa berkumpul lengkap dengan ke tiga anaknya.“Jadi, siapa yang mau nikah nyusul teteh? Adam dulu atau Selina?” tanya Hawa menggoda ke dua adiknya. Adam hanya diam, berusaha tidak terpancing perkataan sang kakak. Sebab, ia sadar pasti abah atau Selina telah menceritakan soal rumah yang dibeli Adam padanya. Mereka mencurigai Adam.Rumah untuk apa?AtauRumah untuk siapa?Perkara rumah bisa menjadi sebuah topik pembicaraan yang cukup serius.“Aa Adam dulu!” seru Selina sembari saling melempar senyum dengan sang kakak. “Kalau kata orang sunda mah pamali, ngarunghal; ngeduluin kakak. Nih, jadinya gak jadi terus,”Selina tampak lebih santai.
Sebelum berangkat ke Jakarta, Selina berusaha membujuk Ustaz Bashor untuk tidak mengajak santriwati yang akan mengawalnya selama di sana. Dia sudah merajuk, memelas dan membuat sejuta alasan agar membatalkannya. Namun, nihil, Ustaz Bashor begitu mencemaskan putrinya itu mengingat putrinya sangat cantik, takut menjadi incaran para lelaki apalagi lelaki kota. Ia pun sempat menyuruhnya memakai niqab alias cadar tetapi menolak dengan alasan belum siap.“Abah, please! Ada teman guru yang menemani kok. Um, bukan menemani, mereka juga sama sepertiku ditugasi sekolah untuk membimbing anak-anak lomba. Bahkan mereka lebih muda dariku. Apalagi anak murid, mereka bukan muda lagi Bah, tapi mereka masih remaja. Aku malu sekali dengan muridku Abah,” rengek Selina. “Orang tua mereka saja percaya sama gurunya. Mereka mempercayai kami para guru menjaga mereka selama di sana.”Ustaz Bashor tak berkomentar apa-apa. Bukan ia tak percaya pada Selina, lebih kepada menjaganya. Untuk saat ini Selina dari segi
“Aa, please udah sampe sini aja anterinnya,”Selina memelas dengan menunjukan ke dua bola mata mirip kelinci yang lucu, berharap sang kakak tidak mempermalukannya di depan para guru dan murid di sana.Beberapa pasang mata menajamkan penglihatan mereka, melihat keakraban yang terjadi di antara Selina dan Adam. Sekilat orang salah paham, mereka mirip sepasang kekasih padahal adik-kakak (sepersusuan).Adam menghentikan langkahnya dan menaruh koper itu di samping Selina. Lalu ia menengok arlojinya karena memang sudah waktunya ia pergi mengecek toko.Ia menoleh pada sang adik lalu mengusap pucuk kepalanya. “Baiklah, hati-hati di jalan adikku! Jangan nakal! Kalau nakal kena batunya,”“I swear!” ucap Selina nyengir dengan jari di tangan kanannya menunjukan pinky promise di depannya, sedangkan jari di tangan kirinya melipat pinky promise itu. Tak jauh dari sana beberapa guru sedang menggunjing kebersamaan Selina dan Adam.“Ya ampun! Gak nyangka Bu Selina begitu dekat dengan kekasih barunya,”
Shiza duduk termenung di depan jendela kamarnya. Ia mengingat pertama kali pertemuannya dengan Adam. Masih lekat di ingatannya, Adam begitu manis memperlakukan Selina. Ia jadi membayangkan andai ia adalah Selina yang seringkali mendapat perlakuan manis darinya. Maka betapa beruntungnya dirinya. Bulir air mata menetes begitu saja, mengingat keping demi keping memori tentangnya. Saat ia menubruk tubuhnya dan saat itu jaraknya begitu dekat dengan Adam. Seketika desir aneh tetapi terasa indah menyergapnya. Ada rindu yang menggebu. Namun saat yang sama, rasa kesal pun ikut hadir bercokol dalam dada tatkala menyaksikan kilatan amarah pada mata Adam ketika menyerang Aqsa. Shiza langsung menyeka air matanya kendatipun terasa begitu berat mengingat ini tentang rasa hingga tanpa sadar sang kakak sudah berada di belakangnya menghampirinya. “Kamu gak nungguin Mama?” tanya Aqsa menyentuh pundak sang adik hingga membuatnya menoleh. Tak ingin terlihat lemah dan murung di hadapan kakak, Shiza bur
Ruri terlihat marah lalu ia keluar dari kamar hotel. Melihat hal itu, Selina mengejarnya. Ia yakin jika Ruri tersinggung dengan sikap dan perkataan teman-temannya. Ada-ada saja masalah datang bertandang tanpa diundang!“Kalian!” Selina menggeram pelan menatap semua muridnya. “Seharusnya kalian tidak perlu berbicara seperti itu! Ingatlah! Di sini tidak ada senior atau junior, termasuk siapa yang paling cerdas. Kalian semua sama diberi kesempatan untuk mengikuti lomba. Tolong, jaga manner kalian!” ucapnya lagi dengan sedikit keras dan menguak daun pintu hingga lebar hendak mengejar Ruri yang entah pergi ke mana.Terlihat Ruri berjalan cepat menaiki lift menuju lantai bawah. Entah, kemana tujuan anak itu pergi. Mungkin, jika masih berada di lingkungan sekolah maka sudah dipastikan ia akan mengadu pada Wijaya. Sayang, Wijaya tidak ikut diwakilkan oleh wakil kepala sekolah karena sakit.“Ruri! Tunggu!”Dengan sedikit tersaruk-saruk Selina berlari mengikuti langkah kaki Ruri yang begitu ce
Selina mengusap punggung Zahrana dengan lembut. Ia mengerti benar perasaan Zahrana saat ini. Selina melepaskan pelukan mereka. Terlihat Zahrana hendak membuka bibirnya dengan gemetar.“Jangan katakan apapun! Aku tahu semuanya. Aku sudah mengikhlaskan ...” lirih Selina memegangi tangan Zahrana dan menatapnya dalam. “Takdir manusia siapa yang tahu. Jika saat ini kebahagiaan terenggut maka di hari berikutnya kesedihan yang akan senyap. Semua seperti siklus, akan ada masanya datang dan pergi. Terima kasih sudah menjadi sahabatku,”Deg,Pernyataan Selina itu terdengar singkat tetapi tepat menghujam batinnya. Benar sekali!“Barokallahu laka wabaroka alaika wajama'a bainakuma pi khoir!” bisik Selina lalu tersenyum pada Zahrana.Zahrana mendapatkan ucapan selamat dari sahabatnya. Namun ia merasa tak bahagia mendengarnya, justru ia merasa sakit.Selina meninggalkan Zahrana yang mematung dekat anak muridnya. Ia berjalan mengantar anak didiknya menuju ruang pidato dan debat bahasa Indonesia. Sem
Sepulang dari villa, Mahendra memutuskan untuk kembali ke Purwakarta menyelesaikan pekerjaannya. Setelah urusan pencemaran nama baik selesai ia akan berencana pindah ke Bandung, pindah ke salah satu rumah sakit swasta di sana. Sebenarnya ia mengajukan pindah ke rumah sakit Jakarta tetapi tidak bisa karena ia hanya bisa pindah ke daerah yang masih termasuk ke dalam provinsi Jawa Barat.Sebagai orang tua, Darius senang mendengar kabar itu karena Mahendra bisa tinggal serumah dengan istri kecilnya. Tentu saja Alana masih kuliah dan tak mungkin ia pindah kuliah saat ini. Berbeda dengan Mahendra, ia sama sekali tidak mengabari Alana jika ia akan pindah ke Bandung. Ia takut Alana akan mengira dirinya benar-benar menjalani pernikahan itu. Mahendra membeli apartemen.“Jadi Andra mau pulang ke Purwakarta sekarang?” tanya Kiran menatap mantunya yang lebih mirip adiknya. Sebab Kiran menikah di usia sangat muda sehingga ke dua putrinya juga tampak seperti bukan anaknya melainkan adiknya.“Iya, Ma